NURANIKU
tercederai. Benakku tersayat. Saat pada subuh itu, setibaku di kampung halaman
aku ingin mendirikan shalat subuh di langgar (surau) yang berada di samping
rumah warisan nenekku telah rata dengan tanah. Tinggal tersisa fondasi yang
masih melukiskan sebuah bangunan dengan ruang imam menuju arah qiblat.
Aku tidak tahu persis kapan langgar yang diberi nama Langgar Abu
Tohir itu dirobohkan. Dan, aku juga tidak tahu siapa yang merobohkannya. Tanya
demi tanya menggantung di benakku. Mesti ke mana aku mencari jawaban, karena
orang-orang yang punya cerita telah berpulang.
Sekilas yang kutahu, dulu di masa kanak-kanak, aku dan
kawan-kawan sebaya biasa menghabiskan waktu selepas maghrib sampai menjelang
shalat isya mengaji di langgar yang ketika itu belum bernama. Ketika aku
remaja, bapak dan bulik merogoh kocek untuk merenovasi langgar yang telah
reyot. Usai renovasi, kami memberi label langgar itu dengan nama Abu Tohir,
yang tidak lain adalah kakek buyut-ku. “Untuk menghormati dan mengenang tekad
Mbah Abu Tohir yang telah mewakafkan sebagian tanahnya buat dirikikan langgar
ini, agar-agar orang-orang yang dalam perjalanan bisa shalat di sini,” tutur
bulik-ku saat syukuran usai renovasi langgar yang memang berada di pinggir
jalan yang cukup besar di kampungku.
Ya, sekitar 25 tahun berlalu renovasi itu. Saat aku pulang
kampung, terdengar kabar burung bahwa tanah tempat langgar berdiri ditawarkan
kepada pembeli. Dan, orang berduit di kampung kebanyakan adalah etnis bermata
sipit. Rupanya, sewaktu proses pembagian tanah waris, tanah langgar itu tetap
dihitung sebagai bagian yang diwariskan. Lalu, jatuhlah tanah itu ke salah
seorang adik nenekku. Nenekku telah lama tiada, sementara adik nenekku sudah
renta yang punya rumah+tanah yang cukup luas di kampung lain. Lalu, adik
nenekku memberikan jatah warisan itu ke salah seorang anaknya –yang juga telah
memiliki rumah+tanah buat tempat tinggal.
Lantaran seperti orang yang tidak berharap kebutuhan papan itu,
anak dari adik nenekku itu menjual sebidang tanah yang di atasnya berdiri
Langgar Abu Tohir. Rasanya, aku ingin membayari agar tidak berpindah tangan ke
orang-orang yang hanya mengejar materi-duniawi bn tapi apa daya aku tak cukup dana.
Aku tak bisa berbuat banyak. Aku hanya berusaha mendekati anak dari adik
nenekku agar tanah itu jangan dilepas karena kakek buyut telah mewakafkan buat
didirikan langgar yang amat bermanfaat dan menjadi jalan pahala yang terus
mengalir sepanjang masih ada orang yang shalat, mengaji dan mengkaji di
langgar.
Nasehat tinggal lah nasehat. Memberikan nasehat merupakan perkara
gampang. Yang tersulit adalah kesediaan dan keikhlasan menerima nasehat itu. Anak
dari adik nenekku tetap ngotot untuk
menjual lahan yang di atasnya berdiri Langgar Abu Tohir.
Aku tak terlalu mengikuti perjalanan Langgar Abu Tohir setelah
simpang-siur penjualan lahan di bawahnya itu. Yang kutahu kemudian, saat
beberapa hari lalu aku pulang kampung, Langgar Abu Tohir telah dirobohkan
karena pemilik (baru) mau membangun rumah toko (ruko) di atas lahan tersebut. Dan
yang juga kutahu, anak dari adik nenekku dipanggil pulang Allah SWT melalui
jalan serangan stroke penuh penderitaan tak lama setelah menjual tanah Langgar
Abu Tohir.
Terlepas bahwa umur anak manusia menjadi hak prerogatif Allah
SWT, tragedi robohnya Langgar Abu Tohir ini jelas memberikan banyak pelajaran.
Minimal dari tekad Mbah Abu Tohir yang mewakafkan sebagian tanahnya untuk
didirikan sebuah langgar. Bahwa wakaf itu terkadang untuk anak cucu atau karib
kerabat, biasa dikenal wakaf dzurri
(keluarga). Terkadang pula, wakaf diperuntukkan bagi kebajikan semata-mata atau
dinamakan wakaf khairi (kebajikan).
Allah telah mensyariatkan wakaf, menganjurkan dan menjadikannya
sebagai salah satu cara pendekatan diri kepada-Nya. Diriwayatkan oleh Ibu Majah
bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya apa yang dijumpai oleh seorang
mukmin dari amalan dan kebaikannya setelah dia mati itu adalah ilmu yang
disebarkannya, anak saleh yang ditinggalkannya, mushaf yang diwariskannya,
masjid yang didirikannya, rumah yang didirikannya untuk ibnu sabil, sungai yang
dialirkannya, atau sedekah yang dikeluarkan dari hartanya di waktu sehat dan
hidupnya.”
Mbah Abu Tohir telah mewakafkan sebagian tanahnya untuk langgar
(surau). Jika wakaf telah berlaku aka tidak boleh dijual, dihibahkan dan
diperlakukan dengan sesuatu yang dapat menghilangkan kewakafannya. Ucapan
Rasulullah saw sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Umar, “Wakaf itu tidak
boleh dijual, dihibahkan, dan diwariskan.” Kalangan mazhab Syafi’i berpendapat
bahwa hak milik yang ada pada orang yang diberi wakaf itu berpindah kepada
Allah SWT, maka ia bukanlah milik orang yang berwakaf dan diberi wakaf.
Hati-hatilah bermain tanah yang telah diwakafkan. Nasehat sesama
manusia tak digubris, maka Allah SWT yang langsung berkehendak memberi nasehat.
Wallahu a’lam bisshawab. (BN)
No comments:
Post a Comment