Pepatah lama
–lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang—tampaknya
kini tak lagi berlaku. Banyak di antara anak bangsa ini jelas memilih hujan
emas di negeri orang. Kendati, terkadang, emas di negeri orang itu hanyalah
fatamorgana. Mari kita tengok kisah Sumiati, TKW asal Dompu, Nusa Tenggara
Barat (NTB). Sumiati memilih mencari gemerincing dinar atau riyal dengan
menjual jasanya ke negara lain, sebagai pekerja penatalaksana rumah tangga.
Tentu ketika menjatuhkan pilihan menjadi TKW di Tanah Arab, dalam benak Sumiati
menggumpal harapan kelak pulang akan membawa uang banyak. Maklum, dari
cerita-cerita mereka yang sukses mendulang dinar di negeri orang, gaji menjadi
TKW di luar negeri jauh lebih besar dibandingkan menjadi buruh di Indonesia.
Hujan emas di negeri orang.
Di sisi
lain, Sumiati tentu juga pernah mendengar kisah-kisah tragis TKW seperti
dialami oleh Nirmala Bonat dari NTT yang disiksa majikannya, Nuryamah dari
Ciamis yang cacat seumur hidup, atau Kikim Komalasari asal Cianjur yang jasadnya
ditemukan di sebuah bak sampah di kota Abha, Arab Saudi. Tapi Sumiati tidak
ciut nyali. Ia tetap saja berangkat mengadu nasib di Tanah Arab.
Seperti
berjudi dengan nasib, di benak Sumiati dan kawan-kawan, berangkat menjadi TKW
ke negeri Arab Saudi atau negara-negara Timur Tengah lainnya lebih memberikan
harapan daripada ongkang-ongkang kaki atau menjadi buruh tani di kampung. Mereka
berharap mendapat majikan yang baik hati, itu sudah cukup. Bekerja selama 2-3
tahun di sana, kumpul modal, nanti pulang kampung buka usaha atau membeli sawah.
Tetap
terbanglah Sumiati dari Dompu (NTB) ke Arab Saudi demi gemerincing dinar dan
riyal pada pertengahan tahun 2010. Maka, mulai Juli 2010, Sumiati bekerja
sebagai penata-laksana rumah tangga pada sebuah keluarga di Madinah. Tak mudah
memang bekerja sebagai penatalaksana rumah tangga di tengah-tengah keluarga
dengan kultur yang amat berbeda dibandingkan keluarga-keluarga Indonesia.
Spontanitas keluarga majikan terkadang sulit ditangkap oleh Sumiati. Seperti
kebanyakan pekerja penatalaksana rumah tangga di Indonesia, ia kerapkali hanya
menunggu perintah kerja majikan. Kurang berani berinisiatif membereskan apa
yang menjadi kewajiban pekerjaannya.
Entah karena
faktor ketiadaan inisiatif kerja atau ada faktor-faktor lain, rupanya mimpi
Sumiati memperoleh majikan yang baik hati tak terkabul. Ia acapkali dipukuli
oleh anak majikan dan majikan perempuan bilamana terjadi hal yang kurang
berkenan di hati. Ujung-ujungnya, pada awal November 2010, Sumiati harus
dirawat di RS King Fahd, Madinah, lantaran luka-lukanya yang teramat serius. Bibirnya
menganga dan mukanya lebam-lebam penuh luka.
Kalau kita
tak dapat berharap banyak pada perlindungan keselamatan kepada pemerintah di
negeri orang, lalu apa yang bisa kita harapkan dari pemerintah kita menanggapi
tragedi yang menimpa Sumiati? Pemerintah RI menugaskan tiga menteri (Menteri
Luar Negeri, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Menteri Pemberdayaan
Perempuan) untuk menyelesaikan kasus Sumiati dan TKW/TKI pada umumnya. Tapi,
sejauh ini hasil kongkrit penyelesaian kasus yang duka-derita TKW tak kunjung
jelas. Yang hanya seputar komentar-komentar yang sepertinya jauh dari
penyelesaian yang elegan. Misalnya membekali TKW dengan ponsel dan menyetop
pengiriman TKW ke Timur Tengah. Penyelesaian ini tentu tidak akan menaikkan
posisi tawar TKW/TKI kita di negeri-negeri kaya minyak itu.
Kita jadi
teringat sejarah Kerajaan Singosari yang hidup sekitar tahun 1200-an Masehi.
Suatu waktu Kaisar Mongol Khubilai Khan mengirimkan seorang utusan Meng Chi ke
Kerajaan Singosari. Raja Singosari Kertanegara langsung menanggapi utusan
Kaisar Khubilai Khan dengan memotong telinga Meng Chi. Melihat Meng Chi pulang
tanpa telinga, sontak Kaisar Khubilai Khan naik pitam. Dia langsung mengirimkan
1.000 kapal berkekuatan 20.000 prajurit untuk menggempur Singosari. Kata orang
Yogya, begitulah keseriusan seorang raja ketika rakyatnya disakiti.
No comments:
Post a Comment