Wednesday, January 2, 2013

Sumiati dan Meng Chi


Pepatah lama –lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang—tampaknya kini tak lagi berlaku. Banyak di antara anak bangsa ini jelas memilih hujan emas di negeri orang. Kendati, terkadang, emas di negeri orang itu hanyalah fatamorgana. Mari kita tengok kisah Sumiati, TKW asal Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB). Sumiati memilih mencari gemerincing dinar atau riyal dengan menjual jasanya ke negara lain, sebagai pekerja penatalaksana rumah tangga. Tentu ketika menjatuhkan pilihan menjadi TKW di Tanah Arab, dalam benak Sumiati menggumpal harapan kelak pulang akan membawa uang banyak. Maklum, dari cerita-cerita mereka yang sukses mendulang dinar di negeri orang, gaji menjadi TKW di luar negeri jauh lebih besar dibandingkan menjadi buruh di Indonesia. Hujan emas di negeri orang.

Di sisi lain, Sumiati tentu juga pernah mendengar kisah-kisah tragis TKW seperti dialami oleh Nirmala Bonat dari NTT yang disiksa majikannya, Nuryamah dari Ciamis yang cacat seumur hidup, atau Kikim Komalasari asal Cianjur yang jasadnya ditemukan di sebuah bak sampah di kota Abha, Arab Saudi. Tapi Sumiati tidak ciut nyali. Ia tetap saja berangkat mengadu nasib di Tanah Arab.

Seperti berjudi dengan nasib, di benak Sumiati dan kawan-kawan, berangkat menjadi TKW ke negeri Arab Saudi atau negara-negara Timur Tengah lainnya lebih memberikan harapan daripada ongkang-ongkang kaki atau menjadi buruh tani di kampung. Mereka berharap mendapat majikan yang baik hati, itu sudah cukup. Bekerja selama 2-3 tahun di sana, kumpul modal, nanti pulang kampung buka usaha atau membeli sawah.

Tetap terbanglah Sumiati dari Dompu (NTB) ke Arab Saudi demi gemerincing dinar dan riyal pada pertengahan tahun 2010. Maka, mulai Juli 2010, Sumiati bekerja sebagai penata-laksana rumah tangga pada sebuah keluarga di Madinah. Tak mudah memang bekerja sebagai penatalaksana rumah tangga di tengah-tengah keluarga dengan kultur yang amat berbeda dibandingkan keluarga-keluarga Indonesia. Spontanitas keluarga majikan terkadang sulit ditangkap oleh Sumiati. Seperti kebanyakan pekerja penatalaksana rumah tangga di Indonesia, ia kerapkali hanya menunggu perintah kerja majikan. Kurang berani berinisiatif membereskan apa yang menjadi kewajiban pekerjaannya.

Entah karena faktor ketiadaan inisiatif kerja atau ada faktor-faktor lain, rupanya mimpi Sumiati memperoleh majikan yang baik hati tak terkabul. Ia acapkali dipukuli oleh anak majikan dan majikan perempuan bilamana terjadi hal yang kurang berkenan di hati. Ujung-ujungnya, pada awal November 2010, Sumiati harus dirawat di RS King Fahd, Madinah, lantaran luka-lukanya yang teramat serius. Bibirnya menganga dan mukanya lebam-lebam penuh luka.

Kalau kita tak dapat berharap banyak pada perlindungan keselamatan kepada pemerintah di negeri orang, lalu apa yang bisa kita harapkan dari pemerintah kita menanggapi tragedi yang menimpa Sumiati? Pemerintah RI menugaskan tiga menteri (Menteri Luar Negeri, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan) untuk menyelesaikan kasus Sumiati dan TKW/TKI pada umumnya. Tapi, sejauh ini hasil kongkrit penyelesaian kasus yang duka-derita TKW tak kunjung jelas. Yang hanya seputar komentar-komentar yang sepertinya jauh dari penyelesaian yang elegan. Misalnya membekali TKW dengan ponsel dan menyetop pengiriman TKW ke Timur Tengah. Penyelesaian ini tentu tidak akan menaikkan posisi tawar TKW/TKI kita di negeri-negeri kaya minyak itu.

Kita jadi teringat sejarah Kerajaan Singosari yang hidup sekitar tahun 1200-an Masehi. Suatu waktu Kaisar Mongol Khubilai Khan mengirimkan seorang utusan Meng Chi ke Kerajaan Singosari. Raja Singosari Kertanegara langsung menanggapi utusan Kaisar Khubilai Khan dengan memotong telinga Meng Chi. Melihat Meng Chi pulang tanpa telinga, sontak Kaisar Khubilai Khan naik pitam. Dia langsung mengirimkan 1.000 kapal berkekuatan 20.000 prajurit untuk menggempur Singosari. Kata orang Yogya, begitulah keseriusan seorang raja ketika rakyatnya disakiti.

Bukannya kita mau menyelesaikan kasus Sumiati dengan mengirimkan pasukan tempur ke Arab Saudi, tapi kita mesti bercermin pada keseriusan Kaisar Khubilai Khan. Bukan hanya menteri yang turun tangan menyelesaikan namun Presiden semestinya langsung berkomunikasi dengan pucuk pemerintahan negara-negara di Timur Tengah. Dengan begitu terlihat keseriusan dan posisi tawar yang kuat sebagaimana pernah ditunjukkan oleh Presiden Suharto semasa Menaker Sudomo saat menanggapi ancaman negeri jiran Malaysia yang akan memulangkan para TKI. ***

No comments:

Post a Comment