Monday, January 7, 2013

TKI Perlu Dapat Jamsos


Berulang kali kita dengar kisah tragis TKI mulai dari disiksa, diperlakukan tidak manusiawi dan terancam hukuman mati. Sayangnya, peran pemerintah dalam mencegah dan menangani berbagai kasus yang dialami TKI tak maksimal, sehingga tak sedikit TKI yang harus meregang nyawa.

Kisah serupa dialami TKI yang bekerja di Arab Saudi, Satinah. Menurut Migrant Care, pemerintah lamban dalam merespon kasus TKI yang terancam hukuman mati. Akibatnya, pemerintah wajib membayar uang tebusan (Diyat) sekitar Rp25 miliar untuk TKI yang bersangkutan agar bebas dari hukuman mati.

Ironisnya, pemerintah dianggap tidak siap memenuhi hal itu.Ujungnya, sampai saat ini Satinah belum bebas dari bayang-bayang hukuman pancung. Sepanjang tahun 2012, Migrant Care mencatat terdapat 400 TKI terancam hukuman mati. Hal itu dikarenakan minimnya bantuan dari pemerintah. Para TKI terpaksa patungan untuk menyewa pengacara. Menurut Staf Analis Kebijakan Migrant Care, Wahyu Susilo, salah satu penyebab tak maksimalnya perlindungan TKI adalah diserahkannya perlindungan itu kepada asuransi swasta.

Wahyu mengatakan, selama ini TKI kesulitan untuk mendapatkan klaim asuransi karena tak sedikit persyaratan yang harus dipenuhi oleh TKI ketika ingin mengajukan klaim. Padahal, TKI menghadapi masalah yang tidak memungkinkan bagi si TKI untuk memenuhi persyaratan atau dokumen yang dibutuhkan.

“Misalnya dibutuhkan paspor, namun paspor TKI itu dirampas,” .
Wahyu menekankan mestinya proses verifikasi itu tidak rumit dan mampu memahami kondisi TKI yang bermasalah. Parahnya lagi sekali pun klaim itu dapat terealisasi, hanya menanggung 10 persen dari biaya total yang dibutuhkan TKI. Padahal, TKI itu sudah memenuhi kewajibannya sebagai peserta asuransi yaitu membayar premi.
Bukan hanya itu, Wahyu menyebut tidak semua masalah yang dihadapi TKI dapat ditanggung oleh asuransi, sepertiDiyat dan kasus pemerkosaan. Padahal, TKI banyak terjebak kasus tersebut. Oleh karena itu Wahyu berharap agar dibentuk suatu mekanisme asuransi yang mengutamakan perlindungan terhadap TKI.

Lagi-lagi Wahyu melihat hal itu tidak dapat diserahkan dan dilakukan oleh sektor swasta. Dia berharap Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dapat menjawab persoalan asuransi yang dihadapi TKI. "Setiap masalah TKI harus di-cover (ditanggung BPJS,-red) tanpa melewati proses yang birokratis," kata Wahyu kepada hukumonline di Jakarta.

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menyebut TKI harus dimasukan menjadi peserta BPJS. Baik itu BPJS Kesehatan yang berlaku pada 2014 nanti dan BPJS Ketenagakerjaan yang mulai dilaksanakan 2015. Dalam mekanisme BPJS, Timboel melihat posisi TKI sama seperti pekerja sektor swasta. Oleh karenanya, iuran TKI wajib dibayar oleh perusahaan yang mengirim TKI (PJTKI).
Untuk mempermudah akses TKI atas BPJS, lanjut Timboel,BPJS harus menjalin kerjasama dengan rumah sakit di kantong TKI di negara lain. Soal perlindungan terhadap TKI, Timboel menegaskan BPJS wajib menanggung persoalan yang kerap dihadapi TKI seperti pemerkosaan, upah tak dibayar dan membayar Diyat.

Atas dasar itu, Timboel menilai pemerintah akan diringankan bebannya dalam rangka melindungi TKI karena sebagian hal sudah ditanggung BPJS. Hal ini mengingat proses pembayaran iuran dalam BPJS dirancang untuk dibayar tiap bulan. Khusus untuk TKI, Timboel mengatakan pembayarannya dapat dilakukan satu kali, yakni ketika TKI akan diberangkatkan.

Dia juga menyarankan, besaran iuran disesuaikan dengan kontrak kerja si TKI, sehingga selama penempatan sampai kembali ke Indonesia, si TKI dilindungi BPJS. "TKI juga berhak mendapat Jamsos," kataTimboel.

Menanggapi hal itu, Dirjen Binapenta Kementerian Tenaga Kerja Dan Transmigrasi (Kemenakertrans), Reyna Usman, menyebut usulan untuk memasukan TKI dalam BPJS cukup baik. Namun, dia mengingatkan, perlu dikaji kembali bagaimana implementasinya nanti ketika BPJS beroperasi. Pasalnya, mengacu asuransi TKI yang ada selama ini, mayoritas perusahaan asuransi yang menyelenggarakan asuransi TKI belum punya perwakilan atau kerjasama dengan lembaga terkait di negara penempatan TKI.

Minimnya perwakilan atau kerjasama yang dibangun di negara tempat TKI bekerja akan mempersulit TKI untuk mendapat pelayanan asuransi tersebut. Namun, jika penyelenggara BPJS nanti sanggup untuk melakukannya, Reyna menilai hal itu sangat baik untuk melindungi TKI. Baik program Jamkes ataupun Jamsos BPJS. Berdasarkan pantauannya, masa penempatan tergolong kondisi rawan bagi TKI.

Belum lagi persoalan hukum yang berlaku di negara tujuan TKI, apakah membolehkan kerjasama atau tidak. Pasalnya, sambung Reyna, lembaga asuransi tak ubahnya lembaga keuangan.Hanya skemanya saja yang berbeda, di mana asuransi adalah lembaga khusus yang memberi layanan asuransi. Sejalan dengan itu, sampai saat ini Reyna melihat belum ada perwakilan bank nasional yang ada di negara penempatan TKI karena punya keterbatasan. Mengacu hal itu, ia beranggapan hal serupa akan dihadapi oleh BPJS dalam upaya pertanggungan TKI.

Reyna menambahkan, dalam BPJS peserta harus membayar iuran. Oleh karenanya, jika TKI diikutsertakan dalam BPJSmakaTKI wajib membayar iuran. Mengingat adanya Penerima Bantuan Iuran (PBI), Reyna mengatakan perlu dicermati apakah TKI masuk dalam kategori PBI. Soalnya, PBI menjadi tanggungan pemerintah dan alokasi dananya diambil dari APBN.

Jika masuk kategori PBI, hal lain yang perlu diperhatikan menurut Reyna adalah kesanggupan keuangan pemerintah.Soalnya,jumlah TKI yang tersebar di berbagai negara jumlahnya tak sedikit. “Ada sekitar enam juta TKI,” ujarnya. (hukumonline.com) 

No comments:

Post a Comment