Berulang kali kita dengar kisah tragis TKI mulai dari disiksa,
diperlakukan tidak manusiawi dan terancam hukuman mati. Sayangnya, peran
pemerintah dalam mencegah dan menangani berbagai kasus yang dialami TKI tak
maksimal, sehingga tak sedikit TKI yang harus meregang nyawa.
Kisah serupa dialami TKI yang bekerja di Arab Saudi, Satinah.
Menurut Migrant Care, pemerintah lamban dalam merespon kasus TKI yang terancam
hukuman mati. Akibatnya, pemerintah wajib membayar uang tebusan (Diyat) sekitar
Rp25 miliar untuk TKI yang bersangkutan agar bebas dari hukuman mati.
Ironisnya, pemerintah dianggap tidak siap memenuhi hal
itu.Ujungnya, sampai saat ini Satinah belum bebas dari bayang-bayang hukuman
pancung. Sepanjang tahun 2012, Migrant Care mencatat terdapat 400 TKI terancam
hukuman mati. Hal itu dikarenakan minimnya bantuan dari pemerintah. Para TKI
terpaksa patungan untuk menyewa pengacara. Menurut Staf Analis Kebijakan
Migrant Care, Wahyu Susilo, salah satu penyebab tak maksimalnya perlindungan
TKI adalah diserahkannya perlindungan itu kepada asuransi swasta.
Wahyu mengatakan, selama ini TKI kesulitan untuk mendapatkan
klaim asuransi karena tak sedikit persyaratan yang harus dipenuhi oleh TKI
ketika ingin mengajukan klaim. Padahal, TKI menghadapi masalah yang tidak memungkinkan
bagi si TKI untuk memenuhi persyaratan atau dokumen yang dibutuhkan.
“Misalnya dibutuhkan paspor, namun paspor TKI itu dirampas,” .
Wahyu menekankan mestinya proses verifikasi itu tidak rumit dan
mampu memahami kondisi TKI yang bermasalah. Parahnya lagi sekali pun klaim itu
dapat terealisasi, hanya menanggung 10 persen dari biaya total yang dibutuhkan
TKI. Padahal, TKI itu sudah memenuhi kewajibannya sebagai peserta asuransi
yaitu membayar premi.
Bukan hanya itu, Wahyu menyebut tidak semua masalah yang
dihadapi TKI dapat ditanggung oleh asuransi, sepertiDiyat dan kasus
pemerkosaan. Padahal, TKI banyak terjebak kasus tersebut. Oleh karena itu Wahyu
berharap agar dibentuk suatu mekanisme asuransi yang mengutamakan perlindungan
terhadap TKI.
Lagi-lagi Wahyu melihat hal itu tidak dapat diserahkan dan
dilakukan oleh sektor swasta. Dia berharap Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) dapat menjawab persoalan asuransi yang dihadapi TKI. "Setiap
masalah TKI harus di-cover (ditanggung BPJS,-red) tanpa melewati proses yang
birokratis," kata Wahyu kepada hukumonline di Jakarta.
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menyebut TKI
harus dimasukan menjadi peserta BPJS. Baik itu BPJS Kesehatan yang berlaku pada
2014 nanti dan BPJS Ketenagakerjaan yang mulai dilaksanakan 2015. Dalam
mekanisme BPJS, Timboel melihat posisi TKI sama seperti pekerja sektor swasta.
Oleh karenanya, iuran TKI wajib dibayar oleh perusahaan yang mengirim TKI
(PJTKI).
Untuk mempermudah akses TKI atas BPJS, lanjut Timboel,BPJS harus
menjalin kerjasama dengan rumah sakit di kantong TKI di negara lain. Soal
perlindungan terhadap TKI, Timboel menegaskan BPJS wajib menanggung persoalan
yang kerap dihadapi TKI seperti pemerkosaan, upah tak dibayar dan membayar
Diyat.
Atas dasar itu, Timboel menilai pemerintah akan diringankan
bebannya dalam rangka melindungi TKI karena sebagian hal sudah ditanggung BPJS.
Hal ini mengingat proses pembayaran iuran dalam BPJS dirancang untuk dibayar
tiap bulan. Khusus untuk TKI, Timboel mengatakan pembayarannya dapat dilakukan
satu kali, yakni ketika TKI akan diberangkatkan.
Dia juga menyarankan, besaran iuran disesuaikan dengan kontrak
kerja si TKI, sehingga selama penempatan sampai kembali ke Indonesia, si TKI
dilindungi BPJS. "TKI juga berhak mendapat Jamsos," kataTimboel.
Menanggapi hal itu, Dirjen Binapenta Kementerian Tenaga Kerja
Dan Transmigrasi (Kemenakertrans), Reyna Usman, menyebut usulan untuk memasukan
TKI dalam BPJS cukup baik. Namun, dia mengingatkan, perlu dikaji kembali
bagaimana implementasinya nanti ketika BPJS beroperasi. Pasalnya, mengacu
asuransi TKI yang ada selama ini, mayoritas perusahaan asuransi yang
menyelenggarakan asuransi TKI belum punya perwakilan atau kerjasama dengan
lembaga terkait di negara penempatan TKI.
Minimnya perwakilan atau kerjasama yang dibangun di negara
tempat TKI bekerja akan mempersulit TKI untuk mendapat pelayanan asuransi
tersebut. Namun, jika penyelenggara BPJS nanti sanggup untuk melakukannya,
Reyna menilai hal itu sangat baik untuk melindungi TKI. Baik program Jamkes
ataupun Jamsos BPJS. Berdasarkan pantauannya, masa penempatan tergolong kondisi
rawan bagi TKI.
Belum lagi persoalan hukum yang berlaku di negara tujuan TKI,
apakah membolehkan kerjasama atau tidak. Pasalnya, sambung Reyna, lembaga
asuransi tak ubahnya lembaga keuangan.Hanya skemanya saja yang berbeda, di mana
asuransi adalah lembaga khusus yang memberi layanan asuransi. Sejalan dengan
itu, sampai saat ini Reyna melihat belum ada perwakilan bank nasional yang ada
di negara penempatan TKI karena punya keterbatasan. Mengacu hal itu, ia
beranggapan hal serupa akan dihadapi oleh BPJS dalam upaya pertanggungan TKI.
Reyna menambahkan, dalam BPJS peserta harus membayar iuran. Oleh
karenanya, jika TKI diikutsertakan dalam BPJSmakaTKI wajib membayar iuran.
Mengingat adanya Penerima Bantuan Iuran (PBI), Reyna mengatakan perlu dicermati
apakah TKI masuk dalam kategori PBI. Soalnya, PBI menjadi tanggungan pemerintah
dan alokasi dananya diambil dari APBN.
Jika masuk kategori PBI, hal lain yang perlu diperhatikan
menurut Reyna adalah kesanggupan keuangan pemerintah.Soalnya,jumlah TKI yang
tersebar di berbagai negara jumlahnya tak sedikit. “Ada sekitar enam juta TKI,”
ujarnya. (hukumonline.com)
No comments:
Post a Comment