“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang
yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, dan wanita dengan wanita ...”
(QS Al Baqarah ayat 178)
Jakarta,
akhir Agustus 2012. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Afriyani Susanti (29), terdakwa dalam perkara
kecelakaan lalu-lintas yang menewaskan 9 orang di halte Tugu Tani, Gambir, dengan
hukuman 15 tahun penjara. Vonis yang diterima perempuan 29 tahun pengendara Xenia pada Tragedi 22 Januari 2012 itu
jauh lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa (20 tahun penjara). Sebandingkah
vonis itu dengan perbuatannya yang (tidak sengaja) menyebabkan 9 orang
kehilangan nyawa? Yang jelas keluarga korban kecewa dan mengamuk usai palu
vonis diketuk.
Barangkali hakim mempertimbangkan menjatuhkan vonis yang relatif
ringan itu karena Afriyani sempat mengajukan permintaan maaf kepada para
keluarga korban. Kasus ini berbeda dengan tragedi Turmudi yang menghabisi empat
nyawa satu keluarga di Desa Sungai Itik, Kecamatan Sada, Kabupaten Tanjung
Jabung Timur, Provinsi Jambi, pada Maret 1997. Alasan Turmudi membunuh karena
merasa dikhianati oleh pacarnya yang diduga menjalin hubungan asmara dengan
pemuda lain.
Merasa diduakan, Turmudi kalap. Berbekal sebilah parang, bekas
nakhoda kapal kayu ini pertama-tama membantai kakak kandung pacarnya, lalu ibu
kandung pacarnya, pacarnya (Suwarni), dan terakhir keponakan si pacar yang
kebetulan menyaksikan peristiwa tragis di dinihari itu. Empat anak manusia itu
dibunuh saat mereka tertidur lelap. Tentu tak ada perlawanan sama sekali. Dari
sudut pandang apapun, perbuatan Turmudi jelas tidak dapat ditolerir. Dari sudut
agama, jelas, perbuatan itu termasuk dosa besar. Dalam pandangan penghargaan
hak asasi manusia, tentu, sangat-sangat keras sebagai sebuah pelanggaran. Sebab
itu, setelah melewati persidangan yang panjang, pada 21 Oktober 1997, Turmudi
divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri KualaTungkal. Vonis ini lebih berat
daripada tuntutan jaksa (20 tahun penjara).
Setelah delapan tahun mendekam di penjara, pertengahan Mei 2005,
Turmudi dieksekusi oleh regu tembak dari Polda Jambi. Dalam rentang tempo yang
relatif panjang menanti eksekusi, dia sempat mengajukan pengampunan (grasi) ke
Presiden namun ditolak. Dalam penantian itu pula, kurang terekam apakah Turmudi
sempat mengajukan permohonan maaf kepada keluarga atau ahli waris pacarnya. Entah.
Yang pasti dia sudah menebus empat nyawa dengan satu-satunya nyawa yang
dimilikinya.
***
HUKUMAN mati,
sepanjang sejarang penegakan keadilan, senantiasa mengundang polemik: pro dan
kontra. Tanggapan kontra terutama datang dari kalangan aktivis HAM. Mereka
berpendapat bahwa hukuman mati sudah tidak layak lagi diterapkan. Negara-negara
maju, sebagaimana negara Barat yang kapitalis, mengaku telah menghapuskan
hukuman mati dari kosa hukuman dalam rumusan berbagai undang-undang. Alasan
penolakan hukuman mati, seperti diungkapkan oleh Richard Quinney dalam bukunya Criminology (1979: 178-179), karena
antara lain angka kasus pembunuhan tidak menunjukkan penurunan berarti kendati
hukuman mati diberlakukan, angka pembunuhan tidak lebih tinggi antara negara
yang menghapuskan dan negara yang memiliki pasal hukuman mati.
Sampai sekarang, penerapan hukuman mati tetap saja menjadi
polemik. Hampir tidak ada satu pun negara di dunia secara terang-terangan menolak
menerapkan hukuman mati. Negara kapitalis semacam Amerika Serikat tetap tidak
mampu menghapuskan sama sekali penerapan hukuman mati. Beberapa negara bagian
masih menerapkan undang-undang yang memiliki pasal hukuman mati.
Sejauh ini, boleh dikatakan, belum ada satu penelitian sahih
yang mengaitkan faktor penerapan hukuman mati dengan penurunan angka kasus
pembunuhan atau jenis perilaku kriminal lainnya. Haruslah diakui bahwa sebab-akibat
kejahatan tidak berupa hubungan satu sebab satu akibat. Ada cukup banyak faktor
pengaruh dan terpengaruh.
Kasus Turmudi jelas berbeda dengan kasus Afriyani Susanti. Satu
hal menarik, membandingkan kedua kasus ini. Pada kasus Turmudi, sejauh ini,
tidak terekam adanya satu proses permintaan maaf Turmudi kepada ahli waris
pacarnya. Maka, tidak ada faktor yang meyakinkan hakim untuk menjatuhkan vonis
lebih ringan daripada hukuman mati.
Pada kasus Afriyani (sebagai kasus pembunuhan secara tidak sengaja),
terekam cukup gamblang bagaimana Afriyani berusaha meminta maaf kepada ahli
waris keluarga korban. Hasilnya memang kurang menggembirakan. Beberapa keluarga
korban belum bisa menerima permintaan maaf Afriyani Susanti. Terlepas dari
hasil tersebut, hakim telah melihat ada niat dari Afriyani untuk meminta maaf
sehingga hukuman bisa lebih ringan.
Afriyani terhindar dari hukuman mati. Al Quran Surat Al Baqarah
ayat 178 menyebut, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan ata kamu qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka,
dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu permaafan dari
saudaranya hendaklah mengikuti cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula...”
Qishaash mengandung arti mengambil pembalasan yang sama
(setimpal). Qishaash tidak dilakukan bilamana pihak yang membunuh memperoleh
kemaafan dari ahli waris yang terbunuh, yaitu dengan membayar diat (ganti rugi)
yang wajar. Pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak
mendesak pihak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan
baik, misalkan tidak menanggung-nangguhkannya. Diat adalah pembayaran sejumlah
harta karena sesuatu tindak pidana terhadap jiwa atau anggota badan.
Sepintas, tampak demikian gampang seorang pelaku pembunuhan
menghindar dari qishaash. Tidaklah semudah yang diperkirakan. Faktor
kesengajaan dan siapa yang menjadi korban pembunuhan merupakan hal-hal yang
benar-benar mesti dipertimbangkan dan dijadikan acuan. Bilamana korban
pembunuhan seorang muknim dan dilakukan secara tidak sengaja maka si pelaku
harus membayar diat dan membebaskan hamba sahaya yang beriman. Soal tidak
sengaja dapat dicontohkan seseorang menembak burung namun peluru nyasar lalu
terkena seorang mukmin. Di zaman di mana perbudakan terbungkus rapi nan
sempurna, menurut sebagian ahli tafsir, puasa selama dua bulan berturut-turut
adalah sebagai ganti rugi dari pembayaran diat dan membebaskan hamba sahaya.
Lalu, bagaimana jika seseorang terlibat pembunuhan secara
sengaja atau direncanakan? Al Quran Surat An Nisaa’ ayat 93 secara tegas
menyebutkan bahwa barangsiapa yang membunuh seorang (mukmin) secara sengaja,
maka balasannya ialah Jahannam, ia kekal di dalamnya. Dalam konteks yang lebih
membumi, Al Quran Surat Al Israa’ ayat 33 menerangkan, “Dan janganlah kamu
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu
alasan yang jelas. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami
telah memberi kekuasaan kepada ahli-warisnya...”
Sebagai catatan kaki, membunuh jiwa yang dibenarkan oleh syara’
antara lain qishaash, membunuh orang murtad, dan rajam. Lantas, soal kekuasaan
di sini adalah hal ahli waris yang terbunuh atau penguasa untuk menuntut
qishaash atau menerima diat.
***
TAMPAK jelas
bahwa penerapan hukuman pidana Islam tidak seseram yang dibayangkan oleh banyak
kalangan atau digembar-gemborkan kalangan Barat yang anti-Islam. Proses yang
mesti ditempuh pun relatif sederhana. Tak perlu mengajukan grasi ke presiden
yang jelas-jelas memakan waktu panjang dan melelahkan karena melewati birokrasi
yang berbelit.
Sebab itu tidaklah beralasan menghapuskan aturan hukuman mati
dari perundang-undangan yang ada. Pasal hukuman mati sampai sekrangan masih
mendapat tempat di UU Narkotika, UU Antikorupsi dan revisi Kitab Undang-undang
Hukum Pidana. Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana proses eksekusi dan
impelentasi hukuman mati agar tidak bertele-tele dan mengundang
ketidak-pastian.
Jelas sangat menarik menempatkan ancaman hukuman mati terhadap para pedagang narkoba dan koruptor. Mereka telah membunuh (dalam arti seluas-luasnya) jiwa-jiwa yang tak berdosa. Jika sudah demikian maka apakah hukuman mati merupakan sebentuk kekejaman dan pelanggaran berat HAM? Hukuman mati, tentu, merupakan pembalasan yang setimpal. Relatif memang. Wallahu’alam bilsawab. ***
No comments:
Post a Comment