Wednesday, January 9, 2013

SISTEM DAN MANAJEMEN YANG BURUK






Life should be understood backward,
but it should be lived forward.
Kita harus belajar dari masa lalu
guna membangun masa depan yang lebih baik.

Roeslan Abdulgani
(Tokoh Nasional)


Memasuki dekade 1970-an, kendati sempat ditopang oleh booming minyak, saya melihat, perekonomian Indonesia boleh dikatakan belum stabil. Masih morat-marit, pengangguran dan kemiskinan terus meningkat dari waktu ke waktu. Dalam kondisi seperti itu, kemudian, banyak warga masyarakat kita lantas bermigrasi ke luar negeri, terutama ke Timur Tengah dan terkhusus lagi Arab Saudi. Secara diam-diam mereka berangkat ke negeri impian dengan bantuan mediator sanak-saudara atau para kolega yang telah terlebih dulu merantau ke negeri kaya minyak itu. Tujuan mereka hanya satu, memperoleh pekerjaan guna menafkahi anak-isteri dan keluarga. Secara kebetulan, pembangunan di Arab Saudi dan Timur Tengah umumnya ketika itu tengah menggeliat berkat booming minyak. Mengingat peluang kerja yang terbuka lebar, maka berangkatlah ramai-ramai para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Arab Saudi dan beberapa negara Timur Tengah lainnya.

Mengingat permintaan TKI di luar negeri semakin bertambah, sejumlah orang yang memiliki naluri bisnis tinggi mulai mendirikan usaha jasa penempatan TKI. Kemudian pada akhir 1970-an, muncul nama-nama seperti Saleh Alwaini, M.F. Ubaidi, Abdul Malik M. Aliun, Abubakar Aldjufri dan Saleh Abud Aldjaidi. Mereka mendirikan Perusahaan Pengerah TKI (PPTKI). Waktu itu, sebagian besar TKI yang dikirim ke Timur Tengah bekerja di sektor informal seperti Pembantu Rumah Tangga (PRT) dan sopir. Saat itu, pengiriman TKI ditangani oleh Departemen Perdagangan, tepatnya oleh Tim Koordinasi Kegiatan Ekspor Timur Tengah (TK2ETT) yang dibantu oleh Tim Pengembangan Ekspor Non-Migas (TPENM) atau lembaga swasta mitra Departemen Perdagangan.

TPENM diketuai oleh Zainal Jasni, seorang pejabat Departemen Perdagangan, yang dibantu oleh para pengusaha seperti Saleh Abud Aldjaidi dan Eddy Kowara. Bahkan Eddy Kowara kemudian diberi amanah sebagai Ketua Kadin (Kamar Dagang dan Industri) Indonesia Urusan Timur Tengah. TPENM cukup giat mempromosikan dan mengekspor produk-produk made in Indonesia ke Timur Tengah yang sebelumnya dilakukan melalui “Negara Ketiga” semisal Singapura dan Hongkong. Para pengusaha dari Timur Tengah pun didatangkan ke Tanah Air dan diajak melihat beragam produk Indonesia yang unik dan bermutu tinggi. TPENM gigih pula memperkenalkan destinasi wisata dalam negeri kepada warga negara Timur Tengah. Walhasil, tahun demi tahun semakin banyak turis dari Timur Tengah yang berkunjung ke Indonesia.

Berkat kerja keras dan kegigihannya, pada tahun 1981 Eddy Kowara memperoleh kepercayaan untuk membangun instalasi telekomunikasi dan kompleks Akademi Militer Kerajaan Arab Saudi. Itulah kali pertama orang Indonesia mendapatkan pekerjaan besar di luar negeri, dan membutuhkan banyak tenaga kerja yang mesti didatangkan dari dalam negeri. Sebab itu, dalam rangka melaksanakan pekerjaan besar itu lantas dibentuk konsorsium yang terdiri dari beberapa perusahaan nasional. Hanya, lantaran pengalaman yang minim dalam menggarap pekerjaan besar di luar negeri, walau pekerjaan berhasil dirampungkan dengan baik namun Eddy Kowara menderita kerugian yang cukup besar.

Kendati merugi, Eddy Kowara dinilai cukup berjasa dalam membuka peluang usaha dan kesempatan kerja di Arab Saudi. Dan, kesempatan itu tidak disia-siakan oleh para pengelola perusahaan pengerah TKI untuk lebih giat mencari peluang kerja bagi TKI, baik untuk TKI formal maupun TKI informal. Kebetulan, seiring dengan pesatnya pembangunan, Arab Saudi memang membutuhkan banyak pekerja asal Indonesia. Bahkan, keluarga-keluarga kaya di Arab Saudi memohon kepada Indonesia untuk mengirimkan Tenaga Kerja Wanita (TKW) untuk bekerja di rumah mereka. Begitulah, asal-muasal TKW bekerja di Arab Saudi, terutama adalah karena permintaan keluarga-keluarga kaya dan pembesar (pejabat tinggi) negara di sana.

Sejak dekade 1980-an itu pula, pengiriman dan penempatan TKI terus meningkat, sampai kini. Permintaan bukan cuma datang dari Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah pada umumnya, tapi juga dari berbagai negara di seluruh dunia. Kini, jumlah TKI yang bekerja di luar negeri mencapai sekitar enam juta orang. Di Malaysia sekitar 2,2 juta orang, Arab Saudi 1,5 juta orang, dan sisanya tersebar di negara Timur Tengah lainnya, Asia-Pasifik dan lain-lain. Dengan angka yang cukup besar itu, apakah peluang kerja di luar negeri telah tertutup? Jawabnya, tidak. Peluang kerja masih terbuka lebar. Permintaan terhadap TKI oleh negara-negara maju seperti Malaysia, Singapura, Taiwan, Korea Selatan, Jepang dan Hongkong (kawasan Asia-Pasifik) serta Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Yordania (Timur Tengah) masih sangat besar.

Sekadar gambaran, Taiwan misalkan. Buat menggulirkan roda industri dan perekonomiannya, negeri berpenduduk sekitar 23 juta jiwa itu sangat membutuhkan tenaga kerja asing, termasuk tenaga kerja dari Indonesia. Pun begitu, para wanita di negara maju umumnya berpendidikan tinggi dan lebih suka bekerja di perkantoran dan industri, ketimbang mengurus rumah tangga (domestic helper). Arti kata, peluang kerja menjadi TKW di negara-negara maju tadi masih tetap terbuka lebar.

Menjadi TKI dan atau TKW jelas bukan pekerjaan yang hina. Tentu, menjadi TKI dan atau TKW lebih mulia daripada berpangku-tangan di kampung halaman nyaris tanpa harapan. Bahkan, mengadu untung di negeri orang dengan menjadi TKI dan bisnis jasa penempatan TKI telah terbukti mampu mengatasi krisis tenaga kerja di Tanah Air. Sub-sektor TKI juga mampu menjadi ‘dewa’ penyelamat kehidupan bangsa Indonesia dari keruntuhan akibat krisis ekonomi (1997-1998), menjadi salah satu penopang perekonomian keluarga dan pedesaan, hingga urat nadi perekonomian nasional. Dan, kini, ketika dunia sedang tersungkur oleh hantaman badai krisis ekonomi global, bisnis jasa TKI tak terlalu banyak terpengaruh. Kontribusi ekonomis para TKI dan bisnis jasa TKI bagi masyarakat, bangsa dan negara tidak berkurang. Justru, boleh dikatakan, terus bertambah. Pada tahun 2003 para TKI telah menyumbang devisa senilai US$1,67 miliar, meningkat menjadi US$1,88 miliar (2004), US$2,93 miliar (2005), US$2,45 miliar (2006), dan naik lagi menjadi US$5,84 miliar (2007). Tahun 2008 naik lagi ke angka US$8,24 miliar dan US$20,75 miliar (Rp186 triliun) pada tahun 2009. (Kompas, 15 Juni 2009)

Ironisnya, kendati memberikan sumbangsih yang cukup berarti bagi keluarga dan bangsa, nasib para TKI belum menampakkan tanda-tanda perbaikan derajat dan martabat di mata masyarakat. Kita masih acap mendengar TKW mati bunuh diri terjun dari apartemen majikannya di Singapura, TKW hamil tanpa ketahuan lagi siapa bapaknya si calon jabang bayi di Tanah Arab, dan TKW menjadi korban pemerasan ketika hendak pulang ke kampung halaman setelah berada di Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng. Masih banyak pula kita saksikan kisah-kisah calon TKI/TKW jadi korban penipuan calo perekrutan, calon TKI dari Indramayu (sudah keluar jutaan rupiah) urung diberangkatkan ke Selandia Baru karena salah informasi seputar kebutuhan tenaga kerja di Negeri Kiwi (Oktober 2009), dan puluhan TKI asal Cilacap (telah membayar Rp19,5 juta per orang) gagal berangkat bekerja di Amerika Serikat gara-gara bos perusahaan yang hendak memberangkatkan mereka raib tak jelas di mana rimbanya (September 2009).

Nestapa yang terus menghantui para TKI –mulai dari saat perekrutan, pra-penempatan, penempatan sampai purna-penempatan—tak terlepas dari sistem dan manajemen pengelolaan TKI yang amburadul. Saya mengamati bahwa sejak awal memang manajemen TKI tidak dikelola secara baik. Pengiriman TKI misalkan, hanya dilakukan atas dasar permintaan kalangan tertentu yang diinformasikan dari mulut ke mulut atau dari kerabat ke kerabat. Tak ada sistem informasi yang jelas yang dapat dijadikan panduan. Pengelolaan tenaga kerja yang boleh dikatakan tidak mengindahkan kaidah-kaidah manajemen sumber daya manusia (SDM). Secara sederhana manajemen sumber daya manusia dapat dipahami sebagai suatu proses menangani berbagai masalah pada ruang lingkup karyawan, pegawai, buruh, manajer dan tenaga kerja lainnya untuk dapat menunjang aktivitas organisasi atau perusahaan demi mencapai tujuan yang telah ditentukan. Mengutip pendapat ahli manajemen James A.F. Stoner, manajemen sumber daya manusia adalah suatu prosedur yang berkelanjutan yang bertujuan untuk memasok suatu organisasi atau perusahaan dengan orang-orang yang tepat untuk ditempatkan pada posisi dan jabatan yang tepat pada saat organisasi memerlukannya.    

Senada dengan manajemen SDM pada umumnya, demikian pula manajemen pengelolaan TKI atau TKW yang akan dikirimkan ke luar negeri. Intinya, manajemen pengelolaan TKI/TKW meliputi tiga tahapan, masing-masing pra-penempatan, penempatan, dan purna-penempatan (pemulangan). Pra-penempatan masih terbagi lagi mulai dari rekrutmen, pemenuhan pelengkapan dokumen, pelatihan/pendidikan, pemeriksaan kesehatan, masa tunggu di penampungan, perjanjian kerja, sampai keberangkatan. Kemudian masa penempatan: melaporkan ke Perwakilan Republik Indonesia di Negara tujuan dan menempatkan si calon TKI sesuai dengan pekerjaan sebagaimana perjanjian kerja yang disepakati dan ditandatangani oleh TKI. Dan masa purna-penempatan yang meliputi kepulangan karena insiden, kepulangan biasa yang mesti melapor ke Perwakilan Republik Indonesia di Negara yang ditempati, dan tanggung jawab mengantar sampai kampung halaman asal si TKI/TKW.   

Manajemen pengelolaan TKI boleh dikatakan masih dirundung banyak persoalan. Saya melihat sebagian besar persoalan (sekitar 80 persen) ada di dalam negeri. Mulai dari perekrutan, pelatihan, kesehatan hingga pemberangkatan dan pemulangan. Masalah yang muncul di luar negeri tak lain merupakan akibat tidak berjalannya sistem di dalam negeri. Celakanya, hampir tidak ada rasa penyelesalan atau merasa berdosa dari para pengambil kebijakan terkait manajemen pengelolaan TKI itu. Padahal, anak bangsa yang telah berkorban meninggalkan keluarganya di Tanah Air menjadi korban di tempat kerjanya di luar negeri. Buktinya, kini rata-rata tiga orang TKI dipulangkan gara-gara depresi dan teraniaya, ratusan TKW bermasalah berada di penampungan Kedutaan Besar RI di Arab Saudi, Kuwait dan Yordania. Hal sama terjadi di  Malaysia. Jika TKI yang ditempatkan itu memiliki keterampilan sesuai standar, termasuk  persiapan mentalnya, maka tidak akan muncul permasalahan di tempat kerjanya. 

Mari kita lihat karut-marut pengelolaan TKI itu mulai dari proses rekrutmen. Rekrutmen baru dapat dimulai bilamana ada permintaan perorangan ataupun kelembagaan di luar negeri yang membutuhkan tenaga kerja asal Indonesia. Semata-mata contoh, sebuah keluarga kaya di Arab Saudi memesan tenaga kerja penata-laksana rumah tangga (atau yang akrab disebut PRT) yang mampu memasak dan sopir yang familiar dengan mobil-mobil pabrikan Eropa. Untuk mendapatkan tenaga kerja dengan kualifikasi semacam itu tentu tidak bisa dilakukan asal comot tanpa kita tahu hitam-putih kompetensi si calon tenaga kerja. Sebetulnya, hal ini sudah secara cukup rapi diatur oleh UU Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Guna menghindari perekrutan asal-asalan, pasal 37 UU itu mengatur bahwa perekrutan dilakukan oleh Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS) dan pencari kerja yang terdaftar pada instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung-jawab di bidang ketenaga-kerjaan.

Tapi, apa yang terjadi di lapangan, sungguh jauh panggang dari api. Secara tersurat, PPTKIS harus merekrut pencari kerja yang terdaftar pada instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung-jawab di bidang ketenaga-kerjaan. Repotnya, instansi yang bertanggung-jawab di bidang ketenaga-kerjaan ini (baca: Dinas Tenaga Kerja) tidak memiliki data akurat tentang pencari kerja yang ada di wilayah kerjanya. Dinas Tenaga Kerja kabupaten/kota seharusnya mempunyai data profil dan spesifikasi para pencari kerja yang ada di wilayahnya. Dinas ini mesti memiliki data, misalkan, berapa banyak tenaga kerja lulusan sekolah kejuruan, lulusan akademi keperawatan, lulusan kedokteran dan sebagainya. Dengan begitu, ketika PPTKIS membutuhkan tenaga kerja untuk pekerjaan domestik rumah tangga dan tenaga keperawatan (sekadar contoh) maka dapat langsung dipenuhi tanpa ada keraguan lagi. Tenaga kerja yang dibutuhkan memang betul-betul sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan dan tidak akan mengecewakan pihak yang memesan. Sayangnya, sejauh ini hampir-hampir tidak ada pemerintah kabupaten/kota yang memiliki data tentang jumlah dan spesifikasi tenaga kerja yang ada di wilayahnya. Sejauh ini baru Pemerintah Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, yang mengaku mempunyai data dimaksud.

Akibat dari ‘hilangnya’ peran pemerintah kabupaten/kota terkhusus Dinas Tenaga Kerja kabupaten/kota, mau tak mau, PPTKIS harus mencari sendiri langsung ke desa-desa yang selama ini menjadi pemasok tenaga kerja ke luar negeri. Karena kebanyakan PPTKIS tidak memiliki perwakilan di pelosok desa-desa, PPTKIS kemudian mengandalkan calo-calo pencari tenaga kerja. Kebanyakan calo boleh dikatakan bekerja asal-asalan dan memanfaatkan peluang untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Para calo menarik biaya dari para calon TKI dengan berbagai alasan, misalkan untuk mengurus paspor, visa, ongkos perjalanan dari kampung ke Jakarta, pemeriksaan kesehatan dan biaya pelatihan. Contoh kasus, dua orang calon TKI asal Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, yang dijanjikan dipekerjakan di Kuwait masing-masing dipungut (oleh calo) dana sebesar Rp15,5 juta untuk biaya administrasi dan dokumen perjalanan (September 2010). Padahal, segala biaya berkaitan dengan perekrutan calon TKI menjadi tanggung jawab PPTKIS. Setiap PPTKIS telah memperoleh imbalan perekrutan (recruiting fee) dari pengguna jasa/majikan calon TKI melalui perusahaan jasa tenaga kerja asing (PJTKA) di negara penempatan rata-rata Rp15 juta per calon TKI.

Lantaran para calo bekerja asal-asalan dalam merekrut calon TKI, PPTKIS pun bagai membeli kucing dalam karung. Arti kata, calon tenaga kerja yang terjaring boleh jadi buta huruf, masih di bawah umur dan tidak memiliki kecakapan sesuai yang dibutuhkan oleh pemesan di luar negeri. Suatu waktu saya pernah bertemu seorang calon tenaga kerja berasal dari Madura, Jawa Timur. Tenaga kerja yang siap diberangkatkan ke Arab Saudi itu ternyata buta huruf. Lalu, saya bertanya soal bagaimana cara dirinya nanti berkomunikasi dengan keluarganya di Tanah Air. Si TKW asal Madura itu menjawab serius dengan logat Madura yang khas, “Saya kirim suara yang saya rekam di kaset. Saya bisa banyak cerita lewat kaset dan orang-orang di kampung akan tahu bagaimana kabar saya di Arab Saudi.” Lantas, saya berpikir, bagaimana si TKW yang buta huruf ini nanti berkirim kaset ke kampung halaman sementara ia tak mengenal baca-tulis. Ya, dapat saja ia meminta tolong sang majikan. Dalam amsal yang sederhana, seseorang yang baru tiga hari turun gunung langsung diberangkatkan ke luar negeri. Mampu bekerja apa mereka di sana? Belum lagi mereka harus menghadapi masyarakat dengan kultur yang jauh berbeda dibandingkan dengan orang Indonesia. Mereka, misalkan, ketemu bangsa yang tinggal di padang pasir, berumah batu, dan harus teriak kencang-kencang. Bisa-bisa TKI dari Sleman mati berdiri mendengar teriakan orang Arab Saudi.  

Terlepas dari hal itu, yang jelas, PPTKIS sudah keluar banyak biaya untuk merekrut calon TKI tahu-tahu ternyata calon TKI tadi tidak memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan. Tentu sangat merugikan pihak PPTKIS. Dan, kalau calon TKI tadi tetap terus dikirim ke luar negeri jelas akan memunculkan persoalan di tempat sang penerima. Mulai dari soal kesulitan komunikasi, tak tahu apa yang hendak dikerjakan, tidak memahami adat-istiadat masyarakat yang didatangi, sampai ketidak-tahuan penanda-tanganan kontrak kerja. Repotnya, selama ini, sekitar 90% TKI yang bekerja di luar negeri direkrut oleh calo.

Padahal, telah jelas, bahwa calon TKI yang direkrut oleh PTKIS harus memenuhi sejumlah persyaratan, antara lain berusia minimal 18 tahun dan berpendidikan sekurang-kurangnya SLTP atau yang sederajat (pasal 35 UU Nomor 39/2004). Gara-gara ‘hilangnya’ peran pemerintah kabupaten/kota cq dinas tenaga kerja dan peran calo yang sangat dominan, pemenuhan persyaratan itu pun diakal-akali. Yang terjadi kemudian, di antaranya, kongkalikong calo dengan aparatur yang berwenang untuk memenuhi dokumen yang dibutuhkan oleh para calon TKI. Di sini lah terjadi pemalsuan dokumen seperti KTP, Kartu Keluarga (KK), ijazah pendidikan terakhir, surat ijin keluarga, dan identitas sipil lainnya.         

Silang sengkarut tak cuma berhenti di saat proses rekrutmen yang berujung pada palsu-memalsukan dokumen. Masih di tahapan pra-penempatan, silang sengkarut pengelolaan TKI berlanjut pada waktu proses pendidikan dan pelatihan. Peraturan Menakertrans (Permenakertrans) Nomor 23 tahun 2009 tentang Pendidikan dan Pelatihan bagi Calon TKI di Luar Negeri mengatur bahwa calon TKI yang hendak dikirim ke luar negeri terlebih dulu harus mengikuti pelatihan standar kompetensi pola 200 jam atau 21 hari di Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLKLN). Bagi TKI yang telah kembali dan akan berangkat lagi hanya diwajibkan mengikuti pelatihan selama 100 jam bila tugas dan negara tujuan berbeda. Pelatihan ini diharapkan mampu menghasilkan tenaga kerja yang kompeten. Dan, Pemerintah tidak akan mengirimkan TKI yang tidak mengikuti pelatihan 200 jam.

Sayangnya, Pemerintah tidak konsisten melaksanakan peraturan yang diterbitkan pada 16 November 2009 itu. Berdasarkan penelusuran 3 asosiasi pelaksana penempatan TKI swasta (PPTKIS) atau biasa disebut perusahaan jasa TKI (PJTKI), terungkap sedikitnya 10 PPTKIS tidak melatih calon TKI-nya sesuai dengan ketentuan Permenakertrans. Sejak 16 November 2009 hingga 23 Februari 2010, calon TKI yang sudah masuk program pelatihan 200 jam di BLKLN mencapai 50.393 orang dan 20.463 orang di antaranya sudah berangkat ke luar negeri. Namun, pada periode ini pula sekitar 5.000 TKI bisa ditempatkan oleh 10 PPTKIS, meski tidak mengikuti pelatihan 200 jam di BLKLN. Mereka tetap memperoleh izin dari pemerintah untuk memberangkatkan calon TKI-nya ke luar negeri. Padahal, calon TKI tersebut tidak memiliki sertifikat tanda telah lulus pelatihan 200 jam yang diterbitkan oleh sekitar 90 BLK yang ditunjuk. Di sini kemudian muncul kasus-kasus sertifikat kompetensi asli tapi palsu (aspal). Kasus-kasus semacam ini terutama terjadi untuk penempatan TKI dengan tujuan negara-negara Timur Tengah. Sementara sekitar 180 PPTKIS lainnya cukup mematuhi Permenakertrans tadi dan harus mengeluarkan biaya pelatihan Rp1,1 juta per TKI. Pemerintah bertindak diskriminatif. Ini jelas dapat menjadi preseden buruk.

Lebih jauh lagi, hal ini dapat merusak tatanan formal dalam proses penempatan dan perlindungan TKI ke luar negeri. Pelatihan ini amat penting bagi tersedianya TKI yang berkompeten dan berkualitas. Sejak berlakunya program pelatihan minimal 200 jam bagi TKI di BLKLN, kasus pemulangan TKI atau TKI bermasalah di awal masa bekerja boleh dikatakan sangat berkurang.  

Memang, harus diakui, pelatihan 200 jam ini tidak mudah dilakukan. Karena, kondisi Balai Latihan Kerja (BLK) yang dimiliki pemerintah sungguh memprihatinkan. Sekitar 50% dari 186 BLK yang dikelola pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia dalam kondisi rusak, 35 % kualitasnya sedang, dan cuma 8% dalam kondisi baik. Kondisi sekitar 90 BLK sangat menyedihkan  karena banyak gedung-gedungnya yang sudah rusak serta peralatannya juga tidak berfungsi. Selain itu, banyak pula terjadi salah penggunaan dari alat-alat yang ada di tempat itu. Ditambah lagi, banyak instruktur yang dulunya bekerja di BLK, kini telah dipindahkan di satuan-satuan kerja lain di lingkungan pemerintah daerah. Bangunan BLK di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, misalkan, sampai pertengahan tahun 2010 masih belum bisa aktif karena ketiadaan instruktur. Sementara itu, bangunan yang menelan biaya Rp8 miliar dan didanai lewat APBN itu telah rampung sejak akhir 2009 lalu. Pemerintah Kabupaten Pacitan menyerahkan pengelolaan BLK yang terdiri dari tiga bangunan itu ke pemerintah pusat. Di era otonomi daerah, pengelolaan BLK-BLK itu lazimnya diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota. Ironisnya, sekitar 90 BLK yang tersebar di seluruh Indonesia itu tidak berfungsi dan tidak terurus. Banyak pemerintah kabupaten/kota menyerahkan kembali pengelolaannya kepada pemerintah pusat. Pemerintah telah mengalokasikan dana BLK dan pelatihan TKI melalui APBN.  

Selain kondisi fisik yang memprihatinkan, program pelatihan di BLK kerapkali tidak sinkron dengan kebutuhan pasar kerja. Dari sisi keterampilan dan keahlian, calon-calon TKI kita dapat dikatakan relatif memadai. Misalkan tenaga-tenaga pertukangan, teknisi-teknisi permesinan dan tenaga keperawatan yang ada saat ini tak diragukan lagi kompetensi dan kemampuannya. Persoalan yang cukup menggelisahkan adalah kemampuan berkomunikasi dalam bahasa asing yang rendah. Sekadar contoh, Kanada membutuhkan tenaga perhotelan dan Jepang memerlukan tenaga keperawatan dari Indonesia. Permintaan itu belum bisa dipenuhi, karena calon TKI profesional yang dibutuhkan itu masih terkendala kemampuan bahasa negara yang dituju.

Sungguh tidak mudah menyediakan BLK dalam jumlah yang ideal. Dalam arti, setiap ibukota provinsi dan ibukota kabupaten/kota memiliki minimal satu BLK. Kita masih kekurangan sekitar 320 BLK. Dibutuhkan dana sedikitnya Rp28 triliun untuk menghadirkan BLK di setiap ibukota provinsi/kabupaten/kota, plus biaya operasionalnya. Sekadar contoh, satu BLK permesinan membutuhkan dana sekitar Rp59 miliar. Kemudian biaya operasional BLK tipe A sekitar Rp15 miliar sampai Rp30 miliar dan BLK tipe B sekitar Rp8 miliar sampai Rp12 miliar per tahun. Sementara anggaran untuk meningkatkan kompetensi tenaga kerja cuma Rp756 miliar (APBN tahun anggaran 2011).  

Karena proses rekrutmen yang asal jadi, tak mengherankan bila kemudian banyak klaim terhadap kualitas TKI terutama TKW yang bekerja di sektor penata-laksana rumah tangga (PRT). Klaim yang muncul antara lain: tenaga kerja yang diterima ternyata di bawah umur (walau umur yang tercantum dalam paspor sudah dewasa), tidak memiliki keterampilan yang memadai, tidak mampu berkomunikasi (kurangnya penguasaan bahasa setempat), dan tidak mengetahui perihal adat-istiadat serta sosial-budaya di lingkungan rumah tangga dan di masyarakat. Dengan kualifikasi alakadarnya itu, TKI menghadapi persoalan pekerjaan tidak sesuai dengan perjanjian kontrak, tidak mampu bekerja, gaji tidak dibayar, penganiayaan, pelecehan seksual, komunikasi tidak lancar, kecelakaan kerja, sakit akibat kerja, hamil, dan diputus secara sepihak. Hal-hal inilah terutama yang menyebabkan terjadinya TKI/TKW bermasalah yang di tahun 2009 lalu berjumlah 616 orang di shelter KBRI Kuwait, 3 orang dan seorang bayi di shelter Kantor Konsuler Bahrain, 141 di shelter KBRI Malaysia (Kualalumpur), dan sekitar 120 orang di shelter KBRI Singapura. Dan, ribuan TKI/TKW bermasalah dipulangkan setiap tahun.

Data Penanganan
Pekerja Migran Bermasalah
Dari Tahun 2005 s/d18 Agustus2010
No
TAHUN
JUMLAH PEMULANGAN
ANGGARAN
KET
1
2005
35.466
18.018.315.000
2
2006
30.005
18.018.315.000
3
2007
36.315
16.502.567.000
+ APBNP
4
2008
36.679
18.804.900.000
5
2009
31.510
18.517.087.000
+ APBNP
6
S.D 18 Agustus 2010
15.113
15.671.256.000


185.088
100.472.801.500
Sumber: Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2010


Ketidak-beresan di masa pra-penempatan terus berlanjut. Setelah proses pendidikan dan pelatihan yang nyaris tak terurus, calon TKI harus berhadapan pula dengan proses pemeriksaan kesehatan yang dilakukan asal-asalan atau semata-mata untuk memenuhi persyaratan formal saja. Sebelum diberangkatkan, sebagaimana diatur oleh pasal 49 (1) UU Nomor 39/2004, calon TKI wajib mengikuti pemeriksaan kesehatan dan psikologi yang diselenggarakan oleh sarana kesehatan dan lembaga yang menyelenggarakan pemeriksaan psikologi yang ditunjuk Pemerintah. Yang terjadi di lapangan, calon-calon TKI itu melakukan pemeriksaan kesehatan di klinik yang dekat dengan tempat penampungan yang tidak direkomendasikan oleh pemerintah. Repotnya, terjadi kongkalikong perusahaan pengirim (PPTKIS) dengan klinik kesehatan dan calon-calon TKI diloloskan begitu saja. Semua calon TKI dinyatakan sehat. Yang muncul kemudian adalah surat keterangan hasil tes kesehatan asli tapi palsu. Arti kata, dokumen pemeriksaan asli namun keterangan yang tertera di dalamnya tidak sesuai dengan kondisi sesungguhnya kesehatan si calon TKI. Pemeriksaan kesehatan sebelum berangkat ini sangat penting buat kesiapan calon TKI bekerja di luar negeri. Bila seorang calon TKI ketahuan mengidap penyakit akut atau kronis maka si calon TKI ini tak layak diberangkatkan. Kalau tetap dikirim maka akan memunculkan persoalan di negara tujuan. Si TKI, umpamanya, tidak mampu bekerja di tempat majikan di Arab Saudi secara optimal karena kedapatan mengidap sakit asma atau alergi debu.

Setelah memperoleh surat keterangan sehat dari lembaga yang berwenang, si calon TKI mendaftar di Dinas Tenaga Kerja kabupaten/kota setempat dan datanya dimasukkan dalam sistem online data ketenaga-kerjaan. Datanya langsung dapat diakses oleh pihak yang terlibat dalam proses pemberangkatan dan perlindungan. Setelah mendaftar itu, Dinas Tenaga Kerja membuatkan surat atau semacam kartu perjalanan. Surat ini dijadikan bekal selama perjalanan dari kampung halaman ke kantor PPTKIS (misalkan Jakarta, Semarang atau Surabaya) yang akan memberangkatkan ke luar negeri. Di sini pun tak terlepas dari permainan yang melelahkan. Selama dalam perjalanan, tak jarang kendaraan pengangkut calon TKI dicegat oleh oknum polisi. Sang oknum lalu memeriksa surat-surat kendaraan dan dokumen calon TKI. Ujung-ujungnya, sang oknum meminta ‘jatah’ uang agar tidak dicurigai sebagai perdagangan manusia (trafficking).

Setiba di kantor PPTKIS, si calon TKI lalu menjalani masa penampungan sementara untuk menunggu giliran pemberangkatan ke luar negeri. Secara manajemen, PPTKIS harus menyediakan tempat yang layak dan memberi kepastian kapan si calon TKI diberangkatkan. Tapi, ternyata, banyak PPTKIS yang menyewa atau membuat bangunan penampungan (barak) seadanya dan berlokasi jauh tersembunyi dari hiruk-pikuk kontrol sosial masyarakat. Barak penampungan yang ada tidak memperhatikan sanitasi, tidak menyediakan tempat tidur yang memadai, dan makanan yang disediakan jauh dari memenuhi standar kesehatan. Selama berada di penampungan, para calon TKI (terutama calon PRT) terkadang dipekerjakan pada rumah pemilik PPTKIS atau rumah perorangan tanpa digaji. Alasannya, para calon TKI ini dianggap sedang berpraktik kerja lapangan. Apes nian.

Di tempat penampungan sementara, banyak calon TKI yang seolah ‘diasingkan’ dari dunia sekelilingnya. Bahkan, untuk sekadar menerima selembar surat dari kerabat di kampung halaman terkadang dihambat. Surat-menyurat harus melewati sensor dari karyawan jaga PPTKIS. Ditambah lagi calon TKI acapkali menerima perlakuan kasar, intimidasi dan pelecehan seksual. Belum pula, tak ada batasan waktu maksimal calon TKI berada di tempat penampungan. Nyaris tak ada kepastian kapan dapat berangkat. Sungguh sebuah nestapa TKI yang hampir tiada akhir.   

Kendati relatif lama berada di tempat penampungan, banyak calon TKI yang kemudian dihadapkan pada waktu yang mepet saat harus menanda-tangani perjanjian kontrak kerja. Semestinya, ada waktu yang cukup karena penanda-tanganan kontrak kerja menyangkut banyak hal, antara lain harus diketahui oleh instansi pemerintah, hak dan kewajiban para pihak, kondisi dan syarat kerja, dan ketentuan perpanjangan waktu kontrak kerja. Akibatnya, mereka tidak sempat membaca secara rinci dan mempelajari isi nota perjanjian. Bahkan, tidak sedikit tanda tangan calon TKI yang dipalsukan untuk dibubuhkan ke dalam nota perjanjian kontrak kerja. Dan para TKI tak tahu bagaimana rincian isi perjanjian kerja antara dirinya dan majikan.

Lantaran proses-proses awal yang kurang beres, pemberangkatan TKI kerapkali pula harus main kucing-kucingan. Mengingat Republik Indonesia sebagai negara kepulauan, banyak pintu keluar/masuk untuk jalan ke/dari luar negeri. Sekadar contoh di Riau dan Kepulauan Riau (Kepri) terdapat 67 "pelabuhan tikus" yang acap dijadikan pintu lalu-lalang orang Indonesia menuju Negeri Jiran Malaysia. Sebaliknya di Malaysia, diketahui ada 24 "pendarat haram" (istilah "pelabuhan tikus" di Malaysia) yang biasa dijadikan tempat pendaratan orang-orang Indonesia yang datang ke Malaysia secara gelap.

Begitu banyak kekusutan selama masa pra-penempatan TKI di dalam negeri. Dari proses rekrutmen sampai pemberangkatan. Proses awal tentulah sangat mempengaruhi sukses-tidaknya TKI selama berada di tempat kerja di negeri orang. Dengan posisi yang sangat rentan, yang terjadi kemudian, para TKI dan atau TKW demikian gampang dijadikan korban eksploitasi. Karena bekal pengetahuan yang minim, TKI kerapkali terkaget-kaget saat tiba dan mulai bekerja di negeri orang. Misalkan di Arab Saudi, seorang PRT (TKW) tiba-tiba harus bekerja melayani satu rumah yang berisi 3-4 keluarga, jam kerja melampaui batas, dilarang berkomunikasi dengan kerabat, dan gaji tidak dibayarkan secara rutin setiap bulan. Fisik pun didera kelelahan yang teramat sangat. Akibatnya, tak sedikit TKW yang mengalami depresi atau kabur dari rumah majikan tanpa membawa lembaran dokumen apapun. Lebih tragis lagi, mereka tak tahu mesti mengadu ke mana. Seringkali mereka mengadu ke polisi tapi kemudian dikembalikan ke agensi yang kurang bertanggung-jawab. Lalu, mereka dipekerjakan secara illegal, digaji murah dan bahkan sampai dilacurkan.

Beban kerja yang demikian berat, perlakuan buruk majikan dan pola permukiman yang cenderung vertikal acapkali menjadikan TKI/TKW putus asa dan kehilangan akal sehat. Pada umumnya, di kampung mereka, para TKI/TKW tinggal di perkampungan dengan pola permukiman horizontal. Buntut-buntutnya banyak tragedi dan perilaku kriminal menimpa TKI/TKW di negeri orang. Entah jatuh karena murni kecelakaan maupun menjatuhkan diri sebagai bentuk upaya bunuh diri. Kasus seperti ini banyak terjadi di Negeri Jiran Singapura.    

Selain perlakuan majikan yang buruk, masih terdapat catatan buruk yang harus dihadapi oleh TKI/TKW di negeri orang. Beberapa catatan yang dapat diungkapkan antara lain mereka dipulangkan secara sepihak oleh agensi setelah usai masa pemotongan gaji, ditipu lewat modus manipulasi pemeriksaan kesehatan yang akhirnya dipulangkan lantaran dianggap tidak fit, dipenjara dengan berbagai rekayasa tuduhan, bekerja tidak sesuai dengan perjanjian kontrak, dan dikenai pungutan oleh aparatur KBRI / Konjen RI dengan berbagai dalih. Junaedi bin Atut Emong misalkan. TKI asal Desa Gombongsari, Kecamatan Rawamerta, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, ini harus bekerja sebagai pemijat dan penjaga rumah. Padahal, dalam kontrak kerjanya dia akan dipekerjakan sebagai pengemudi di Arab Saudi. Kemudian Siti Rohanah,TKW asal Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, punya kisah pilu tentang dirinya yang tidak digaji selama 2 tahun 10 bulan bekerja di Arab Saudi. Junaedi dan Rohanah tidak sendirian. Sampai pertengahan tahun 2010 terdapat sekitar 120 TKI bermasalah berada di penampungan KJRI Jeddah, Arab Saudi.

Tak hanya sebatas majikan tidak membayar gaji, para TKI acapkali harus pula menghadapi problematika majikan bermasalah, majikan meninggal dunia, hamil tanpa kejelasan, dan majikan memutus perjanjian kontrak secara sepihak. Dengan perlakuan-perlakuan semacam itu, praktis, tidak sedikit TKI yang pulang dengan tangan hampa. Bertumpuk-tumpuk persoalan itu mengakibatkan banyak TKI terutama TKW mengalami depresi berat dan teraniaya. Dalam sehari rata-rata tiga orang TKI dipulangkan ke Tanah Air gara-gara depresi dan tekanan psikologis yang berat.  


Permasalahan Kepulangan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Tahun 2010
(tabel)


Selama bekerja di negeri orang, para TKI/TKW tidak memperoleh perlindungan yang semestinya. Sudah begitu, mereka pulang dengan hasil nihil. Sejauh ini, sebetulnya, para TKI sudah membayar premi asuransi sebelum berangkat bekerja di luar negeri. Kewajiban membayar premi asuransi ini merupakan amanat pasal 83 UU Nomor 39/2004. Pasal ini menegaskan bahwa setiap calon TKI atau TKI yang bekerja di luar negeri wajib mengikuti program pembinaan dan perlindungan TKI. Pemerintah lalu mengambil sikap melakukan perlindungan TKI di luar negeri melalui program asuransi. Dalam lampiran Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 07/Men/VI/2010, setiap TKI dikenakan pembayaran premi asuransi sebesar Rp400.000. Program asuransi ini merupakan salah satu upaya perlindungan terhadap TKI. Proteksi diberikan kepada pekerja agar mereka dapat melaksanakan pekerjaannya dengan tenang sehingga kinerja dan kontribusi perkerja tersebut dapat tetap maksimal dari waktu ke waktu. Proteksi diberikan sejak mulai proses pra-penempatan, penempatan sampai purna-penempatan (pasal 77 UU Nomor 39/2004). Secara normatif, perlindungan semasa pra-penempatan menjadi kewajiban PPTKIS, masa penempatan oleh Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, dan saat kepulangan menjadi tanggung jawab PPTKIS.

Soal perlindungan TKI saat kepulangan boleh dikatakan amat minim. Ketika mereka pulang dengan sejumlah persoalan, PPTKIS yang memberangkatkan tak bisa mengklaim ke perusahaan asuransi yang dulu menerima pembayaran premi TKI. Perusahaan asuransi yang ditunjuk tampak cuci tangan. Sekadar contoh, Yoyoh binti Asep asal Dusun Cikaeuripan, Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, yang bekerja pada majikan Moh. Amin Saefuddin Ghazi Saati di Jeddah, Arab Saudi. Ia bekerja selama 10 bulan dan terpaksa melarikan diri pada Maret 2010 karena majikan ringan tangan dan akan diperkosa oleh anak majikan. Setelah melalui perjuangan dan bantuan dari Himsataki, Yoyoh dapat memperoleh hak gajinya sebesar SR8.800 namun kasus penganiayaan dan percobaan perkosaan terhadap dirinya tidak diproses lebih lanjut. Kasus lain, Rochmat bin Harto Saji Karto. TKI asal Dusun Samirejo, Kecamatan Gembong, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, ini harus menerima kenyataan tenaganya diperas bekerja untuk 4 rumah dan dari masa kerja 1 tahun 4 bulan hanya dibayar 8,5 bulan. Ke mana dia mesti mengklaim kerugian atas gaji yang tidak dibayar oleh majikan? Setelah mengadu ke KJRI pada 16 Juni 2010, majikannya yang bernama Aiman Abdul Rahim cuma menebar janji akan membayar sisa gaji Rochmat. Perusahaan asuransi tidak membayar klaim yang diajukannya. Karena, perusahaan asuransi mitra PPTKIS Kemuning Bunga Sejati yang memberangkatkannya tidak memiliki perwakilan di Jeddah. 

Jadi bukan perusahaan asuransi yang berusaha menyelesaikan dengan pembayaran klaim. Perusahaan asuransi dari dalam negeri tidak bisa menuntaskan karena tidak memiliki perwakilan di negara-negara di mana para TKI bekerja. Dalam penelusuran Himsataki, selama enam bulan pertama tahun 2010, tercatat sekitar 900 TKI bermasalah di tempat kerja yang tidak memperoleh klaim asuransi. Memang tidak masuk akal, penunjukan perusahaan asuransi dan broker dari dalam negeri Indonesia untuk memberikan perlindungan kepada TKI selama bekerja di luar negeri. Akibatnya, mereka terpaksa menyelesaikan sendiri –baik dengan bantuan KJRI, PPTKIS maupun asosiasi.   

Padahal, berdasarkan Peraturan Menakertrans RI Nomor PER-18/MEN/IX/2007 Tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, pemulangan dan penanganan TKI bermasalah tidak lagi menjadi tanggung jawab gabungan antara Direktorat PTKLN Kementerian Nakertrans dan wakil-wakil PPTKIS (asosiasi). Sejak tahun 2007 pemulangan TKI –baik habis kontrak maupun bermasalah—ditangani oleh BNP2TKI. Namun karena ketidak-mampuannya dalam menindaklanjuti penyelesaian permasalahan TKI (khususnya tentang penyelesaian klaim asuransi yang menjadi hak TKI) maka mulai Februari 2008 BNP2TKI menyerahkan penanganan bantuan hukum dan klaim asuransi TKI kepada LBH Kompar (lembaga swasta) dengan biaya didasarkan pada DIPA dari Deputi Bidang Perlindungan BNP2TKI tahun 2008. Penyerahan ini dituangkan dalam perjanjian kerja sama antara BNP2TKI dan LBH Kompar Nomor B612/PL/II/2008 Tentang Bantuan Hukum TKI yang pulang dari luar negeri yang ditanda-tangani oleh Drs. Mardjono (BNP2TKI) dan Drs. Sumarno (Direktur Eksekutif LBH Kompar).

Setelah sekitar setahun berjalan, ternyata LBH Kompar juga tidak mampu menangani persoalan TKI dan klaim asuransi ini. Sebab itu, pada 26 Juli 2009 LBH Kompar menjalin kerja sama dengan Himsataki yang dituangkan ke dalam naskah kerja sama Nomor 102256/MoU/LBH/JKT/06/09. Salah satu butir perjanjian itu LBH Kompar (pihak I) menyerahkan seluruh data TKI bermasalah yang telah dihimpunnya selama ini kepada Himsataki. Data yang dihimpun LBH Kompar selama enam bulan itu berisi 16.327 TKI bermasalah.

Langkah awal Himsataki adalah meneliti data fisik dan data yang tersimpan di flahdisk. Lalu, Himsataki mengambil sampel sekitar 1.000 TKI bermasalah dan mencocokkan dengan PPTKIS terkait mengingat data tersebut merupakan data lama dan besar kemungkinan melewati batas waktu klaim asuransi. Hal ini jelas merupakan kesalahan LBH dalam menanganinya serta tidak adanya pengawasan BNP2TKI. Dalam klausul kerja sama disebutkan LBH Kompar wajib memberikan laporan tiap triwulan ke BNP2TKI. Ternyata klausul ini dilanggar.

Langkah selanjutnya, Himsataki meminta rekomendasi dari Depnakertrans Ciracas untuk pengajuan klaim asuransi sekitar 1.000 orang TKI. Setelah mengantongi rekomendasi, Himsataki mengirim surat kepada Menakertrans (saat itu) Erman Suparno setelah lima bulan berlalu, ternyata tidak ditanggapi. Himsataki tidak patah arang. Kemudian, pada 27 Januari 2010, Himsataki mengirimkan surat senada (disertai data penunjang) kepada Direktur Jenderal Binapenta Kemnakertrans. Setali tiga uang, surat ini pun tak memperoleh tindak lanjut.

Di masa Menakertrans Muhaimin Iskandar, tepatnya pada 1 Maret 2010, Himsataki kembali mengirimkan surat yang pada intinya meminta kejelasan klaim asuransi TKI yang tidak pernah dibayar sejak jaman Menakertrans Erman Suparno. Lagi-lagi, gayung tak bersambut. Yang terjadi kemudian adalah Menteri Tenaga Kerja Muhaimin Iskandar, pada pertengahan September 2010, mengambil kebijakan menunjuk satu konsorsium yang beranggotakan sekitar 10 perusahaan asuransi. Padahal, sebelumnya dia menyetujui pembentukan empat konsorsium. Tidak jelas apa alasan penunjukan satu konsorsium dan penolakan terhadap tiga konsorsium lainnya. Dan, ironisnya, satu konsorsium yang ditunjuk itu merupakan perusahaan asuransi dan broker yang tidak membayar klaim asuransi ribuan TKI di masa sebelumnya. Pada masa Menteri Tenaga Kerja Erman Suparno (2005-2009) telah ditunjuk sembilan konsorsium asuransi. Satu konsorsium terdiri dari lima perusahaan asuransi dan broker. Kalau memang mau mengubah peraturan tentu harus didudukkan pada proporsi yang tepat. Asuransi yang mampu melindungi TKI di luar negeri adalah asuransi yang beroperasi di negara-negara tujuan TKI. Perusahaan itulah yang lebih layak ditunjuk.

Langkah kebijakan Menteri Tenaga Kerja Muhaimin Iskandar menunjuk satu konsorsium asuransi jelas sulit diterima akal sehat. Perusahaan asuransi yang ditunjuk Kementerian Nakertrans tidak dapat beroperasi di luar negeri karena mereka tidak memiliki perwakilan di sana. Akibatnya, asuransi itu tidak mampu berfungsi melindungi TKI di luar negeri karena baru bisa diklaim setelah si TKI pulang ke Indonesia. Memang, Menteri Tenaga Kerja juga mengatur mewajibkan perusahaan asuransi membuka perwakilan di negara-negara tempat bekerja para TKI. Alih-alih membuka perwakilan di mancanegara, kalau toh ada sekadar numpang bendera, perwakilan di kota atau kabupaten kantong-kantong TKI pun nyaris nihil. Banyak perusahaan asuransi yang hanya memiliki kantor di Jakarta dan kota-kota besar (Semarang dan Surabaya). Betapa merepotkan, setelah pulang ke Tanah Air proses klaim sangat berbelit-belit. Ditambah lagi, kalau tiba di Indonesia, mereka maunya langsung cepat-cepat pulang kampung. Sebetulnya negara penempatan juga telah memberikan perlindungan. Di Qatar umpama saja, bilamana ada TKI bermasalah dan lari ke KBRI, bila dalam waktu 2x24 jam tidak menyelesaikan permasalahannya, maka seluruh pelayanan publik majikan TKI itu dihentikan oleh pemerintah setempat.

Dengan sejumlah persoalan yang dihadapi oleh para TKI/TKW selama bekerja di manca negara, mereka pun menghadapi permasalahan ketika pulang ke Tanah Air. Dan, permasalahan tidak hanya dihadapi oleh TKI/TKW yang memang bermasalah saat bekerja di luar negeri. Mereka yang wajar-wajar saja selama bekerja di luar negeri pun tidak mudah pulang ke kampung halaman. Setiap TKI yang hendak pulang ke Tanah Air diwajibkan melaporkan perihal kepulangannya ke Perwakilan Republik Indonesia di negara yang menjadi tempat mereka bekerja. Bagi TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan, pelaporan dilakukan oleh PPTKIS yang menempatkannya. Di sini terkadang juga terjadi berbagai pungutan yang tidak jelas. Maksud hati hendak pamitan. Tapi, rupanya, tak ada pamitan yang gratis.

Dari negara tempat mereka bekerja, para TKI pulang naik pesawat terbang yang mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Di sini kesemrawutan tampak nyata. TKI/TKW yang baru turun dari pesawat menjadi sasaran empuk tangan-tangan orang yang tidak bertanggung-jawab. Bukan bentangan karpet merah (tanda penghormatan) yang menyambut para pahlawan devisa ini. Memang, Pemerintah telah menyediakan terminal khusus buat kedatangan TKI dari mancanegara. Tapi, pelayanan yang diberikan terasa tidak bersahabat dan jauh dari kata profesional. Tak tersedia crisis centre di pos kedatangan TKI sehingga mereka yang pulang membawa luka-luka (baik fisik maupun psikis) tidak memperoleh perawatan yang memadai.

TKI yang baru tiba di Bandara Soekarno-Hatta kerapkali menjadi incaran para calo dan ‘dijual’ kembali ke luar negeri. Kalau toh dipulangkan, si TKI harus naik mobil yang ditunjuk oleh yang berwenang. Mereka tidak bebas memilih angkutan umum yang akan mengantarkannya ke kampung halaman. Dengan cara begini, dalam perjalanan si TKI acap diperas atau diminta membayar ongkos yang berlipat-lipat dibandingkan harga normal. Bila ongkos reguler Jakarta-Sukabumi misalkan di bawah Rp100.000 maka si TKI bisa dikenakan Rp250.000. Yang lebih menyakitkan lagi, si TKI dioper ke kendaraan lain lalu diminta ongkos tambahan oleh sopir kendaraan yang menerima operan.  

TKI yang baru datang –terutama TKW berpendidikan terbatas- biasanya terlihat kebingungan saat menginjakkan kaki di ruang kedatangan. Terkadang mereka bingung tak tahu mesti berbuat apa, sementara barang bawaan belum ada di tangan. Masih berada di bagasi pesawat. Kesempitan para TKI ini dimanfaatkan oleh para porter barang di bandara untuk meminta uang pelayanan atau pengambilan barang dari bagasi pesawat.

Secara hukum, merujuk pada perundangan yang ada, pembinaan dan perlindungan TKI relatif memadai. Persoalannya, implementasi di lapangan kerapkali ditunggangi oleh berbagai kepentingan. Kusut masai manajemen TKI di lapangan ini diperparah lagi dengan ketiadaan koordinasi lintas sektoral yang berkaitan dengan ketenaga-kerjaan. Pengelolaan, penempatan dan perlindungan TKI selama ini melibatkan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Luar Negeri, Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, Pemerintah Daerah, dan PPTKIS. Untuk mencapai manajemen yang baik dan tepat, instansi-instansi tadi harus berkordinasi secara padu. Sebagaimana diamanatkan oleh UU Nomor 39 Tahun 2004, Pemerintah membentuk Badan Nasional dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Badan yang dibentuk dan mulai beroperasi tahun 2006 ini merupakan lembaga satu atap untuk menciptakan pelayanan terpadu dalam penempatan dan perlindungan TKI yang bekerja di luar negeri. Dan, aparat yang ditempatkan di BNP2TKI pun mewakili unsur-unsur Kemenakertrans, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kepolisian RI dan instansi pemerintah lainnya.

Namun, sejauh ini, tugas pokok dan fungsi (tupoksi) BNP2TKI tidak jelas dan sering berbenturan dengan Kemenakertrans. Seharusnya, seorang Kepala BNP2TKI mampu menjalankan fungsi koordinasi lintas departemen. Ketidak-jelasan dan perbenturan itu mengakibatkan sampai kini belum ada perbaikan yang signifikan dalam penempatan dan perlindungan TKI. Pemerintah belum mengoptimalkan peran dan fungsi BNP2TKI. Padahal, UU Nomor 39/2004 mengamanatkan –selain melayani penempatan dan perlindungan TKI yang dilakukan antar-pemerintah (G to G)— BNP2TKI juga berperan membuka pasar kerja di luar negeri. Untuk di luar negeri, BNP2TKI harus berhadapan dengan mitranya di luar negeri. Tapi secara protokoler, kepala badan ini masih setingkat dengan pejabat eselon I. Sementara mitra di luar negeri adalah seorang menteri.

Jadi jelas bahwa karut-marut pengelolaan, penempatan dan perlindungan TKI boleh dikatakan terjadi di semua lini sistem dan manajemen. Dengan sistem dan manajemen yang amburadul tentu sulit diharapkan bagi berlangsungnya proses pengembangan sumber daya manusia. Arti kata, saat ini sulit bagi kita berharap bakal berkembangnya talenta-talenta TKI yang mampu berkompetisi di era global. Boleh jadi kita akan terpuruk terus dalam kubangan prahara TKI informal yang tak pernah berkembang. Sudah lebih dari 30 tahun kita mengirimkan TKI ke mancanegara dan tahu persis di mana lobang-lobang ‘tikus’ kekisruhan. Tapi, kita seolah tak berdaya membereskan atau menutup lobang-lobang kekusutan itu. Sungguh aneh bin ajaib.  ***   



Artikel Pendukung


Pemerintah Tak Konsisten,
PPTKIS Ancam Abaikan Aturan

Pemerintah dinilai tidak konsisten menjalankan peraturan tentang kewajiban mengikuti pelatihan 200 jam bagi calon TKI yang hendak bekerja di luar negeri. Dalam hal ini, seharusnya calon TKI masuk balai latihan kerja luar negeri (BLKLN) untuk mengikuti berbagai jenis pelatihan minimal 200 jam, sesuai yang diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) Nomor 23 Tahun 2009 tentang Pendidikan dan Pelatihan Kerja bagi Calon TKI ke Luar Negeri yang diterbitkan pada 16 November 2009.

Berdasarkan penelusuran 3 asosiasi Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS) atau biasa disebut Perusahaan Jasa TKI (PJTKI), sedikitnya 10 PPTKIS tidak melatih calon TKI-nya sesuai amanah Permenakertrans. Namun, mereka tetap mendapatkan izin dari pemerintah untuk memberangkatkan calon TKI-nya ke luar negeri. Padahal, calon TKI tersebut tidak memiliki sertifikat untuk pelatihan 200 jam dari sekitar 90 BLK yang ditunjuk. Kasus ini terjadi untuk penempatan TKI tujuan Timur Tengah.

Karena itu, ke-3 asosiasi PPTKIS, yakni Asosiasi Perusahaan Jasa TKI (Apjati), Himpunan Pengusaha Jasa TKI (Himsataki), dan Indonesia Development Employee Association (IDEA), mempertanyakan konsistensi pemerintah dalam menerapkan aturan wajib pelatihan 200 jam bagi calon TKI ini. Padahal, sebanyak 180 PPTKIS khusus penempatan ke Timteng menjalankan ketentuan untuk melatih calon TKI-nya di BLKLN yang ditunjuk. Dengan demikian, asosiasi PPTKIS menganggap pemerintah sudah bertindak diskriminatif.

"Jika pemerintah tidak konsisten menerapkan aturan pelatihan bagi calon TKI ini, maka anggota-anggota 3 asosiasi PPTKIS juga tidak akan melaksanakan ketentuan yang ada. Padahal, sebenarnya sejak awal kalangan PPTKIS mendukung penuh kebijakan pengiriman TKI yang berkualitas. Salah satunya dilakukan melalui pelatihan 200 jam bagi calon TKI. Namun, ternyata pemerintah sendiri yang tidak konsisten," kata Juru Bicara 3 Asosiasi PPTKIS Yunus M. Yamani di Jakarta.

Menurut Yunus, sejak 16 November 2009 hingga 23 Februari 2010, calon TKI yang sudah masuk program pelatihan 200 jam di BLKLN mencapai 50.393 orang dan 20.463 di antaranya sudah berangkat ke luar negeri. Namun, pada periode ini pula sekitar 4.000 TKI bisa ditempatkan oleh 10 PPTKIS, meski tidak mengikuti pelatihan 200 jam di BLKLN. Pemerintah tidak konsisten dalam menegakkan hukum dan peraturan yang ada, seperti ada upaya mengadu-domba. Ke-10 PPTKIS tersebut juga dinilai sudah merusak tatanan formal dalam proses penempatan dan perlindungan TKI ke luar negeri.

"Namun, ini dibiarkan pemerintah. Kita sebagai pengurus asosiasi sudah dikritik oleh anggota PPTKIS yang menjalankan ketentuan pemerintah. Ini karena kita juga membicarakan biaya. Biaya untuk pelatihan 200 jam di BLKLN mencapai Rp1,1 juta per TKI. Jadi, 10 PPTKIS itu tidak perlu mengeluarkan biaya untuk melatih TKI-nya. Sementara 180 PPTKIS lainnya melaksanakan aturan pemerintah. Ini kan preseden buruk," tutur Yunus.

Lebih jauh Yunus mengungkapkan, sejak berlakunya program pelatihan minimal 200 jam bagi TKI di BLKLN, kasus pemulangan TKI atau TKI bermasalah di awal masa bekerja jauh berkurang.

Terancam Bangkrut

Ketidak-tegasan pemerintah soal pelatihan calon TKI di balai latihan kerja pola 200 jam dan biaya rekrutmen calon TKI di berbagai daerah dapat mengakibatkan perusahaan penempatan tenaga kerja Indonesia terancam bangkrut. "Biaya rekrutmen calon TKI pada sedikitnya 12 lokasi kantong tenaga kerja itu rata-rata Rp6 juta untuk satu orang calon penata laksana rumah tangga atau bekerja di sektor informal," jelas Yunus M. Yamani.

Yunus menambahkan, beban biaya itu masih harus ditambah dengan biaya tes kesehatan, pembuatan paspor, visa, asuransi, dan tiket, sehingga ongkos total yang harus dikeluarkan oleh Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) sekitar Rp13,62 juta per calon TKI. Untuk imbalan rekrutmen (recruiting fee) dari pengguna jasa/majikan calon TKI melalui perusahaan jasa tenaga kerja asing (PJTKA) di negara penempatan rata-rata sekitar Rp15 juta per calon TKI.

Menurut Yunus, keuntungan PPTKIS untuk setiap calon TKI yang ditempatkan sekitar Rp880.000. Namun, jika ada risiko pemulangan sebelum mereka bekerja selama 3 bulan, perusahaan harus mengganti biaya tiket yang US$400 dan menggantinya dengan calon TKI yang baru.

Dia menjelaskan jika satu PPTKIS menempatkan 100 orang TKI setiap bulan dengan risiko 5% TKI gagal bekerja dan harus dipulangkan sebelum 3 bulan, pelaku usaha tidak mendapatkan keuntungan apapun, bahkan merugi. Keuntungan PPTKIS dengan menempatkan sekitar 100 orang calon TKI dalam 1 bulan pelaku usaha untung sekitar Rp88 juta. Sebaliknya, jika gagal 5% dalam menempatkan ditambah tiket pemulangan ke daerah asal, biaya yang keluar menjadi Rp86,1 juta per bulan.

"Ini adalah kerugian besar bagi kami selaku pelaku usaha yang patut diperhatikan pemerintah dalam bentuk perlindungan untuk menjalankan usahanya." Dia menilai biaya rekrutmen di kantong-kantong TKI di daerah yang sebesar Rp6 juta seharusnya dapat hanya menjadi Rp1 juta jika pemerintah memiliki ketegasan dan tanpa ragu mengawasi jalannya pelatihan 200 jam bagi calon TKI di balai latihan kerja yang ada.

Berdasarkan pengalaman sewaktu sistem 200 jam pelajaran diterapkan pada awal pelaksanaannya, lanjut Yunus, pembayaran kepada para sponsor/petugas lapangan (PL) untuk biaya rekrutmen menjadi Rp1 juta per orang.

Desak pembenahan

Ancaman kebangkrutan pelaku usaha penempatan TKI diakui juga oleh Sekjen Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Apjati) Rusdi Basalamah. Dia mendesak pemerintah segera melakukan perbaikan dalam sistem penempatan dan perlindungan menyeluruh.

"Kami ini sudah kembang-kempis, terlihat biasa saja pelaku usaha penempatan. Namun, pada kenyataannya di lapangan kami harus mencari cara agar tetap eksis dan tidak melanggar peraturan perundangan yang ada," ungkapnya. Rusjdi mendesak pemerintah bersama PPTKIS mencari solusi mengatasi berbagai masalah dan benar-benar memberi tindakan tegas kepada para pelanggar UU Nomor 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

Menakertrans Muhaimin Iskandar sebelumnya mengatakan pemerintah akan menertibkan peran sponsor atau PL perekrutan TKI di berbagai daerah dengan penunjukan PL oleh PPTKIS dan terdaftar resmi di pemerintah daerah setempat. "Nantinya, PPTKIS harus menunjuk PL yang berfungsi sebagai sponsor dalam pencarian calon TKI ke berbagai pelosok daerah agar lebih tertib dan terkendali." Menurut dia, penertiban itu juga untuk mengurangi biaya tinggi oleh PPTKIS dalam melakukan rekrutmen calon TKI, sehingga pelaku usaha dapat fokus memberi pelatihan sebelum pekerja ditempatkan ke luar negeri.

Sumber: Bisnis Indonesia (08 Jun 2010).



PJTKI Adukan 986 Klaim Asuransi ke Presiden

Kalangan perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia atau PJTKI mengirim surat ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) karena klaim dari 986 TKI tidak diproses oleh perusahaan asuransi.

Ketua Himpunan Pengusaha Jasa TKI (Himsataki) Yunus M. Yamani di Jakarta  mengatakan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) menunjuk perusahaan dan konsorsium asuransi terkait masalah itu.

"Menteri menunjuk hanya satu perusahaan asuransi dan satu broker," kata Yunus. Perusahaan asuransi tersebut bermasalah lantaran tak membayar klaim dan penunjukan itu juga akan memunculkan praktik monopoli.

Inilah beberapa masalah penempatan dan perlindungan TKI yang tak kunjung tuntas, kata Yunus, yakni sejak Menakertrans Erman Suparno hingga Muhaimin Iskandar dan terkait dengan kinerja Badan Nasional Penempatan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) yang tumpang tindih.

Dalam suratnya bertanggal 16 September 2010 itu, Yunus menjelaskan bahwa permasalahan muncul ketika BNP2TKI menunjuk LSM LBH Kompar untuk menerima dan mengajukan klaim TKI bermasalah di terminal khusus TKI Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.

LSM tersebut tidak bisa menuntaskan persoalan puluhan ribu klaim TKI bermasalah yang mereka data. Permasalahan itu lalu diserahkan kepada Himsataki. Himsataki memutakhirkan data tersebut dan terdapat 986 TKI yang layak mendapatkan santunan dari asuransi perlindungan TKI yang ditunjuk Menakertrans.

Klaim lalu diajukan tetapi tidak diproses. Surat pengaduan sudah diajukan kepada Menakertrans Erman Soeparno dan penggantinya kini Muhaimin Iskandar, tetapi tidak tetap digubris. Kini Muhaimin menunjuk satu-satunya perusahaan asuransi dan satu-satunya broker asuransi untuk melindungi TKI. "Penunjukan itu menurut kami tidak masuk akal karena mereka bagian dari perusahaan dan broker yang tidak membayar klaim itu," kata Yunus.

Penunjukan itu juga akan menimbulkan praktik monopoli asuransi dan broker asuransi TKI oleh pihak swasta.

Tidak hanya soal pemberesan asuransi itu, pembenahan yang dilakukan Menteri juga tidak menyentuh substansi permasalahan karena masih menggunakan sistem lama yang jelas-jelas merugikan TKI dan PJTKI. "Aturan baru itu masih mewajibkan PJTKI membayar premi asuransi perlindungan selama TKI bekerja di luar negeri," kata Yunus.

Sementara, jelas-jelas perusahaan asuransi dan broker Indonesia tidak memiliki ijin usaha di luar negeri sehingga perlindungan yang diberikan semu. "Mana mungkin memberi perlindungan di luar negeri jika perusahaan dan broker tak punya ijin usaha di luar negeri," kata Yunus.

Karena itu dia minta agar selama TKI bekerja di luar negeri mereka diikutkan dalam program perlindungan dari perusahaan asuransi di negara setempat.

Surat kepada Presiden RI yang ditandatangani oleh Yunus dan Nadya Farhani, SH (Kadiv. Perlindungan TKI Himsataki) itu di antaranya ditembuskan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Anggota Komisi IX DPR RI, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Direktur Perasuransian Kemkeu, Ditjen Binapenta Kemenakertrans, organisasi PJTKI dan para PJTKI.

Sumber: Kantor Berita Antara (16 September 2010)



Pemerintah Paling Bertanggung-jawab atas TKI Ilegal

Pemerintah, khususnya Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dan Kemenakertrans, paling bertanggung-jawab terhadap soal mengalirnya TKI ilegal ke Malaysia, Kuwait, dan Yordania.

"Pemerintah yang menghentikan penempatan TKI ke tiga negara itu, tetapi pemerintah tidak mampu mengamankan kebijakan yang dibuatnya sendiri," kata Ketua Umum Himpunan Pengusaha Jasa TKI (Himsataki) Yunus M. Yamani di Jakarta.

Yunus menjelaskan, penghentian penempatan TKI ke Malaysia sudah berlangsung satu tahun, tetapi tenaga kerja Indonesia terus mengalir ke negeri itu seperti biasa. "Bahkan pegawai Pemda dan aparat penegak hukum di sejumlah daerah transit tidak mengetahui kebijakan tersebut," tambah Yunus.

Usulan moratorium tersebut, kata Yunus, muncul dari Kepala BNP2TKI Jumhur Hidayat. Untuk mengetahui tanggapan masyarakat, sebuah stasiun televisi swasta mengadakan debat terbuka mengenai perlu-tidaknya penempatan TKI ke Malaysia dilanjutkan.

Nara sumbernya adalah Rusdi Basalamah (Sekjen Apjati), Yunus M. Yamani (Ketua Umum Himsataki), Maria Ulfah (anggota Komisi IX DPR) dan Jumhur Hidayat (Kepala BNP2TKI). Beberapa hari setelah debat, Kepala BNP2TKI dan Menakertrans RI menghentikan penempatan TKI ke Malaysia. Faktanya, kata Yunus, pengiriman TKI ilegal semakin marak dan tidak terkendali.

"BNP2TKI dan Kemenakertrans seperti anak kecil yang tidak bisa berbuat apa-apa atas kebijakannya sendiri sehingga membutuhkan Presiden, pemimpin tertinggi negara ini, untuk mengatasi dan membuka kembali penempatan TKI ke Malaysia," kata Yunus.

Kedua instansi tersebut menghentikan penempatan TKI ke Malaysia tanpa menanyakan ke Perusahaan Jasa TKI (PJTKI) dan asosiasinya terlebih dulu. Dampaknya, banyak PJTKI bangkrut. Di sisi lain, banyak calo yang menempatkan TKI ke Malaysia berjalan tanpa hambatan. "Jika PJTKI mengeluhkan kondisi ini dan berbeda pendapat maka akan dijadikan musuh," kata Yunus.

Dia menjelaskan, di era Presiden Soeharto, Malaysia pernah berencana memulangkan seluruh TKI yang ada di Malaysia. Menakertrans saat itu Soedomo melaporkan rencana itu kepada Soeharto. Menanggapi hal itu, Soeharto mempersilakan Malaysia memulangkan TKI, dengan catatan tidak ada seorang pun yang boleh ditempatkan lagi untuk bekerja di Malaysia.

"Malaysia takut dan membatalkan niat dan membuat perjanjian baru antar-pemerintah yang ditandatangani oleh Menaker RI Soedomo dan Menaker Malaysia Datuk Musahitam," katanya.

Menurut dia, wibawa pemerintah seperti di era Soeharto sangat langka pascareformasi sekarang ini.

Sumber: Metrotvnews.com, Jakarta  (Kamis, 23 September 2010)
           

No comments:

Post a Comment