Life should be understood backward,
but it should be lived forward.
Kita harus belajar dari
masa lalu
guna membangun masa
depan yang lebih baik.
Roeslan Abdulgani
(Tokoh Nasional)
Memasuki dekade 1970-an, kendati sempat ditopang oleh
booming minyak, saya melihat,
perekonomian Indonesia boleh dikatakan belum stabil. Masih morat-marit,
pengangguran dan kemiskinan terus meningkat dari waktu ke waktu. Dalam kondisi
seperti itu, kemudian, banyak warga masyarakat kita lantas bermigrasi ke luar
negeri, terutama ke Timur Tengah dan terkhusus lagi Arab Saudi. Secara
diam-diam mereka berangkat ke negeri impian dengan bantuan mediator
sanak-saudara atau para kolega yang telah terlebih dulu merantau ke negeri kaya
minyak itu. Tujuan mereka hanya satu, memperoleh pekerjaan guna menafkahi
anak-isteri dan keluarga. Secara kebetulan, pembangunan di Arab Saudi dan Timur
Tengah umumnya ketika itu tengah menggeliat berkat booming minyak.
Mengingat peluang kerja yang terbuka lebar, maka berangkatlah ramai-ramai para
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Arab Saudi dan beberapa negara Timur Tengah lainnya.
Mengingat permintaan TKI di luar negeri
semakin bertambah, sejumlah orang yang memiliki naluri bisnis tinggi mulai
mendirikan usaha jasa penempatan TKI. Kemudian pada akhir 1970-an, muncul
nama-nama seperti Saleh Alwaini, M.F. Ubaidi, Abdul Malik M. Aliun, Abubakar
Aldjufri dan Saleh Abud Aldjaidi. Mereka mendirikan Perusahaan Pengerah TKI
(PPTKI). Waktu itu, sebagian besar TKI yang dikirim ke Timur Tengah bekerja di
sektor informal seperti Pembantu Rumah Tangga (PRT) dan sopir. Saat itu,
pengiriman TKI ditangani oleh Departemen Perdagangan, tepatnya oleh Tim
Koordinasi Kegiatan Ekspor Timur Tengah (TK2ETT) yang dibantu oleh Tim
Pengembangan Ekspor Non-Migas (TPENM) atau lembaga swasta mitra Departemen
Perdagangan.
TPENM diketuai oleh Zainal Jasni, seorang
pejabat Departemen Perdagangan, yang dibantu oleh para pengusaha seperti Saleh
Abud Aldjaidi dan Eddy Kowara. Bahkan Eddy Kowara kemudian diberi amanah
sebagai Ketua Kadin (Kamar Dagang dan Industri) Indonesia Urusan Timur Tengah.
TPENM cukup giat mempromosikan dan mengekspor produk-produk made in
Indonesia ke Timur Tengah yang sebelumnya dilakukan melalui “Negara Ketiga” semisal
Singapura dan Hongkong. Para pengusaha dari Timur Tengah pun didatangkan ke
Tanah Air dan diajak melihat beragam produk Indonesia yang unik dan bermutu
tinggi. TPENM gigih pula memperkenalkan destinasi wisata dalam negeri kepada warga negara Timur Tengah.
Walhasil, tahun demi tahun semakin banyak turis dari Timur Tengah yang
berkunjung ke Indonesia.
Berkat kerja keras dan kegigihannya, pada tahun
1981 Eddy Kowara memperoleh kepercayaan untuk membangun instalasi
telekomunikasi dan kompleks Akademi Militer Kerajaan Arab Saudi. Itulah kali
pertama orang Indonesia mendapatkan pekerjaan besar di luar negeri, dan
membutuhkan banyak tenaga kerja yang mesti didatangkan dari dalam negeri. Sebab
itu, dalam rangka melaksanakan pekerjaan besar itu lantas dibentuk konsorsium
yang terdiri dari beberapa perusahaan nasional. Hanya, lantaran pengalaman yang
minim dalam menggarap pekerjaan besar di luar negeri, walau pekerjaan berhasil
dirampungkan dengan baik namun Eddy Kowara menderita kerugian yang cukup besar.
Kendati merugi, Eddy Kowara dinilai cukup
berjasa dalam membuka peluang usaha dan kesempatan kerja di Arab Saudi. Dan,
kesempatan itu tidak disia-siakan oleh para pengelola perusahaan pengerah TKI
untuk lebih giat mencari peluang kerja bagi TKI, baik untuk TKI formal maupun
TKI informal. Kebetulan,
seiring dengan pesatnya pembangunan, Arab Saudi memang membutuhkan banyak
pekerja asal Indonesia. Bahkan, keluarga-keluarga kaya di Arab Saudi memohon
kepada Indonesia untuk mengirimkan Tenaga Kerja Wanita (TKW) untuk bekerja di
rumah mereka. Begitulah, asal-muasal TKW bekerja di Arab Saudi, terutama adalah
karena permintaan keluarga-keluarga kaya dan pembesar (pejabat tinggi) negara
di sana.
Sejak dekade 1980-an itu pula, pengiriman dan penempatan TKI
terus meningkat, sampai kini. Permintaan bukan cuma datang dari Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah
pada umumnya, tapi juga dari berbagai negara di seluruh dunia. Kini, jumlah TKI
yang bekerja di luar negeri mencapai sekitar enam juta orang. Di Malaysia
sekitar 2,2 juta orang, Arab Saudi 1,5 juta orang, dan sisanya tersebar di negara
Timur Tengah lainnya, Asia-Pasifik dan lain-lain. Dengan angka yang cukup besar
itu, apakah peluang kerja di luar negeri telah tertutup? Jawabnya, tidak.
Peluang kerja masih terbuka lebar. Permintaan terhadap TKI oleh negara-negara
maju seperti Malaysia, Singapura, Taiwan, Korea Selatan, Jepang dan Hongkong
(kawasan Asia-Pasifik) serta Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Yordania (Timur
Tengah) masih sangat besar.
Sekadar gambaran, Taiwan misalkan. Buat
menggulirkan roda industri dan perekonomiannya, negeri berpenduduk sekitar 23
juta jiwa itu sangat membutuhkan tenaga kerja asing, termasuk tenaga kerja dari
Indonesia. Pun begitu, para wanita di negara maju umumnya berpendidikan tinggi
dan lebih suka bekerja di perkantoran dan industri, ketimbang mengurus rumah
tangga (domestic helper). Arti kata, peluang kerja menjadi TKW di
negara-negara maju tadi masih tetap terbuka lebar.
Menjadi TKI dan atau TKW jelas bukan
pekerjaan yang hina. Tentu, menjadi TKI dan atau TKW lebih mulia daripada berpangku-tangan di
kampung halaman nyaris tanpa harapan. Bahkan, mengadu untung di negeri orang
dengan menjadi TKI dan bisnis jasa penempatan TKI telah terbukti mampu mengatasi
krisis tenaga kerja di Tanah Air. Sub-sektor TKI juga mampu menjadi ‘dewa’ penyelamat
kehidupan bangsa Indonesia dari keruntuhan akibat krisis ekonomi (1997-1998),
menjadi salah satu penopang perekonomian keluarga dan pedesaan, hingga urat
nadi perekonomian nasional. Dan, kini, ketika dunia sedang tersungkur oleh
hantaman badai krisis ekonomi global, bisnis jasa TKI tak terlalu banyak
terpengaruh. Kontribusi ekonomis para TKI dan bisnis jasa TKI bagi masyarakat, bangsa dan
negara tidak berkurang. Justru,
boleh dikatakan, terus bertambah. Pada tahun 2003 para TKI telah menyumbang
devisa senilai US$1,67 miliar, meningkat menjadi US$1,88 miliar (2004), US$2,93
miliar (2005), US$2,45 miliar (2006), dan naik lagi menjadi US$5,84 miliar
(2007). Tahun 2008 naik lagi ke angka US$8,24 miliar dan US$20,75 miliar (Rp186
triliun) pada tahun 2009. (Kompas, 15 Juni 2009)
Ironisnya, kendati memberikan sumbangsih yang
cukup berarti bagi keluarga dan bangsa, nasib para TKI belum menampakkan
tanda-tanda perbaikan derajat dan martabat di mata masyarakat. Kita masih acap mendengar TKW
mati bunuh diri terjun dari apartemen majikannya di Singapura, TKW hamil tanpa
ketahuan lagi siapa bapaknya si calon jabang bayi di Tanah Arab, dan TKW menjadi korban pemerasan ketika
hendak pulang ke kampung halaman setelah berada di Bandara Soekarno-Hatta
Cengkareng. Masih banyak pula kita saksikan kisah-kisah calon TKI/TKW jadi
korban penipuan calo perekrutan, calon TKI dari Indramayu (sudah keluar jutaan
rupiah) urung diberangkatkan ke Selandia Baru karena salah informasi seputar
kebutuhan tenaga kerja di Negeri Kiwi (Oktober 2009), dan puluhan TKI asal
Cilacap (telah membayar Rp19,5 juta per orang) gagal berangkat bekerja di
Amerika Serikat gara-gara bos perusahaan yang hendak memberangkatkan mereka raib
tak jelas di mana rimbanya (September 2009).
Nestapa yang terus menghantui para TKI –mulai
dari saat perekrutan, pra-penempatan, penempatan
sampai purna-penempatan—tak terlepas dari sistem dan manajemen pengelolaan TKI
yang amburadul. Saya mengamati bahwa sejak
awal memang manajemen TKI tidak dikelola secara baik. Pengiriman TKI misalkan, hanya dilakukan atas dasar permintaan kalangan
tertentu yang diinformasikan dari mulut ke mulut atau dari kerabat ke kerabat.
Tak ada sistem informasi yang jelas yang dapat dijadikan panduan. Pengelolaan tenaga
kerja yang boleh dikatakan tidak mengindahkan kaidah-kaidah manajemen sumber
daya manusia (SDM). Secara sederhana manajemen sumber daya manusia dapat dipahami
sebagai suatu proses menangani berbagai masalah pada ruang lingkup karyawan,
pegawai, buruh, manajer dan tenaga kerja lainnya untuk dapat menunjang
aktivitas organisasi atau perusahaan demi mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Mengutip
pendapat ahli
manajemen James A.F. Stoner, manajemen sumber daya manusia adalah suatu
prosedur yang berkelanjutan yang bertujuan untuk memasok suatu organisasi atau
perusahaan dengan orang-orang yang tepat untuk ditempatkan pada posisi dan
jabatan yang tepat pada saat organisasi memerlukannya.
Senada dengan manajemen SDM pada umumnya, demikian
pula manajemen pengelolaan TKI atau TKW yang akan dikirimkan ke luar negeri.
Intinya, manajemen pengelolaan TKI/TKW meliputi tiga tahapan, masing-masing
pra-penempatan, penempatan, dan purna-penempatan (pemulangan). Pra-penempatan
masih terbagi lagi mulai dari rekrutmen, pemenuhan pelengkapan dokumen, pelatihan/pendidikan,
pemeriksaan kesehatan, masa tunggu di penampungan, perjanjian kerja, sampai keberangkatan.
Kemudian masa penempatan: melaporkan ke Perwakilan Republik Indonesia di Negara
tujuan dan menempatkan si calon TKI sesuai dengan pekerjaan sebagaimana
perjanjian kerja yang disepakati dan ditandatangani oleh TKI. Dan masa
purna-penempatan yang meliputi kepulangan karena insiden, kepulangan biasa yang
mesti melapor ke Perwakilan Republik Indonesia di Negara yang ditempati, dan
tanggung jawab mengantar sampai kampung halaman asal si TKI/TKW.
Manajemen pengelolaan TKI boleh dikatakan
masih dirundung banyak persoalan. Saya melihat sebagian besar persoalan (sekitar 80 persen)
ada di dalam negeri. Mulai dari perekrutan, pelatihan, kesehatan hingga
pemberangkatan dan pemulangan. Masalah yang muncul di luar negeri tak lain
merupakan akibat tidak berjalannya sistem di dalam negeri. Celakanya, hampir
tidak ada rasa penyelesalan atau merasa berdosa dari para pengambil
kebijakan terkait manajemen pengelolaan TKI itu. Padahal, anak bangsa yang
telah berkorban meninggalkan keluarganya di Tanah Air menjadi korban di tempat kerjanya di luar negeri. Buktinya,
kini rata-rata tiga orang TKI dipulangkan gara-gara depresi dan teraniaya, ratusan TKW bermasalah berada
di penampungan Kedutaan Besar RI di Arab Saudi, Kuwait dan Yordania. Hal sama terjadi
di Malaysia. Jika TKI yang ditempatkan
itu memiliki keterampilan sesuai standar, termasuk persiapan mentalnya, maka tidak akan
muncul permasalahan di tempat kerjanya.
Mari kita lihat karut-marut pengelolaan TKI
itu mulai dari proses rekrutmen. Rekrutmen baru dapat dimulai bilamana ada
permintaan perorangan ataupun kelembagaan di luar negeri yang membutuhkan
tenaga kerja asal Indonesia. Semata-mata contoh, sebuah keluarga kaya di Arab
Saudi memesan tenaga kerja penata-laksana rumah tangga (atau yang akrab disebut
PRT) yang mampu memasak dan sopir yang familiar dengan mobil-mobil pabrikan Eropa. Untuk
mendapatkan tenaga kerja dengan kualifikasi semacam itu tentu tidak bisa
dilakukan asal comot tanpa kita tahu hitam-putih kompetensi si calon tenaga
kerja. Sebetulnya, hal ini sudah secara cukup rapi diatur oleh UU Nomor 39
Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar
Negeri. Guna menghindari perekrutan asal-asalan, pasal 37 UU itu mengatur bahwa perekrutan
dilakukan oleh Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS) dan pencari kerja yang
terdaftar pada instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung-jawab di
bidang ketenaga-kerjaan.
Tapi, apa yang terjadi di lapangan, sungguh
jauh panggang dari api. Secara tersurat, PPTKIS harus merekrut pencari kerja
yang terdaftar pada instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung-jawab
di bidang ketenaga-kerjaan. Repotnya, instansi yang bertanggung-jawab di bidang ketenaga-kerjaan
ini (baca: Dinas Tenaga Kerja) tidak memiliki data akurat tentang pencari kerja yang ada di wilayah kerjanya.
Dinas Tenaga Kerja kabupaten/kota seharusnya mempunyai data profil dan
spesifikasi para pencari kerja yang ada di wilayahnya. Dinas ini mesti memiliki data, misalkan,
berapa banyak tenaga kerja lulusan sekolah kejuruan, lulusan akademi
keperawatan, lulusan kedokteran dan sebagainya. Dengan begitu, ketika PPTKIS
membutuhkan tenaga kerja untuk pekerjaan domestik rumah tangga dan tenaga
keperawatan (sekadar contoh) maka dapat langsung dipenuhi tanpa ada keraguan
lagi. Tenaga kerja yang dibutuhkan memang betul-betul sesuai dengan kualifikasi
yang dibutuhkan dan tidak akan mengecewakan pihak yang memesan. Sayangnya,
sejauh ini hampir-hampir tidak ada pemerintah kabupaten/kota yang memiliki data
tentang jumlah dan spesifikasi tenaga kerja yang ada di wilayahnya. Sejauh ini baru Pemerintah
Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, yang mengaku mempunyai data dimaksud.
Akibat dari ‘hilangnya’ peran pemerintah
kabupaten/kota terkhusus Dinas Tenaga Kerja kabupaten/kota, mau tak mau, PPTKIS
harus mencari sendiri langsung ke desa-desa yang selama ini menjadi pemasok tenaga
kerja ke luar negeri. Karena kebanyakan PPTKIS tidak memiliki perwakilan di pelosok desa-desa,
PPTKIS kemudian mengandalkan calo-calo pencari tenaga kerja. Kebanyakan calo boleh dikatakan bekerja
asal-asalan dan memanfaatkan peluang untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Para calo menarik biaya dari para calon TKI dengan berbagai alasan, misalkan untuk
mengurus paspor, visa, ongkos perjalanan dari kampung ke Jakarta, pemeriksaan
kesehatan dan biaya pelatihan. Contoh kasus, dua orang calon TKI asal Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, yang dijanjikan
dipekerjakan di Kuwait masing-masing dipungut (oleh calo) dana sebesar Rp15,5
juta untuk biaya administrasi dan dokumen perjalanan (September 2010). Padahal,
segala biaya berkaitan dengan perekrutan calon TKI menjadi tanggung jawab
PPTKIS. Setiap PPTKIS telah memperoleh imbalan perekrutan (recruiting fee)
dari pengguna jasa/majikan calon TKI melalui perusahaan jasa tenaga kerja asing
(PJTKA) di negara penempatan rata-rata Rp15 juta per calon TKI.
Lantaran para calo bekerja asal-asalan dalam
merekrut calon TKI, PPTKIS pun bagai membeli kucing dalam karung. Arti kata, calon tenaga
kerja yang terjaring boleh jadi buta huruf, masih di bawah umur dan tidak
memiliki kecakapan sesuai yang dibutuhkan oleh pemesan di luar negeri. Suatu
waktu saya pernah
bertemu seorang calon tenaga kerja berasal dari Madura, Jawa Timur. Tenaga kerja
yang siap diberangkatkan ke Arab Saudi itu ternyata buta huruf. Lalu, saya bertanya soal bagaimana cara dirinya
nanti berkomunikasi dengan keluarganya di Tanah Air. Si TKW asal Madura itu
menjawab serius dengan logat Madura yang khas, “Saya kirim suara yang saya
rekam di kaset. Saya bisa banyak cerita lewat kaset dan orang-orang di kampung akan
tahu bagaimana kabar saya di Arab Saudi.” Lantas, saya berpikir, bagaimana si TKW yang buta
huruf ini nanti
berkirim
kaset ke kampung halaman sementara ia tak mengenal baca-tulis. Ya, dapat saja
ia meminta tolong sang majikan. Dalam amsal yang sederhana, seseorang yang baru tiga hari
turun gunung langsung diberangkatkan
ke luar negeri. Mampu bekerja apa mereka di sana? Belum lagi mereka harus menghadapi
masyarakat dengan kultur yang jauh berbeda dibandingkan dengan orang Indonesia.
Mereka, misalkan, ketemu bangsa yang tinggal di padang pasir, berumah batu, dan
harus teriak kencang-kencang. Bisa-bisa TKI dari Sleman mati berdiri mendengar
teriakan orang Arab Saudi.
Terlepas dari hal itu, yang jelas, PPTKIS
sudah keluar banyak biaya untuk merekrut calon TKI tahu-tahu ternyata calon TKI
tadi tidak memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan. Tentu sangat merugikan pihak
PPTKIS. Dan, kalau calon TKI tadi tetap terus dikirim ke luar negeri jelas akan
memunculkan persoalan di tempat sang penerima. Mulai dari soal kesulitan komunikasi,
tak tahu apa yang hendak dikerjakan, tidak memahami adat-istiadat masyarakat
yang didatangi, sampai ketidak-tahuan penanda-tanganan kontrak kerja. Repotnya,
selama ini, sekitar 90% TKI yang bekerja di luar negeri direkrut oleh calo.
Padahal, telah jelas, bahwa calon TKI yang direkrut
oleh PTKIS harus memenuhi sejumlah persyaratan, antara lain berusia minimal 18
tahun dan berpendidikan sekurang-kurangnya SLTP atau yang sederajat (pasal 35
UU Nomor 39/2004). Gara-gara ‘hilangnya’ peran pemerintah kabupaten/kota cq
dinas tenaga kerja dan peran calo yang sangat dominan, pemenuhan persyaratan
itu pun diakal-akali. Yang terjadi kemudian, di antaranya, kongkalikong calo
dengan aparatur yang berwenang untuk memenuhi dokumen yang dibutuhkan oleh para
calon TKI. Di sini lah terjadi pemalsuan dokumen seperti KTP, Kartu Keluarga
(KK), ijazah pendidikan terakhir, surat ijin keluarga, dan identitas sipil
lainnya.
Silang sengkarut tak cuma berhenti di saat proses rekrutmen yang berujung pada
palsu-memalsukan dokumen. Masih di tahapan pra-penempatan, silang sengkarut
pengelolaan TKI berlanjut pada waktu proses pendidikan dan pelatihan. Peraturan
Menakertrans (Permenakertrans) Nomor 23 tahun 2009 tentang Pendidikan dan
Pelatihan bagi Calon TKI di Luar Negeri mengatur bahwa calon TKI yang hendak
dikirim ke luar negeri terlebih dulu harus mengikuti pelatihan standar
kompetensi pola 200 jam atau 21 hari di Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLKLN).
Bagi TKI yang telah kembali dan akan berangkat lagi hanya diwajibkan mengikuti
pelatihan selama 100 jam bila tugas dan negara tujuan berbeda. Pelatihan ini
diharapkan mampu menghasilkan tenaga kerja yang kompeten. Dan, Pemerintah tidak
akan mengirimkan TKI yang tidak mengikuti pelatihan 200 jam.
Sayangnya, Pemerintah tidak konsisten
melaksanakan peraturan yang diterbitkan pada 16 November 2009 itu. Berdasarkan
penelusuran 3 asosiasi pelaksana penempatan TKI swasta (PPTKIS) atau biasa
disebut perusahaan jasa TKI (PJTKI), terungkap sedikitnya 10 PPTKIS tidak
melatih calon TKI-nya sesuai dengan ketentuan Permenakertrans. Sejak 16
November 2009 hingga 23 Februari 2010, calon TKI yang sudah masuk program
pelatihan 200 jam di BLKLN mencapai 50.393 orang dan 20.463 orang di antaranya
sudah berangkat ke luar negeri. Namun, pada periode ini pula sekitar 5.000 TKI
bisa ditempatkan oleh 10 PPTKIS, meski tidak mengikuti pelatihan 200 jam di
BLKLN. Mereka tetap memperoleh izin dari pemerintah untuk memberangkatkan calon
TKI-nya ke luar negeri. Padahal, calon TKI tersebut tidak memiliki sertifikat tanda
telah lulus pelatihan 200 jam yang diterbitkan oleh sekitar 90 BLK yang ditunjuk. Di sini kemudian
muncul kasus-kasus sertifikat kompetensi asli tapi palsu (aspal). Kasus-kasus
semacam ini terutama terjadi untuk penempatan TKI dengan tujuan negara-negara Timur
Tengah. Sementara sekitar 180 PPTKIS lainnya cukup mematuhi Permenakertrans
tadi dan harus mengeluarkan biaya pelatihan Rp1,1 juta per TKI. Pemerintah
bertindak diskriminatif. Ini jelas dapat menjadi preseden buruk.
Lebih jauh lagi, hal ini dapat merusak
tatanan formal dalam proses penempatan dan perlindungan TKI ke luar negeri. Pelatihan ini amat penting bagi
tersedianya TKI yang berkompeten dan berkualitas.
Sejak berlakunya program pelatihan minimal 200 jam bagi TKI di BLKLN, kasus
pemulangan TKI atau TKI bermasalah di awal masa bekerja boleh dikatakan sangat
berkurang.
Memang, harus diakui, pelatihan 200 jam ini tidak mudah dilakukan. Karena, kondisi Balai Latihan Kerja (BLK) yang
dimiliki pemerintah sungguh memprihatinkan. Sekitar 50% dari 186 BLK yang
dikelola pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia dalam kondisi rusak, 35
% kualitasnya sedang, dan cuma 8% dalam kondisi baik. Kondisi sekitar 90 BLK sangat
menyedihkan karena banyak
gedung-gedungnya yang sudah rusak serta peralatannya juga tidak berfungsi. Selain itu,
banyak pula terjadi salah penggunaan dari alat-alat yang ada di tempat itu. Ditambah
lagi, banyak instruktur yang dulunya bekerja di BLK, kini telah dipindahkan di
satuan-satuan kerja lain di lingkungan pemerintah daerah. Bangunan BLK di
Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, misalkan, sampai pertengahan tahun 2010 masih
belum bisa aktif karena
ketiadaan instruktur. Sementara itu, bangunan yang menelan biaya Rp8 miliar dan
didanai lewat APBN itu telah rampung sejak akhir 2009 lalu. Pemerintah
Kabupaten Pacitan menyerahkan pengelolaan BLK yang terdiri dari tiga bangunan
itu ke pemerintah pusat. Di era otonomi daerah, pengelolaan BLK-BLK itu lazimnya
diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota. Ironisnya, sekitar 90 BLK yang
tersebar di seluruh Indonesia itu tidak berfungsi dan tidak terurus. Banyak
pemerintah kabupaten/kota menyerahkan kembali pengelolaannya kepada pemerintah
pusat. Pemerintah telah mengalokasikan dana BLK dan pelatihan TKI melalui APBN.
Selain kondisi fisik yang memprihatinkan,
program pelatihan di BLK kerapkali tidak sinkron dengan kebutuhan pasar kerja. Dari
sisi keterampilan dan keahlian, calon-calon TKI kita dapat dikatakan relatif
memadai. Misalkan tenaga-tenaga pertukangan, teknisi-teknisi permesinan dan
tenaga keperawatan yang ada saat ini tak diragukan lagi kompetensi dan
kemampuannya. Persoalan yang cukup menggelisahkan adalah kemampuan
berkomunikasi dalam bahasa asing yang rendah. Sekadar contoh, Kanada
membutuhkan tenaga perhotelan dan Jepang memerlukan tenaga keperawatan dari
Indonesia. Permintaan itu belum bisa dipenuhi, karena calon TKI profesional
yang dibutuhkan itu masih terkendala kemampuan bahasa negara yang dituju.
Sungguh tidak mudah menyediakan BLK dalam
jumlah yang
ideal. Dalam arti,
setiap ibukota provinsi dan ibukota kabupaten/kota memiliki minimal satu BLK. Kita
masih kekurangan sekitar 320 BLK. Dibutuhkan dana sedikitnya Rp28 triliun untuk
menghadirkan BLK di setiap ibukota provinsi/kabupaten/kota, plus biaya
operasionalnya. Sekadar contoh, satu BLK permesinan membutuhkan dana sekitar Rp59 miliar.
Kemudian biaya operasional BLK tipe A sekitar Rp15 miliar sampai Rp30 miliar
dan BLK tipe B sekitar Rp8 miliar sampai Rp12 miliar per tahun. Sementara
anggaran untuk meningkatkan kompetensi tenaga kerja cuma Rp756 miliar (APBN
tahun anggaran 2011).
Karena proses rekrutmen yang asal jadi, tak
mengherankan bila kemudian banyak klaim terhadap kualitas TKI terutama TKW yang
bekerja di sektor penata-laksana rumah tangga (PRT). Klaim yang muncul antara
lain: tenaga kerja yang diterima ternyata di bawah umur (walau umur yang
tercantum dalam paspor sudah dewasa), tidak memiliki keterampilan yang memadai,
tidak mampu berkomunikasi (kurangnya penguasaan bahasa setempat), dan tidak
mengetahui perihal adat-istiadat serta sosial-budaya di lingkungan rumah tangga dan di
masyarakat. Dengan kualifikasi alakadarnya itu, TKI menghadapi persoalan
pekerjaan tidak sesuai dengan perjanjian kontrak, tidak mampu bekerja, gaji
tidak dibayar, penganiayaan, pelecehan seksual, komunikasi tidak lancar,
kecelakaan kerja, sakit akibat kerja, hamil, dan diputus secara sepihak.
Hal-hal inilah terutama yang menyebabkan terjadinya TKI/TKW bermasalah yang di
tahun 2009 lalu berjumlah 616 orang di shelter KBRI Kuwait, 3 orang dan seorang
bayi di shelter Kantor Konsuler Bahrain, 141 di shelter KBRI Malaysia
(Kualalumpur), dan sekitar 120 orang di shelter KBRI Singapura. Dan, ribuan
TKI/TKW bermasalah dipulangkan setiap tahun.
Data Penanganan
Pekerja Migran
Bermasalah
Dari Tahun 2005 s/d18
Agustus2010
No
|
TAHUN
|
JUMLAH PEMULANGAN
|
ANGGARAN
|
KET
|
1
|
2005
|
35.466
|
18.018.315.000
|
|
2
|
2006
|
30.005
|
18.018.315.000
|
|
3
|
2007
|
36.315
|
16.502.567.000
|
+
APBNP
|
4
|
2008
|
36.679
|
18.804.900.000
|
|
5
|
2009
|
31.510
|
18.517.087.000
|
+
APBNP
|
6
|
S.D
18 Agustus 2010
|
15.113
|
15.671.256.000
|
|
185.088
|
100.472.801.500
|
Sumber: Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, 2010
Ketidak-beresan di masa pra-penempatan
terus berlanjut. Setelah proses pendidikan dan pelatihan yang nyaris tak
terurus, calon TKI harus berhadapan pula dengan proses pemeriksaan kesehatan
yang dilakukan asal-asalan atau semata-mata untuk memenuhi persyaratan formal saja. Sebelum diberangkatkan,
sebagaimana diatur oleh pasal 49 (1) UU Nomor 39/2004, calon TKI wajib
mengikuti pemeriksaan kesehatan dan psikologi yang diselenggarakan oleh sarana
kesehatan dan lembaga yang menyelenggarakan pemeriksaan psikologi yang ditunjuk
Pemerintah. Yang terjadi di lapangan, calon-calon TKI itu melakukan pemeriksaan
kesehatan di klinik yang dekat dengan tempat penampungan yang tidak
direkomendasikan oleh pemerintah. Repotnya, terjadi kongkalikong perusahaan
pengirim (PPTKIS) dengan klinik kesehatan dan calon-calon TKI diloloskan begitu
saja. Semua calon TKI dinyatakan sehat. Yang muncul kemudian adalah surat keterangan
hasil tes kesehatan asli tapi palsu. Arti kata, dokumen pemeriksaan asli namun
keterangan yang tertera di dalamnya tidak sesuai dengan kondisi sesungguhnya kesehatan si
calon TKI. Pemeriksaan kesehatan sebelum berangkat ini sangat penting buat
kesiapan calon TKI bekerja di luar negeri. Bila seorang calon TKI ketahuan
mengidap penyakit akut atau kronis maka si calon TKI ini tak layak
diberangkatkan. Kalau tetap dikirim maka akan memunculkan persoalan di negara
tujuan. Si TKI, umpamanya, tidak mampu bekerja di tempat majikan di Arab Saudi secara
optimal karena kedapatan mengidap sakit asma atau alergi debu.
Setelah memperoleh surat keterangan sehat
dari lembaga yang berwenang, si calon TKI mendaftar di Dinas Tenaga Kerja
kabupaten/kota setempat dan datanya dimasukkan dalam sistem online data
ketenaga-kerjaan. Datanya
langsung dapat diakses oleh pihak yang terlibat dalam proses pemberangkatan dan
perlindungan. Setelah mendaftar itu, Dinas Tenaga Kerja membuatkan surat atau
semacam kartu perjalanan. Surat ini dijadikan bekal selama perjalanan dari
kampung halaman ke kantor PPTKIS (misalkan Jakarta, Semarang atau Surabaya) yang akan memberangkatkan ke luar
negeri. Di sini pun tak terlepas dari permainan yang melelahkan. Selama dalam
perjalanan, tak jarang kendaraan pengangkut calon TKI dicegat oleh oknum polisi.
Sang oknum lalu memeriksa surat-surat kendaraan dan dokumen calon TKI.
Ujung-ujungnya, sang oknum meminta ‘jatah’ uang agar tidak dicurigai sebagai
perdagangan manusia (trafficking).
Setiba di kantor PPTKIS, si calon TKI lalu menjalani masa
penampungan sementara untuk menunggu giliran pemberangkatan ke luar negeri. Secara
manajemen, PPTKIS harus menyediakan tempat yang layak dan memberi kepastian
kapan si calon TKI diberangkatkan. Tapi, ternyata, banyak PPTKIS yang menyewa
atau membuat bangunan penampungan (barak) seadanya dan berlokasi jauh tersembunyi
dari hiruk-pikuk kontrol sosial masyarakat. Barak penampungan yang ada tidak
memperhatikan sanitasi, tidak menyediakan tempat tidur yang memadai, dan makanan
yang disediakan jauh dari memenuhi standar kesehatan. Selama berada di penampungan,
para calon TKI (terutama calon PRT) terkadang dipekerjakan pada rumah pemilik
PPTKIS atau rumah perorangan tanpa digaji. Alasannya, para calon TKI ini dianggap sedang
berpraktik kerja lapangan. Apes nian.
Di tempat penampungan sementara, banyak calon TKI yang seolah
‘diasingkan’ dari dunia sekelilingnya. Bahkan, untuk sekadar menerima selembar surat
dari kerabat di kampung halaman terkadang dihambat. Surat-menyurat harus
melewati sensor dari karyawan jaga PPTKIS. Ditambah lagi calon TKI acapkali
menerima perlakuan kasar, intimidasi dan pelecehan seksual. Belum pula, tak
ada batasan waktu maksimal calon TKI berada di tempat penampungan. Nyaris tak ada kepastian kapan
dapat berangkat. Sungguh sebuah nestapa TKI yang hampir tiada akhir.
Kendati relatif lama berada di tempat
penampungan, banyak calon TKI yang kemudian dihadapkan
pada waktu yang mepet saat harus menanda-tangani perjanjian kontrak kerja. Semestinya,
ada waktu yang cukup karena penanda-tanganan kontrak kerja menyangkut banyak hal, antara lain harus
diketahui oleh instansi pemerintah, hak dan kewajiban para pihak, kondisi dan
syarat kerja, dan ketentuan perpanjangan waktu kontrak kerja. Akibatnya,
mereka tidak sempat membaca secara rinci dan mempelajari isi nota perjanjian. Bahkan,
tidak sedikit tanda tangan calon TKI yang dipalsukan untuk dibubuhkan ke dalam nota perjanjian
kontrak kerja. Dan para TKI tak tahu bagaimana rincian isi perjanjian kerja antara dirinya dan
majikan.
Lantaran proses-proses awal yang kurang
beres, pemberangkatan TKI kerapkali pula harus main kucing-kucingan. Mengingat
Republik Indonesia sebagai negara kepulauan, banyak pintu keluar/masuk untuk
jalan ke/dari luar negeri. Sekadar contoh di Riau dan Kepulauan Riau (Kepri)
terdapat 67 "pelabuhan tikus" yang acap dijadikan pintu lalu-lalang orang Indonesia
menuju Negeri Jiran Malaysia. Sebaliknya di Malaysia, diketahui ada 24
"pendarat haram" (istilah "pelabuhan tikus" di Malaysia)
yang biasa dijadikan tempat pendaratan orang-orang Indonesia yang datang ke
Malaysia secara gelap.
Begitu banyak kekusutan selama masa
pra-penempatan TKI di dalam negeri. Dari proses rekrutmen sampai
pemberangkatan. Proses awal tentulah sangat mempengaruhi sukses-tidaknya TKI
selama berada di tempat kerja di negeri orang. Dengan posisi yang sangat
rentan, yang terjadi kemudian, para TKI dan atau TKW demikian gampang dijadikan
korban eksploitasi. Karena bekal pengetahuan yang minim, TKI kerapkali
terkaget-kaget saat tiba dan mulai bekerja di negeri orang. Misalkan di Arab
Saudi, seorang PRT (TKW) tiba-tiba harus bekerja melayani satu rumah yang
berisi 3-4 keluarga, jam kerja melampaui batas, dilarang berkomunikasi dengan
kerabat, dan gaji tidak dibayarkan secara rutin setiap bulan. Fisik pun didera kelelahan yang
teramat sangat. Akibatnya, tak sedikit TKW yang mengalami depresi atau kabur dari
rumah majikan tanpa membawa lembaran dokumen apapun. Lebih tragis lagi, mereka
tak tahu mesti mengadu ke mana. Seringkali mereka mengadu ke polisi tapi kemudian
dikembalikan ke agensi yang kurang bertanggung-jawab. Lalu, mereka dipekerjakan
secara illegal, digaji murah dan bahkan sampai dilacurkan.
Beban kerja yang demikian berat, perlakuan
buruk majikan dan pola permukiman yang cenderung vertikal acapkali menjadikan
TKI/TKW putus asa dan kehilangan akal sehat. Pada umumnya, di kampung mereka, para TKI/TKW tinggal
di perkampungan dengan pola permukiman horizontal. Buntut-buntutnya banyak tragedi
dan perilaku kriminal menimpa TKI/TKW di negeri orang. Entah jatuh karena murni kecelakaan
maupun menjatuhkan diri sebagai bentuk upaya bunuh diri. Kasus seperti ini banyak
terjadi di Negeri Jiran Singapura.
Selain perlakuan majikan yang buruk, masih
terdapat catatan buruk yang harus dihadapi oleh TKI/TKW di negeri orang. Beberapa
catatan yang dapat diungkapkan antara lain mereka dipulangkan secara sepihak
oleh agensi setelah usai masa pemotongan gaji, ditipu lewat modus manipulasi
pemeriksaan kesehatan yang akhirnya dipulangkan lantaran dianggap tidak fit, dipenjara
dengan berbagai rekayasa tuduhan, bekerja tidak sesuai dengan perjanjian
kontrak, dan dikenai pungutan oleh aparatur KBRI / Konjen RI dengan berbagai
dalih. Junaedi bin Atut Emong misalkan. TKI asal Desa Gombongsari, Kecamatan Rawamerta,
Kabupaten Karawang, Jawa Barat, ini harus bekerja sebagai pemijat dan penjaga
rumah. Padahal, dalam kontrak kerjanya dia akan
dipekerjakan sebagai pengemudi di Arab Saudi. Kemudian Siti Rohanah,TKW asal Kabupaten
Magelang, Jawa Tengah, punya kisah pilu tentang dirinya yang tidak digaji
selama 2 tahun 10 bulan bekerja di Arab Saudi. Junaedi dan Rohanah tidak
sendirian. Sampai pertengahan tahun 2010 terdapat sekitar 120 TKI bermasalah
berada di penampungan KJRI Jeddah, Arab Saudi.
Tak hanya sebatas majikan tidak membayar gaji, para
TKI acapkali harus pula menghadapi problematika majikan bermasalah, majikan
meninggal dunia, hamil tanpa kejelasan, dan majikan memutus perjanjian kontrak
secara sepihak. Dengan perlakuan-perlakuan semacam itu, praktis, tidak sedikit
TKI yang pulang dengan tangan hampa. Bertumpuk-tumpuk persoalan itu mengakibatkan
banyak TKI terutama TKW mengalami depresi berat dan teraniaya. Dalam sehari
rata-rata tiga orang TKI dipulangkan ke Tanah Air gara-gara depresi dan tekanan
psikologis yang berat.
Permasalahan Kepulangan
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Tahun 2010
(tabel)
Selama bekerja di negeri orang, para
TKI/TKW tidak memperoleh perlindungan yang semestinya. Sudah begitu, mereka
pulang dengan hasil nihil. Sejauh ini, sebetulnya, para TKI sudah membayar premi
asuransi sebelum berangkat bekerja di luar negeri. Kewajiban membayar premi asuransi
ini merupakan amanat pasal 83 UU Nomor 39/2004. Pasal ini menegaskan bahwa setiap calon TKI atau
TKI yang bekerja di luar negeri wajib mengikuti program pembinaan dan perlindungan
TKI. Pemerintah lalu mengambil sikap melakukan perlindungan TKI di luar negeri
melalui program asuransi. Dalam lampiran Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor
07/Men/VI/2010, setiap TKI dikenakan pembayaran premi asuransi sebesar
Rp400.000. Program asuransi ini merupakan salah satu upaya perlindungan
terhadap TKI. Proteksi diberikan kepada pekerja agar mereka dapat melaksanakan
pekerjaannya dengan tenang sehingga kinerja dan kontribusi perkerja tersebut
dapat tetap maksimal dari waktu ke waktu. Proteksi diberikan sejak mulai proses
pra-penempatan, penempatan sampai purna-penempatan (pasal 77 UU Nomor 39/2004).
Secara normatif, perlindungan semasa pra-penempatan menjadi kewajiban PPTKIS,
masa penempatan oleh Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, dan saat
kepulangan menjadi tanggung jawab PPTKIS.
Soal perlindungan TKI saat kepulangan boleh dikatakan amat
minim. Ketika mereka pulang dengan sejumlah persoalan, PPTKIS yang
memberangkatkan tak bisa mengklaim ke perusahaan asuransi yang dulu menerima
pembayaran premi TKI. Perusahaan asuransi yang ditunjuk tampak cuci tangan. Sekadar contoh,
Yoyoh binti Asep asal Dusun Cikaeuripan, Kecamatan Kadudampit, Kabupaten
Sukabumi, Jawa Barat, yang bekerja pada majikan Moh. Amin Saefuddin Ghazi Saati
di Jeddah, Arab Saudi. Ia bekerja selama 10 bulan dan terpaksa melarikan diri pada
Maret 2010 karena majikan ringan tangan dan akan diperkosa oleh anak majikan. Setelah
melalui perjuangan dan bantuan dari Himsataki, Yoyoh dapat memperoleh hak
gajinya sebesar SR8.800 namun kasus penganiayaan dan percobaan perkosaan
terhadap dirinya tidak diproses lebih lanjut. Kasus lain, Rochmat bin Harto
Saji Karto. TKI asal Dusun Samirejo, Kecamatan Gembong, Kabupaten Pati, Jawa
Tengah, ini harus menerima kenyataan tenaganya diperas bekerja untuk 4 rumah
dan dari masa kerja 1 tahun 4 bulan hanya dibayar 8,5 bulan. Ke mana dia mesti mengklaim
kerugian atas gaji yang tidak dibayar oleh majikan? Setelah mengadu ke KJRI
pada 16 Juni 2010, majikannya yang bernama Aiman Abdul Rahim cuma menebar janji
akan membayar sisa gaji Rochmat. Perusahaan asuransi tidak membayar klaim yang
diajukannya. Karena, perusahaan asuransi mitra PPTKIS Kemuning Bunga Sejati
yang memberangkatkannya tidak memiliki perwakilan di Jeddah.
Jadi bukan perusahaan asuransi yang berusaha
menyelesaikan dengan pembayaran klaim. Perusahaan asuransi dari dalam negeri tidak
bisa menuntaskan karena tidak memiliki perwakilan di negara-negara di mana para
TKI bekerja. Dalam penelusuran Himsataki, selama enam bulan pertama tahun 2010,
tercatat sekitar 900 TKI bermasalah di tempat kerja yang tidak memperoleh klaim
asuransi. Memang tidak masuk akal, penunjukan perusahaan asuransi dan broker
dari dalam negeri Indonesia untuk memberikan perlindungan kepada TKI selama
bekerja di luar negeri. Akibatnya, mereka terpaksa menyelesaikan sendiri –baik
dengan bantuan KJRI, PPTKIS maupun asosiasi.
Padahal, berdasarkan Peraturan Menakertrans RI Nomor PER-18/MEN/IX/2007
Tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, pemulangan
dan penanganan TKI bermasalah tidak lagi menjadi tanggung jawab gabungan antara
Direktorat PTKLN Kementerian Nakertrans dan wakil-wakil PPTKIS (asosiasi). Sejak
tahun 2007 pemulangan TKI –baik habis kontrak maupun bermasalah—ditangani oleh
BNP2TKI. Namun karena ketidak-mampuannya dalam menindaklanjuti penyelesaian
permasalahan TKI (khususnya tentang penyelesaian klaim asuransi yang menjadi
hak TKI) maka mulai Februari 2008 BNP2TKI menyerahkan penanganan bantuan hukum
dan klaim asuransi TKI kepada LBH Kompar (lembaga swasta) dengan biaya
didasarkan pada DIPA dari Deputi Bidang Perlindungan BNP2TKI tahun 2008. Penyerahan
ini dituangkan dalam perjanjian kerja sama antara BNP2TKI dan LBH Kompar Nomor
B612/PL/II/2008 Tentang Bantuan Hukum TKI yang pulang dari luar negeri yang
ditanda-tangani oleh Drs. Mardjono (BNP2TKI) dan Drs. Sumarno (Direktur
Eksekutif LBH Kompar).
Setelah sekitar setahun berjalan, ternyata LBH Kompar
juga tidak mampu menangani persoalan TKI dan klaim asuransi ini. Sebab itu,
pada 26 Juli 2009 LBH Kompar menjalin kerja sama dengan Himsataki yang
dituangkan ke dalam naskah kerja sama Nomor 102256/MoU/LBH/JKT/06/09. Salah
satu butir perjanjian itu LBH Kompar (pihak I) menyerahkan seluruh data TKI
bermasalah yang telah dihimpunnya selama ini kepada Himsataki. Data yang
dihimpun LBH Kompar selama enam bulan itu berisi 16.327 TKI bermasalah.
Langkah awal Himsataki adalah meneliti data fisik dan
data yang tersimpan di flahdisk.
Lalu, Himsataki mengambil sampel sekitar 1.000 TKI bermasalah dan mencocokkan
dengan PPTKIS terkait mengingat data tersebut merupakan data lama dan besar
kemungkinan melewati batas waktu klaim asuransi. Hal ini jelas merupakan
kesalahan LBH dalam menanganinya serta tidak adanya pengawasan BNP2TKI. Dalam
klausul kerja sama disebutkan LBH Kompar wajib memberikan laporan tiap triwulan
ke BNP2TKI. Ternyata klausul ini dilanggar.
Langkah selanjutnya, Himsataki meminta rekomendasi dari
Depnakertrans Ciracas untuk pengajuan klaim asuransi sekitar 1.000 orang TKI.
Setelah mengantongi rekomendasi, Himsataki mengirim surat kepada Menakertrans
(saat itu) Erman Suparno setelah lima bulan berlalu, ternyata tidak ditanggapi.
Himsataki tidak patah arang. Kemudian, pada 27 Januari 2010, Himsataki
mengirimkan surat senada (disertai data penunjang) kepada Direktur Jenderal
Binapenta Kemnakertrans. Setali tiga uang, surat ini pun tak memperoleh tindak
lanjut.
Di masa Menakertrans Muhaimin Iskandar, tepatnya pada 1
Maret 2010, Himsataki kembali mengirimkan surat yang pada intinya meminta
kejelasan klaim asuransi TKI yang tidak pernah dibayar sejak jaman Menakertrans
Erman Suparno. Lagi-lagi, gayung tak bersambut. Yang terjadi kemudian adalah Menteri Tenaga
Kerja Muhaimin Iskandar, pada pertengahan September 2010, mengambil kebijakan menunjuk
satu konsorsium yang beranggotakan sekitar 10 perusahaan asuransi. Padahal,
sebelumnya dia menyetujui pembentukan empat konsorsium. Tidak jelas apa alasan
penunjukan satu konsorsium dan penolakan terhadap tiga konsorsium lainnya. Dan,
ironisnya, satu
konsorsium yang ditunjuk itu merupakan perusahaan asuransi dan broker yang
tidak membayar klaim asuransi ribuan TKI di masa sebelumnya. Pada masa Menteri
Tenaga Kerja Erman Suparno (2005-2009) telah ditunjuk sembilan konsorsium
asuransi. Satu konsorsium terdiri dari lima perusahaan asuransi dan broker.
Kalau memang mau mengubah peraturan tentu harus didudukkan pada proporsi yang
tepat. Asuransi yang mampu melindungi TKI di luar negeri adalah asuransi yang
beroperasi di negara-negara tujuan TKI. Perusahaan itulah yang lebih layak
ditunjuk.
Langkah kebijakan Menteri Tenaga Kerja Muhaimin Iskandar menunjuk
satu konsorsium asuransi jelas sulit diterima akal sehat. Perusahaan asuransi yang ditunjuk Kementerian Nakertrans tidak dapat
beroperasi di luar negeri karena mereka tidak memiliki perwakilan di sana. Akibatnya, asuransi
itu tidak mampu berfungsi melindungi TKI di luar negeri karena baru bisa
diklaim setelah si TKI pulang ke Indonesia. Memang, Menteri Tenaga Kerja juga
mengatur mewajibkan perusahaan asuransi membuka perwakilan di negara-negara
tempat bekerja para TKI. Alih-alih membuka perwakilan di mancanegara, kalau toh
ada sekadar numpang
bendera, perwakilan di kota atau kabupaten kantong-kantong TKI pun nyaris
nihil. Banyak perusahaan asuransi yang hanya memiliki kantor di Jakarta dan
kota-kota besar (Semarang dan Surabaya). Betapa merepotkan, setelah pulang ke Tanah
Air proses klaim sangat berbelit-belit. Ditambah lagi, kalau tiba di Indonesia,
mereka maunya langsung cepat-cepat pulang kampung. Sebetulnya negara penempatan
juga telah memberikan perlindungan. Di Qatar umpama saja, bilamana ada TKI
bermasalah dan lari ke KBRI, bila dalam waktu 2x24 jam tidak menyelesaikan permasalahannya,
maka seluruh pelayanan publik majikan TKI itu dihentikan oleh pemerintah
setempat.
Dengan sejumlah persoalan yang dihadapi
oleh para TKI/TKW selama bekerja di manca negara, mereka pun menghadapi
permasalahan ketika pulang ke Tanah Air. Dan, permasalahan tidak hanya dihadapi
oleh TKI/TKW yang memang bermasalah saat bekerja di luar negeri. Mereka yang
wajar-wajar saja selama bekerja di luar negeri pun tidak mudah pulang ke
kampung halaman. Setiap TKI yang hendak pulang ke Tanah Air diwajibkan
melaporkan perihal kepulangannya ke Perwakilan Republik Indonesia di negara
yang menjadi tempat mereka bekerja. Bagi TKI yang bekerja pada pengguna
perseorangan, pelaporan dilakukan oleh PPTKIS yang menempatkannya. Di sini
terkadang juga terjadi berbagai pungutan yang tidak jelas. Maksud hati hendak
pamitan. Tapi, rupanya, tak ada pamitan yang gratis.
Dari negara tempat mereka bekerja, para TKI pulang naik
pesawat terbang yang mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Di sini
kesemrawutan tampak nyata. TKI/TKW yang baru turun dari pesawat menjadi sasaran
empuk tangan-tangan orang yang tidak bertanggung-jawab. Bukan bentangan karpet merah (tanda penghormatan) yang menyambut para pahlawan
devisa ini. Memang, Pemerintah telah menyediakan terminal khusus buat
kedatangan TKI dari mancanegara. Tapi, pelayanan yang diberikan terasa tidak
bersahabat dan jauh dari kata profesional. Tak tersedia crisis centre di
pos kedatangan TKI sehingga mereka yang pulang membawa luka-luka (baik fisik maupun
psikis) tidak
memperoleh perawatan yang memadai.
TKI yang baru tiba di Bandara
Soekarno-Hatta kerapkali menjadi incaran para calo dan ‘dijual’ kembali ke luar
negeri. Kalau toh dipulangkan, si TKI harus naik mobil yang ditunjuk oleh yang
berwenang. Mereka tidak bebas memilih angkutan umum yang akan mengantarkannya
ke kampung halaman. Dengan cara begini, dalam perjalanan si TKI acap diperas
atau diminta membayar ongkos yang berlipat-lipat dibandingkan harga normal. Bila ongkos reguler
Jakarta-Sukabumi misalkan di bawah Rp100.000 maka si TKI bisa dikenakan
Rp250.000. Yang lebih menyakitkan lagi, si TKI dioper ke kendaraan lain lalu
diminta ongkos tambahan oleh sopir kendaraan yang menerima operan.
TKI yang baru datang –terutama TKW
berpendidikan terbatas- biasanya terlihat kebingungan saat menginjakkan kaki di ruang
kedatangan. Terkadang mereka bingung tak tahu mesti berbuat apa, sementara
barang bawaan belum ada di tangan. Masih berada di bagasi pesawat. Kesempitan
para
TKI ini dimanfaatkan oleh para porter barang di bandara untuk meminta uang
pelayanan atau pengambilan barang dari bagasi pesawat.
Secara hukum, merujuk pada perundangan yang
ada, pembinaan dan perlindungan TKI relatif memadai. Persoalannya, implementasi
di lapangan kerapkali ditunggangi oleh berbagai kepentingan. Kusut masai
manajemen TKI di lapangan ini diperparah lagi dengan ketiadaan koordinasi
lintas sektoral yang berkaitan dengan ketenaga-kerjaan. Pengelolaan, penempatan
dan perlindungan TKI selama ini melibatkan Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Kementerian Luar Negeri, Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan
HAM, Pemerintah Daerah, dan PPTKIS. Untuk mencapai manajemen yang baik dan
tepat, instansi-instansi tadi harus berkordinasi secara padu. Sebagaimana
diamanatkan oleh UU Nomor 39 Tahun 2004, Pemerintah membentuk Badan Nasional
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Badan yang dibentuk dan
mulai beroperasi tahun 2006 ini merupakan lembaga satu atap untuk menciptakan
pelayanan terpadu dalam penempatan dan perlindungan TKI yang bekerja di luar
negeri. Dan, aparat yang ditempatkan di BNP2TKI pun mewakili unsur-unsur
Kemenakertrans, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kepolisian
RI dan instansi pemerintah lainnya.
Namun, sejauh ini, tugas pokok dan fungsi
(tupoksi) BNP2TKI tidak jelas dan sering berbenturan dengan Kemenakertrans.
Seharusnya, seorang Kepala BNP2TKI mampu menjalankan fungsi koordinasi lintas
departemen. Ketidak-jelasan dan perbenturan itu mengakibatkan sampai kini belum
ada perbaikan yang signifikan dalam penempatan dan perlindungan TKI. Pemerintah
belum mengoptimalkan peran dan fungsi BNP2TKI. Padahal, UU Nomor 39/2004
mengamanatkan –selain melayani penempatan dan perlindungan TKI yang dilakukan
antar-pemerintah (G to G)— BNP2TKI juga berperan membuka pasar kerja di luar
negeri. Untuk di luar negeri, BNP2TKI harus berhadapan dengan mitranya di luar
negeri. Tapi secara protokoler, kepala badan ini masih setingkat dengan pejabat
eselon I. Sementara mitra di luar negeri adalah seorang menteri.
Jadi jelas bahwa karut-marut pengelolaan,
penempatan dan perlindungan TKI boleh dikatakan terjadi di semua lini sistem
dan manajemen. Dengan
sistem dan manajemen yang amburadul tentu sulit diharapkan bagi berlangsungnya
proses pengembangan sumber daya manusia. Arti kata, saat ini sulit bagi kita
berharap bakal berkembangnya talenta-talenta TKI yang mampu berkompetisi di era
global. Boleh jadi kita akan terpuruk terus dalam kubangan prahara TKI informal
yang tak pernah berkembang. Sudah lebih dari 30 tahun kita mengirimkan TKI ke
mancanegara dan tahu persis di mana lobang-lobang ‘tikus’ kekisruhan. Tapi, kita seolah tak berdaya membereskan atau
menutup lobang-lobang kekusutan itu. Sungguh aneh bin ajaib. ***
Artikel Pendukung
Pemerintah Tak Konsisten,
PPTKIS Ancam Abaikan Aturan
Pemerintah dinilai tidak konsisten menjalankan
peraturan tentang kewajiban mengikuti pelatihan 200 jam bagi calon TKI yang
hendak bekerja di luar negeri. Dalam hal ini, seharusnya calon TKI masuk balai
latihan kerja luar negeri (BLKLN) untuk mengikuti berbagai jenis pelatihan
minimal 200 jam, sesuai yang diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Permenakertrans) Nomor 23 Tahun 2009 tentang Pendidikan dan
Pelatihan Kerja bagi Calon TKI ke Luar Negeri yang diterbitkan pada 16 November
2009.
Berdasarkan penelusuran 3 asosiasi Pelaksana
Penempatan TKI Swasta (PPTKIS) atau biasa disebut Perusahaan Jasa TKI (PJTKI),
sedikitnya 10 PPTKIS tidak melatih calon TKI-nya sesuai amanah Permenakertrans.
Namun, mereka tetap mendapatkan izin dari pemerintah untuk memberangkatkan
calon TKI-nya ke luar negeri. Padahal, calon TKI tersebut tidak memiliki
sertifikat untuk pelatihan 200 jam dari sekitar 90 BLK yang ditunjuk. Kasus ini
terjadi untuk penempatan TKI tujuan Timur Tengah.
Karena itu, ke-3 asosiasi PPTKIS, yakni
Asosiasi Perusahaan Jasa TKI (Apjati), Himpunan Pengusaha Jasa TKI (Himsataki),
dan Indonesia Development Employee Association (IDEA), mempertanyakan
konsistensi pemerintah dalam menerapkan aturan wajib pelatihan 200 jam bagi
calon TKI ini. Padahal, sebanyak 180 PPTKIS khusus penempatan ke Timteng
menjalankan ketentuan untuk melatih calon TKI-nya di BLKLN yang ditunjuk.
Dengan demikian, asosiasi PPTKIS menganggap pemerintah sudah bertindak
diskriminatif.
"Jika pemerintah tidak konsisten
menerapkan aturan pelatihan bagi calon TKI ini, maka anggota-anggota 3 asosiasi
PPTKIS juga tidak akan melaksanakan ketentuan yang ada. Padahal, sebenarnya
sejak awal kalangan PPTKIS mendukung penuh kebijakan pengiriman TKI yang
berkualitas. Salah satunya dilakukan melalui pelatihan 200 jam bagi calon TKI.
Namun, ternyata pemerintah sendiri yang tidak konsisten," kata Juru Bicara
3 Asosiasi PPTKIS Yunus M. Yamani di Jakarta.
Menurut Yunus, sejak 16 November 2009
hingga 23 Februari 2010, calon TKI yang sudah masuk program pelatihan 200 jam
di BLKLN mencapai 50.393 orang dan 20.463 di antaranya sudah berangkat ke luar
negeri. Namun, pada periode ini pula sekitar 4.000 TKI bisa ditempatkan oleh 10
PPTKIS, meski tidak mengikuti pelatihan 200 jam di BLKLN. Pemerintah tidak
konsisten dalam menegakkan hukum dan peraturan yang ada, seperti ada upaya
mengadu-domba. Ke-10 PPTKIS tersebut juga dinilai sudah merusak tatanan formal
dalam proses penempatan dan perlindungan TKI ke luar negeri.
"Namun, ini dibiarkan pemerintah. Kita
sebagai pengurus asosiasi sudah dikritik oleh anggota PPTKIS yang menjalankan
ketentuan pemerintah. Ini karena kita juga membicarakan biaya. Biaya untuk
pelatihan 200 jam di BLKLN mencapai Rp1,1 juta per TKI. Jadi, 10 PPTKIS itu
tidak perlu mengeluarkan biaya untuk melatih TKI-nya. Sementara 180 PPTKIS
lainnya melaksanakan aturan pemerintah. Ini kan preseden buruk," tutur
Yunus.
Lebih jauh Yunus mengungkapkan, sejak
berlakunya program pelatihan minimal 200 jam bagi TKI di BLKLN, kasus
pemulangan TKI atau TKI bermasalah di awal masa bekerja jauh berkurang.
Terancam Bangkrut
Ketidak-tegasan pemerintah soal pelatihan
calon TKI di balai latihan kerja pola 200 jam dan biaya rekrutmen calon TKI di
berbagai daerah dapat mengakibatkan perusahaan penempatan tenaga kerja
Indonesia terancam bangkrut. "Biaya rekrutmen calon TKI pada sedikitnya 12
lokasi kantong tenaga kerja itu rata-rata Rp6 juta untuk satu orang calon
penata laksana rumah tangga atau bekerja di sektor informal," jelas Yunus
M. Yamani.
Yunus menambahkan, beban biaya itu masih
harus ditambah dengan biaya tes kesehatan, pembuatan paspor, visa, asuransi,
dan tiket, sehingga ongkos total yang harus dikeluarkan oleh Perusahaan Penempatan
Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) sekitar Rp13,62 juta per calon TKI.
Untuk imbalan rekrutmen (recruiting fee) dari pengguna jasa/majikan
calon TKI melalui perusahaan jasa tenaga kerja asing (PJTKA) di negara
penempatan rata-rata sekitar Rp15 juta per calon TKI.
Menurut Yunus, keuntungan PPTKIS untuk
setiap calon TKI yang ditempatkan sekitar Rp880.000. Namun, jika ada risiko
pemulangan sebelum mereka bekerja selama 3 bulan, perusahaan harus mengganti
biaya tiket yang US$400 dan menggantinya dengan calon TKI yang baru.
Dia menjelaskan jika satu PPTKIS
menempatkan 100 orang TKI setiap bulan dengan risiko 5% TKI gagal bekerja dan
harus dipulangkan sebelum 3 bulan, pelaku usaha tidak mendapatkan keuntungan
apapun, bahkan merugi. Keuntungan PPTKIS dengan menempatkan sekitar 100 orang
calon TKI dalam 1 bulan pelaku usaha untung sekitar Rp88 juta. Sebaliknya, jika
gagal 5% dalam menempatkan ditambah tiket pemulangan ke daerah asal, biaya yang
keluar menjadi Rp86,1 juta per bulan.
"Ini adalah kerugian besar bagi kami
selaku pelaku usaha yang patut diperhatikan pemerintah dalam bentuk
perlindungan untuk menjalankan usahanya." Dia menilai biaya rekrutmen di
kantong-kantong TKI di daerah yang sebesar Rp6 juta seharusnya dapat hanya
menjadi Rp1 juta jika pemerintah memiliki ketegasan dan tanpa ragu mengawasi
jalannya pelatihan 200 jam bagi calon TKI di balai latihan kerja yang ada.
Berdasarkan pengalaman sewaktu sistem 200
jam pelajaran diterapkan pada awal pelaksanaannya, lanjut Yunus, pembayaran
kepada para sponsor/petugas lapangan (PL) untuk biaya rekrutmen menjadi Rp1
juta per orang.
Desak pembenahan
Ancaman kebangkrutan pelaku usaha
penempatan TKI diakui juga oleh Sekjen Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja
Indonesia (Apjati) Rusdi Basalamah. Dia mendesak pemerintah segera melakukan
perbaikan dalam sistem penempatan dan perlindungan menyeluruh.
"Kami ini sudah kembang-kempis,
terlihat biasa saja pelaku usaha penempatan. Namun, pada kenyataannya di
lapangan kami harus mencari cara agar tetap eksis dan tidak melanggar peraturan
perundangan yang ada," ungkapnya. Rusjdi mendesak pemerintah bersama
PPTKIS mencari solusi mengatasi berbagai masalah dan benar-benar memberi
tindakan tegas kepada para pelanggar UU Nomor 39/2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Menakertrans Muhaimin Iskandar sebelumnya
mengatakan pemerintah akan menertibkan peran sponsor atau PL perekrutan TKI di
berbagai daerah dengan penunjukan PL oleh PPTKIS dan terdaftar resmi di
pemerintah daerah setempat. "Nantinya, PPTKIS harus menunjuk PL yang
berfungsi sebagai sponsor dalam pencarian calon TKI ke berbagai pelosok daerah
agar lebih tertib dan terkendali." Menurut dia, penertiban itu juga untuk
mengurangi biaya tinggi oleh PPTKIS dalam melakukan rekrutmen calon TKI, sehingga
pelaku usaha dapat fokus memberi pelatihan sebelum pekerja ditempatkan ke luar
negeri.
Sumber: Bisnis Indonesia (08 Jun 2010).
PJTKI Adukan 986 Klaim Asuransi ke Presiden
Kalangan perusahaan jasa tenaga kerja
Indonesia atau PJTKI mengirim surat ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) karena
klaim dari 986 TKI tidak diproses oleh perusahaan asuransi.
Ketua Himpunan Pengusaha Jasa TKI (Himsataki)
Yunus M. Yamani di Jakarta mengatakan,
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) menunjuk perusahaan dan
konsorsium asuransi terkait masalah itu.
"Menteri menunjuk hanya satu perusahaan
asuransi dan satu broker," kata Yunus. Perusahaan asuransi tersebut
bermasalah lantaran tak membayar klaim dan penunjukan itu juga akan memunculkan
praktik monopoli.
Inilah beberapa masalah penempatan dan
perlindungan TKI yang tak kunjung tuntas, kata Yunus, yakni sejak Menakertrans
Erman Suparno hingga Muhaimin Iskandar dan
terkait dengan kinerja Badan Nasional Penempatan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia (BNP2TKI) yang tumpang tindih.
Dalam suratnya bertanggal 16 September 2010
itu, Yunus menjelaskan bahwa permasalahan muncul ketika BNP2TKI menunjuk LSM
LBH Kompar untuk menerima dan mengajukan klaim TKI bermasalah di terminal
khusus TKI Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.
LSM tersebut tidak bisa menuntaskan persoalan
puluhan ribu klaim TKI bermasalah yang mereka data. Permasalahan itu lalu
diserahkan kepada Himsataki. Himsataki memutakhirkan data tersebut dan terdapat
986 TKI yang layak mendapatkan santunan dari asuransi perlindungan TKI yang
ditunjuk Menakertrans.
Klaim lalu diajukan tetapi tidak diproses.
Surat pengaduan sudah diajukan kepada Menakertrans Erman Soeparno dan
penggantinya kini Muhaimin Iskandar, tetapi tidak tetap digubris. Kini Muhaimin
menunjuk satu-satunya perusahaan asuransi dan satu-satunya broker asuransi
untuk melindungi TKI. "Penunjukan itu menurut kami tidak masuk akal karena
mereka bagian dari perusahaan dan broker yang tidak membayar klaim itu,"
kata Yunus.
Penunjukan itu juga akan menimbulkan praktik
monopoli asuransi dan broker asuransi TKI oleh pihak swasta.
Tidak hanya soal pemberesan asuransi itu,
pembenahan yang dilakukan Menteri juga tidak menyentuh substansi permasalahan
karena masih menggunakan sistem lama yang jelas-jelas merugikan TKI dan PJTKI. "Aturan
baru itu masih mewajibkan PJTKI membayar premi asuransi perlindungan selama TKI
bekerja di luar negeri," kata Yunus.
Sementara, jelas-jelas perusahaan asuransi
dan broker Indonesia tidak memiliki ijin usaha di luar negeri sehingga
perlindungan yang diberikan semu. "Mana mungkin memberi perlindungan di
luar negeri jika perusahaan dan broker tak punya ijin usaha di luar
negeri," kata Yunus.
Karena itu dia minta agar selama TKI
bekerja di luar negeri mereka diikutkan dalam program perlindungan dari
perusahaan asuransi di negara setempat.
Surat kepada Presiden RI yang
ditandatangani oleh Yunus dan Nadya Farhani, SH (Kadiv. Perlindungan TKI
Himsataki) itu di antaranya ditembuskan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
Anggota Komisi IX DPR RI, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU), Direktur Perasuransian Kemkeu, Ditjen Binapenta Kemenakertrans,
organisasi PJTKI dan para PJTKI.
Sumber: Kantor Berita Antara (16 September 2010)
Pemerintah Paling Bertanggung-jawab atas TKI
Ilegal
Pemerintah, khususnya Badan Nasional
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dan
Kemenakertrans, paling bertanggung-jawab terhadap soal mengalirnya TKI ilegal
ke Malaysia, Kuwait, dan Yordania.
"Pemerintah yang menghentikan penempatan
TKI ke tiga negara itu, tetapi pemerintah tidak mampu mengamankan kebijakan
yang dibuatnya sendiri," kata Ketua Umum Himpunan Pengusaha Jasa TKI
(Himsataki) Yunus M. Yamani di Jakarta.
Yunus menjelaskan, penghentian penempatan TKI
ke Malaysia sudah berlangsung satu tahun, tetapi tenaga kerja Indonesia terus
mengalir ke negeri itu seperti biasa. "Bahkan pegawai Pemda dan aparat
penegak hukum di sejumlah daerah transit tidak mengetahui kebijakan
tersebut," tambah Yunus.
Usulan moratorium tersebut, kata Yunus,
muncul dari Kepala BNP2TKI Jumhur Hidayat. Untuk mengetahui tanggapan
masyarakat, sebuah stasiun televisi swasta mengadakan debat terbuka mengenai
perlu-tidaknya penempatan TKI ke Malaysia dilanjutkan.
Nara sumbernya adalah Rusdi Basalamah (Sekjen
Apjati), Yunus M. Yamani (Ketua Umum Himsataki), Maria Ulfah (anggota Komisi IX
DPR) dan Jumhur Hidayat (Kepala BNP2TKI). Beberapa hari setelah debat, Kepala
BNP2TKI dan Menakertrans RI menghentikan penempatan TKI ke Malaysia. Faktanya,
kata Yunus, pengiriman TKI ilegal semakin marak dan tidak terkendali.
"BNP2TKI dan Kemenakertrans seperti anak
kecil yang tidak bisa berbuat apa-apa atas kebijakannya sendiri sehingga
membutuhkan Presiden, pemimpin tertinggi negara ini, untuk mengatasi dan
membuka kembali penempatan TKI ke Malaysia," kata Yunus.
Kedua instansi tersebut menghentikan
penempatan TKI ke Malaysia tanpa menanyakan ke Perusahaan Jasa TKI (PJTKI) dan
asosiasinya terlebih dulu. Dampaknya, banyak PJTKI bangkrut. Di sisi lain,
banyak calo yang menempatkan TKI ke Malaysia berjalan tanpa hambatan. "Jika
PJTKI mengeluhkan kondisi ini dan berbeda pendapat maka akan dijadikan
musuh," kata Yunus.
Dia menjelaskan, di era Presiden Soeharto,
Malaysia pernah berencana memulangkan seluruh TKI yang ada di Malaysia.
Menakertrans saat itu Soedomo melaporkan rencana itu kepada Soeharto.
Menanggapi hal itu, Soeharto mempersilakan Malaysia memulangkan TKI, dengan
catatan tidak ada seorang pun yang boleh ditempatkan lagi untuk bekerja di
Malaysia.
"Malaysia takut dan membatalkan niat
dan membuat perjanjian baru antar-pemerintah yang ditandatangani oleh Menaker
RI Soedomo dan Menaker Malaysia Datuk Musahitam," katanya.
Menurut dia, wibawa pemerintah seperti di
era Soeharto sangat langka pascareformasi sekarang ini.
Sumber: Metrotvnews.com, Jakarta (Kamis, 23 September 2010)
No comments:
Post a Comment