Thursday, January 10, 2013

Wujudkan Jaminan Sosial Menyeluruh


Baru sekitar 20 persen penduduk Indonesia memperoleh jaminan sosial secara memadai. Sebab itu, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) terus mendorong peningkatan kepesertaan jaminan sosial bagi seluruh penduduk.

Momen disahkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) pada 28 Oktober 2011 lalu telah memantik rasa ingin tahu bagi pihak Jepang ihwal penerapan jaminan sosial di Indonesia. Hal ini diwujudkan dengan kunjungan Tim JICA (Japan International Cooperation Agency) untuk ketiga kalinya ke kantor Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) di Jakartal.
Dalam kunjungan itu Tim JICA melakukan pengumpulan data survai penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia. Tim JICA terdiri dari Mr. Kenzi Shimazaki (Profesor dari National Graduate Institute), Mr. Shintaro Nakamura (penasehat senior pada jaminan sosial JICA), Mr. Tanaka, dan perwakilan JICA Office Jakarta. Mereka diterima oleh anggota DJSN Prof. Dr. Bambang Purwoko, Drs. Haris E. Santoso, dan Drs. Timoer Soetanto. Dalam kesempatan ini, mewakili Ketua DJSN yang berhalangan, Prof. Bambang Purwoko, menyampaikan paparan implementasi UU BPJS yang merupakan salah satu rangkaian reformasi jaminan sosial di Indonesia.
Terkait dengan paparan tersebut, Mr. Nakamura tertarik ingin mengetahui sejauh mana persiapan Indonesia dalam mewujudkan jaminan sosial dan apa fungsi DJSN dalam peranannya sebagai perumus kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan sistem jaminan sosial di Indonesia.
Menanggapi keingin-tahuan Mr. Nakamura, Prof. Bambang Purwoko menjelaskan bahwa DJSN berfungsi merumuskan kebijakan umum dan sinkronisasi peyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Misalkan kebijakan makro tentang kepesertaan, iuran, manfaat, dan masing-masing program jaminan sosial. Kebijakan makro tersebut, katanya lebih lanjut, dijadikan pedoman oleh BPJS dalam menyusun kebijakan operasional dan sekaligus buat parameter untuk mengevaluasi penyelenggaraan SJSN.
Setelah sedikit tanya-jawab tersebut, dilanjutkan paparan oleh Prof. Shimizaki mengenai sejarah jaminan sosial nasional di Jepang. Menurut Prof. Shimizaki, untuk mewujudkan sistem jaminan sosial nasional di Jepang tidaklah mudah dan membutuhkan proses yang panjang. Terbukti sejak tahun 1922, negara Jepang mengawali sistem asuransi, namun baru pada tahun 1958 jaminan sosial nasional di Jepang resmi disahkan oleh pemerintah. Selain itu, kesulitan dalam proses sosialisasi pada sektor informal juga merupakan salah satu tantangan dalam mewujudkan jaminan sosial di Jepang.Bercermin dari keberhasilan Jepang dalam mewujudkan jaminan sosial, anggota DJSN mengungkapkan pihaknya ingin belajar dari Jepang khususnya tentang risk management dan  penyusunan dokumen yang berbasis Good Cooperate Government.
Mengingat perannya ikut merumuskan kebijakan umum dan sinkronisasi SJSN, sudah seharusnya DJSN menggali pengetahuan seputar praktik jaminan sosial di negara-negara maju yang dapat dijadikan best practices. Dengan begitu, DJSN yang dibentuk sebagai amanah UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN akan mampu memberikan masukan yang berarti bagi praktik jaminan sosial di Indonesia.
Harus diakui, kita masih tertinggal dalam mewujudkan program jaminan social. Memang kita telah lama merintis kelahiran Askes, Jamsostek, Taspen, Asabri, serta lembaga Dana Pensiun. Selain masih rendahnya kepesertaan program jaminan sosial, juga manfaat (benefit package) yang diberikan masih harus ditingkatkan. Laporan sebuah konsultan Jerman GTZ, bekerjasamana dengan Bappenas menyimpulkan, bahwa kepesertaan jaminan sosial baru mencapai sekitar 20 persen. Artinya, sebagian besar penduduk masih belum dapat menikmati program jaminan sosial, baik JK (Jaminan Kesehatan), JKK (Jaminan Kecelakaan Kerja), JHT (Jaminan Hari Tua), JP (Jaminan Pensiun), maupun JKM (Jaminan Kematian).
Prof. Bambang Purwoko berharap DJSN dapat segera merumuskan berbagai kebijakan untuk mempercepat terwujudnya program jaminan sosial di Indonesia. DJSN akan terus mendorong terwujudnya regulasi penyelenggaraan sistem jaminan sosial yang terintegrasi, jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk, budaya masyarakat yang mengerti dan menerima arti penting penyelenggaraan jaminan sosial, penyelenggaraan jaminan sosial nasional secara  bertahap. Juga terus mendorong perwujudan pengelolaan dan pengembangan dana jaminan sosial yang optimal berkesinambungan, penyelenggaraan jaminan sosial sesuai prinsip good governance, dan mewujudkan kelembagaan DJSN yang kuat. ***

Boks:
Rekomendasi Makassar
Untuk mendorong terselenggaranya jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk, akhir tahun 2011 DJSN melangsungkan rapat konsultasi dan sinkronisasi pencapaian universal coverage jaminan kesehatan di Makassar, Sulawesi Selatan. Rapat yang diikuti oleh utusan dari pemerintah provinsi, Bappenas, Kemenko Kesra, Kemenakertrans, PT Askes dan PTJamsostek itu melahirkan putusan yang kemudian dinamai Rekomendasi Makassar.
Rekomendasi Makassar berisi lima poin sebagai berikut:
·         Mendukung pencapaian universal coverage jaminan kesehatan pada tahun 2014 melalui sinkronisasi dan integrasi penyelenggaraan program jaminan kesehatan sesuai dengan kemampuan daerah masing-masing.
·         Mendorong DJSN melakukan sinkronisasi dan harmonisasi pencapaian universal coverage jaminan kesehatan dengan pemangku kepentingan terkait.
·         Merumuskan strategi pencapaian universal coverage di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dengan merujuk pada roadmap pencapaian kepesertaan menyeluruh jaminan kesehatan di Indonesia.
·         Menindaklanjuti konsultasi dan sinkronisasi program pencapaian universal coverage antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
·         Mendorong pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menjamin ketersediaan fasilitas kesehatan sesuai kebutuhan wilayah dengan mengacu sistem rujukan yang diperlukan dalam rangka implementasi universal coverage jaminan kesehatan.

No comments:

Post a Comment