Baru sekitar 20 persen penduduk Indonesia memperoleh jaminan sosial secara
memadai. Sebab itu, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) terus mendorong
peningkatan kepesertaan jaminan sosial bagi seluruh penduduk.
Momen disahkannya Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) pada 28 Oktober
2011 lalu telah memantik rasa ingin tahu bagi pihak Jepang ihwal penerapan
jaminan sosial di Indonesia. Hal ini diwujudkan dengan kunjungan Tim JICA (Japan International Cooperation Agency)
untuk ketiga kalinya ke kantor Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) di Jakartal.
Dalam kunjungan itu Tim JICA melakukan pengumpulan data survai penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia. Tim
JICA terdiri dari Mr. Kenzi Shimazaki (Profesor dari National Graduate
Institute), Mr. Shintaro Nakamura (penasehat senior pada jaminan sosial JICA),
Mr. Tanaka, dan perwakilan JICA Office Jakarta. Mereka
diterima oleh anggota DJSN Prof.
Dr. Bambang Purwoko, Drs. Haris E.
Santoso, dan Drs. Timoer Soetanto. Dalam kesempatan ini, mewakili Ketua DJSN yang berhalangan, Prof.
Bambang Purwoko, menyampaikan paparan implementasi UU BPJS yang merupakan salah
satu rangkaian reformasi jaminan sosial di Indonesia.
Terkait dengan paparan tersebut, Mr. Nakamura
tertarik ingin mengetahui
sejauh mana persiapan Indonesia dalam mewujudkan jaminan sosial dan apa fungsi DJSN dalam peranannya sebagai perumus
kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan sistem jaminan sosial di
Indonesia.
Menanggapi keingin-tahuan Mr. Nakamura,
Prof. Bambang Purwoko menjelaskan bahwa DJSN berfungsi merumuskan kebijakan
umum dan sinkronisasi peyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Misalkan
kebijakan makro tentang kepesertaan, iuran, manfaat, dan masing-masing program
jaminan sosial. Kebijakan makro tersebut, katanya lebih lanjut, dijadikan
pedoman oleh BPJS dalam menyusun kebijakan operasional dan sekaligus buat
parameter untuk mengevaluasi penyelenggaraan SJSN.
Setelah sedikit tanya-jawab tersebut, dilanjutkan
paparan oleh Prof. Shimizaki mengenai sejarah jaminan sosial nasional di
Jepang. Menurut Prof. Shimizaki, untuk mewujudkan sistem jaminan sosial
nasional di Jepang tidaklah mudah dan membutuhkan proses yang panjang. Terbukti
sejak tahun 1922, negara Jepang mengawali sistem asuransi, namun baru pada
tahun 1958 jaminan sosial nasional di Jepang resmi disahkan oleh pemerintah.
Selain itu, kesulitan dalam proses sosialisasi pada sektor informal juga
merupakan salah satu tantangan dalam mewujudkan jaminan sosial di
Jepang.Bercermin dari keberhasilan Jepang dalam mewujudkan jaminan sosial,
anggota DJSN mengungkapkan pihaknya ingin belajar dari Jepang khususnya tentang
risk management dan penyusunan dokumen yang berbasis Good Cooperate Government.
Mengingat perannya ikut merumuskan
kebijakan umum dan sinkronisasi SJSN, sudah seharusnya DJSN menggali
pengetahuan seputar praktik jaminan sosial di negara-negara maju yang dapat
dijadikan best practices. Dengan
begitu, DJSN yang dibentuk sebagai amanah UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN
akan mampu memberikan masukan yang berarti bagi praktik jaminan sosial di
Indonesia.
Harus diakui, kita masih tertinggal dalam mewujudkan
program jaminan social. Memang kita telah lama merintis kelahiran Askes, Jamsostek, Taspen,
Asabri, serta lembaga Dana Pensiun. Selain masih rendahnya kepesertaan program jaminan
sosial, juga manfaat (benefit package) yang diberikan masih
harus ditingkatkan. Laporan sebuah konsultan Jerman GTZ, bekerjasamana dengan
Bappenas menyimpulkan, bahwa kepesertaan jaminan
sosial baru mencapai sekitar 20 persen. Artinya,
sebagian besar penduduk masih belum dapat menikmati program jaminan
sosial, baik JK (Jaminan Kesehatan),
JKK (Jaminan Kecelakaan Kerja), JHT (Jaminan Hari Tua), JP (Jaminan Pensiun), maupun JKM (Jaminan Kematian).
Prof. Bambang Purwoko berharap
DJSN dapat segera merumuskan berbagai kebijakan untuk mempercepat terwujudnya program jaminan sosial di Indonesia. DJSN akan terus mendorong terwujudnya regulasi penyelenggaraan sistem
jaminan sosial yang terintegrasi, jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk,
budaya masyarakat yang mengerti dan menerima arti penting penyelenggaraan
jaminan sosial, penyelenggaraan jaminan sosial nasional secara bertahap. Juga terus mendorong perwujudan
pengelolaan dan pengembangan dana jaminan sosial yang optimal berkesinambungan,
penyelenggaraan jaminan sosial sesuai prinsip good governance, dan mewujudkan kelembagaan DJSN yang kuat. ***
Boks:
Rekomendasi Makassar
Untuk mendorong terselenggaranya jaminan
kesehatan bagi seluruh penduduk, akhir tahun 2011 DJSN melangsungkan rapat
konsultasi dan sinkronisasi pencapaian universal
coverage jaminan kesehatan di Makassar, Sulawesi Selatan. Rapat yang
diikuti oleh utusan dari pemerintah provinsi, Bappenas, Kemenko Kesra,
Kemenakertrans, PT Askes dan PTJamsostek itu melahirkan putusan yang kemudian
dinamai Rekomendasi Makassar.
Rekomendasi Makassar berisi lima poin
sebagai berikut:
·
Mendukung pencapaian universal coverage jaminan kesehatan
pada tahun 2014 melalui sinkronisasi dan integrasi penyelenggaraan program
jaminan kesehatan sesuai dengan kemampuan daerah masing-masing.
·
Mendorong DJSN melakukan
sinkronisasi dan harmonisasi pencapaian universal
coverage jaminan kesehatan dengan pemangku kepentingan terkait.
·
Merumuskan strategi pencapaian
universal coverage di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dengan merujuk pada
roadmap pencapaian kepesertaan menyeluruh jaminan kesehatan di Indonesia.
·
Menindaklanjuti konsultasi dan
sinkronisasi program pencapaian universal
coverage antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota.
·
Mendorong pemerintah pusat dan
pemerintah daerah untuk menjamin ketersediaan fasilitas kesehatan sesuai
kebutuhan wilayah dengan mengacu sistem rujukan yang diperlukan dalam rangka
implementasi universal coverage
jaminan kesehatan.
No comments:
Post a Comment