Dulu pemimpin pemerintahan di Rote tidak
bersifat warisan atas suku/keluarga tertentu. Siapa yang dianggap “pintar dan
mampu mengayomi rakyat” diangkat menjadi pemimpin (manek).
Paul A.
Haning, pegiat budaya Rote
TIDAK ada satu pun perjalanan hidup
seseorang yang dapat diketahui dan ditulis secara lengkap dan persis seperti
apa yang dijalani selama hayat dikandung badan. Sekalipun, seorang penulis
biografi telah berusaha secara sungguh-sungguh dan berupaya keras untuk
mencapai kesempurnaan, penulisan pernak-pernik dan lekuk-liku perjalanan hidup
seseorang kerap jauh dari kata sempurna. Bahkan, tidak sedikit perjalanan
penting yang tercecer dan teringat setelah buku beredar di tengah-tengah
masyarakat.
Saat
memulai menulis buku bertajuk Kala Lens
Haning jadi Bupati Rote Ndao ini, kami ingin menuliskan perjalanan seorang
Leonard Haning secara agak lengkap mulai dari garis keturunan (silsilah) sampai
pada anak tangga Bupati Rote Ndao. Tidak cukup hanya berangkat dari tanggal kelahiran
Lens –panggilan akrab Leonard Haning—pada 20 November 1954 di Kampung Lidamanu
Desa Medain. Tidak cukup berangkat pada saat paman Lens, Hermanus Haning,
menjadi Raja Thie (1953-1956). Ada garis keturunan seorang pemimpin mengalir dalam
diri Lens Haning. Berhulu jauh pada generasi Nusak Thie di tahun 1729-1733
tatkala Pandi Ndao menjabat Fetor Thie dan Foe Mbura alias Benyamin Messakh
menjadi Raja Thie di tahun1729-1746.
Ada darah
kepemimpinan mengalir dalam diri seorang Lens Haning. Namun, mesti diingat,
Lens Haning juga cukup keras ditempa oleh pengalaman memimpin di ranah
birokrasi yang lumayan panjang sebelum kakinya menapak di singgasana Bupati
Rote periode 2009-2014.
A. Jejak-jejak darah kepemimpinan
Masyarakat
Rote Ndao terdiri dari 19 subetnis dan setiap subetnis mendiami sebuah wilayah
kesatuan adat yang merupakan daerah genealogis teritorial yang disebut ‘nusak’.
Sebanyak 18 nusak berada di Pulau Rote dan sebuah nusak lainnya (Nusak Ndao) merupakan
sebuah nusak yang terdiri dari pulau-pulau atau merupakan suatu negara pulau.
Ke-19 nusak itu masing-masing: Landu, Ringgou, Oepao, Bilba, Diu, Korbafo,
Lelenuk, Bokai, Termanu, Talae, Keka, Lole, Baa, Lelain, Thie, Dengka, Delha,
Oenale dan Ndao.
Kita fokus
ke Nusak Thie sebagai akar silsilah kehidupan Lens Haning. Nusak Thie kini merupakan
sebuah wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Rote Barat Daya. Masyarakat Nusak
Thie mempunyai hubungan silsilah dengan masyarakat Rote yang lain. Masyarakat
suatu nusak terbagi lagi ke dalam beberapa klen, disebut leo.
Setiap klen
terbagi atas beberapa subklen, dinamakan manulangga, teidalek atau kitak.
Pemimpin nusak disebut manek, dibantu
oleh fetor (wakil manek) dan pemimpin
leo (yang disebut maneleo atau manesio), serta pemimpin manulangga/teidalek/kitak (yang disebut manenggik atau mae leoanak). Di Thie tidak ada manenggik
atau mane leoanak.
Menurut
beberapa narasumber manahelo (ahli
silsilah dan syair), Semuel Ndun dan Thomas Siokain, bahwa orang Rote berasal
dari Sura Sue do Dae/Dai Laka (Seram). Moyang yang berasal dari Seram bernama
Dae Dini, bersama isteri dan dua orang anaknya lelaki (Deta Dae dan Mbaki-mbaki
Dae). Dari Deta Dae, 12 generasi berselang, tiba pada Fai Ani. Lalu moyang ini (Fai
Ani) beranak Ne Fai dan Loakina Fai. Mereka masih bertualang di Pulau Timor.
Baru kemudian anak-anak Fai Ani dan Loakina Fai berpindah ke Rote secara
bergelombang.
Anak-anak
dari Ne Fai –Rote Nes (Lote Nes), Bara Nes, Keo Nes dan Lino Nes— pindah ke Rote
sekitar tahun 400-450 M. Rote Nes, Lino Nes dan Bara Nes menempati ujung timur
Rote. Sedangkan Keo Nes menempati bagian barat Rote (Ndao). Beberapa keturunan
dari moyang Rote Nes mengabadikan nama moyangnya tersebut. Dari nama itu timbul
nama Pulau Rote.
Keturunan
Loakina Fai pun berpindah ke Rote. Dari moyang ini, beberapa generasi kemudian tiba
di Sai Paliku. Lalu Sai Paliku beranak pinak Nggenggo-nggenggo Sain dan Hie-hie
Sain. Dari Nggenggo-nggenggo Sain, 20 generasi berselang tiba pada Lea Nggaba.
Lantas Lea Nggaba berketurunan, antara lain Liti Leang (penemu gong) dan Batu
Leang (penemu tambur). Sedangkan dari Hie-Hie Sain, 10 generasi kemudian tiba
pada Meda Tema. Dan Meda Tema menurunkan Mu Mai Meda dan Oka Meda.
Moyang Mu
Mai Meda beranak Paku Maka Mu. Dari Paku Maka Mu muncul keturunan berikutnya
Pala Paku. Selanjutnya Pala Paku memiliki tujuh orang anak lelaki, di antaranya
Lai Pala dan Niru Pala.
Delapan
generasi setelah Niru Pala sampai pada Mau Ndole. Mau Ndole menurunkan tujuh
orang anak, masing-masing Ti Mau (ke Rote/Thie), Belu Mau (ke Belu/Tetun), Savu
(Han) Mau (ke Sabu), Rote Mau (ke Rote/Bilba), Lihu (He) Mau (ke Semau), Suki
Mau (ke Ndao), dan Folo Mau (juga ke Ndao).
Sejarah
hidup Suki Mau dan Folo Mau tidak begitu dikenal oleh banyak manahelo. Sementara yang paling banyak
dikenal oleh para manahelo adalah Ti
Mau, Belu Mau, Savu Mau, Rote Mau dan Lihu Mau. Moyang-moyang ini terlahir dan
besar di Pulau Timor (Gunung Lakaan), kemudian baru berpisah (bertualang).
Moyang Ti
Mau pindah ke Rote sekitar permulaan abad ke-13 (kira-kira tahun 1225 M).
Setelah beberapa lama tinggal di Rote Timur/Landu Karafao, ia berpindah ke
bagian barat Rote, lalu tinggal di sebuah pulau kecil (kosong) di Rote bagian
barat daya. Sebelum tiba Ti Mau dan turunan Ti Mau, di wilayah Thie telah berdiam
keturunan Ndu Sah. Keturunan Ndu Sah lah yang menamakan pulau ini “Labu Lain”.
Kemudian, oleh Ti Mau, pulau ini diberi nama Pulau Landu dan lokasi hunian
mereka dinamakan Karafao –sesuai dengan nama tempat hunian pertama di Rote
Timur, yaitu Landu Karafao. Pada mulanya mereka tinggal di goa-goa, lantaran
belum sempat membangun “moa”
(pondok).
Dari Pulau
Landu, mereka (kecuali Busa Tola yang tetap tinggal di Pulau Landu) berpindah
lagi ke Rote daratan yang sebelumnya disebut Dae Henda. Mula-mula mereka
tinggal di sebuah tempat, disebut Rena, di muka Olikamboek. Kemudian berpindah
ke Taratu Lain atau Inngurak (Desa Lekik). Di Inggurak, raja yang memimpin
berturut-turut adalah Saku Nara, Lunggi Helo, Pandi Tule dan Nale Mesah. Dari
Inggurak berpindah lagi ke Kokolo. Tempat ini diberi nama menurut nama moyang
Kokolo Saba. Di Kokolo, rajanya adalah Mbura Mesah. Dari Kokolo, Mbura Mesah
bersama rakyatnya berpindah lagi ke Fiulain karena selalu mendapat serangan
dari Termanu. Selanjutnya dari Fiulain, masyarakat Thie berpindah ke Danoheo
atau Inggulai. Dari Danoheo berpindah lagi ke Oehundi atau Kotabeuk (Benteng
yang Baru). Dari sini penduduk Nusak Thie tersebar ke berbagai tempat/desa di
sekitar Nusak Thie.
Nama Nusak
Thie diambil dari nama moyang masyarakat Ti, yaitu Ti Mau, lantaran dia dianggap
sebagai penemu daerah ini. Setelah orang Thie mengenal huruf Latin, kata atau
nama Ti ditulis atau divariasi menjadi Thie. Nama ini (Thie) dipakai secara
resmi sampai kini.
Sebelum
menelisik silsilah kepemimpinan Lens Haning, ada baiknya kita pahami pola
pemerintahan tradisional di Nusak Thie. Dalam suatu komunitas, harus ada
seorang tokoh sebagai pemimpin. Pada mulanya pemimpin komunitas disebut mane la’i atau amak (primus inter pares).
Dia dibantu oleh seorang petugas keamanan yang disebut langga musu.
Peranan dan
fungsi amak atau mane la’i terus berkembang. Kalau semula hanya sebagai pelindung
atau pengayom, kemudian bertambah luas peran dan fungsinya. Segala aspek
kehidupan kelompok menjadi tanggung jawab amak.
Pada tahap ini pemimpin kelompok memperoleh gelar manek. Fungsi dan wewenang manek
cukup luas, yaitu sebagai kepala kelompok, kepala wilayah, dan kepala
pemerintahan. Dia mengayomi rakyat dan bertanggung-jawab atas kesejahteraan
rakyat.
Lantaran
fungsi manek yang bertambah luas maka
perlu penataan manajemen yang lebih baik dan pendelegasian wewenang yang jelas
dan teratur. Sebab itu, perlu dibentuk kelompok-kelompok kecil (berdasarkan
keturunan). Pada tiap suku/leo diangkat seorang kepala suku yang disebut maneleo.
Maneleo memperoleh tugas dan wewenang
menata dan memimpin anggota sukunya. Maneleo
memerintah sebuah wilayah desa tradisional yang mayoritas penduduknya adalah
anggota sukunya. Setelah adanya pemerintahan kolonial Belanda, selain urusan
adat, maneleo merangkap pula menjalankan
tugas-tugas negara/negeri. Pada tahap ini maneleo
disebut manesio (terjemahan
harfiahnya ‘raja sembilan’, maksudnya mempunyai multifungsi). Beberapa maneleo/manesio dikoordinir oleh seorang
koordinator, disebut sio leik (temukung hofd). Istilah ‘temukung’
berasal dari seberang.
Di bawah maneleo terdapat kepala kampung (langgak atau mane nggorok) dan di bawah kepala kampung terdapat lasin (setingkat RT). Setiap maneleo mempunyai seorang penyalur
berita, disebut mafadak. Beberapa
kepala kampung (mane nggorok) dikoordinir
oleh seorang koordinator, disebut langga
ina.
Di bawah manek terdapat fetor –sebagai wakil manek.
Manek dan fetor merupakan lembaga tertinggi negara. Figur kedua kelembagaan
ini melambangkan ayah dan ibu bagi rakyat. Manek
adalah lambang laki-laki (ayah) dan fetor
(feto) adalah lambang perempuan
(ibu). Dalam tangan mereka terdapat kekuasaan dan kekerasan (boboto barakaik) sekaligus kasih dan
kelembutan (susue-lalaik ma kokoe-nanasik).
Hubungan penguasa dan rakyat bagaikan orang tua (bapak) dan anak. Hubungan
bapak-anak membuat penguasa benar-benar mencintai rakyat. Sebaliknya, rakyat
pun mencintai dan patuh kepada penguasa.
Dalam
urusan pemerintahan Nusak Thie, Suku Boruanan mempunyai wewenang sebagai Dewan
Legislatif dengan tugas utama mengontrol jalannya pemerintahan. Bila
penguasa/raja tidak memenuhi ketentuan lagi dalam menjalankan tugasnya, maka Suku
Boruanan menyembelih seekor kuda jantan, diambilnya kaki depan sebelah kanan,
dikeluarkan kukunya, lalu kaki kuda itu dikirim kepada raja yang dipandang
tidak lagi memenuhi tugasnya secara baik.
Setelah
material itu diterima raja, maka dia menyadari bahwa dia tidak dipercayai dan
tidak didukung lagi sebagai raja. Dengan demikian dia segera mengundurkan diri.
Untuk itu Suku Boruanan segera mengusahakan penggantinya. Cara untuk mengatakan
aspirasi semacam ini adalah seperti mosi tidak percaya.
Setelah
Nusak Thie diakui dan diberi status kerajaan oleh pemerintahan kolonial Belanda
pada masa pemerintahan Raja Thie, Nale Mesah (Suku Mburala’e), maka dinasti
Mburala’e/Messakh merupakan pewaris tahta Kerajaan Thie. Sehingga, yang akan
diangkat menjadi raja harus berasal dari suku raja (Suku Mburala’e/Messakh).
Namun begitu, dalam sejarah perjalanan pemerintahan Nusak Thie, ada juga raja
yang diangkat dari suku lain. Hal ini juga terjadi di kerajaan-kerajaan lainnya
di Rote.
Pemerintah
yang teratur dalam Nusak Thie dimulai dari moyang Saku Nara. Pada mulanya Saku
Nara sebagai mane la’i kemudian
ditetapkan sebagai manek dan
memerintah mulai dari tahun 1540 sampai 1570.
Saku Nara
mengayomi rakyatnya dengan penuh ketekunan. Dia menyusun dan menata
pemerintahan secara baik --termasuk menetapkan Hukum Kekeluargaan (Hukum
Perkawinan). Pada masa pemerintahannya, masyarakat Thie dibagi atas dua bagian
(dua suku besar): Suku Sabarai dan Suku Taratu. Dari Suku Taratu tumbuh salah
satu klen (leo), yakni klen Todefeo. Bupati Rote Ndao (2009-2014) Lens Haning
adalah salah satu anggota dari klen Todefeo. Klen ini terdiri dari beberapa
subklen –salah satunya adalah subklen (fam) Haning.
Salah satu
cabang dari klen Todefeo sampai ke Leonard (Lens) Haning berturut-turut sesuai
urutan generasi sebagai berikut: 1. Tode Todefeo (Tode Boru) à 2. Dami Tode à 3. Ndao Dami à 4. Pandi Ndao (menjabat
Fetor Thie pada tahun 1729-1733). Pada generasi ini tercatat pula Foe Mbura
alias Benyamin Messakh yang menjadi Raja Thie
periode 1729-1746. à 5. Hani Pandi à 6. Henu Hani à 7. Boru Henu.
Boru Henu
memiliki empat orang anak lelaki sebagai generasi ke-8, dua di antaranya Hani
Boru yang berprofesi sebagai hakim adat dan Nia Boru. Dari Hani Boru turun anak
lelaki bernama Hermanus Haning (Raja Thie 1953-1956). Sedangkan dari Nia Boru
lahir keturunan Bastian Haning yang tidak lain adalah ayahanda Leonard Haning (Bupati
Rote Ndao 2009-2014). Tampak ada garis keturunan kepemimpinan mengalir dalam
diri seorang Lens Haning.
Sepintas mari
kita merunut Raja Thie Foe Mbura alias Benyamin Messakh. Foe Mbura adalah anak dari Mbura Messakh yang
dilahirkan di Kokolo, ibukota Kerajaan Thie. Dia menjadi raja menggantikan
ayahnya dan memerintah dari tahun 1729 sampai 1746, berkedudukan di Fiulain
(ibukota baru). Bersaudara dengan Pandi Mbura (laki-laki), Nuku Mbura
(laki-laki) dan Ndo’i Mbura (perempuan). Foe Mbura menikah dengan Ria Be, anak
dari Be Poli (Raja Bilba) dan mendapatkan satu-satunya anak (lelaki), yaitu
Henu Foe, namun meninggal pada usia masih muda.
Raja Foe
Mbura memiliki ide yang sangat gemilang dalam menata dan mensejahterakan
rakyatnya. Idenya adalah sangga ndolu sio
do tungga lela falu’ (mencari hikmat dan kedamaian serta kesejahteraan
hidup). Dia bermimpi dapat belajar ke Batavia yang oleh orang Rote disebut
Matabi (Haning, 2006:2).
Pada tahun
1730 berangkatlah Foe Mbura bersama rombongannya yang berjumlah 27 orang ke
Batavia. Termasuk ke dalam rombongannya itu antara lain Raja Lole (Ndi’i Hu’a),
Raja Lelain (Ndara Naong), dan Raja Baa (Tou Dengga Lilo). Dari Thie turut
serta wakil dari hampir semua leo (klen) yang terdapat di Nusak Thie, di
antaranya Pandi Mbura (mewakili Suku Mburalae) namun setelah sampai di Sabu dia
tidak melanjutkan perjalanan dan memilih menetap di sana; Nuku Mbura yang
sementara waktu bertualang di Belu dan kemudian menyusul ke Sabu dan tinggal di
sana; Mbate Moi (Moiumbuk); Mafi Toulo/Lon, anak dari Tou Lo Nale yang bersama
Sangguana Nale dibunuh di Ndana (Suku Kona); Resi Boru (Suku Bibimane); Tule
Fatu (Suku Tolaumbuk); Mina Mbaru (Suku Musuhu); Henu Helo (Suku Langgalodo);
Semu Lolo (Suku Kanaketu), Landa Laifoi (Suku Kolek); dan Foi Soru (Suku Su’a).
Fetor pada waktu
itu Pandi Ndao (dari Suku Todefeo) tidak pergi dan ditunjuk sebagai raja ad interim. Sebagai gantinya, dia (Pandi
Ndao) menunjuk Mbate Moi mewakilinya sekaligus mewakili rumpun Suku/Leo
Moianan/Taratu untuk mendampingi raja. Setelah kembali dari Batavia, jabatan
fetor dialihkan dari Leo Todefeo kepada Leo Moiumbuk secara turun- termurun dan
mulai dijabat oleh Mbate Moi.
Di Batavia,
sebagian anggota rombongan diberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan selama
dua tahun. Sedangkan sisanya disuruh pulang lebih awal. Yang pulang lebih awal,
menurut legenda, ada yang mengendarai hewan laut, antara lain Mina Mbaru
mengendarai buaya, Semu Lolo dan Foi Soru mengendarai ikan hiu, dan Landa
Laofio mengendarai ikan lada. Setelah mengikuti pendidikan, lima orang
dibaptis, yaitu Foe Mbura (Benyamin), Mbate Moi (Yohanis), Nafi Toulo/Lon (Natanel),
Tule Fatu (Daniel), dan Resi Boru (Matias). Menurut sumber lain, Foe Mbura
dibaptis bersama dengan ayahnya sebelum pergi ke Batavia.
Sesudah
kembali (1732), Foe Mbura mulai menerapkan semua ilmu/teknologi dan agama
kepada rakyat Rote. Lantaran belum ada gedung khusus untuk kegiatan pendidikan
dan kegiatan agama, maka istana raja dipakai sebagai tempat sekolah dan gereja.
Rakyat Rote mengatakan bahwa beliau membawa “manggaledok ma manggadilak soa neu nusa Rote” (membawa cahaya
cemerlang bagi rakyat Rote).
Untuk
memperlancar pembangunan pendidikan dan agama, Foe Mbura meminta bantuan tenaga
guru dan pendeta. Pemerintah Kolonial Belanda pun mengirim tenaga guru dan
pendeta (Herman Sanders Zijlsma) ke Fiulain/Thie.
Keadaan
masyarakat Rote dan visi-misi Foe Mbura dalam memimpin rakyat Rote ketika itu terlukis
dalam syair berikut:
Inggu mana songgo nitu ma nusak mana tanggu mula //
De tetun ta nai Rote daen ma teman ta nai Kale oen // Falu inar haradoi
besekedu ma ana mar kurudo beletani // Nai nusa linok ma nai dae nes // Te hu
mauak neu ba’in ma manalek neu aman // Ba’i tingga nala tonda ufan ma ama daka
nala balu baun // Fo balun Sangga Ndolu // Ba’i leko la neu langgan ma ama pale
uli titidi // De sida epor reu nduku Jabadiu daen // Ma lena rir reu losa
Matabi oen // Ba’i tati neni Bau Koli ma ama lo’o neni Tui Sina // Ba’i fuan
neu balun lain ma ama ndaen neu tondan lain // Ba’i nenin nduku Rote daen ma
ama nenin losa Kale oen // De sele Bau neu dano ma tande Tui neu le // De Bau
don nasengga dano ma Tui okan nandoro le // Bali basa dae Rote ma ndule basa oe
Kale // De mboko danor ramahena ma mboe ler rakabani // Boe te mboko dano ta,
te ana-mar // Ma mboe le ta, te falu mar // Bau Koli ta, te Susura Malalaok //
Ma Tui Sina ta, te Malelak // De Bau Sodak ana dadi ma Tui Ladak ana mori // De
ana-mar reu tai ndulen ma falu inar reu eko feon // De hambu ndolu sion, ndolu
mana sefa dae // Ma hambu lela falun, lela mana toli oe // De manggaledok mori
nae dae Rote malelak dari nai ole Kale // Dadi neu nemehenak ma taon neo
nekebanik // Losa faik ia dalen ma nduku ledok ia tein //
Terjemahan
bebas syair tersebut kurang lebih sebagai berikut: dahulu kala para nenek
moyang penyembah berhala serta bodoh sehingga tidak ada kesempatan di bumi
(Rote). Hal itu menyebabkan manusia merintih dan cemas. Tetapi beruntung lah
para moyang menaiki biduk mereka lalu menuju Batavia. Lalu mereka memotong
pohon Bau dan menebang pohon Tui kemudian dimuat dalam biduk lalu kembali ke
Rote. Setelah sampai, pohon Bau ditanam di pinggir danau dan pohon Tui ditikam
di pinggir sungai. Lalu pohon Bau berdaun rimbun menaungi danau dan akar pohon
Tui menjorok sepanjang kali. Lantas menjadi harapan bagi udang dan mboko.
Tetapi bukan udang dan mboko melainkan yatim-piatu dan balu duda. Dan bukan
pohon Bau dan pohon Tui tetapi kesejahteraan dan pengetahuan. Semua ini menjadi
pegangan hidup sampai kini.
Selain Raja
Thie Foe Mbura, Raja Thie lain yang juga penting menjadi jejak garis turunan
kepemimpinan mengalir dalam diri Lens Haning adalah Hermanus Haning. Hermanus
Haning alias Loty Hani dilahirkan pada tahun 1881. Dia menikah dengan Rebeka
Hangge dan dikarunia anak-anak Paulina Haning, Maria Haning, Semuel Haning,
Gabriel Haning dan Zakarias Haning. Berasal dari Suku Todefeo, memimpin
Kerajaan Thie yang beribukota di Lidamanu dari tahun 1953 sampai 1956
menggantikan Yermias W. Messakh. Menamatkan pendidikannya di Sekolah Gubernemen
Danoheo pada tahun 1896. Dia dipilih oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk
melanjutkan sekolahnya ke Kweek School di Ambon namun orang-tuanya menolak,
akhirnya batal.
Semula dia
menerjunkan diri dalam bidang bisnis. Dia bersama N.D. Pah (guru dan anggota
DPR Daerah Timor) berkongsi lalu membuka sebuah toko dan bertempat di rumah
N.D. Pah. Usaha ini kemudian mengalami kemacetan.
Selanjutnya
Hermanus Haning menjadi juru tulis di Kerajaan Thie. Baik sebelum maupun
setelah menjadi Raja Thie, dia selalu aktif dalam pelayanan jemaat dalam
kedudukannya sebagai penatua atau penginjil. Pada tahun 1927 dia mendirikan sebuah
gereja di Dusun Longgo Oen dan diberi nama Gereja Lidamanu. Dan karena itu,
Dusun Longgo Oen pun berubah nama menjadi Desa Lidamanu.
Dalam
silsilah Klen Todefeo, Hermanus Haning adalah paman dari Lens Haning. Hermanus
Haning dan Bastian Haning (ayah Lens Haning) berasal dari satu kakek, yakni
Boru Henu. Boru Henu memiliki empat orang anak lelaki, dua di antaranya Hani
Boru yang merupakan ayah dari Hermanus Haning dan Nia Boru yang tidak lain
adalah ayah dar Bastian Haning.
Begitulah,
ada garis kepemimpinan yang mengalir dalam darah keturunan Lens Haning yang
kini menjadi Bupati Rote Ndao (2009-2014).
B. Kematangan di Ranah Birokrasi
Haruslah
dipahami bahwa sejak dulu kala pemimpin pemerintahan di Rote Ndao tidak
bersifat warisan atas suku/keluarga tertentu. Siapa saja yang dianggap pintar
dan mampu mengayomi rakyat dapat diangkat menjadi pemimpin (manek) yang dalam ungkapan adat disebut
‘mana tada tena do mana lolo bote’
atau ‘mane la’i’.
Menjadi
pemimpin daerah Rote (Bupati Rote Ndao), Lens Haning tidak semata-mata bermodal
garis keturunan kepemimpinan Foe Mbura dan Hermanus Haning. Ada kematangan
kepemimpinan di ranah birokrasi yang juga menjadi modal kuat untuk mengemban
amanat rakyat Rote Ndao.
Lahir di
Lidamanu pada tanggal 20 November 1954 dari pasangan Bastian Haning dan
Viktoria Haning-Manu, Lens Haning menghabiskan masa sekolah SD dan SMP di
kampung halamannya. Baru setelah menginjak SMA, dia merantau ke Kupang, ibukota
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Setamat
dari SMA Kristen Kupang tahun 1973, Lens
Haning berkesempatan bertemu dengan Piet Alexander Tallo yang di masa itu
menjabat Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Provinsi NTT. Tanpa banyak
perbincangan basa-basi, di sekitar tahun 1974 Lens diterima bekerja sebagai
staf pada Dispenda Provinsi NTT.
Tercapailan
mimpi Lens untuk lepas dari suratan takdir sebagai petani jagung Rote yang
subsisten. Di tahun 1974, garis tangannya berubah dengan memulai guratan hidup
sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hari-hari Lens lantas dilewatkan untuk
urusan pengumpulan pajak dan retribusi daerah di Provinsi NTT.
Sebagai PNS
muda yang baru menapak karir, Lens banyak memperoleh dorongan moril dari
atasannya yang kharismatik Piet Alexander Tallo –yang di rentang waktu 1998-2003
dan 2003-2008 dipercaya sebagai Gubernur NTT. Dalam bekerja, Piet senantiasa
menanamkan sikap tanggung jawab, disiplin dan kerja keras kepada bawahannya,
termasuk kepada Lens Haning. Bahkan, Piet Tallo memberikan dukungan penuh agar
Lens menambah bekal keilmuan dan pengetahuan dengan melanjutkan kuliah.
Lens
terpacu untuk maju. “Dalam diri, saya punya sikap yang sangat kuat bahwa sampai
kapan saja saya harus menjadi diri saya sendiri, dan saya tidak mau jadi
seperti siapa pun. Sehingga, saya sangat sulit dipengaruhi oleh siapa saja
karena saya sudah punya konsep hidup. Ini yang paling kuat tertanam dalam diri
saya,” ujar Lens Haning.
Konsep
hidup Lens Haning adalah bahwa dalam bekerja dia selalu meniru filosofi
sifat-sifat ikan mas dan anak ayam. Maknanya jelas. Menurut Lens, “Ikan mas
adalah jenis ikan air tawar yang hidup besar dan gemuk di air jernih. Tatkala
digiring ke air keruh, ikan mas akan berusaha kembali ke air yang bersih
(jernih). Sedangkan anak ayam, bermakna bahwa dia makan dari apa yang dia cari
sendiri untuk mengisi temboloknya. Mencari apa-apa sendiri lalu dimakan, tetapi
bukan mengambil milik orang lain. Jadi, sudah tertanam sikap kemandirian sejak
kecil.”
Sikap dan
konsep hidup Lens Haning sudah benar. Sebab, ketika orang tersebut tumbuh sejak
kecil, remaja, hingga menjadi dewasa, dia harus memiliki jatidiri dan konsep
hidup sendiri. Alhasil, tatkala dia ditempa oleh lingkungan masa lalu yang
serba kekurangan dan kini pada akhirnya diberi amanah sebagai pemimpin daerah
(Kepala Daerah), dia tampil sebagai pemimpin yang sederhana, jujur, berkarakter
dan juga berpendirian teguh.
Labirin
waktu terus berputar. Sekian lama berkarir sebagai PNS pada Dispenda Provinsi
NTT, atasannya (Piet Tallo) tiada henti memotivasi Lens untuk belajar dan
(harus) meneruskan pendidikannya. Lens yang ketika itu masih berijazah SMA
tidak menyia-nyiakan kesempatan yang sudah ada di depan mata. Dia lalu
mengajukan izin tugas belajar kepada atasannya itu. Tanpa banyak kesulitan, dia
kemudian mengantongi izin tugas belajar untuk meneruskan kuliah ke Kampus
STIKEN Surabaya, Jawa Timur. Selama sekitar tiga tahun bergelut dengan
buku-buku teks kuliah, akhirnya pada tahun 1984 Lens Haning berhak menyandang
gelar sarjana muda keuangan.
Lens lantas
pulang ke Kupang, ibukota Provinsi NTT. Berkat peningkatan kualitas keilmuan
itu, secara perlahan dan pasti karirnya mulai bersinar. Sejak 1985 misalkan,
dia kemudian dipromosikan sebagai Kepala Seksi (Kasi) Tata Usaha Cabang
Dispenda Wilayah Kupang. Jabatan ini dipegangnya hingga 1987. Berikutnya, dia
ditempatkan lagi sebagai Kasi Penerimaan Dinas-Dinas Tingkat I Provinsi NTT,
mulai 1987 sampai 1993.
Selama
mengemban amanah jabatan sebagai Kasi Penerimaan Dinas-Dinas Tingkat I Provinsi
NTT inilah, Lens berpikir untuk menuntaskan kuliahnya yang saat itu baru sampai
sarjana muda. Karena itu, di sela-sela tugasnya mengabdi sebagai PNS, dia
kembali berinisiatif mendaftarkan diri sebagai calon mahasiswa pada Program
Sarjana (S-1) Jurusan Tata Niasa Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang. Setelah
melalui serangkaian tes, tanpa banyak kesulitan, dia diterima di Undana. Sejak
itulah, hari-harinya diisi antara aktivitas belajar dan mengabdi sebagai PNS. Karena
dia belajar dan mengabdi nothing to loose
serta tanpa beban, tanpa terasa kuliah yang dilakoninya pun rampung. Berselang
lebih dari setahun, tepatnya pada tahun 1990, Lens dapat bernafas lega. Mulai
saat itu, dia boleh berbangga hati lantaran lulus dengan nilai memuaskan. Dan
yang lebih membahagiakan lagi, dia berhak pula menyandang gelar sarjana strata
satu (S-1/Drs) di depan namanya.
Melihat
kondite dan kinerja Lens Haning yang bagus serta studi sarjananya yang telah
tuntas, atasannya demikian terkesan. Maka, mulai tahun 1993, dia dipromosikan
sebagai Kepala Cabang (Kacab) Dispenda Provinsi NTT Wilayah Belu. Jabatan ini
dipegangnya sampai tahun 2000. Berikutnya, tahun 2000-2001, dia dipercaya
sebagai Kacab Dispenda Provinsi NTT Wilayah Kupang. Selanjutnya, tahun 2001
sampai 2006, dia dipromosikan lagi sebagai Kepala UPTD Dispenda Provinsi NTT Wilayah
I. Pada masa inilah (2001), Lens memutuskan untuk back to campus dan mengambil kuliah pada Program Studi Magister
Manajemen (S-2) Unwira, Kupang. Tak seberapa lama, tahun 2003, dia diwisuda dan
berhak mengandang gelar Magister Manajemen (S-2).
Kemudian,
tahun 2006, dia kembali dipromosikan sebagai Kepala Dinas Pariwisata Provinsi
NTT. Jabatan ini hanya dipegangnya
selama dua tahun, tepatnya sampai tahun 2008.
Berkat
berbagai anak tangga yang dilalui di ranah birokrasi (Dispenda dan Dinas
Pariwisata Provinsi NTT), Lens Haning menjadi begitu matang dalam memimpin
–terutama memimpin anak buah yang ada di bawah lembaga yang dipimpinnya. Sebuah
perjuangan yang semakin mematangkan sikap bijak seorang Lens yang dapat
dijadikan modal dalam mengarungi kehidupan selanjutnya.
C. Memimpin di Tanah Kelahiran
Tahun 2008
menjadi tonggak baru dalam perjalanan hidup seorang Lens Haning. Setelah sejak
tahun 1974 menapak karir di ranah birokrasi, di tahun 2008 itu dia mencoba
peruntungan yang baru, di ranah politik. Suami dari Paulina Haning ini lebih
sering turun ke lapangan berkunjung menyapa langsung warga masyarakat di
sejumlah kecamatan di Kabupaten Rote Ndao dalam kapasitasnya untuk maju dalam
kompetisi pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung 2008. Dia tampil sebagai
calon Bupati Rote Ndao dari jalur independen (perseorangan). Mulai saat itu
pula dia memutuskan cuti dari jabatannya sebagai Kepala Dinas Pariwisata
Provinsi NTT.
Mengikuti
kompetisi Pilkada langsung tak ubahnya memasuki medan tempur. Akhir dari pertempuran
tentu ada yang menang dan ada pula yang kalah. Karena itu, guna meraih
kemenangan yang dicita-citakan, para kandidat kepala daerah yang bertarung
harus mengenal baik peluang dan kekuatan dirinya, juga kekuatan dan kelemahan
pesaing. Dengan begitu akan lebih mudah mengatur siasat dan strategi buat
menggapai kemenangan. Persis seperti nasehat ahli strategi perang legendaris
asal China Sun Tzu: “Kenali musuhnya, serta kenali dirimu, engkau pasti akan menang
telak! Kenali geografi medan pertempuran serta kenali cuaca di lapangan,
kemenangan pasti semakin sempurna.”
Tatkala
memutuskan untuk maju ke kancah kompetisi Pilkada Kabupaten Rote Ndao, Lens
Haning berusaha berpegang pada falsafah Sun Tzu, teori ilmiah, plus kalkulasi
atas kondisi dan realitas di tengah-tengah masyarakat. Namun, sebelum
memutuskan untuk maju mengikuti kompetisi Pilkada, Lens terlebih dulu meminta
izin kepada keluarga dan orang-orang terdekat, yaitu isteri dan ketiga
anak-anaknya. Sebab itu, pada suatu kesempatan dia mengumpulkan mereka di ruang
tengah rumahnya yang sejuk di Kota Kupang. Perbincangan pun mengalir.
“Begini Ma,
saya mau ikut Pilkada di Rote,” Lens Haning membuka perbincangan.
“Ikut
Pilkada? Bapak jadi Kepala Dinas (Pariwisata) saja sudah keliling keluar negeri
terus, keliling Indonesia juga. Mau apa lagi?” jawa si isteri.
“Ma, ini
panggilan. Dan, ini sudah ada dalam pergumulan hidup, juga perenungan hidup
Bapak,” tukas Lens Haning.
“Baiklah kalau
itu memang pilihan Bapak, saya mendukung,” si isteri lalu mengizinkan Lens maju
ke kompetisi Pilkada Kabupaten Rote Ndao untuk memperebutkan kursi Bupati Rote
Ndao periode 2009-2014.
Setelah
memperoleh izin tersebut, Lens menerangkan bahwa ajang kompetisi Pilkada
langsung Rote Ndao 2008 yang akan diikutinya jelas penuh risiko. “Jika Bapak
berhasil menang maka skornya satu. Tapi, kalau Bapak kalah, maka kita kembali
ke titik nol. Siapkah kita menghadapi situasi ini?” Lens balik bertanya.
Mendengar
penjelasan suaminya itu, si isteri menjawab, “Bapak boleh ikut Pilkada, tapi yang
namanya harta atau aset seperti mobil, rumah, juga tanah, tidak boleh satu pun
dijual. Kalau uang yang ada memang dipersiapkan, boleh dipakai walaupun habis
tak menjadi masalah,” tutur si isteri.
Usai perbincangan
Lens-Paulina, puteri sulungnya yang sejak semula terdiam ikut angkat bicara
atas nama adik-adiknya. “Kami bertiga tidak butuh apapun dari Papa dan Mama,
kecuali sekolah. Jadi, sekolahkan saja kami bertiga sampai selesai,” ujar Victoria
Haning.
Demikianlah
perbincangan singkat Lens Haning bersama keluarga dan orang-orang terdekat yang
memberikan restu untuk maju Pilkada saat itu, menjadi sebuah kekuatan dan
energi baru baginya untuk melangkah lebih jauh. Menurut Lens, restu dan doa si
isteri (juga anak-anaknya) menjadi energi pemantik dan pemacu semangat untuk
bekerja keras guna menggapai kemenangan.
Sebelum
terbentuk Tim Sukses resmi, jauh-jauh hari Lens sudah bergerak buat menyiapkan
tim simpatisan dan massa pendukung setia. Mereka inilah yang kemudian berada di
garda terdepan dan merasuk lebih dulu ke lingkungan warga masyarakat Rote Ndao
secara massif dan intensif.
Mengingat
eranya Pilkada langsung berada di tangan rakyat, Lens Haning mempersiapkan
segala sesuatunya lebih awal. Bahkan, sejak 2006, dia sudah lebih dulu turun
dan berkomunikasi langsung dengan berbagai elemen masyarakat guna memaparkan
sebuah konsep brilian dalam membangun Rote Ndao ke depan, yaitu “Berubah untuk
Membangun” dan “Membangun untuk Perubahan”. Tanpa terelakkan, karena desakan
perubahan itu cukup deras di masyarakat, konsep itu langsung direspon positif
oleh warga masyarakat Rote Ndao.
“Konsep itu
sudah saya lempar ke masyarakat sekitar dua tahun sebelum Pilkada langsung.
Secara taktis-politis saya sudah memperhitungkan bahwa rakyat membutuhkan
sebuah perubahan. Begitu saya muncul dengan konsep Berubah untuk Membangun dan Membangun
untuk Perubahan, langsung direspon positif oleh warga masyarakat Rote Ndao.
Melihat kenyataan itu, saya merasa optimis dan punya keberanian untuk maju,”
tutur Lens Haning menjelaskan langkah awalnya sebelum dia mendekati kursi nomor
satu Rote Ndao itu.
Lens
sengaja memilih jalur independen karena sejak awal dirinya mengembangkan konsep
kepemimpinan mendengarkan suara rakyat. “Saya memilih jalur independen lantaran
sejak awal saya mengembangkan pola kepemimpinan mendengar suara rakyat. Karena
saya berasal dari kelompok masyarakat, maka konsekuensinya saya pun harus
mendengar kelompok-kelompok yang ada di masyarakat tersebut. Di dalam
kelompok-kelompok masyarakat itu terdapat rakyat yang harus saya dengar dan
akomodir kepentingan dan kebutuhannya,” ujar Lens Haning menerangkankan
sikapnya memilih jalur independen.
Dengan
menggandeng pasangan calon wakil bupati Marthen Luther Saek dan persiapan yang
matang, pasangan Lens Haning – Marthen Luther Saek (LENTERA) lolos verifikasi
KPUD Kabupaten Rote Ndao dan siap bertarung melawan pasangan lain pada Pilkada
tanggal 13 Oktober 2008. Pasangan LENTERA berkompetisi melawan pasangan incumbent Bupati Christian Nehemia
Dillak yang berpasangan dengan Ketua DPRD Kabupaten Rote Ndao Zakarias P.
Manafe (NAZAR), pasangan Drs. Marthen Luther Henuk – Junus Fanggidae (MAJUS),
pasangan Alfred Zakarias – Stephanus Mbatemboy (AS), dan pasangan Bernard Pela
– Nur Yusak Ndu (BENAR).
Singkat
cerita sampailah pada rapat pleno rekapitulasi Pilkada Rote Ndao yang
dilangsungkan di Aula Kantor Bappeda Kabupaten Rote Ndao, Jalan Lekunik,
Kompleks Perkantoran Bumi Sasando Permai, Baa. Pleno dihadiri seluruh anggota
KPUD Kabupaten Rote Ndao, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten Rote Ndao,
Muspida Kabupaten Rote Ndao, para saksi dari masing-masing pasangan calon, juga
anggota PPK se-Kabupaten Rote Ndao. Pada kesempatan itu hadir pula pasangan
Christian Nh. Dillak – Zakarias Paulus Manafe (NAZAR), pasangan Leonard Haning
– Marthen Luther Saek (LENTERA), pasangan Alfred Zakarias – Stephanus Mbatemboy
(AS), dan pasangan Bernard Pela – Nur Yusak Ndu (BENAR). Pasangan calon Marthen
Luther Henuk - Junus Fanggidae (MAJUS) tidak hadir.
Hasil
perhitungan memperlihatkan pasangan NAZAR unggul dengan perolehan 18.706 suara
(29,92%), diikuti pasangan LENTERA 12.612 suara (20,17%), pasangan AS 12.121
suara (19,48%), pasangan BENAR 10.584 suara (16,93%), dan pasangan MAJUS 8.439
suara (13,50%). Karena tidak ada pasangan yang meraup suara lebih dari 30%, berdasarkan
UU Nomor 12/2008 tentang Perubahan UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah
khususnya pasal 107, Pilkada dilanjutkan ke putaran kedua. KPUD Kabupaten Rote
Ndao menetapkan Pilkada putaran kedua dilangsungkan pada 24 November 2008.
Sekali lagi
singkat cerita, setelah pencoblosan yang diakhiri dengan rapat pleno
rekapitulasi suara Pilkada Rote Ndao putaran kedua, pasangan LENTERA berhasil
mengungguli pasangan NAZAR yang pada rapat itu tidak hadir. Pasangan LENTERA
memperoleh 32.166 suara mengalahkan pasangan incumbent NAZAR yang meraih 28.761 suara. Pada putaran kedua ini
total suara yang masuk sah sebanyak 60.927 suara dan suara tidak sah sebanyak
762 suara.
Pemilih tetap
pada putaran kedua itu mencapai 73.874 pemilih. Dari kalkulasi ini, berarti
sebanyak 13.709 pemilih tetap tidak memilih (golput) pada putaran kedua. Bila
dipersentase sekitar 17,54% golput dan 82,47% pemilih menggunakan hak pilih.
Pada putaran pertama, dari jumlah tetap sebanyak 73.235 pemilih, yang ikut
mencoblos sebanyak 63.473 pemilih (86,67%) dan yang golput sebanyak 9.762
pemilih (13,33%).
Usai rapat
pleno, Bupati terpilih Lens Haning menyatakan dirinya siap mengemban amanah
rakyat bersama wakil bupati. Dia segera merealisasikan apa saja yang telah
dijanjikan selama masa kampanye, yakni Membangun
untuk Semua. Di antaranya membangun menuju 1.000 embung dengan irigasi yang
memadai, menggerakkan Lakamola Anan Sio,
membangun pertanian dan perkebunan, memperbaiki infrastruktur, serta
menggerakkan ekonomi dan kemandirian rakyat.
D. Efektif dengan Keteladanan
Seorang
pemimpin haruslah memasyarakat. Pemimpin harus dekat dengan rakyat dan
masyarakatnya. Harus rajin beranjangsana ke wilayahnya dan menyambangi
masyarakat yang dipimpinnya, tidak hanya ketika masa kampanye saat berusaha mengambil
hati para pemilih. Lens Haning menyadari betul pakem kepemimpinan semacam itu. Sebab
itu, dia berusaha dekat dengan rakyat Rote Ndao, memberikan contoh (teladan),
menginspirasi sekaligus memotivasi.
Usai
dilantik menjadi Bupati Rote Ndao, Lens Haning langsung turun ke
pelosok-pelosok Kabupaten Rote, melihat langsung kondisi embung-embung yang
menjadi urat nadi pertanian masyarakat petani, mengajak warga masyarakat
berbagi cerita atas persoalan yang mereka hadapi, memantik benak pikiran warga
untuk mau menyampaikan apa yang mereka butuhkan, dan memberikan solusi atas
permasalahan dan kebutuhan yang ada. Dia pun aktif mengajak para pimpinan di
lingkungan Pemerintah Kabupaten Rote Ndao untuk cepat-cepat melayani dan
menuntaskan persoalan yang membelit rakyat.
Pendek
kata, Lens Haning bukanlah pemimpin bertipe bos (boss style) yang asal perintah pada anak buah sementara dirinya
cuma ongkang-ongkang kaki di atas sianggasana kekuasaannya. Leadership is an action, demikian kata
penulis terkenal John Adair. Sebagai pemimpin daerah (Kepala Daerah), Lens
berusaha memberikan contoh pada aparaturnya, pada warga masyarakatnya, dan pada
siapa saja yang berhubungan langsung ataupun tak langsung dengan dirinya. Untuk
itulah, Lens berusaha bertindak nyata dengan turun langsung ke lapangan sampai
nun jauh di pelosok-pelosok wilayah, pun pulau-pulau kecil di tapal batas
negara, serta desa-desa terpencil yang nyaris terkucil. Turun ke
wilayah-wilayah yang belum pernah dikunjungi oleh pemimpin-pemimpin sebelumnya.
Lens sambangi Desa Dayama I di Pulau Usu yang hanya dihuni 43 jiwa. Pun ke
pulau-pulau: Pulau Nuse, Pulau Landu, Pulau Ndao dan Pulau Nusa Manuk.
Menyambangi, ikut merasakan kesulitan rakyat dengan bermalam di desa-desa
terasing yang mesti mendapat sentuhan hati sang pemimpin.
Sebagai
seorang pemimpin daerah, sekali lagi, Lens sangat memasyarakat dan dia dekat
dengan warga masyarakat Rote Ndao. Lens rajin mengunjungi wilayahnya dan
menyambangi langsung warga di pulai-pulai di tengah Samudera Hindia. Semuah
medan pengabdian dan pelayanan yang tidak mudah. Bukan maksud Lens hendak tebar
pesona. Tapi, lantaran dia benar-benar berusaha dan ingin memahami
karakteristik wilayah di bawah kewenangannya, serta melihat, merasakan dan
memahami langsung denyut nadi kehidupan rakyat yang dipimpinnya. Dengan begitu,
rakyat Rote Ndao melihat betul karakter dan sosok pemimpin yang langsung dipilihnya.
Di sisi lain, rakyat Rote Ndao juga tanpa rasa takut-takut lagi menyampaikan
aspirasi kebutuhan dan partisipasi pembangunan. Selanjutnya, rakyat Rote Ndao
memberikan pula partisipasi orisinil (genuine
participation), bukan partisipasi semu (pseudo
participation). Rakyat tidak semata-mata pasif mendengarkan apa-apa yang
telah direncanakan kemudian dilakukan oleh pemerintah untuk rakyat. Rakyat ikut
diberdayakan agar turut serta dalam proses perencanaan, pembuatan program dan
kebijakan, serta pengendalian atau pengontrolan pembangunan. Dengan demikian,
dari mulai proses perencanaan, pembuatan program dan kebijakan, sampai
pelaksanaan pembangunan betul-betul berjalan sesuai kebutuhan, pola pikir,
sistem nilai, perilaku, adat-istiadat dan kebiasaan mereka. Bupati Lens Haning
benar-benar berusaha menjadikan rakyat-masyarakat Rote Ndao sebagai subyek
(bukan obyek) pembangunan.
Begitulah
langkah Lens Haning tatkala mulai mengemban amanah sebagai bupati pilihan
rakyat Rote Ndao (2009-2014) pada ajang kontestasi Pilkada langsung 2008 silam.
Tanpa banyak membuang-buang waktu, begitu terpilih dan usai dilantik, Lens
langsung menyingsingkan lengan baju terjun ke tengah-tengah masyarakat. Tidak
mengherankan, waktunya lebih banyak tersita dan dihabiskan buat mengunjungi
rakyat dan wilayahnya daripada ongkang-ongkang kaki di atas singgasana bupati.
Lens memang berupaya menempatkan jabatan bupati bukan sebagai menara gading.
Itu pula sebabnya, dalam rentang kepemimpinannya tiga tahun ini, Lens telah
menjelajahi mulai dari lorong-lorong kampung di Kota Baa (ibukota Kabupaten
Rote Ndao), pulau-pulau terujung yang berbatasan langsung dengan Benua Kanguru
Australia, sampai desa-desa terpencil di pesisir pantai yang hampir terkucil.
Tak ada satu pun daerah atau wilayah yang belum disambanginya. Lens memang
ingin merangkul semua warga masyarakat Rote Ndao satu dalam kebersamaan,
kekeluargaan, dan keberagaman sebagaimana spirit Ita Esa.
Lens
berusaha menggerakkan seluruh kekuatan yang ada di dalam masyarakat Rote Ndao
yang dipimpinnya. Dia berupaya tampil sebagai pemimpin penggerak perubahan.
Kekuatan pemimpin penggerak perubahan memang terletak pada aksi atau tindakan
nyata (keteladanan). Pemimpin yang mau turun dari singgasananya untuk hadir ke
tengah-tengah masyarakat yang dipimpinnya. Dia mau turun sebagai motor,
inspirator, motivator, juga contoh nyata (suri teladan) guna memandu,
menggugah, sekaligus memberdayakan para ‘anak buah’ atau stafnya untuk berjalan
menuju arah dan harapan yang telah digariskan (visi dan misi).
Tidak
jarang, dalam mengunjungi rakyatnya dan para mitra kerja, Bupati Lens mengajak
para bawahannya, mulai dari wakil bupati, sekretaris daerah, kepala dinas,
camat sampai kepala desa. Maksudnya, agar mereka semua melihat dari dekat dan
memahami langsung kondisi warga masyarakat Rote Ndao. Dengan berada dekat dan
lekat pada rakyat dan mitra kerja, seorang pemimpin akan menjadi lebih yakin
bahwa visi dan misi Pemerintah Daerah menjadi lebih mudah diwujudkan. Jadi,
bukan cuma dirinya yang berada di dalam nafas dan derap-langkah pemerintahan,
namun pemerintahan juga telah menyatu dalam hati, pikiran dan langkahnya setiap
hari. Ibarat kata, pemimpin penggerak perubahan dan pemerintahan itu bak dua
sisi mata uang. Keduanya saling menguatkan dan tidak dapat dipisahkan.
Guna
mengubah pola pikir (mindset)
aparatur Pemerintah Daerah dan warga masyarakat dengan menanamkan nilai-nilai
budaya pemerintahan yang unggul tidaklah semudah membalik telapak tangan.
Karena, semua itu menyangkut isi hati dan kepala manusia. Proses perubahan
memang membutuhkan perjuangan yang tidak kenal putus asa dan durasi waktu yang
cukup panjang. Perubahan nilai-nilai budaya pemerintahan yang unggul harus
dilaksanakan secara terus-menerus, konsisten dan tiada henti. Jadi, butuh
kesabaran dan ketekunan luar biasa, serta sikap optimistis, kendati banyak
kendala dan aral-rintang menghadang. Transformasi nilai-nilai kultural
pemerintahan ini memang sukar dan mendasar, namun merupakan faktor yang sangat
menentukan bagi keberhasilan perjalanan suatu pemerintahan.
Satu hal
penting, perubahan itu mesti dimulai oleh diri pemimpin sendiri. Setelah itu, bersama
para pemimpin lainnya (dalam pemerintahan) harus bertindak sebagai arsitek
perubahan (change architect). Berikutnya,
sang pemimpin mesti mampu melahirkan pemimpin-pemimpin perubahan (change leaders) di setiap lini atau
divisi pemerintahan dan agen-agen perubahan (change agents) pada lintas SKPD, sehingga nilai-nilai budaya
pemerintahan yang unggul baru menjadi roh atau jiwa setiap aparatur Pemerintah
Kabupaten Rote Ndao dan warga masyarakat dalam bekerja. Dalam masyarakat yang
kental budaya patriarkal seperti Indonesia, termasuk pula Rote Ndao, sebuah
pemerintahan memang membutuhkan figur pemimpin yang mampu mendorong perubahan
dengan keteladanan nyata. Intinya, pemimpin harus membuat perubahan pribadi,
sebelum dia meminta orang lain berubah.
Terang
sudah bahwa dalam mengemban amanah, sebagai pemimpin penggerak perubahan, Lens
Haning tidak hanya memberikan kepala (pikiran), tangan dan kaki (bekerja keras
pantang menyerah), namun juga hati (melayani dengan tulus). Niatnya
mantap-lurus, komitmennya tinggi dan konsisten, keyakinannya kuat, dan dia
senantiasa berdoa agar dirinya diberi petunjuk dan jalan kemudahan oleh Tuhan
Yang Maha Esa. Sebuah totalitas dalam memimpin. Itu semua dia lakukan agar
pertumbuhan ekonomi wilayah yang dipimpinnya terus meningkat secara berarti dan
berkesinambungan.
Berbekal
spirit perubahan rakyat Rote Ndao dan tampil sebagai pemimpin penggerak
perubahan, Lens memantapkan niat untuk melangkah. Sebab Lens sendiri menyadari
bahwa apa yang kini dia lihat dan rasakan, hingga kemudian dia terpanggil untuk
membenahi wilayah Kabupaten Rote Ndao. Itulah pula yang sesungguhnya merupakan
hakikat, roh dan tujuan akhir yang hendak digapai oleh kebijakan otonomi
daerah, sesuai dengan arahan UU Nomor 22/1999 juncto UU Nomor 32/2004 juncto
UU Nomor 12/2008 tentang Pemerintahan Daerah. Yakni, mewujudkan kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat Kabupaten Rote Ndao sesuai jatidiri, karakteristik, dan
nilai-nilai budaya lokal. Sebab itu, Lens demikian peduli dalam melibatkan
partisipasi aktif masyarakat setempat, birokrasi yang bersih, akuntabel dan
profesional, dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Itulah
hakikat pembangunan yang berbasis pada masyarakat lokal dan berpusat pada manusia
seutuhnya. Dari sini pula, Bupati Lens Haning merumuskan visi pembangunan
daerahnya, yakni “Terwujudnya Kehidupan
Masyarakat Kabupaten Rote Ndao yang BERMARTABAT (BERtumbuh, MAkmuR, TAat,
BersahaBAT)”.
Visi yang
singkat namun penuh makna yang sangat substansial. Substansi penting visi ini
adalah, pertama, peneguhan Kabupaten
Rote Ndao sebagai bagian dari NKRI yang komit pada ideologi Pancasila dan konstitusi
UUD 1945 dalam membangun dan melayani rakyat. Kedua, semangat nilai-nilai kultural Ita Esa sebagai puncak kristalisasi budaya lokal yang mampu
dijadikan pondasi bagi terciptanya stabilitas sosial dan keamanan masyarakat
Rote Ndao.
Ketiga, secara ekonomis, Pemerintah
Kabupaten Rote Ndao berupaya menyejahterakan segenap lapisan rakyat dengan
mendorong terwujudnya masyarakat setempat yang mandiri. Keempat, secara lokal, nasional dan internasional (mondial),
Kabupaten Rote Ndao berusaha menyejahterakan rakyat dengan mengandalkan potensi
lokal (darat dan laut) yang khas daerah kepulauan.
Dan kelima, Pemerintah Kabupaten Rote Ndao
berikhtiar mendaya-gunakan secara optimal berbagai keunggulan spasial dan
potensi lokal yang tersedia selaras dengan implementasi otonomi daerah. Dengan
begitu Rote Ndao diharapkan mampu menjaga dan menjamin kesinambungan pembangunan
yang berkelanjutan (sustainable
development).
Bercermin
pada visi yang demikian jelas dan bernas ini tidaklah salah bila
rakyat-masyarakat Rote Ndao menaruh harapan pada sosok kepemimpinan Lens
Haning. Tidak saja ada garis keturunan kepemimpinan yang mengalir dalam nadi
tubuhnya, Lens pun brilian merumuskan visi yang betul-betul memberi rasa nyaman
dan aman dalam diri segenap rakyat-masyarakat Rote Ndao.
Hal ini
sejalan dengan pendapat pegiat budaya Rote, Paul A. Haning, bahwa sejak dulu pemimpin
pemerintahan di Rote tidak bersifat warisan atas suku/keluarga tertentu, siapa
yang dianggap “pintar dan mampu mengayomi rakyat” diangkat menjadi pemimpin (manek).
Dalam
bahasa yang sedikit berbeda, meminjam pendapat pakar kepemimpinan yang juga motivator
kelas dunia John C. Maxwell, sosok Lens Haning memenuhi kriteria sebagai
pemimpin yang memiliki pengikut (follower),
karakter dan watak jujur (integrity),
tanggung jawab yang tulus (compassion),
keberanian bertindak dengan penuh keyakinan (confidence), dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain (communication). ***
No comments:
Post a Comment