Oleh
Edi Kurniawan
Perjuangan rakyat Indonesia yang kerap dimotori
kaum buruh mulai menunjukkan titik terang. Dengan disahkannya Undang-Undang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), nasib rakyat Indonesia kini lebih
terjamin. UU Nomor 24 Tahun 2011 tersebut merupakan amanat UU Nomor 40 Tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Lalu apa pentingnya jaminan
sosial bagi rakyat Indonesia, khususnya bagi buruh/tenaga kerja?
Prof Dr B Purwoko, SE, MA, Dosen Fakultas Ekonomi
dan Pasca-Sarjana Universitas Pancasila, dalam artikelnya mengatakan bahwa
minimal ada lima peristiwa yang akan dihadapi rakyat Indonesa, yaitu
sakit/persalinan, kecelakaan-kerja, kematian prematur, pemutusan hubungan kerja
(PHK) dan hari tua atau pensiun. Menurut Purwoko, kelima peristiwa tersebut
merupakan risiko murni yang akan dialami, baik cepat atau lambat oleh setiap
tenaga kerja.
Karena itu diperlukan sistem jaminan sosial yang
dapat menjamin kehidupan setiap tenaga kerja/buruh yang mana pengelolaannya
harus dilakukan secara bersama-sama, transparan dan dapat
dipertanggungjawabkan.
UU BPJS menjelaskan bahwa kedepannya hanya akan
ada dua BPJS, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Untuk BPJS
Kesehatan akan mulai berlaku 1 Januari 2014 mendatang, sedangkan untuk BPJS
Ketenagakerjaan baru berlaku mulai 1 Juli 2015. Saat ini pemerintah dan
pihak-pihak terkait sedang menyiapkan pelaksanaan BPJS tersebut. Untuk saat
ini, Ketua Tim Persiapan BPJS Kesehatan adalah Menteri Kesehatan RI, sedangkan
unuk BPJS Ketenagakerjaan diketuai oleh Sekjen Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi.
Fungsi
Pengawasan
Seringkali, implementasi peraturan perundangan di
negeri ini memiliki kelemahan dari sisi pengawasan. BPJS sendiri mengatur bahwa
ada dua pengawasan dalam implementasi BPJS, yaitu pengawasan internal dan
pengawasan eksternal.
Masih menurut Purwoko, minimal ada empat fungsi
pengawasan terhadap implementasi UU SJSN dan UU BPJS, yaitu:
1. Pengawasan berfungsi memberikan masukan untuk
perbaikan kinerja lebih lanjut bagi BPJS dan bagi DJSN selaku pengawas dalam
meningkatkan intensitas pemantauan terhadap kegiatan operasional BPJS.
2. Pengawasan berfungsi memberikan pembagian
kewenangan secara berjenjang sesuai bidang pertanggung-jawaban yang sifatnya
melekat pada jenjang jabatan yang berbeda untuk efektivitas dalam pengendalian.
3. Pengawasan berfungsi untuk pencegahan,
pengarahan atas kegiatan operasional dan pemberian sanksi terhadap setiap
penyimpangan prosedur atau pelanggaran statuta.
4. Pengawasan berfungsi untuk penyelamatan aset
BPJS dan juga untuk pemberdayaan dana jaminan sosial bagi kepentingan peserta.
Sedangkan Dr Chazali H. Situmorang, Apt, Msc.PH,
Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mengatakan ada 3 lembaga yang
berfungsi sebagai pengawas eksternal terhadap implementasi UU SJSN dan UU BPJS.
Ketiganya adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
dan DJSN. Menurut Chazali, pengawasan terhadap penerapan aturan jaminan social
itu diperlukan karena rawan pelanggaran. Menurut dia, minimal ada tujuh potensi
pelanggaran terhadap penerapan aturan tersebut, yaitu:
a. Penyimpangan dalam implementasi SJSN (membatasi
subsidi silang);
b. Penyalah-gunaan prinsip nirlaba (masih
orientasi laba);
c. Keterbatasan akses informasi (kurang
transparan);
d. ketidakhati-hatian dalam investasi (ditengarahi
adanya moral hazard);
e. Ketidak-akuratan dalam pengelolaan keuangan
(tak dapat dipertanggungjawabkan);
f. Terhentinya layanan kesehatan yang
berkelanjutan (penolakan layanan kesehatan); Kepesertaan yang masih bersifat
eksklusif, dan
g. Kelalaian dalam pengelolaan dana amanah dan
Ketidak-sesuaian dalam pengembalian hasil investasi kepada peserta (tidak
sesuai lagi dengan bunga pasar).
Karena itulah, disahkannya UU BPJS menunjukkan
bahwa jaminan sosial sudah mulai menunjukkan titik terang. Namun implementasi
aturan tersebut masih perlu selalu dikawal. Proses pengawasan harus terus
dilakukan agar tercapai jaminan kesehatan yang benar-benar menyehatkan.
Dari www.berita99.com/
No comments:
Post a Comment