Pembangunan
tidak dimulai dengan barang, tetapi dimulai dengan orang: pendidikannya,
organisasinya dan disiplinnya. Tanpa ketiga komponen ini, semua sumber daya
tetap hanya akan terpendam, tak dapat dimanfaatkan, dan tetap hanya merupakan
potensi belaka.
E.F. Schumacher
(Penulis Buku Small is
Beautiful,1987)
Bunda Teresa pernah
berkata,
“Penyakit yang paling besar hari ini bukanlah lepra atau TBC, tetapi lebih
merupakan perasaan menjadi orang yang tidak dikehendaki.” Apa yang dikatakan
Bunda Teresa benar, sebab di wilayah Tanah Pupua sedari dulu hingga kini penyakit
yang paling besar bukanlah lepra dan TBC, melainkan “penyakit” kebodohan dan
keterasingan. Dengan kata lain, kebodohan dan keterasingan yang masih menimpa masyarakat
Papua boleh dikatakan merupakan “penyakit” paling mengerikan bila dibandingkan penyakit
lepra,
TBC, atau malaria.
Kedodohan dan keterasingan di wilayah Tanah Papua memanglah penyakit yang tidak
mudah untuk disembuhkan. Tak semudah kita meniupkan mantra sulap sim salabim. Namun, bukan berarti
penyakit ini tidak dapat disembuhkan. Obat yang paling mujarab untuk menyembuhkan
“penyakit” kebodohan dan keterasingan di wilayah Tanah Papua, salah satunya, adalah dengan
cara mengembangkan dan meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia
(SDM) masyarakat Tanah Papua.
Profesor Frederick Harbison dan
Profesor A. Meyers dari Princeton University dalam bukunya berjudul “Manpower and
Education” (1965) mengatakan: “If a countrys unable to develop its human
resources, it can not built anything else, whether it be a modern political
system, a sence of national unity or a prosperous economy”. Artinya, pengembangan SDM
sangat penting dan menempati posisi kunci dalam pembangunan suatu daerah maupun
negara secara berkelanjutan. Manusia adalah kunci utama dalam meraih
kemajuan. Baik bagi kemajuan individu yang bersangkutan, kemajuan di lingkungan
pekerjaan, kemajuan masyarakat, kemajuan suatu daerah maupun bangsa dan
negara. Manusia adalah human and intellectual capital.
Untuk
memajukan wilayah Tanah Papua menjadi jauh lebih baik, diperlukan SDM
yang tidak cukup hanya mengandalkan kecerdasan otak (IQ, Intelligence
Quotient) semata. Tapi, juga SDM yang mempunyai “kecerdasan hati dan
spiritual” (EQ, Emotional Quotient dan SQ, Emotional Spiritual
Quotient). Sebab, SDM yang memiliki IQ yang bagus tapi tanpa diimbangi
dengan EQ dan SQ itu tetap saja dapat merusak segalanya. Bekerja dengan semata-mata
mengandalkan IQ tanpa diimbangi EQ dan SQ akan (antara lain) tercipta suatu
pekerjaan tanpa moralitas. Kompetensi tanpa diimbangi moralitas hanya akan
melahirkan SDM dengan watak yang kurang beretika.
Sebagaimana pernah
diungkapkan oleh Daniel Goleman, psikolog dari Harvard University,
dalam buku bertajuk Emotional Intelligence (1995), IQ sejatinya hanya menyumbang sekitar 20 persen bagi
kesuksesan seseorang. Sedangkan sisanya, 80 persen,
justru dihasilkan dari EQ dan SQ. Jadi, manusia yang berkualitas adalah manusia
yang memiliki kecerdasan emosional dan spiritual tinggi.
Goleman menambahkan bahwa Robert Kelley dan Janet Caplan pernah melakukan
sebuah studi di Bell Labs, pusat penelitian ilmiah tersohor di dunia yang
berpusat Princeton, Amerika Serikat, terhadap sejumlah insinyur berotak
cemerlang. Hasilnya, mereka yang disebut para “Bintang” ternyata bukanlah para
insinyur yang tergolong ber-IQ paling tinggi. Para “Bintang” itu adalah mereka
yang ber-IQ tinggi serta memiliki EQ dan ESQ yang tinggi pula.
SDM
yang bekerja dengan mengandalkan IQ tanpa diimbangi EQ dan SQ hanya akan
melahirkan manusia-manusia pandai yang lepas dari tatanan nilai-nilai
sosial-budaya dan khazanah-kearifan lokal. Manusia-manusia yang lepas dari
tanah yang dipijak. Ujung-ujungnya, dalam kehidupan bermasyarakat tercipta
fenomena low trust society dan kecenderungan perilaku self-destruction.
Antar-sesama saudara saling curiga-mencurigai penuh syakwasangka.
Masyarakat pun menjadi curiga kepada kelompok masyarakat yang lain. Pada
akhirnya, apa yang ditengarai oleh tokoh nasionalis Mahatma
Gandhi tentang ”tujuh dosa yang mematikan” benar-benar bisa menjadi kenyataan
dalam kehidupan bermasyarakat, yakni semakin tidak terkendalinya watak dan perilaku
manusia hedonistis, narsistis, individualistis dan materialistis. Ketujuh dosa
mematikan itu masing-masing ”kekayaan tanpa bekerja” (wealth without
work), ”kesenangan tanpa hati nurani” (pleasure without conscience),
”pengetahuan tanpa karakter” (knowledge without character), ”kompetensi
tanpa moralitas” (competency without morality/ethic), ”ilmu pengetahuan
tanpa kemanusiaan” (science without humanity), ”agama tanpa pengorbanan”
(religion without sacrifice) dan ”politik tanpa prinsip” (politics
without principle).
Kemudian,
selain harus memiliki IQ, EQ dan SQ, SDM di Tanah Papua harus pula mempuyai
nilai kedisiplinan (values of discipline) yang tinggi. Kedisiplinan itu
bukan sesuatu yang kaku, namun merupakan sesuatu yang indah yang bisa dilakukan
dengan perasaan antusias dan hati yang menyenangkan. Karena
dengan hidup disiplin, hidup kita bisa teratur, terarah dan terukur. Yang lebih
penting lagi, dengan hidup disiplin maka kita dapat
mengharapkan terjadinya suatu perubahan yang jauh lebih baik daripada
sekadar rutinitas kegiatan yang kita lakukan setiap hari. Jadi kalau wilayah
Tanah Papua ingin meraih kemajuan yang lebih baik lagi, maka segenap komponen
masyarakat Papua harus bekerja keras dengan budaya disiplin yang tinggi.
Disiplin
adalah salah satu resep dalam mengendalikan diri guna meraih sebuah
keberhasilan. Disiplin dalam waktu, disiplin dalam bekerja, disiplin dalam
mematuhi peraturan serta disiplin dalam mengamalkan nilai-nilai kearifan lokal
sebagai penjaga tata kehidupan bersama. Dan, kedisiplinan itu harus dimulai
dari diri sendiri.
Untuk
memajukan wilayah Tanah Papua, juga dibutuhkan SDM yang memiliki
etos kerja keras, berpikir cerdas dan beramal ikhlas.
Bekerja keras dalam arti bahwa dalam bekerja buat kepentingan daerah (yang
berarti juga untuk kepentingan diri sendiri, masyarakat dan wilayah
Tanah Papua) tidak boleh mengenal batas ruang dan waktu. Banyak bekerja lebih
baik ketimbang banyak bicara. Bekerja keras terlebih dulu dengan sepenuh
integritas, tanggung jawab dan disiplin, baru setelah berhasil berbicara.
Kemudian, berpikir cerdas. Bahwa dalam bekerja harus menggunakan
kemampuan berpikir, kemampuan menganalisis, serta kemampuan mengatasi masalah
dengan tepat melalui metode yang terprogram. Bukan dengan tenaga otot.
Segenap
SDM harus memiliki kemampuan untuk membuat perencanaan, langkah dan strategi
yang handal, serta mampu memprediksi kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul di
wilayah Tanah Papua. Dan, agar menjadi cerdas, SDM harus
terus belajar. Menjadi ”pembelajar”. Belajar kepada siapa pun, di
mana pun dan kapan pun. Pengetahuan dan kemampuan seseorang, jika tidak terus
diasah dengan cara belajar atau menganggap dirinya sudah pintar, pasti akan
berhenti dan tidak berkembang. Melalui proses belajar, SDM yang berpikir cerdas
akan terus mampu mengevaluasi, membenahi dan mengambil langkah dan strategi
serta kebijakan dan program yang tepat bagi wilayah Tanah
Papua.
Lantas,
beramal (bekerja) ikhlas. Masyarakat di wilayah
Tanah Papua harus bekerja sebaik mungkin, komitmen tinggi dan bertanggung-jawab.
Bahwa yang menilai atau menentukan hasil kerjanya adalah Tuhan. Tuhan selalu
mengawasi umat manusia setiap saat. Karena itu,
pekerjaan yang dijalani merupakan amanah dan ditujukan demi kebaikan diri
sendiri dan orang banyak. Bekerja atau beramal ikhlas
untuk melengkapi ibadah. Kalau ibadah ritual masih kurang, maka bekerja ikhlas
dimaksudkan sebagai pelengkap. Dengan bekerja dalam perasaan yang tulus-ikhlas,
masyarakat di wilayah Tanah Papua akan bekerja tak pernah
kenal waktu. Dan apapun hasilnya, harus senantiasa disyukuri.
Prinsip kerja ikhlas itulah sesungguhnya yang bisa membuat masyarakat di wilayah
Tanah Papua menjadi selalu optimis dan tak pernah ragu dalam bersikap demi
memajukan daerahnya.
Yang
tak kalah penting, SDM di wilayah
Tanah Papua harus memiliki prinsip bahwa bekerja membangun dan memajukan wilayah
Tanah Papua itu merupakan bagian dari ibadah. Bukan suatu
keterpaksaan. Sebagai bakti kepada Tuhan dan bermanfaat atau diperuntukkan bagi
kebaikan orang banyak, khususnya untuk masyarakat di wilayah Tanah Papua.
Bekerja membangun wilayah Tanah Papua sebagai amanah yang harus
dilaksanakan dengan sebaik mungkin dan semaksimal kemampuan yang dimiliki
dengan sepenuh profesionalisme, komitmen, kejujuran, memiliki daya saing
berkelanjutan dan menghasilkan nilai tambah yang tinggi. Sebuah prinsip yang
mengajarkan kepada segenap SDM untuk senantiasa bersyukur dan bekerja lebih
kompeten serta profesional.
SDM di
Tanah Papua juga harus mempunyai pola pikir dan pola perilaku yang unggul. Pola
pikir (mindset) mereka harus mengglobal, kritis, namun tetap jernih
serta memiliki kepercayaan diri dan etis. Menjadi SDM yang unggul. Menjadi
manusia yang memiliki prinsip, nilai-nilai dan etos kerja serta daya juang yang
tinggi. Di mana daya juang itu tidak terlepas dari tindakan disiplin,
loyalitas, kerjasama, serta saling percaya dan menghargai. Juga mesti
berintegritas, yang merefleksikan sikap dan komitmen tinggi dalam bekerja
dengan dasar kejujuran dan etika. Satunya kata dengan perbuatan. Segenap SDM di
wilayah Tanah Papua harus mampu mengendalikan diri,
menolak komisi, suap, menghindari manipulasi, korupsi dan pemberian apapun yang
dapat merusak moral, mengganggu pekerjaan dan merugikan diri sendiri maupun wilayah
Tanah Papua.
Bahkan, SDM
di wilayah Tanah Papua harus pula memiliki jiwa kepemimpinan.
Pemimpin yang selalu tanggap terhadap perubahan dan menjadi kunci keberhasilan
bagi tumbuh-berkembangnya wilayah Tanah Papua. Juga,
pemimpin yang penuh keteladanan dan keadilan. Maklum, pemimpin adalah panutan
dalam cara berpikir dan bertindak bagi seluruh bawahannya. Pun, SDM di wilayah
Tanah Papua harus memiliki jiwa kewirausahaan. Entrepreneurship
menyangkut bekerja secara mandiri, kreatif dan inovatif, bekerja keras, tekun
dan ulet. Termasuk, berdaya-guna, tepat janji dan spirit kemajuan untuk terus
mengembangkan potensi serta peka, teliti dan taktis dalam memanfaatkan peluang demi
memajukan wilayah Tanah Papua. Innovation and Entrepreneurship,
demikian ditegaskan oleh pakar manajemen dan kepemimpinan Peter F. Drucker.
Lebih
penting lagi SDM masyarakat Tanah Papua yang memiliki kompetensi, pola
pikir, pola perasaan dan pola perilaku unggul itulah yang bisa dikatakan
sebagai manusia yang efektif dan kreatif. Dalam buku Seven Habits of
Highly Effective People (1993), Steven R. Covey menjelaskan tentang
kebiasaan manusia yang efektif. Pertama, jadilah pro-aktif. Berarti
bertanggung-jawab terhadap setiap tindakan dan perilaku yang kita lakukan.
Pro-aktif lebih dari sekadar mengambil inisiatif. Orang-orang pro-aktif yang
mengedepankan pemikiran positif (positive thinking), yang merupakan para
pelaku perubahan menuju kemajuan dan keberhasilan. Mereka juga tidak bersikap
reaktif dengan menyalahkan orang lain.
Kedua, merujuk pada tujuan
akhir. Orang-orang yang memiliki visi dan tujuan dengan mengidentifikasi
prinsip-prinsip, nilai-nilai dan selalu membuat komitmen terhadap diri sendiri
untuk melakukannya. Ketiga, dahulukan yang utama. Maksudnya,
mendahulukan apa yang sudah digariskan seperti visi, misi, nilai-nilai dan yang
menjadi prioritas, serta membuat tujuan dan sasaran alternatif. Keempat,
berpikir menang. Cara berpikir yang berusaha mencapai keuntungan bersama dan
didasarkan pada sikap saling menghormati dalam setiap interaksi.
Kelima, berusaha untuk
memahami lebih dulu, baru dipahami. Memulai komunikasi positif
dengan memahami dan menghargai orang lain. Dalam hal ini dibutuhkan keberanian,
kemurahan dan kemauan untuk membuka diri dan kesediaan untuk mendengarkan.
Setelah itu, barulah dipahami oleh orang lain. Keenam, wujudkan sinergi.
Sikap saling menghargai atau tidak mengutamakan “cara kami” atau “cara dia”
melainkan “cara kita bersama-sama” yang lebih baik. Ketujuh, mengasah
gergaji. Terus memperbaiki empat bidang dasar diri manusia: fisik, sosial
(emosional), mental dan rohaniah guna meningkatkan kapasitas dan kebiasaan yang
lebih baik.
Secara
umum, tujuh kebiasaan manusia yang efektif tadi dapat dibagi menjadi dua
kriteria. Yakni, kebiasaan primer yang terdiri dari kesadaran diri atau
pengetahuan akan diri, imajinasi dan suara hati, serta kehendak bebas atau
niat. Berikutnya adalah kebiasaan sekunder yang terdiri atas mentalitas
berkelimpahan, keberanian dan pertimbangan, serta kreativitas dan pembaharuan
diri. Kebiasaan kesadaran diri dengan menumbuhkan kemampuan menjadi proaktif
dalam memilih respon sebaiknya dilakukan dalam kondisi tenang dan bertanggung-jawab.
Sedangkan
kebiasaan imajinasi dan suara hati sebaiknya memulai dengan mengacu pada
tujuan. Sementara itu, kebiasaan niat berkaitan dengan mendahulukan yang utama.
Setelah melalui tiga kebiasaan primer itu, tentunya akan timbul berpikir
menang, berusaha mengerti terlebih dahulu baru dimengerti; dan melahirkan
kreativitas yang dikaitkan dengan sinergi untuk membuat perbaikan yang
berkelanjutan atau pembaharuan diri. SDM yang kreatif, pada umumnya, mengetahui
permasalahan dengan baik dan dengan kedisiplinannya yang tinggi dapat
melakukan sesuatu yang lebih baik daripada sebelumnya.
Jadi
intinya membangun Tanah Papua menjadi jauh lebih baik itu bukan hanya dari sisi
fisik semata, namun juga pada karakter dan jati diri manusia dan masyarakatnya.
Membangun keluhuran dan keunggulan manusia dan masyarakat di wilayah
Tanah Papua secara paripurna sebagai modal manusia (human capital) dan
modal sosial-budaya (social-cultural capital) yang mampu mengelola dan
mengolah modal kekayaan sumberdaya alam (economic capital) secara
optimal. Membangun pola pikir, watak dan akhlak serta nilai-nilai, sikap dan
perilaku yang unggul, tanpa meninggalkan karakter dan jati diri manusia dan
masyarakat di wilayah Tanah Papua. Dengan pondasi seperti
itulah daya hidup, daya dorong, daya gerak dan daya juang serta daya tahan
manusia dan masyarakat di wilayah Tanah Papua akan
terbangun secara berkesinambungan.
Belajar
dari bangsa dan negara yang maju serta dihormati dunia seperti Amerika Serikat
(AS), Jerman, Inggris dan Jepang, karena mereka memang memiliki keunggulan
tanpa meninggalkan karakter dan jati dirinya. Dalam membangun keunggulan itu
sendiri, mereka terus berproses tanpa mengenal kata berhenti (never
ending process) dan dibarengi dengan peningkatan kualitas SDM-nya. Lantaran
dibangun secara terus-menerus, maka keunggulan yang mereka miliki
benar-benar terwujud sehingga menjadi bangsa dan negara yang kuat, luhur dan
adi luhung. Mereka tidak hanya mampu bertahan dari ketidak-pastian
arus perkembangan jaman, namun mereka malah terus hidup, membesar dan
eksistensinya semakin diakui di jagad raya ini.
Untuk
masalah SDM, seharusnya, negeri ini --khususnya
wilayah Tanah Papua-- bisa bercermin pada Negeri Sakura, Jepang. Kenapa? Pertama, orang Jepang (SDM) memiliki
karakteristik suka bekerja keras. Bagi mereka,
bekerja adalah keinginan dan merupakan kenikmatan, bukan keharusan. Semakin
banyak bekerja semakin asyik dan banyak kenikmatan. Keringat yang menetes dari
sekujur tubuh mereka merupakan bukti terfokusnya segenap kemampuan terhadap
pekerjaan yang mereka lakukan. Mereka sangat menyadari bahwa hanya dengan
bekerja keras kesuksesan dapat tercapai. Maka tak salah kalau orang Eropa dan
Amerika sangat salut pada karakteristik kerja keras manusia
Jepang. Bahkan, bangsa Eropa dan Amerika menyebut mereka
sebagai pecandu kerja.
Orang
Jepang sudah terbiasa bekerja dengan jam tugas yang panjang tanpa harus ada
penggantian. Sebagian besar waktu hidupnya dihabiskan untuk kerja dan bekerja.
Sisanya, dipergunakan untuk beristirahat (tidur) guna mempersiapkan diri agar
kembali prima dalam melaksanakan berbagai kreativitas pada esok hari.
Kedua,
keberhasilan orang Jepang (SDM) terletak pada disiplin mereka yang tinggi.
Disiplin itulah yang membentuk semangat dan sikap kerja keras orang Jepang.
Disiplin pula yang membuat mereka patuh dan mau melakukan apa saja
demi menggapai suatu keberhasilan. Oleh karena
itu, tidak heran jika orang Jepang sanggup bekerja mati-matian untuk memajukan
suatu perusahaan maupun negaranya. Bahkan, mereka merasa dihargai jika
diberikan suatu pekerjaan yang berat. Sebaliknya, mereka merasa terhina dan
tidak berguna bila tidak diberikan pekerjaan
yang menantang. Bisa dibilang sikap disiplin orang Jepang
tiada bandingannya, mereka tergolong pekerja paling disiplin. Orang yang tidak
mempunyai disiplin tinggi tidak layak bekerja dengan mereka. Orang Jepang tidak
bisa kompromi dengan hal yang berkaitan dengan disiplin.
Namun,
bukan berarti orang Jepang tidak mempunyai masa bersantai. Mereka bersantai
setelah apa yang mereka lakukan tuntas. Yang mengherankan adalah
orang Jepang selalu datang ke tempat kerja tepat waktu meskipun pada malam
harinya mereka bersenang-senang di tempat hiburan. Mereka selalu datang on
time dan bekerja seperti biasa. Dan seharusnya SDM di wilayah
Tanah Papua juga bisa seperti SDM di Jepang.
Sebenarnya
di mana kunci sukses negara Jepang dalam mengelola SDM-nya. Tak lain tak bukan
karena pendidikan mereka. Di Jepang, pendidikan adalah hal yang sangat
diperhatikan. Mereka (masyarakat dan pemerintah Jepang) menyadari betul bahwa
pendidikan merupakan ujung tombak sebuah kemajuan suatu daerah maupun bangsa
dan negara. Makanya untuk menciptakan SDM yang baik dan berkualitas, sekolah di
Jepang bisa dibilang tidak terlalu mahal (murah) dengan tenaga pengajar yang bermutu.
Pemerintah Jepang memberikan secara gratis berbagai macam fasilitas untuk menunjang
dan menciptakan pendidikan yang berkualitas. Bagi anak yang tidak mampu dari
segi ekonomi, akan diberikan bantuan khusus. Dengan demikian tidak ada alasan
bagi para pemuda-pemudi di Jepang untuk tidak belajar. Masyarakat Jepang
benar-benar diwajibkan untuk bisa mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi.
Hebatnya
lagi, masyarakat Jepang, terutama mahasiswanya, mereka mau dan bersedia bekerja paruh waktu atau
berdagang untuk membiayai uang kuliahnya. Mereka cenderung tidak ingin membebani
orang tua. Mereka selalu berupaya memanfaatkan waktu luang untuk mencari
penghasilan. Mereka tidak manja. Dan,
perlu diketahui hampir setiap hari mahasiswa
Jepang belajar hingga larut malam jam 24.00 dan
tak jarang sampai menjelang pagi. Padahal, mereka telah belajar pada pagi,
siang, dan sore harinya. Jadi wajar saja dengan kerja keras pemerintah dan
masyarakat Jepang terhadap dunia pendidikan, negara ini memiliki SDM yang
benar-benar berkualitas. Dengan SDM yang berkualitas inilah mereka bisa
membangun negaranya menjadi negara yang maju dan menjadi cerminan bagi negara
lain.
Manfaat
pendidikan, sebenarnya, juga telah dirasakan oleh negara lain
seperti Jerman, Inggris, Malaysia dan Amerika. Kalau kita amati dan perhatikan, Jerman dan Inggris berhasil menjadi
negara tujuan pendidikan bagi negara-negara lain lantaran mampu menata bidang
pendidikannya secara baik. Amerika Serikat (AS) bisa menjadi
negara ber-GNP paling tinggi di dunia karena mampu membenahi bidang pendidikannya.
Malaysia mencapai era kemajuannya dengan cara menyalip Indonesia yang dulu
pernah menjadi gurunya, lantaran mereka sanggup menata bidang pendidikannya
secara lebih sistematis. Jadi tidak salah kalau kita mengatakan bahwa
pendidikan merupakan kata kunci bagi suatu masyarakat, daerah maupun negara
untuk keluar dari krisis dan kesulitan. Kemajuan
pendidikan adalah masa depan suatu
daerah, bangsa dan negara.
***
TANAH Papua dikenal dengan kekayaan alamnya. Ada burung
Cenderawasih kuning di Serui, ada buah merah di Wamena, ada buah matoa yang
bentuknya seperti rambutan tapi rasanya seperti durian, ada ribuan jenis ikan
di perairan Raja Ampat, ada emas dan tembaga di Timika, ada minyak
dan gas di Bintuni, ada batubara, nikel dan berbagai jenis tambang lainnya.
Suatu daerah yang benar-benar diberi anugerah oleh Tuhan Yang Maha
Kasih.
Namun,
di tengah kelimpahan Sumber Daya Alam (SDA) itu, Tanah Papua belum memiliki
SDM yang mampu mengelola dan mengolahnya secara
maksimal. Padahal SDM dan SDA merupakan dua pilar
penting dalam proses pembangunan suatu daerah. Kualitas
hidup manusia yang optimal merupakan hal yang paling penting. Tanpa adanya
kualitas hidup manusia yang optimal, meskipun SDA melimpah, pembangunan suatu
daerah tidak akan berhasil atau sia-sia saja.
Sumber
daya manusia, menurut Abdul Racman Panetto, mempunyai dua
dimensi: pertama, sebagai
angkatan kerja yang tidak berkeahlian dan berketerampilan. Dalam jumlah yang
besar memerlukan pendidikan dan latihan, agar menjadi tenaga kerja yang
produktif. Kedua, angkatan kerja yang telah memiliki keahlian,
keterampilan dan kemampuan. Sumber daya manusia di wilayah
Tanah Papua, terutama yang ada di pedalaman, pesisir dan pegunungan, meminjam pendapat
Abdul tadi, rata-rata tergolong dalam potensi yang pertama.
Karena kebanyakan warga masyarakat di sana masih berpedoman pada
petunjuk turun-temurun yang diberikan oleh keluarga tanpa terkembangkan potensi
yang ada pada diri mereka.
Masyarakat
di wilayah Tanah Papua umumnya adalah masyarakat yang terikat
oleh kultur budaya alami. Kehidupannya sangat nikmat dengan alam (naturalistik)
dan belum banyak mengenal ilmu pengetahuan dan teknologi. Kebanyakan warga
masyarakat di sana cuma mengandalkan kebun yang
mereka miliki (90% petani dan nelayan). Mereka hanya memikirkan
bagaimana hidup hari ini, tanpa berusaha memikirkan
bagaimana masa depan anak cucu.
Masyarakat
di wilayah Tanah Papua sebagian besar hidup mengandalkan
tenaga fisik yang mereka miliki. Kebanyakan dari mereka belum
menyadari bahwa yang dibutuhkan pada masa sekarang ini bukan sebatas
tenaga secara fisik saja, tetapi tenaga yang terampil dan mempunyai keahlian. Maka
dari itu penting untuk mendorong mereka mengembangkan potensi yang mereka
miliki, tentu dengan pendidikan dan pelatihan atau keterampilan yang
berkesinambungan.
Teori human capital
yang mengatakan bahwa seseorang dapat meningkatkan penghasilannya melalui
peningkatan pendidikan dan keterampilan. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan
keterampilan seseorang semakin tinggi pula tingkat penghasilan. Jadi, jelas
pendidikan dan pelatihan atau keterampilan merupakan dasar untuk meningkatkan
taraf hidup suatu masyarakat, daerah maupun bangsa dan negara.
Suatu
kenyataan yang tak terbantahkan, bahwa masyarakat di Tanah
Papua (khususnya pedalaman) belum bisa dikatakan sebagai
masyarakat yang mempunyai sumber daya manusia yang berkualitas. Mereka masih
hidup dalam keterbelakangan dan selama bertahun-tahun jauh tertinggal dibanding
wilayah lain di Indonesia, terutama di bidang pendidikan.
Karena
itu, pembangunan dan pendidikan di wilayah Tanah Papua seharusnya merupakan
salah satu komponen yang tidak bisa dilepaskan dalam konsep pembangunan
nasional. Hal ini seperti tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yang mengatakan
salah satu tujuan kemerdekaan Indonesia itu adalah untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa. Namun, konsep pembangunan ini yang masih kurang dinikmati masyarakat di
wilayah Tanah Papua. Padahal, dengan
memberikan pendidikan yang baik kepada warga masyarakat di wilayah
Tanah Papua, hal itu akan mengubah pola pikir mereka sehingga
mampu menciptakan SDM yang berkualitas. Pendidikan yang berkualitas menjadi
faktor penting bagi kemajuan suatu daerah, termasuk di wilayah
Tanah Papua. Semakin berkualitas pendidikan di wilayah
Tanah Papua maka akan semakin maju wilayah ini dan
sebaliknya.
Pembangunan
sektor pendidikan di wilayah Tanah Papua yang masih jauh tertinggal
mengakibatkan kualitas sumber daya manusia di wilayah yang kaya akan hasil bumi
ini rendah. Hal itu bisa dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM atau Human
Development Indeks/HDI) di wilayah Tanah Papua. Karena IPM
pada dasarnya sebagai salah satu indikator untuk mengukur capaian
kualitas SDM di suatu daerah maupun negara.
Perlu
diketahui pula, kalau
mengacu pada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ada empat kategori yang tercemin
dari peringkat kinerja pembangunan manusia pada skala 0,0-100,0. Pertama, tingkat rendah, di mana tingkat
IPM hanya berada di kisaran kurang dari 50,0. Kedua, tingkat menengah ke bawah dengan IPM antar 50,00 hingga
65,9. Ketiga,
menengah ke atas dengan tingkat IPM antara 66,0-79,9. Sedangkan yang terakhir, keempat, adalah
tingkat tinggi dengan IPM lebih dari 80,0.
Selama
ini Pemerintah di wilayah Tanah Papua sudah berupaya keras
mengangkat harkat dan kualitas SDM setempat, tapi ternyata belum
signifikan mengangkat IPM. Sebagai contoh pada 2002 tingkat IPM di Provinsi Papua
itu berada di kisaran 60,1. Angka ini meningkat pada 2004 ke level 60,9.
Sedangkan pada 2005, IPM Provinsi Papua menjadi 62,1. Lalu bertengger di level
62,8 pada 2006. Sementara 2008 pencapaian IPM Provinsi Papua mengalami trend
positif. Secara kuantitatif, IPM di Provinsi Papua mencapai 64,00. Meski
capaian IPM Provinsi Papua terus mengalami peningkatan, tapi IPM Papua tetap
saja berada pada urutan ke 33 dari 33 provinsi di Indonesia.
Bila
mengacu pada parameter PBB sebagaimana tertera di
atas, tingkat IPM Papua juga masih termasuk dalam kategori kinerja pembangunan
manusia menengah bawah, yaitu capaian IPM di sekitar
50,0‐65,9. Angka ini
tertinggal dibanding angka nasional IPM Indonesia yang sebesar
69,6.
Tabel
I
Perkembangan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Provinsi
Papua Dirinci Menurut Kabupaten Tahun 2005-2008
N0
|
KABUPATEN
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
1
|
Merauke
|
61.50
|
62.55
|
64.03
|
64.44
|
2
|
Jayawijaya
|
47.60
|
52.44
|
52.97
|
54.72
|
3
|
Jayapura
|
67.50
|
68.76
|
69.97
|
71.02
|
4
|
Nabire
|
65.10
|
65.19
|
65.60
|
66.1
|
5
|
Yapen Waropen
|
66.40
|
67
|
68.06
|
68.68
|
6
|
Biak Numfor
|
66.90
|
67.25
|
68.55
|
68.99
|
7
|
Paniai
|
58.60
|
58.47
|
58.74
|
59.17
|
8
|
Puncak Jaya
|
66.80
|
67.02
|
67.20
|
67.78
|
9
|
Mimika
|
66.10
|
67.13
|
67.84
|
67.99
|
10
|
Boven Digoel
|
47.60
|
48.33
|
48.65
|
49.2
|
11
|
Mappi
|
47.00
|
47.95
|
49.04
|
49.59
|
12
|
Asmat
|
47.20
|
48.27
|
49.53
|
50.27
|
13
|
Yahukimo
|
47.40
|
47.95
|
48.31
|
48.85
|
14
|
Pegunungan Bintang
|
46.90
|
47.24
|
47.38
|
47.94
|
15
|
Tolikara
|
49.20
|
49.62
|
50.38
|
50.85
|
16
|
Sarmi
|
64.80
|
65.17
|
65.90
|
66.35
|
17
|
Keerom
|
66.50
|
66.93
|
67.99
|
68.55
|
18
|
Waropen
|
61.30
|
61.6
|
61.97
|
62.46
|
19
|
Supiori
|
65.90
|
66.23
|
66.92
|
67.55
|
20
|
Mamberamo Raya
|
*
|
*
|
57.31
|
57.78
|
21
|
Nduga
|
*
|
*
|
*
|
47.45
|
22
|
Lanny Jaya
|
*
|
*
|
*
|
48.12
|
23
|
Mamberamo Tengah
|
*
|
*
|
*
|
47.9
|
24
|
Yalimo
|
*
|
*
|
*
|
47.75
|
25
|
Puncak
|
*
|
*
|
*
|
48.43
|
26
|
Dogiyai
|
*
|
*
|
*
|
48.6
|
27
|
Kota Jayapura
|
72.10
|
73.15
|
73.84
|
74.56
|
28
|
Papua
|
62.10
|
62,75
|
63,41
|
64,00
|
Sumber: BPS Provinsi Papua
Keterangan : *)Data masih gabung dengan kabupaten induk
IPM masyarakat di wilayah Tanah Papua
memang terbilang masih rendah. Tapi, hal ini
bukan suatu hal yang menandakan bahwa masyarakat di wilayah
Tanah Papua itu bodoh. IPM di wilayah Tanah Papua rendah lantaran wilayah ini kurang mendapatkan akses pendidikan yang layak dan
warga setempat kurang memperoleh kesempatan
belajar dengan metode yang baik dan benar. Selama ini pembangunan pendidikan di
wilayah Tanah Papua masih minim. Bayangkan saja berbagai
permasalahan pendidikan --seperti penyediaan
infrastruktur, kualitas, hingga pemerataan akses— sampai kini masih saja
menjadi kendala di berbagai daerah yang sudah maju dan mudah terjangkau. Jadi,
wajar saja jika kemudian akses pendidikan bagi sebagian penduduk masih sangat
sulit dijangkau.
Kalau kita menyaksikan film yang berjudul Denias
Senandung Di Atas Awan yang disutradarai oleh John de Rantau atau film Laskar Pelangi
(film yang diangkat dari novel Laskar Pelangi karya
Andrea Hirata) yang disutradarai oleh Riri Riza, kita bisa menyadari betapa
belum meratanya pembangunan pendidikan di negeri ini. Film Denias
Senandung Di Atas Awan itu menceritakan tentang bagaimana perjuangan
seorang anak suku pedalaman Papua yang bernama Denias
untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Hingga dia harus
menempuh puluhan kilometer untuk sampai di sebuah sekolah yang
ternyata seadanya.
Sementara film Laskar Pelangi juga
menceritakan suatu hal yang hampir sama dengan
film Denias Senandung Di Atas Awan, bagaimana sulitnya anak
negeri ini memperoleh kesempatan menuntut ilmu secara wajar. Sampai-sampai
mereka harus belajar di bawah sebuah gubug reyot yang ketika hujan dipakai
berteduh kambing dan kebocoran. Sebuah film yang dapat
membuka mata kita tentang betapa pendidikan yang layak di negeri ini
masih sangat mahal, masih sangat rumit dan masih banyak terjadi
diskriminasi-diskriminasi di luar akal sehat.
Namun, dari kedua film tersebut, kita bisa mengambil hikmah bahwa meski dalam
kesusahan untuk memperoleh kesempatan bersekolah, mereka
tetap bersemangat dan tidak pernah patah arang.
Bahkan, ada sebagian dari mereka yang memiliki kecerdasan luar
biasa dan menjadi generasi yang mumpuni dan bisa membangun daerahnya menjadi
lebih baik.
Kedua film tersebut juga bisa
menjadi cerminan apa yang terjadi di wilayah Tanah Papua. Meski di
sana diungkapkan masyarakatnya belum mendapatkan pendidikan yang memadai
tetapi tetap saja masih banyak anak-anak di sana yang tidak putus asa untuk
mendapatkan pendidikan. Bahkan sebagian dari mereka mampu menjadi
anak-anak yang berprestasi. Mereka bukan hanya pintar di daerahnya tetapi
kepintaran mereka juga sudah diakui di pentas dunia. Beberapa
anak mutiara hitam yang tidak pernah putus asa dalam mengenyam pendidikan dan mengejar berprestasi
di kancah internasional serta membawa nama harum Papua dan Indonesia di
antaranya Septinus George Saa, Annike Nelce Bowaire, Andrey Awoitauw dan Rudolf
Surya Bonay.
Septinus George Saa (lahir 22
September1986) adalah seorang pemenang lomba First Step to Nobel Prize in
Physics pada tahun 2004 dari Indonesia. Dia membawakan makalah berjudul Infinite
Triangle and Hexagonal Lattice Networks of Identical Resisto. Lomba First
Step to Nobel Prize in Physics adalah perlombaan bergengsi bagi sekolah
tingkat menengah seantero jagad selain Olimpiade Fisika. Kompetisi yang digagas
Waldemar Gorzkowski 10 tahun silam ini mewajibkan pesertanya melakukan dan
menuliskan penelitian apa saja di bidang fisika. Hasil penelitian tersebut
kemudian dikirimkan dalam bahasa Inggris ke juri internasional di Polandia.
Sementara dalam Olimpiade Fisika, para perserta diwajibkan mengerjakan
soal-soal fisika dalam waktu yang sudah ditentukan. Pada kompetisi First
Step to Nobel Prize in Physics tersebut hasil riset Septinus George Saa
tidak menuai satu bantahan pun dari para juri.
Dalam kompetisi itu Oge (panggilan akrabnya) menemukan cara
menghitung hambatan antara dua titik rangkaian resistor tak terhingga yang
membentuk segitiga dan hexagon. Formula hitungan yang dia tuangkan dalam
papernya itu mengungguli ratusan paper dari 73 negara yang masuk ke meja juri.
Para juri yang terdiri dari 30 ahli fisika dari 25 negara itu hanya membutuhkan
waktu tiga hari untuk memutuskan pemuda asal Jayapura ini pantas menggondol medali
emas.
Paper Oge yang masuk lewat surat
elektronik di hari terakhir kompetisi itu dinilai orisinil, kreatif, dan mudah
dipahami. Tak berlebihan jika gurunya, Profesor Yohanes Surya, mengatakan formula
Oge ini selayaknya disebut George Saa Formula. Oge lahir
dari keluarga sederhana. Ayahnya, Silas Saa, adalah Kepala Dinas Kehutanan
Teminabuhan, Sorong. Oge lebih senang menyebut ayahnya petani ketimbang
pegawai. Sebab, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Silas, dibantu
isterinya, Nelce Wofam, dan kelima anak mereka, harus mengolah ladang dan
menanam umbi-umbian.
Kemudian Annike Nelce Bowaire yang adalah
pelajar SMUN 1 Serui. Ia berhasil meraih medali emas berkat
makalahnya yang berjudul Chaos in an Accelerated Rotating Horizontal Spring
di lomba fisika dunia, The First Step to Nobel Prize in Physics (FS),
pada tahun 2005. Makalah siswi SMUN 1 Serui ini membahas tentang sistem kompleks (chaos)
menenggelamkan hasil penelitian ratusan siswa tingkat SMA dari 23 negara
peserta FS ke-13 pada 2005. Bermula dalam
usianya yang masih sangat remaja, baru saja lulus SMP, Annike telah membuat
keputusan besar untuk mengikuti pelatihan Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI)
di Serpong, Tangerang, Banten. Kesempatan itu didapatnya ketika ia lolos
seleksi tingkat kabupaten dan provinsi pada bulan April 2003. Setelah lulus
seleksi, Annike kemudian merealisasikan
idenya dengan menyusun makalah berjudul Chaos in an Accelerated Rotating
Horizontal Spring.
Ketika dinyatakan masuk lima
besar tim FS Indonesia, Annike belajar tentang chaos di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA)
Universitas Indonesia. Setiap hari selama bulan Februari 2005 Annike
berkutat di laboratorium TOFI di Puspitek Serpong, didampingi Prof Teddy Wiguna,
dosen jurusan fisika Institut Teknologi Bandung (ITB). Annike ingin
membuktikan keberadaan fenomena chaos
dalam getaran pegas yang berputar mendatar itu. Dia ingin membuktikan
keberadaan gerakan seolah-olah acak (seemingly random) pegas horizontal
tetap berada pada tepi chaos (edge
of chaos), yaitu daerah di antara daerah yang teratur (order) dan
tidak teratur (disorder).
Selanjutnya, Andrey Awoitauw
yang merupakan putera asal Papua yang pernah meraih medali
emas olimpiade sains nasional tahun 2004. Dan di tahun 2005 dia meraih medali
emas olimpiade sains nasional dan mengalahkan juara internasional dari Jakarta
Ivan Kristanto.
Sementara Rudolf Surya Bonay adalah
pemenang sains The First Step to
Nobel Prize in Chemistry yang diikuti oleh puluhan negara di dunia. Dalam
penelitiannya yang dilakukan selama 2,5 bulan tentang biokimia itu, Surya
mengangkat tema ”Menemukan Potensi Fototoksin Klorofil sebagai Larvasida
dan Antimikroba Alami”. Menurut Surya, tema tersebut dilatar-belakangi kondisi
daerahnya (Papua) yang rawan terjangkit malaria dan penyakit infeksi yang
disebabkan oleh bakteri.
Selain itu, semua tahu bahwa klorofil (zat hijau pada
daun) memiliki fungsi yang menyehatkan. Apalagi ada penemuan sejumlah ahli
bahwa klorofil bisa menyembuhkan kanker jika diinjeksi ke tubuh manusia. Hanya
saja, temuan ahli itu, menurut dia, akumulasinya di dalam sel kanker terlalu
lamban. Dia melihat klorofil dapat berfungsi sebagai antimikroba dan larvasida
yang mana hal ini sangat baik untuk pencegahan malaria serta infeksi bakteri
lainnya.
Ilmuwan muda ini menjelaskan, bahwa struktur klorofil
itu unik, ekornya (fitil) bersifat hydrofobik suka lemak, sementara bagian
klorofil yang besar lebih suka air. Sehingga fitil bisa mengikat lemak,
sementara hidrofobik mengeluarkan kotoran/racun dari dalam tubuh. Hasil
penelitiannya itu ternyata sangat positif dan tentu saja sangat berguna bagi
dunia kesehatan manusia. Dan, juri pun memutuskan hasil penelitian Surya Bonay itu
sebagai pemenang.
Keberhasilan atau prestasi anak-anak Tanah Papua
ini menandakan bahwa sesungguhnya masyarakat di wilayah Tanah Papua itu tidak
bodoh. Keterpurukan pendidikan di Tanah Papua di antaranya disebabkan oleh
beberapa faktor, pertama, mutu dan profesionalisme tenaga pengajar atau
guru. Secara khusus kompetensi (mutu dan profesionalisme) guru yang rendah di wilayah
Tanah Papua menjadi suatu faktor utama ketertinggalan pendidikan di sana. Padahal, menurut Ki
Hajar Dewantara, guru adalah pamong yang berkewajiban mengajar dan mendidik.
Mengajar berarti memberikan ilmu pengetahuan, mentransformasikan ilmu yang
bermanfaat, menuntun gerak pikiran, serta melatih kecakapan atau kepandaian
anak didik, agar mereka kelak menjadi orang yang pandai, berpengetahuan dan
cerdas.
Guru adalah jantung pendidikan.
Tanpa denyut nadi dan peran aktif seorang guru, kebijakan pembaruan pendidikan
secanggih apa pun tetap akan mubazir. Sebagus apapun dan semodern apa juga
sebuah kurikulum dan perencanaan strategis pendidikan dirancang, bila tanpa disertai guru-guru
yang bermutu dan profesional (berkualitas), maka tidak akan ada gunanya.
Apa yang diungkapkan tokoh
pendiri perguruan Taman Siswa itu memang benar. Intinya, pendidikan yang baik
dan unggul tetap akan tergantung pada kondisi kualitas guru. Dengan kata
lain, untuk menciptakan anak didik (SDM) yang berkualitas
dibutuhkan tenaga yang profesional dan bermutu. Bahkan hal ini ditegaskan
UNESCO dalam laporan The International Commission on Education for
Twenty-first Century, yakni “Memperbaiki mutu pendidikan, pertama-tama
tergantung perbaikan perekrutan, pelatihan, status sosial,
dan kondisi kerja para guru; mereka membutuhkan pengetahuan dan keterampilan,
karakter personal, prospek profesional, dan motivasi yang tepat jika ingin
memenuhi ekspektasi stakeholder pendidikan”.
Namun sangat disayangkan persoalan mutu dan keprofesionalan
guru di wilayah Tanah Papua dari dulu sampai
sekarang masih menjadi persoalan yang belum pernah terselesaikan dan sesuai
yang diharapkan. Dari sekian guru yang mengajar di wilayah
Tanah Papua itu mayoritas bukan merupakan guru yang berlatar belakang pendidik.
Sebagian besar guru (khususnya di bagian pedalaman Papua) yang kadang disebut
dengan “central hightland” adalah juga tamatan Sekolah Guru Bawahan
(SGB) jaman kolonial Belanda. Andai saja kita hitung pengajar yang berlatar
belakang pendidikan dan yang tidak, dapat dipastikan guru yang berlatar
pendidikan non-kependidikan tidak sebanding dengan pengajar
berlatar belakang kependidikan. Bahkan lebih banyak daripada
tenaga pengajar yang berlatar belakang pendidikan.
Selain itu, di wilayah
Tanah Papua banyak guru, khususnya guru Sekolah Dasar (SD) masih mengajarkan
dengan materi, metode dan teknik yang masih sama dengan semasa mereka sekolah
pada tahun 1970-an. Padahal paradigma pendidikan (pembelajaran) di dunia lain
terus mengalami perubahan seiring perkembangan jaman. Artinya keterpurukan mutu
dan kualitas dan kuantitas pendidikan di wilayah Tanah Papua ini tidak
terlepas dari mutu tenaga pengajar yang ada.
Ini merupakan ancaman terbesar bagi masa
depan SDM di wilayah Tanah Papua, kerena semua orang bisa
mengajar tetapi tidak semua orang bisa mendidik. Yang perlu kita tahu adalah
pendidikan di sekolah itu bukan sekadar tempat transfer pengetahuan sesuka
pengajar. Tetapi, lebih kepada transformasi nilai dan budaya sehingga terjadi
perubahan perilaku pada anak didik untuk terus belajar melakukan perubahan
dalam hidup dirinya, masyarakat, daerah maupun bangsa dan negara. Perlu
diketahui suatu proses pendidikan, kalau tidak pernah membuat perubahan bagi si
pembelajar dan lingkungannya, itu berarti pendidikan yang kurang bagus.
Kedua, masalah
fasilitas (sarana dan prasarana). Di wilayah Tanah Papua banyak
sekolah-sekolah yang kurang mendapatkan sarana dan prasarana pembelajaran yang
memadai. Lihat saja, sekolah-sekolah yang ada di daerah pedalaman wilayah
Tanah Papua, tak jarang mereka melakukan proses belajar-mengajar dengan
berlantaikan tanah merah, meja kursi yang sudah lapuk dan kelas yang
kerap bocor di kala hujan turun. Bahkan buku paket sudah menjadi barang mewah. Dari
sisi infrastruktur, bangunan gedung sekolah di wilayah
Tanah Papua masih ada dari peninggalan zaman kolonial Belanda.
Untuk mengatasi perkembangan SDM di wilayah
Tanah Papua atau meningkatkan rata-rata level pendidikan warga masyarakatnya
perlu ada beberapa hal yang menjadi perhatian dan perlu dilaksanakan. Pertama,
perlu ada pembekalan bagi anak-anak di wilayah
Tanah Papua sebelum mereka masuk TK/SD (0-4 tahun). Artinya,
selama anak masih berada di lingkungan keluarga sangat dibutuhkan pengasuhan
terutama gizi dan simulasi pendidikan sesuai tahapan perkembangan anak atau
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Atau dapat dilakukan dengan membentuk
kelompok-kelompok bermain, ikut Posyandu, sekolah minggu, dan lain sebagainya.
Karena rentang usia 0-4 tahun ini merupakan masa emas
bagi seorang anak dalam membentuk kecerdasan dan karakter anak. Bahkan menurut
penelitian Neurologi terhadap anak usia 0-6 tahun, lebih separuh kecerdasan
anak (80%) akan terbentuk pada usia dini.
Kedua, adalah meningkatkan
kualitas tenaga pendidik (guru) dan kependidikan formal dan non-formal
di wilayah Tanah Papua. Sebagaimana yang dijelaskan di
atas bahwa masalah guru sangat vital dalam dunia pendidikan.
Andai sebuah sekolah memiliki fasilitas sekolah, laboratorium biologi, komputer,
bahasa Inggris, kimia, perpustakaan, gedung sekolah mewah, tetapi
apa gunanya itu semua kalau kompetensi gurunya di
bawah standar. Maka tidak ada jalan lain, kalau memang mau mengubah wajah
pendidikan di wilayah Tanah Papua, maka mutu dan
kualitas profesionalisme gurunya harus berubah dan
diperbaiki. Caranya dengan seringkali mengadakan pelatihan-pelatihan tentang
paradigma pendidikan baru, mengadakan penelitian, peninjauan langsung ke
lapangan, merencanakan program peningkatan mutu dan kualitas profesionalisme
tenaga pengajar dengan evaluasi setiap semester. Serta pelatihan yang
memberikan wawasan lokal, nasional bahkan internasional. Yang penting
juga para pendidik yang ditugaskan di wilayah Tanah Papua, sebaiknya,
tidak sebatas dibekali dengan kurikulum pendidikan saja, tetapi ada
baiknya bila juga dibekali keterampilan pengelolaan budaya dan alam di
komunitas masyarakat setempat. Sehingga, mereka bertugas tidak hanya
sebagai guru kelas namun juga sebagai pemberi contoh teladan pengembangan
kualitas masyarakat.
Ketiga, adalah fasilitas
sekolah. Gedung sekolah, buku pelajaran sesuai kurikulum, alat-alat
pembelajaran seperti papan tulis, kapur tulis, kursi dan meja belajar harus
disediakan dan diperbaiki. Karena dengan kualitas fasilitas sekolah yang
memadai dan layak, akan memberikan kenyamanan bagi anak-anak di wilayah
Tanah Papua dalam proses belajar-mengajar. Dengan begitu mereka
mampu menyerap pelajaran yang diajarkan oleh para pengajar
atau guru dengan baik. Menyediakan fasilitas yang memadai merupakan salah satu faktor
utama yang tak kalah penting untuk mencapai keberhasilan suatu
pendidikan.
Keempat, kurikulum.
Dari tahun ke tahun Pemerintah terus mengubah kurikulum
dan selalu dipaksakan untuk menerapkan secara seragam di semua
daerah. Pluralisme bangsa ini tidak dipertimbangkan. Padahal,
kurikulum pusat belum tentu semuanya sama dan cocok untuk diterapkan di wilayah
Tanah Papua. Sebab, social cultural daerah-daerah lain di
Indonesia dan Papua sangat berbeda, tidak bisa disamakan. Sebab itu,
agar kurikulum pendidikan bisa diterima di wilayah Tanah
Papua sekaligus bisa menghormati adat dan kearifan budaya lokal di wilayah
Tanah Papua, harus dikembangkan pula kurikulum muatan budaya lokal
dalam pendidikan di wilayah Tanah Papua. Artinya, pendidikan di wilayah
Tanah Papua tetap mengacu pada mutu dan standar nasional, tapi kurikulum perlu
ditambah dengan muatan lokal seperti masalah etnografi, sosial budaya
Tanah Papua, dan agama --termasuk masalah wawasan kebangsaan.
Dengan kata lain, kurikulum harus disesuaikan
dengan karakter akar lokal wilayah Tanah Papua.
Kelima,
lingkungan. Partisipasi masyarakat juga sangat menentukan dalam memajukan
pendidikan di wilayah Tanah Papua. Perlu ada sosialisasi
kepada masyarakat betapa pentingnya dukungan masyarakat dalam upaya peningkatan
dan memajukan mutu pendidikan di wilayah Tanah Papua.
Jadi pengembangan kualitas SDM di
wilayah Tanah Papua adalah kunci dan solusi bagi
terwujudnya tujuan pembangunan: kemajuan dan kesejahteraan rakyat-masyarakat di
wilayah Tanah Papua. Dengan kualitas SDM yang baik, secara
otomatis daya saing daerah akan meningkat lantaran orang-orang di wilayah
Tanah Papua mampu berperan dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan sesuai
dengan kemampuan dan kompetensi yang dimilikinya. Manusia Papua akan berperan
penting sebagai human capital yang mampu memberdayakan dan mengelola SDA
yang dimiliki daerah bagi kepentingan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Bahkan, kontribusi Papua di pentas dunia. ***
Books I
Pendidikan, Kesehatan dan Ketenagakerjaan
Untuk pembangunan atau pengembangan kualitas hidup
masyarakat wilayah Tanah Papua (SDM) sebenarnya bukan
tergantung dari peningkatan pendidikannya saja. Tapi,
juga tidak terlepas dari pemeliharaan kesehatan di sana. Sebab, dengan tingkat
pendidikan dan kesehatan yang optimal, akan terjadi peningkatan kemampuan
ekonomi masyarakat Tanah Papua. Dengan manusia yang sehat dan
berpendidikan, sudah dipastikan masyarakat di wilayah Tanah
Papua dapat memanfaatkan SDA yang ada secara optimal dan
dapat memajukan daerahnya. Sebab itu tidak salah
kalau dalam pengukuran Indeks Pembangunan Manusia (IPM), selain
pendidikan, kesehatan juga menjadi salah satu komponen utama.
Karena itu selain pendidikan,
pembangunan kesehatan merupakan faktor yang harus pula mendapat
perhatian khusus serta harus dipandang sebagai suatu investasi untuk
meningkatkan kualitas SDM di Wilayah Tanah Papua. Dalam Undang-undang Nomor 23
tahun 1992 tentang Kesehatan ditetapkan bahwa kesehatan adalah keadaan
sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup
produktif secara sosial dan ekonomi. Kondisi pembangunan kesehatan secara umum
dapat dilihat dari status kesehatan dan gizi masyarakat, yaitu angka kematian
bayi, kematian ibu melahirkan, prevalensi gizi kurang dan umur angka harapan
hidup.
Walaupun telah diketahui bahwa kesehatan juga merupakan
faktor yang tidak kalah penting dibandingkan pendidikan
dalam pengembangan SDM di wilayah Tanah
Papua, tapi masalah kesehatan di Bumi Cenderawasih ini masih saja menjadi buah
bibir. Soal kesehatan masih terus diperbicangkan di berbagai
kalangan masyarakat. Kenapa? Sebab, berbagai penyakit serius seperti
seperti HIV/AIDS, TBC, lepra dan DBD serta penyakit lainnya kerap kali terjadi
dan belum tertangani secara baik, terutama di lingkungan masyarakat wilayah
Tanah Papua yang ada di kampung-kampung pedalaman, pesisir dan
pegunungan. Artinya, secara keseluruhan kondisi kesehatan
masyarakat kampung atau pedalaman di wilayah Tanah Papua masih sangat
rendah.
Hal ini disebabkan karena belum adanya pelayanan
kesehatan yang memuaskan serta minimnya alat-alat kesehatan. Baik itu di
puskesmas maupun setingkat rumah sakit. Kalau pun ada, mereka sulit memperoleh
karena terbatasnya jangkauan pelayanan kesehatan yang dapat diakses. Dan di wilayah
Tanah Papua masyarakatnya juga masih rendah kesadarannya untuk berperilaku
hidup sehat serta rendahnya pengetahuan dan kesadaran terhadap kesehatan
lingkungan. Misalkan mengenai pemberian gizi bagi anak-anak
Papua. Warga masyarakat Tanah Papua, terutama para orang tua, belum
mengerti dan memahami makanan yang harus diberikan kepada anak-anaknya. Untuk
itu, anak-anak yang berusia 0-1 tahun hingga 5 tahun banyak yang mengalami
kurang gizi. Sebagai contoh bisa dilihat dari prosentase gizi kurang dan gizi
buruk yang terjadi di Provinsi Papua.
Tabel II
Prosentase Gizi Kurang dan Gizi Buruk Pada
Balita di Provinsi Papua
Uraian
|
2007
|
2008
|
2009
|
Gizi
Kurang
|
3,7%
|
7.1%
|
9,8%
|
Gizi
Buruk
|
14,3%
|
14,5%
|
14,8%
|
Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi
Papua
Dari data tabel di atas menandakan bahwa
gizi di wilayah Tanah Papua masih menjadi masalah yang perlu
mendapatkan perhatian khusus, terutama dari orang tua. Padahal,
orang tua harus mengasuh dan membimbing anak dengan baik. Mereka
harus memberikan gizi yang baik dan disertai dengan simulasi
pendidikan sesuai tahap perkembangan anak sebelum anak
memasuki usia sekolah. Artinya, anak-anak usia 0-4
tahun harus mendapatkan asupan gizi yang baik. Sehingga,
ketika mulai masuk sekolah anak-anak mereka mampu mencerna
dan menyerap pelajaran-pelajaran dengan baik. Niscaya hasil belajar mereka pun
akan baik dan kelak bisa tercipta SDM yang berkualitas yang dapat membangun wilayah
Tanah Papua.
Sebagai gambaran, gizi dalam kehidupan kita pada dasarnya
tidak terlepas dari perannya dalam menjaga kebugaran tubuh agar kita tetap fit
dan bertenaga. Sebagai unsur penting dalam tubuh, gizi memainkan peran penting
dalam kehidupan makhluk hidup. Zat gizi adalah unsur yang terkandung dalam
makanan yang memberikan manfaat bagi kesehatan manusia. Setiap jenis makanan
memiliki kandungan gizi yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat berupa
jenis zat gizi yang terkandung dalam makanan dan jumlah dari
masing-masing zat gizi. Karena itu, dapat dikatakan
bahwa tidak ada satupun jenis makanan yang lengkap zat gizinya, sehingga untuk
memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari kita harus makan beraneka ragam makanan.
Gizi menjadi sumber energi, didapatkan melalui proses
metabolisme yang begitu kompleks yang mampu memberikan tenaga bagi manusia
untuk beraktivitas. Zat gizi utama yang menjadi sumber
energi bagi tubuh adalah Karbohidrat dan Lemak. Sumber
karbohidrat bisa didapat dari nasi, jagung, sagu, ubi dan talas.
Sementara lemak bisa diperoleh dari daging, susu dan mentega.
Kemudian zat-zat gizi juga ada yang disebut sebagai zat
pembangun. Arti kata, zat gizi juga memiliki fungsi
sebagai pembentuk sel-sel pada jaringan tubuh manusia. Jika kekurangan mengkonsumsi
zat gizi ini maka pertumbuhan dan perkembangan manusia akan terhambat. Selain
itu zat gizi ini juga berfungsi untuk menggantikan sel-sel tubuh yang rusak dan
mempertahankan fungsi organ tubuh. Zat gizi yang fungsi utamanya sebagai zat
pembangun adalah protein yang bisa diperoleh dari ikan, daging, dan telur.
Selain sebagai sumber energi dan zat pembangun, gizi juga
merupakan zat pengatur dalam tubuh kita. Proses metabolisme di dalam tubuh
perlu pengaturan agar terjadi keseimbangan. Untuk itu diperlukan sejumlah zat
gizi buat mengatur berlangsungnya metabolisme di dalam tubuh. Zat gizi yang
berperan utama sebagai zat pengatur adalah vitamin dan mineral.
Seandainya warga masyarakat di wilayah Tanah
Papua mengetahui dan memahami arti penting asupan gizi, serta
menjaga kualitas dan kuantitas makanannya, maka sudah pasti mereka akan menjadi
SDM yang berkualitas.
Selain gizi, rendahnya kualitas kesehatan di
wilayah Tanah Papua juga tidak terlepas dari kelayakan
rumah tinggal mereka. Haruslah disadari bahwa rumah --dalam pengertian yang
mendalam-- bukan sekadar memiliki makna fisik semata sebagai tempat berlindung
dari ganasnya alam. Rumah pun memiliki peran dan fungsi
sebagai sarana pembentukan karakter, peningkatan harkat dan martabat manusia.
Juga, tempat persemaian budaya, sarana menjaga kesehatan, serta
pendidikan dan pembinaan keluarga. Pendek kata, rumah adalah wahana bagi
terbentuknya karakter manusia yang beradab dan bermartabat. Pertanyaannya, jika
sebagian warga Tanah Papua (termasuk anak-anak) bertempat tinggal di rumah yang
alakadarnya, maka bagaimana karakter penerus Tanah Papua
di masa depan itu?
Perlu diketahui, pemenuhan
kebutuhan papan (dalam hal ini rumah yang layak)
merupakan hak dasar yang wajib diterima warga Indonesia dari negara selain
pangan dan sandang. Setelah itu, baru kemudian pendidikan, kesehatan dan
lain-lainnya. Kalau sandang terpenuhi, maka rakyat Indonesia akan menjadi
manusia yang beradab. Kalau pangan terpenuhi, maka rakyat Indonesia akan
menjadi manusia yang sehat, tidak kelaparan dan dapat melanjutkan kehidupan. Dan,
kalau papan terpenuhi, maka rakyat Indonesia akan menjadi manusia yang sehat,
beradab serta bermartabat. Pendidikan dan kesehatan adalah penyempurnanya. Itulah ukuran yang
berlaku universal.
Pemenuhan kebutuhan papan
memiliki posisi yang sangat stategis. Kalau papan sudah terpenuhi,
sesungguhnya, rakyat Indonesia termasuk di dalamnya masyarakat yang tinggal di wilayah
Tanah Papua, sudah menjadi manusia seutuhnya sebagaimana yang selama ini
sama-sama kita dambakan. Dan, soal pemenuhan kebutuhan papan bagi rakyat
Indonesia, the founding father juga telah meletakkan
landasan dan dasar-dasar pemikiran. Dalam UUD 1945 pasal 28 ayat 1 misalkan,
secara tegas telah dikatakan, “Setiap orang berhak bertempat tinggal serta
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.” Jadi, rumah dapat dimaknai
sebagai hak setiap warga negara. Dengan kata lain, setiap warga negara berhak
mendiami rumah yang layak dan sehat.
Namun, pada kenyataannya, sekarang ini di wilayah Tanah Papua masih ada terlihat
rumah tinggal yang kurang layak dan kurang sehat. Di sana masih terlihat banyak rumah
yang dibangun tanpa pernah memikirkan utilitas (perlengkapan) bangunan.
Utilitas dalam bangunan kadang menjadi pertimbangan terakhir “bagi bangunan rumah di wilayah
Tanah Papua”. Yang mereka pikirkan
adalah “yang penting rumah jadi”. Luas bangunan rumah yang mereka bangun
rata-rata amat sempit. Sekadar bisa buat berteduh
bersama beberapa anggota keluarga. Konstruksi bangunan juga hanya alakadarnya.
Berlantai tanah, bertiang bambu atau kayu-kayu seadanya, dan atap
rumah terbuat dari bahan ditemukan di alam sekitarnya
seperti dari daun sagu atau aren. Pun tidak memiliki tempat mandi, cuci serta
kakus (MCK). Tidak memiliki ventilasi untuk sirkulasi udara. Sumber
kebutuhan air diperoleh dari sungai atau tadah hujan (tidak ada penyediaan air
bersih). Tidak memiliki penerangan listrik, dapur menyatu dengan ruang tidur,
serta bahan bakar yang digunakan berasal dari potongan kayu bakar, arang, atau
minyak tanah. Jadi, tempat tinggal mereka memang begitu sempit benar-benar
membuat sesak nafas. Selain rumahnya yang sempit, banyak pula di antara warga masyarakat
di wilayah Tanah Papua yang tinggal berdesak-desakan dalam
satu rumah.
Jadi
untuk menciptakan SDM di wilayah Tanah Papua yang
berkualitas, tatacara atau kelengkapan pembangunan
rumah juga harus benar-benar diperhatikan. Tentu tanpa
harus menghilangkan ”jati diri dan identitas” rumah asli orang-orang Tanah
Papua yang sangat tradisional.
Setelah
masalah pendidikan dan kesehatan di wilayah Tanah Papua teratasi
dengan baik, masalah yang tidak kalah penting untuk ditangani adalah masalah
ketenaga-kerjaan. Sebab, kini bisa dikatakan kondisi dan potensi
ketenaga-kerjaan di wilayah Tanah Papua itu masih sangat rendah. Hal ini terlihat
dari minimnya jumlah angkatan kerja, penduduk yang bekerja dan angka
pengangguran yang masih sangat tinggi. Sebenarnya permasalahan
ketenaga-kerjaan di wilayah Tanah Papua masih
saja terjadi lantaran disebabkan masih rendahnya tingkat penyerapan tenaga
kerja atau lowongan kerja terbatas sehingga semakin meningkatkan
angka pengangguran.
Meningkatnya berbagai persoalan
pendidikan, kesehatan dan ketenaga-kerjaan di wilayah
Tanah Papua merupakan tanggung jawab bersama. Apalagi setiap
kasus-kasus pendidikan, penyakit dan lapangan pekerjaan terus menjadi momok dan
ketakutan dalam masyarakat di Wilayah Tanah Papua. Pemerintah
daerah harus mengambil langkah-langkah penyelesaian yang
komprehensif dan terpadu. ***
No comments:
Post a Comment