Thursday, February 7, 2013

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA (SDM) ADALAH KUNCINYA






Pembangunan tidak dimulai dengan barang, tetapi dimulai dengan orang: pendidikannya, organisasinya dan disiplinnya. Tanpa ketiga komponen ini, semua sumber daya tetap hanya akan terpendam, tak dapat dimanfaatkan, dan tetap hanya merupakan potensi belaka.

E.F. Schumacher
(Penulis Buku Small is Beautiful,1987)

Bunda Teresa pernah berkata, “Penyakit yang paling besar hari ini bukanlah lepra atau TBC, tetapi lebih merupakan perasaan menjadi orang yang tidak dikehendaki.” Apa yang dikatakan Bunda Teresa benar, sebab di wilayah Tanah Pupua sedari dulu hingga kini penyakit yang paling besar bukanlah lepra dan TBC, melainkan “penyakit” kebodohan dan keterasingan. Dengan kata lain, kebodohan dan keterasingan yang masih menimpa masyarakat Papua boleh dikatakan merupakan “penyakit” paling mengerikan bila dibandingkan penyakit lepra, TBC, atau malaria. Kedodohan dan keterasingan di wilayah Tanah Papua memanglah penyakit yang tidak mudah untuk disembuhkan. Tak semudah kita meniupkan mantra sulap sim salabim. Namun, bukan berarti penyakit ini tidak dapat disembuhkan. Obat yang paling mujarab untuk menyembuhkan “penyakit” kebodohan dan keterasingan di wilayah Tanah Papua, salah satunya, adalah dengan cara mengembangkan dan meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) masyarakat Tanah Papua.

Profesor Frederick Harbison dan Profesor A. Meyers dari Princeton University dalam bukunya berjudul “Manpower and Education” (1965) mengatakan: “If a countrys unable to develop its human resources, it can not built anything else, whether it be a modern political system, a sence of national unity or a prosperous economy”. Artinya, pengembangan SDM sangat penting dan menempati posisi kunci dalam pembangunan suatu daerah maupun negara secara berkelanjutan. Manusia adalah kunci utama dalam meraih kemajuan. Baik bagi kemajuan individu yang bersangkutan, kemajuan di lingkungan peker­jaan, kemajuan masyarakat, kemajuan suatu daerah maupun ­bangsa dan negara. Manusia adalah human and intellectual capital.

Untuk memajukan wilayah Tanah Papua menjadi jauh lebih baik, diperlukan SDM yang tidak cukup hanya mengandalkan kecerdasan otak (IQ, Intelligence Quotient) semata. Tapi, juga SDM yang mempunyai “kecerdasan hati dan spiritual” (EQ, Emotional Quotient dan SQ, Emotional Spiritual Quotient). Sebab, SDM yang memiliki IQ yang bagus tapi tanpa diimbangi dengan EQ dan SQ itu tetap saja dapat merusak segalanya. Bekerja dengan semata-mata mengandalkan IQ tanpa diimbangi EQ dan SQ akan (antara lain) tercipta suatu pekerjaan tanpa moralitas. Kompetensi tanpa diimbangi moralitas hanya akan melahirkan SDM dengan watak yang kurang beretika.

Sebagaimana pernah diungkapkan oleh Daniel Goleman, psikolog dari Harvard University, dalam buku bertajuk Emotional Intelligence (1995), IQ sejatinya hanya menyumbang sekitar 20 persen bagi kesuksesan seseorang. Sedangkan sisanya, 80 persen, justru dihasilkan dari EQ dan SQ. Jadi, manusia yang berkualitas adalah manusia yang memiliki kecerdasan emosional dan spiritual tinggi. Goleman menambahkan bahwa Robert Kelley dan Janet Caplan pernah melakukan sebuah studi di Bell Labs, pusat penelitian ilmiah tersohor di dunia yang berpusat Princeton, Amerika Serikat, terhadap sejumlah insinyur berotak cemerlang. Hasilnya, mereka yang disebut para “Bintang” ternyata bukanlah para insinyur yang tergolong ber-IQ paling tinggi. Para “Bintang” itu adalah mereka yang ber-IQ tinggi serta memiliki EQ dan ESQ yang tinggi pula.

SDM yang bekerja dengan mengandalkan IQ tanpa diimbangi EQ dan SQ hanya akan melahirkan manusia-manusia pandai yang lepas dari tatanan nilai-nilai sosial-budaya dan khazanah-kearifan lokal. Manusia-manusia yang lepas dari tanah yang dipijak. Ujung-ujungnya, dalam kehidupan bermasyarakat tercipta fenomena low trust society dan kecenderungan perilaku self-destruction. Antar-sesama saudara saling curiga-mencurigai penuh syakwasangka. Masyarakat pun menjadi curiga kepada kelompok masyarakat yang lain. Pada akhirnya, apa yang ditengarai oleh tokoh nasionalis Mahatma Gandhi tentang ”tujuh dosa yang mematikan” benar-benar bisa menjadi kenyataan dalam kehidupan bermasyarakat, yakni semakin tidak terkendalinya watak dan perilaku manusia hedonistis, narsistis, individualistis dan materialistis. Ketujuh dosa mematikan itu masing-masing ”kekayaan tanpa bekerja” (wealth without work), ”kesenangan tanpa hati nurani” (pleasure without conscience), ”pengetahuan tanpa karakter” (knowledge without character), ”kompetensi tanpa moralitas” (competency without morality/ethic), ”ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan” (science without humanity), ”agama tanpa pengorbanan” (religion without sacrifice) dan ”politik tanpa prinsip” (politics without principle).

Kemudian, selain harus memiliki IQ, EQ dan SQ, SDM di Tanah Papua harus pula mempuyai nilai kedisiplinan (values of discipline) yang tinggi. Kedisiplinan itu bukan sesuatu yang kaku, namun merupakan sesuatu yang indah yang bisa dilakukan dengan perasaan antusias dan hati yang menyenangkan. Karena dengan hidup disiplin, hidup kita bisa teratur, terarah dan terukur. Yang lebih penting lagi, dengan hidup disiplin maka kita dapat mengharapkan terjadinya suatu perubahan yang jauh lebih baik daripada sekadar rutinitas kegiatan yang kita lakukan setiap hari. Jadi kalau wilayah Tanah Papua ingin meraih kemajuan yang lebih baik lagi, maka segenap komponen masyarakat Papua harus bekerja keras dengan budaya disiplin yang tinggi.

Disiplin adalah salah satu resep dalam mengendalikan diri guna meraih sebuah keberhasilan. Disiplin dalam waktu, disiplin dalam bekerja, disiplin dalam mematuhi peraturan serta disiplin dalam mengamalkan nilai-nilai kearifan lokal sebagai penjaga tata kehidupan bersama. Dan, kedisiplinan itu harus dimulai dari diri sendiri.

Untuk memajukan wilayah Tanah Papua, juga dibutuhkan SDM yang memiliki etos kerja keras, berpikir cerdas dan beramal ikhlas. Bekerja keras dalam arti bahwa dalam bekerja buat kepentingan daerah (yang berarti juga untuk kepentingan diri sendiri, masyarakat dan wilayah Tanah Papua) tidak boleh mengenal batas ruang dan waktu. Banyak bekerja lebih baik ketimbang banyak bicara. Bekerja keras terlebih dulu dengan sepenuh integritas, tanggung jawab dan disiplin, baru setelah berhasil berbicara. Kemudian, berpikir cerdas. Bahwa dalam bekerja harus menggunakan kemampuan berpikir, kemampuan menganalisis, serta kemampuan mengatasi masalah dengan tepat melalui metode yang terprogram. Bukan dengan tenaga otot.

Segenap SDM harus memiliki kemampuan untuk membuat perencanaan, langkah dan strategi yang handal, serta mampu memprediksi kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul di wilayah Tanah Papua. Dan, agar menjadi cerdas, SDM harus terus belajar. Menjadi ”pembelajar”. Belajar kepada siapa pun, di mana pun dan kapan pun. Pengetahuan dan kemampuan seseorang, jika tidak terus diasah dengan cara belajar atau menganggap dirinya sudah pintar, pasti akan berhenti dan tidak berkembang. Melalui proses belajar, SDM yang berpikir cerdas akan terus mampu mengevaluasi, membenahi dan mengambil langkah dan strategi serta kebijakan dan program yang tepat bagi wilayah Tanah Papua.

Lantas, beramal (bekerja) ikhlas. Masyarakat di wilayah Tanah Papua harus bekerja sebaik mungkin, komitmen tinggi dan bertanggung-jawab. Bahwa yang menilai atau menentukan hasil kerjanya adalah Tuhan. Tuhan selalu mengawasi umat manusia setiap saat. Karena itu, pekerjaan yang dijalani merupakan amanah dan ditujukan demi kebaikan diri sendiri dan orang banyak. Bekerja atau beramal ikhlas untuk melengkapi ibadah. Kalau ibadah ritual masih kurang, maka bekerja ikhlas dimaksudkan sebagai pelengkap. Dengan bekerja dalam perasaan yang tulus-ikhlas, masyarakat di wilayah Tanah Papua akan bekerja tak pernah kenal waktu. Dan apapun hasilnya, harus senantiasa disyukuri. Prinsip kerja ikhlas itulah sesungguhnya yang bisa membuat masyarakat di wilayah Tanah Papua menjadi selalu optimis dan tak pernah ragu dalam bersikap demi memajukan daerahnya.

Yang tak kalah penting,  SDM di wilayah Tanah Papua harus memiliki prinsip bahwa bekerja membangun dan memajukan wilayah Tanah Papua itu merupakan bagian dari ibadah. Bukan suatu keterpaksaan. Sebagai bakti kepada Tuhan dan bermanfaat atau diperuntukkan bagi kebaikan orang banyak, khususnya untuk masyarakat di wilayah Tanah Papua. Bekerja membangun wilayah Tanah Papua sebagai amanah yang harus dilaksanakan dengan sebaik mungkin dan semaksimal kemampuan yang dimiliki dengan sepenuh profesionalisme, komitmen, kejujuran, memiliki daya saing berkelanjutan dan menghasilkan nilai tambah yang tinggi. Sebuah prinsip yang mengajarkan kepada segenap SDM untuk senantiasa bersyukur dan bekerja lebih kompeten serta profesional.

SDM di Tanah Papua juga harus mempunyai pola pikir dan pola perilaku yang unggul. Pola pikir (mindset) mereka harus mengglobal, kritis, namun tetap jernih serta memiliki kepercayaan diri dan etis. Menjadi SDM yang unggul. Menjadi manusia yang memiliki prinsip, nilai-nilai dan etos kerja serta daya juang yang tinggi. Di mana daya juang itu tidak terlepas dari tindakan disiplin, loyalitas, kerjasama, serta saling percaya dan menghargai. Juga mesti berintegritas, yang merefleksikan sikap dan komitmen tinggi dalam bekerja dengan dasar kejujuran dan etika. Satunya kata dengan perbuatan. Segenap SDM di wilayah Tanah Papua harus mampu mengendalikan diri, menolak komisi, suap, menghindari manipulasi, korupsi dan pemberian apapun yang dapat merusak moral, mengganggu pekerjaan dan merugikan diri sendiri maupun wilayah Tanah Papua.

Bahkan, SDM di wilayah Tanah Papua harus pula memiliki jiwa kepemimpinan. Pemimpin yang selalu tanggap terhadap perubahan dan menjadi kunci keberhasilan bagi tumbuh-berkembangnya wilayah Tanah Papua. Juga, pemimpin yang penuh keteladanan dan keadilan. Maklum, pemimpin adalah panutan dalam cara berpikir dan bertindak bagi seluruh bawahannya. Pun, SDM di wilayah Tanah Papua harus memiliki jiwa kewirausahaan. Entrepreneurship menyangkut bekerja secara mandiri, kreatif dan inovatif, bekerja keras, tekun dan ulet. Termasuk, berdaya-guna, tepat janji dan spirit kemajuan untuk terus mengembangkan potensi serta peka, teliti dan taktis dalam memanfaatkan peluang demi memajukan wilayah Tanah Papua. Innovation and Entrepreneurship, demikian ditegaskan oleh pakar manajemen dan kepemimpinan Peter F. Drucker.

Lebih penting lagi SDM masyarakat Tanah Papua yang memiliki kompetensi, pola pikir, pola perasaan dan pola perilaku unggul itulah yang bisa dikatakan sebagai manusia yang efektif dan kreatif. Dalam buku Seven Habits of Highly Effective People (1993), Steven R. Covey menjelaskan tentang kebiasaan manusia yang efektif. Pertama, jadilah pro-aktif. Berarti bertanggung-jawab terhadap setiap tindakan dan perilaku yang kita lakukan. Pro-aktif lebih dari sekadar mengambil inisiatif. Orang-orang pro-aktif yang mengedepankan pemikiran positif (positive thinking), yang merupakan para pelaku perubahan menuju kemajuan dan keberhasilan. Mereka juga tidak bersikap reaktif dengan menyalahkan orang lain.

Kedua, merujuk pada tujuan akhir. Orang-orang yang memiliki visi dan tujuan dengan mengidentifikasi prinsip-prinsip, nilai-nilai dan selalu membuat komitmen terhadap diri sendiri untuk melakukannya. Ketiga, dahulukan yang utama. Maksudnya, mendahulukan apa yang sudah digariskan seperti visi, misi, nilai-nilai dan yang menjadi prioritas, serta membuat tujuan dan sasaran alternatif. Keempat, berpikir menang. Cara berpikir yang berusaha mencapai keuntungan bersama dan didasarkan pada sikap saling menghormati dalam setiap interaksi.

Kelima, berusaha untuk memahami lebih dulu, baru dipahami. Memulai komunikasi positif dengan memahami dan menghargai orang lain. Dalam hal ini dibutuhkan keberanian, kemurahan dan kemauan untuk membuka diri dan kesediaan untuk mendengarkan. Setelah itu, barulah dipahami oleh orang lain. Keenam, wujudkan sinergi. Sikap saling menghargai atau tidak mengutamakan “cara kami” atau “cara dia” melainkan “cara kita bersama-sama” yang lebih baik. Ketujuh, mengasah gergaji. Terus memperbaiki empat bidang dasar diri manusia: fisik, sosial (emosional), mental dan rohaniah guna meningkatkan kapasitas dan kebiasaan yang lebih baik.

Secara umum, tujuh kebiasaan manusia yang efektif tadi dapat dibagi menjadi dua kriteria. Yakni, kebiasaan primer yang terdiri dari kesadaran diri atau pengetahuan akan diri, imajinasi dan suara hati, serta kehendak bebas atau niat. Berikutnya adalah kebiasaan sekunder yang terdiri atas mentalitas berkelimpahan, keberanian dan pertimbangan, serta kreativitas dan pembaharuan diri. Kebiasaan kesadaran diri dengan menumbuhkan kemampuan menjadi proaktif dalam memilih respon sebaiknya dilakukan dalam kondisi tenang dan bertanggung-jawab.

Sedangkan kebiasaan imajinasi dan suara hati sebaiknya memulai dengan mengacu pada tujuan. Sementara itu, kebiasaan niat berkaitan dengan mendahulukan yang utama. Setelah melalui tiga kebiasaan primer itu, tentunya akan timbul berpikir menang, berusaha mengerti terlebih dahulu baru dimengerti; dan melahirkan kreativitas yang dikaitkan dengan sinergi untuk membuat perbaikan yang berkelanjutan atau pembaharuan diri. SDM yang kreatif, pada umumnya, mengetahui permasalahan dengan baik dan dengan kedisiplinannya yang tinggi dapat melakukan sesuatu yang lebih baik daripada sebelumnya.

Jadi intinya membangun Tanah Papua menjadi jauh lebih baik itu bukan hanya dari sisi fisik semata, namun juga pada karakter dan jati diri manusia dan masyarakatnya. Membangun keluhuran dan keunggulan manusia dan masyarakat di wilayah Tanah Papua secara paripurna sebagai modal manusia (human capital) dan modal sosial-budaya (social-cultural capital) yang mampu mengelola dan mengolah modal kekayaan sumberdaya alam (economic capital) secara optimal. Membangun pola pikir, watak dan akhlak serta nilai-nilai, sikap dan perilaku yang unggul, tanpa meninggalkan karakter dan jati diri manusia dan masyarakat di wilayah Tanah Papua. Dengan pondasi seperti itulah daya hidup, daya dorong, daya gerak dan daya juang serta daya tahan manusia dan masyarakat di wilayah Tanah Papua akan terbangun secara berkesinambungan.

Belajar dari bangsa dan negara yang maju serta dihormati dunia seperti Amerika Serikat (AS), Jerman, Inggris dan Jepang, karena mereka memang memiliki keunggulan tanpa meninggalkan karakter dan jati dirinya. Dalam membangun keunggulan itu sendiri, mereka terus berproses tanpa mengenal kata berhenti (never ending process) dan dibarengi dengan peningkatan kualitas SDM-nya. Lantaran dibangun secara terus-menerus, maka keunggulan yang mereka miliki benar-benar terwujud sehingga menjadi bangsa dan negara yang kuat, luhur dan adi luhung. Mereka tidak hanya mampu bertahan dari ketidak-pastian arus perkembangan jaman, namun mereka malah terus hidup, membesar dan eksistensinya semakin diakui di jagad raya ini.

Untuk masalah SDM, seharusnya, negeri ini --khususnya wilayah Tanah Papua-- bisa bercermin pada Negeri Sakura, Jepang. Kenapa? Pertama, orang Jepang (SDM) memiliki karakteristik suka bekerja keras. Bagi mereka, bekerja adalah keinginan dan merupakan kenikmatan, bukan keharusan. Semakin banyak bekerja semakin asyik dan banyak kenikmatan. Keringat yang menetes dari sekujur tubuh mereka merupakan bukti terfokusnya segenap kemampuan terhadap pekerjaan yang mereka lakukan. Mereka sangat menyadari bahwa hanya dengan bekerja keras kesuksesan dapat tercapai. Maka tak salah kalau orang Eropa dan Amerika sangat salut pada karakteristik kerja keras manusia Jepang. Bahkan, bangsa Eropa dan Amerika menyebut mereka sebagai pecandu kerja.

Orang Jepang sudah terbiasa bekerja dengan jam tugas yang panjang tanpa harus ada penggantian. Sebagian besar waktu hidupnya dihabiskan untuk kerja dan bekerja. Sisanya, dipergunakan untuk beristirahat (tidur) guna mempersiapkan diri agar kembali prima dalam melaksanakan berbagai kreativitas pada esok hari.

Kedua, keberhasilan orang Jepang (SDM) terletak pada disiplin mereka yang tinggi. Disiplin itulah yang membentuk semangat dan sikap kerja keras orang Jepang. Disiplin pula yang membuat mereka patuh dan mau melakukan apa saja demi menggapai suatu keberhasilan. Oleh karena itu, tidak heran jika orang Jepang sanggup bekerja mati-matian untuk memajukan suatu perusahaan maupun negaranya. Bahkan, mereka merasa dihargai jika diberikan suatu pekerjaan yang berat. Sebaliknya, mereka merasa terhina dan tidak berguna bila tidak diberikan pekerjaan yang menantang. Bisa dibilang sikap disiplin orang Jepang tiada bandingannya, mereka tergolong pekerja paling disiplin. Orang yang tidak mempunyai disiplin tinggi tidak layak bekerja dengan mereka. Orang Jepang tidak bisa kompromi dengan hal yang berkaitan dengan disiplin.

Namun, bukan berarti orang Jepang tidak mempunyai masa bersantai. Mereka bersantai setelah apa yang mereka lakukan tuntas. Yang mengherankan adalah orang Jepang selalu datang ke tempat kerja tepat waktu meskipun pada malam harinya mereka bersenang-senang di tempat hiburan. Mereka selalu datang on time dan bekerja seperti biasa. Dan seharusnya SDM di wilayah Tanah Papua juga bisa seperti SDM di Jepang.

Sebenarnya di mana kunci sukses negara Jepang dalam mengelola SDM-nya. Tak lain tak bukan karena pendidikan mereka. Di Jepang, pendidikan adalah hal yang sangat diperhatikan. Mereka (masyarakat dan pemerintah Jepang) menyadari betul bahwa pendidikan merupakan ujung tombak sebuah kemajuan suatu daerah maupun bangsa dan negara. Makanya untuk menciptakan SDM yang baik dan berkualitas, sekolah di Jepang bisa dibilang tidak terlalu mahal (murah) dengan tenaga pengajar yang bermutu. Pemerintah Jepang memberikan secara gratis berbagai macam fasilitas untuk menunjang dan menciptakan pendidikan yang berkualitas. Bagi anak yang tidak mampu dari segi ekonomi, akan diberikan bantuan khusus. Dengan demikian tidak ada alasan bagi para pemuda-pemudi di Jepang untuk tidak belajar. Masyarakat Jepang benar-benar diwajibkan untuk bisa mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi.

Hebatnya lagi, masyarakat Jepang, terutama mahasiswanya, mereka  mau dan bersedia bekerja paruh waktu atau berdagang untuk membiayai uang kuliahnya. Mereka cenderung tidak ingin membebani orang tua. Mereka selalu berupaya memanfaatkan waktu luang untuk mencari penghasilan. Mereka tidak manja. Dan,  perlu diketahui hampir setiap hari mahasiswa Jepang belajar hingga larut malam jam 24.00 dan tak jarang sampai menjelang pagi. Padahal, mereka telah belajar pada pagi, siang, dan sore harinya. Jadi wajar saja dengan kerja keras pemerintah dan masyarakat Jepang terhadap dunia pendidikan, negara ini memiliki SDM yang benar-benar berkualitas. Dengan SDM yang berkualitas inilah mereka bisa membangun negaranya menjadi negara yang maju dan menjadi cerminan bagi negara lain.

Manfaat pendidikan, sebenarnya, juga telah dirasakan oleh negara lain seperti Jerman, Inggris, Malaysia dan Amerika. Kalau kita amati dan perhatikan, Jerman dan Inggris berhasil menjadi negara tujuan pendidikan bagi negara-negara lain lantaran mampu menata bidang pendidikannya secara baik. Amerika Serikat (AS) bisa menjadi negara ber-GNP paling tinggi di dunia karena mampu membenahi bidang pendidikannya. Malaysia mencapai era kemajuannya dengan cara menyalip Indonesia yang dulu pernah menjadi gurunya, lantaran mereka sanggup menata bidang pendidikannya secara lebih sistematis. Jadi tidak salah kalau kita mengatakan bahwa pendidikan merupakan kata kunci bagi suatu masyarakat, daerah maupun negara untuk keluar dari krisis dan kesulitan. Kemajuan pendidikan adalah masa depan suatu daerah, bangsa dan negara.

***
TANAH Papua dikenal dengan kekayaan alamnya. Ada burung Cenderawasih kuning di Serui, ada buah merah di Wamena, ada buah matoa yang bentuknya seperti rambutan tapi rasanya seperti durian, ada ribuan jenis ikan di perairan Raja Ampat, ada emas dan tembaga di Timika, ada minyak dan gas di Bintuni, ada batubara, nikel dan berbagai jenis tambang lainnya. Suatu daerah yang benar-benar diberi anugerah oleh Tuhan Yang Maha Kasih.

Namun, di tengah kelimpahan Sumber Daya Alam (SDA) itu, Tanah Papua belum memiliki SDM yang mampu mengelola dan mengolahnya secara maksimal. Padahal SDM dan SDA merupakan dua pilar penting dalam proses pembangunan suatu daerah. Kualitas hidup manusia yang optimal merupakan hal yang paling penting. Tanpa adanya kualitas hidup manusia yang optimal, meskipun SDA melimpah, pembangunan suatu daerah tidak akan berhasil atau sia-sia saja.

Sumber daya manusia, menurut Abdul Racman Panetto, mempunyai dua dimensi: pertama, sebagai angkatan kerja yang tidak berkeahlian dan berketerampilan. Dalam jumlah yang besar memerlukan pendidikan dan latihan, agar menjadi tenaga kerja yang produktif. Kedua, angkatan kerja yang telah memiliki keahlian, keterampilan dan kemampuan. Sumber daya manusia di wilayah Tanah Papua, terutama yang ada di pedalaman, pesisir dan pegunungan, meminjam pendapat Abdul tadi, rata-rata tergolong dalam potensi yang pertama. Karena kebanyakan warga masyarakat di sana masih berpedoman pada petunjuk turun-temurun yang diberikan oleh keluarga tanpa terkembangkan potensi yang ada pada diri mereka.

Masyarakat di wilayah Tanah Papua umumnya adalah masyarakat yang terikat oleh kultur budaya alami. Kehidupannya sangat nikmat dengan alam (naturalistik) dan belum banyak mengenal ilmu pengetahuan dan teknologi. Kebanyakan warga masyarakat di sana cuma mengandalkan kebun yang mereka miliki (90% petani dan nelayan). Mereka hanya memikirkan bagaimana hidup hari ini, tanpa berusaha memikirkan bagaimana masa depan anak cucu.

Masyarakat di wilayah Tanah Papua sebagian besar hidup mengandalkan tenaga fisik yang mereka miliki. Kebanyakan dari mereka belum menyadari bahwa yang dibutuhkan pada masa sekarang ini bukan sebatas tenaga secara fisik saja, tetapi tenaga yang terampil dan mempunyai keahlian. Maka dari itu penting untuk mendorong mereka mengembangkan potensi yang mereka miliki, tentu dengan pendidikan dan pelatihan atau keterampilan yang berkesinambungan.

Teori human capital yang mengatakan bahwa seseorang dapat meningkatkan penghasilannya melalui peningkatan pendidikan dan keterampilan. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan keterampilan seseorang semakin tinggi pula tingkat penghasilan. Jadi, jelas pendidikan dan pelatihan atau keterampilan merupakan dasar untuk meningkatkan taraf hidup suatu masyarakat, daerah maupun bangsa dan negara.

Suatu kenyataan yang tak terbantahkan, bahwa masyarakat di Tanah Papua (khususnya pedalaman) belum bisa dikatakan sebagai masyarakat yang mempunyai sumber daya manusia yang berkualitas. Mereka masih hidup dalam keterbelakangan dan selama bertahun-tahun jauh tertinggal dibanding wilayah lain di Indonesia, terutama di bidang pendidikan.

Karena itu, pembangunan dan pendidikan di wilayah Tanah Papua seharusnya merupakan salah satu komponen yang tidak bisa dilepaskan dalam konsep pembangunan nasional. Hal ini seperti tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yang mengatakan salah satu tujuan kemerdekaan Indonesia itu adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, konsep pembangunan ini yang masih kurang dinikmati masyarakat di wilayah Tanah Papua. Padahal, dengan memberikan pendidikan yang baik kepada warga masyarakat di wilayah Tanah Papua, hal itu akan mengubah pola pikir mereka sehingga mampu menciptakan SDM yang berkualitas. Pendidikan yang berkualitas menjadi faktor penting bagi kemajuan suatu daerah, termasuk di wilayah Tanah Papua. Semakin berkualitas pendidikan di wilayah Tanah Papua maka akan semakin maju wilayah ini dan sebaliknya.

Pembangunan sektor pendidikan di wilayah Tanah Papua yang masih jauh tertinggal mengakibatkan kualitas sumber daya manusia di wilayah yang kaya akan hasil bumi ini rendah. Hal itu bisa dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM atau Human Development Indeks/HDI) di wilayah Tanah Papua. Karena IPM pada dasarnya sebagai salah satu indikator untuk mengukur capaian kualitas SDM di suatu daerah maupun negara.

Perlu diketahui pula, kalau mengacu pada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ada empat kategori yang tercemin dari peringkat kinerja pembangunan manusia pada skala 0,0-100,0. Pertama, tingkat rendah, di mana tingkat IPM hanya berada di kisaran kurang dari 50,0. Kedua, tingkat menengah ke bawah dengan IPM antar 50,00 hingga 65,9. Ketiga, menengah ke atas dengan tingkat IPM antara 66,0-79,9. Sedangkan yang terakhir, keempat, adalah tingkat tinggi dengan IPM lebih dari 80,0.

Selama ini Pemerintah di wilayah Tanah Papua sudah berupaya keras mengangkat harkat dan kualitas SDM setempat, tapi ternyata belum signifikan mengangkat IPM. Sebagai contoh pada 2002 tingkat IPM di Provinsi Papua itu berada di kisaran 60,1. Angka ini meningkat pada 2004 ke level 60,9. Sedangkan pada 2005, IPM Provinsi Papua menjadi 62,1. Lalu bertengger di level 62,8 pada 2006. Sementara 2008  pencapaian IPM Provinsi Papua mengalami trend positif. Secara kuantitatif, IPM di Provinsi Papua mencapai 64,00. Meski capaian IPM Provinsi Papua terus mengalami peningkatan, tapi IPM Papua tetap saja berada pada urutan ke 33 dari 33 provinsi di Indonesia.

Bila mengacu pada parameter PBB sebagaimana tertera di atas, tingkat IPM Papua juga masih termasuk dalam kategori kinerja pembangunan manusia menengah bawah, yaitu capaian IPM di sekitar 50,065,9. Angka ini tertinggal dibanding angka nasional IPM Indonesia yang sebesar 69,6.

Tabel I
Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Provinsi Papua Dirinci Menurut Kabupaten Tahun 2005-2008

N0
KABUPATEN
2005
2006
2007
2008
1
Merauke
61.50
62.55
64.03
64.44
2
Jayawijaya
47.60
52.44
52.97
54.72
3
Jayapura
67.50
68.76
69.97
71.02
4
Nabire
65.10
65.19
65.60
66.1
5
Yapen Waropen
66.40
67
68.06
68.68
6
Biak Numfor
66.90
67.25
68.55
68.99
7
Paniai
58.60
58.47
58.74
59.17
8
Puncak Jaya
66.80
67.02
67.20
67.78
9
Mimika
66.10
67.13
67.84
67.99
10
Boven Digoel
47.60
48.33
48.65
49.2
11
Mappi
47.00
47.95
49.04
49.59
12
Asmat
47.20
48.27
49.53
50.27
13
Yahukimo
47.40
47.95
48.31
48.85
14
Pegunungan Bintang
46.90
47.24
47.38
47.94
15
Tolikara
49.20
49.62
50.38
50.85
16
Sarmi
64.80
65.17
65.90
66.35
17
Keerom
66.50
66.93
67.99
68.55
18
Waropen
61.30
61.6
61.97
62.46
19
Supiori
65.90
66.23
66.92
67.55
20
Mamberamo Raya
*
*
57.31
57.78
21
Nduga
*
*
*
47.45
22
Lanny Jaya
*
*
*
48.12
23
Mamberamo Tengah
*
*
*
47.9
24
Yalimo
*
*
*
47.75
25
Puncak
*
*
*
48.43
26
Dogiyai
*
*
*
48.6
27
Kota Jayapura
72.10
73.15
73.84
74.56
28
Papua
62.10
62,75
63,41
64,00
Sumber: BPS Provinsi Papua
Keterangan :  *)Data masih gabung dengan kabupaten induk

IPM masyarakat di wilayah Tanah Papua memang terbilang masih rendah. Tapi, hal ini bukan suatu hal yang menandakan bahwa masyarakat di wilayah Tanah Papua itu bodoh. IPM di wilayah Tanah Papua rendah lantaran wilayah ini kurang mendapatkan akses pendidikan yang layak dan warga setempat kurang memperoleh kesempatan belajar dengan metode yang baik dan benar. Selama ini pembangunan pendidikan di wilayah Tanah Papua masih minim. Bayangkan saja berbagai permasalahan pendidikan --seperti penyediaan infrastruktur, kualitas, hingga pemerataan akses— sampai kini masih saja menjadi kendala di berbagai daerah yang sudah maju dan mudah terjangkau. Jadi, wajar saja jika kemudian akses pendidikan bagi sebagian penduduk masih sangat sulit dijangkau.
Kalau kita menyaksikan film yang berjudul Denias Senandung Di Atas Awan yang disutradarai oleh John de Rantau atau film Laskar Pelangi (film yang diangkat dari novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata) yang disutradarai oleh Riri Riza, kita bisa menyadari betapa belum meratanya pembangunan pendidikan di negeri ini. Film Denias Senandung Di Atas Awan itu menceritakan tentang bagaimana perjuangan seorang anak suku pedalaman Papua yang bernama Denias untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Hingga dia harus menempuh puluhan kilometer untuk sampai di sebuah sekolah yang ternyata seadanya.
Sementara film Laskar Pelangi juga menceritakan suatu hal yang hampir sama dengan  film Denias Senandung Di Atas Awan, bagaimana sulitnya anak negeri ini memperoleh kesempatan menuntut ilmu secara wajar. Sampai-sampai mereka harus belajar di bawah sebuah gubug reyot yang ketika hujan dipakai berteduh kambing dan kebocoran. Sebuah film yang dapat membuka mata kita tentang betapa pendidikan yang layak di negeri ini masih sangat mahal, masih sangat rumit dan masih banyak terjadi diskriminasi-diskriminasi di luar akal sehat. Namun, dari kedua film tersebut, kita bisa mengambil hikmah bahwa meski dalam kesusahan untuk memperoleh kesempatan bersekolah, mereka tetap bersemangat dan tidak pernah patah arang. Bahkan, ada sebagian dari mereka yang memiliki kecerdasan luar biasa dan menjadi generasi yang mumpuni dan bisa membangun daerahnya menjadi lebih baik.
Kedua film tersebut juga bisa menjadi cerminan apa yang terjadi di wilayah Tanah Papua. Meski di sana diungkapkan masyarakatnya belum mendapatkan pendidikan yang memadai tetapi tetap saja masih banyak anak-anak di sana yang tidak putus asa untuk mendapatkan pendidikan. Bahkan sebagian dari mereka mampu menjadi anak-anak yang berprestasi. Mereka bukan hanya pintar di daerahnya tetapi kepintaran mereka juga sudah diakui di pentas dunia. Beberapa anak mutiara hitam yang tidak pernah putus asa dalam mengenyam pendidikan dan mengejar berprestasi di kancah internasional serta membawa nama harum Papua dan Indonesia di antaranya Septinus George Saa, Annike Nelce Bowaire, Andrey Awoitauw dan Rudolf Surya Bonay.
Septinus George Saa (lahir 22 September1986) adalah seorang pemenang lomba First Step to Nobel Prize in Physics pada tahun 2004 dari Indonesia. Dia membawakan makalah berjudul Infinite Triangle and Hexagonal Lattice Networks of Identical Resisto. Lomba First Step to Nobel Prize in Physics adalah perlombaan bergengsi bagi sekolah tingkat menengah seantero jagad selain Olimpiade Fisika. Kompetisi yang digagas Waldemar Gorzkowski 10 tahun silam ini mewajibkan pesertanya melakukan dan menuliskan penelitian apa saja di bidang fisika. Hasil penelitian tersebut kemudian dikirimkan dalam bahasa Inggris ke juri internasional di Polandia. Sementara dalam Olimpiade Fisika, para perserta diwajibkan mengerjakan soal-soal fisika dalam waktu yang sudah ditentukan. Pada kompetisi First Step to Nobel Prize in Physics tersebut hasil riset Septinus George Saa tidak menuai satu bantahan pun dari para juri.

Dalam kompetisi itu Oge (panggilan akrabnya) menemukan cara menghitung hambatan antara dua titik rangkaian resistor tak terhingga yang membentuk segitiga dan hexagon. Formula hitungan yang dia tuangkan dalam papernya itu mengungguli ratusan paper dari 73 negara yang masuk ke meja juri. Para juri yang terdiri dari 30 ahli fisika dari 25 negara itu hanya membutuhkan waktu tiga hari untuk memutuskan pemuda asal Jayapura ini pantas menggondol medali emas.

Paper Oge yang masuk lewat surat elektronik di hari terakhir kompetisi itu dinilai orisinil, kreatif, dan mudah dipahami. Tak berlebihan jika gurunya, Profesor Yohanes Surya, mengatakan formula Oge ini selayaknya disebut George Saa Formula. Oge lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya, Silas Saa, adalah Kepala Dinas Kehutanan Teminabuhan, Sorong. Oge lebih senang menyebut ayahnya petani ketimbang pegawai. Sebab, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Silas, dibantu isterinya, Nelce Wofam, dan kelima anak mereka, harus mengolah ladang dan menanam umbi-umbian.

Kemudian Annike Nelce Bowaire yang adalah pelajar SMUN 1 Serui. Ia berhasil meraih medali emas berkat makalahnya yang berjudul Chaos in an Accelerated Rotating Horizontal Spring di lomba fisika dunia, The First Step to Nobel Prize in Physics (FS), pada tahun 2005. Makalah siswi SMUN 1 Serui ini membahas tentang sistem kompleks (chaos) menenggelamkan hasil penelitian ratusan siswa tingkat SMA dari 23 negara peserta FS ke-13 pada 2005. Bermula dalam usianya yang masih sangat remaja, baru saja lulus SMP, Annike telah membuat keputusan besar untuk mengikuti pelatihan Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI) di Serpong, Tangerang, Banten. Kesempatan itu didapatnya ketika ia lolos seleksi tingkat kabupaten dan provinsi pada bulan April 2003. Setelah lulus seleksi, Annike kemudian merealisasikan idenya dengan menyusun makalah berjudul Chaos in an Accelerated Rotating Horizontal Spring.

Ketika dinyatakan masuk lima besar tim FS Indonesia, Annike belajar tentang chaos di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Indonesia. Setiap hari selama bulan Februari 2005 Annike berkutat di laboratorium TOFI di Puspitek Serpong, didampingi Prof Teddy Wiguna, dosen jurusan fisika Institut Teknologi Bandung (ITB). Annike ingin membuktikan keberadaan fenomena chaos dalam getaran pegas yang berputar mendatar itu. Dia ingin membuktikan keberadaan gerakan seolah-olah acak (seemingly random) pegas horizontal tetap berada pada tepi chaos (edge of chaos), yaitu daerah di antara daerah yang teratur (order) dan tidak teratur (disorder).

Selanjutnya, Andrey Awoitauw yang merupakan putera asal Papua yang pernah meraih medali emas olimpiade sains nasional tahun 2004. Dan di tahun 2005 dia meraih medali emas olimpiade sains nasional dan mengalahkan juara internasional dari Jakarta Ivan Kristanto.

Sementara Rudolf Surya Bonay adalah pemenang sains The First Step to Nobel Prize in Chemistry yang diikuti oleh puluhan negara di dunia. Dalam penelitiannya yang dilakukan selama 2,5 bulan tentang biokimia itu, Surya mengangkat tema ”Menemukan Potensi Fototoksin Klorofil sebagai Larvasida dan Antimikroba Alami”. Menurut Surya, tema tersebut dilatar-belakangi kondisi daerahnya (Papua) yang rawan terjangkit malaria dan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri.

Selain itu, semua tahu bahwa klorofil (zat hijau pada daun) memiliki fungsi yang menyehatkan. Apalagi ada penemuan sejumlah ahli bahwa klorofil bisa menyembuhkan kanker jika diinjeksi ke tubuh manusia. Hanya saja, temuan ahli itu, menurut dia, akumulasinya di dalam sel kanker terlalu lamban. Dia melihat klorofil dapat berfungsi sebagai antimikroba dan larvasida yang mana hal ini sangat baik untuk pencegahan malaria serta infeksi bakteri lainnya.

Ilmuwan muda ini menjelaskan, bahwa struktur klorofil itu unik, ekornya (fitil) bersifat hydrofobik suka lemak, sementara bagian klorofil yang besar lebih suka air. Sehingga fitil bisa mengikat lemak, sementara hidrofobik mengeluarkan kotoran/racun dari dalam tubuh. Hasil penelitiannya itu ternyata sangat positif dan tentu saja sangat berguna bagi dunia kesehatan manusia. Dan, juri pun memutuskan hasil penelitian Surya Bonay itu sebagai pemenang.

Keberhasilan atau prestasi anak-anak Tanah Papua ini menandakan bahwa sesungguhnya masyarakat di wilayah Tanah Papua itu tidak bodoh. Keterpurukan pendidikan di Tanah Papua di antaranya disebabkan oleh beberapa faktor, pertama, mutu dan profesionalisme tenaga pengajar atau guru. Secara khusus kompetensi (mutu dan profesionalisme) guru yang rendah di wilayah Tanah Papua menjadi suatu faktor utama ketertinggalan pendidikan di sana. Padahal, menurut Ki Hajar Dewantara, guru adalah pamong yang berkewajiban mengajar dan mendidik. Mengajar berarti memberikan ilmu pengetahuan, mentransformasikan ilmu yang bermanfaat, menuntun gerak pikiran, serta melatih kecakapan atau kepandaian anak didik, agar mereka kelak menjadi orang yang pandai, berpengetahuan dan cerdas.

Guru adalah jantung pendidikan. Tanpa denyut nadi dan peran aktif seorang guru, kebijakan pembaruan pendidikan secanggih apa pun tetap akan mubazir. Sebagus apapun dan semodern apa juga sebuah kurikulum dan perencanaan strategis pendidikan dirancang, bila tanpa disertai guru-guru yang bermutu dan profesional (berkualitas), maka tidak akan ada gunanya.

Apa yang diungkapkan tokoh pendiri perguruan Taman Siswa itu memang benar. Intinya, pendidikan yang baik dan unggul tetap akan tergantung pada kondisi kualitas guru. Dengan kata lain, untuk menciptakan anak didik (SDM) yang berkualitas dibutuhkan tenaga yang profesional dan bermutu. Bahkan hal ini ditegaskan UNESCO dalam laporan The International Commission on Education for Twenty-first Century, yakni “Memperbaiki mutu pendidikan, pertama-tama tergantung perbaikan perekrutan, pelatihan, status sosial, dan kondisi kerja para guru; mereka membutuhkan pengetahuan dan keterampilan, karakter personal, prospek profesional, dan motivasi yang tepat jika ingin memenuhi ekspektasi stakeholder pendidikan”.
Namun sangat disayangkan persoalan mutu dan keprofesionalan guru di wilayah Tanah Papua dari dulu sampai sekarang masih menjadi persoalan yang belum pernah terselesaikan dan sesuai yang diharapkan. Dari sekian guru yang mengajar di wilayah Tanah Papua itu mayoritas bukan merupakan guru yang berlatar belakang pendidik. Sebagian besar guru (khususnya di bagian pedalaman Papua) yang kadang disebut dengan “central hightland” adalah juga tamatan Sekolah Guru Bawahan (SGB) jaman kolonial Belanda. Andai saja kita hitung pengajar yang berlatar belakang pendidikan dan yang tidak, dapat dipastikan guru yang berlatar pendidikan non-kependidikan tidak sebanding dengan pengajar berlatar belakang kependidikan. Bahkan lebih banyak daripada tenaga pengajar yang berlatar belakang pendidikan.
Selain itu, di wilayah Tanah Papua banyak guru, khususnya guru Sekolah Dasar (SD) masih mengajarkan dengan materi, metode dan teknik yang masih sama dengan semasa mereka sekolah pada tahun 1970-an. Padahal paradigma pendidikan (pembelajaran) di dunia lain terus mengalami perubahan seiring perkembangan jaman. Artinya keterpurukan mutu dan kualitas dan kuantitas pendidikan di wilayah Tanah Papua ini tidak terlepas dari mutu tenaga pengajar yang ada.
Ini merupakan ancaman terbesar bagi masa depan SDM di wilayah Tanah Papua, kerena semua orang bisa mengajar tetapi tidak semua orang bisa mendidik. Yang perlu kita tahu adalah pendidikan di sekolah itu bukan sekadar tempat transfer pengetahuan sesuka pengajar. Tetapi, lebih kepada transformasi nilai dan budaya sehingga terjadi perubahan perilaku pada anak didik untuk terus belajar melakukan perubahan dalam hidup dirinya, masyarakat, daerah maupun bangsa dan negara. Perlu diketahui suatu proses pendidikan, kalau tidak pernah membuat perubahan bagi si pembelajar dan lingkungannya, itu berarti pendidikan yang kurang bagus.
Kedua, masalah fasilitas (sarana dan prasarana). Di wilayah Tanah Papua banyak sekolah-sekolah yang kurang mendapatkan sarana dan prasarana pembelajaran yang memadai. Lihat saja, sekolah-sekolah yang ada di daerah pedalaman wilayah Tanah Papua, tak jarang mereka melakukan proses belajar-mengajar dengan berlantaikan tanah merah, meja kursi yang sudah lapuk dan kelas yang kerap bocor di kala hujan turun. Bahkan buku paket sudah menjadi barang mewah. Dari sisi infrastruktur, bangunan gedung sekolah di wilayah Tanah Papua masih ada dari peninggalan zaman kolonial Belanda.
Untuk mengatasi perkembangan SDM di wilayah Tanah Papua atau meningkatkan rata-rata level pendidikan warga masyarakatnya perlu ada beberapa hal yang menjadi perhatian dan perlu dilaksanakan. Pertama, perlu ada pembekalan bagi anak-anak di wilayah Tanah Papua sebelum mereka masuk TK/SD (0-4 tahun). Artinya, selama anak masih berada di lingkungan keluarga sangat dibutuhkan pengasuhan terutama gizi dan simulasi pendidikan sesuai tahapan perkembangan anak atau Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Atau dapat dilakukan dengan membentuk kelompok-kelompok bermain, ikut Posyandu, sekolah minggu, dan lain sebagainya. Karena rentang usia 0-4 tahun ini merupakan masa emas bagi seorang anak dalam membentuk kecerdasan dan karakter anak. Bahkan menurut penelitian Neurologi terhadap anak usia 0-6 tahun, lebih separuh kecerdasan anak (80%) akan terbentuk pada usia dini.
Kedua, adalah meningkatkan kualitas tenaga pendidik (guru) dan kependidikan formal dan non-formal di wilayah Tanah Papua. Sebagaimana yang dijelaskan di atas bahwa masalah guru sangat vital dalam dunia pendidikan. Andai sebuah sekolah memiliki fasilitas sekolah, laboratorium biologi, komputer, bahasa Inggris, kimia, perpustakaan, gedung sekolah mewah, tetapi apa gunanya itu semua kalau kompetensi gurunya di bawah standar. Maka tidak ada jalan lain, kalau memang mau mengubah wajah pendidikan di wilayah Tanah Papua, maka mutu dan kualitas profesionalisme gurunya harus berubah dan diperbaiki. Caranya dengan seringkali mengadakan pelatihan-pelatihan tentang paradigma pendidikan baru, mengadakan penelitian, peninjauan langsung ke lapangan, merencanakan program peningkatan mutu dan kualitas profesionalisme tenaga pengajar dengan evaluasi setiap semester. Serta pelatihan yang memberikan wawasan lokal, nasional bahkan internasional. Yang penting juga para pendidik yang ditugaskan di wilayah Tanah Papua, sebaiknya, tidak sebatas dibekali dengan kurikulum pendidikan saja, tetapi ada baiknya bila juga dibekali keterampilan pengelolaan budaya dan alam di komunitas masyarakat setempat. Sehingga, mereka bertugas tidak hanya sebagai guru kelas namun juga sebagai pemberi contoh teladan pengembangan kualitas masyarakat.
Ketiga, adalah fasilitas sekolah. Gedung sekolah, buku pelajaran sesuai kurikulum, alat-alat pembelajaran seperti papan tulis, kapur tulis, kursi dan meja belajar harus disediakan dan diperbaiki. Karena dengan kualitas fasilitas sekolah yang memadai dan layak, akan memberikan kenyamanan bagi anak-anak di wilayah Tanah Papua dalam proses belajar-mengajar. Dengan begitu mereka mampu menyerap pelajaran yang diajarkan oleh para pengajar atau guru dengan baik. Menyediakan fasilitas yang memadai merupakan salah satu faktor utama yang tak kalah penting untuk mencapai keberhasilan suatu pendidikan.
Keempat, kurikulum. Dari tahun ke tahun Pemerintah terus mengubah kurikulum dan selalu dipaksakan untuk menerapkan secara seragam di semua daerah. Pluralisme bangsa ini tidak dipertimbangkan. Padahal, kurikulum pusat belum tentu semuanya sama dan cocok untuk diterapkan di wilayah Tanah Papua. Sebab, social cultural daerah-daerah lain di Indonesia dan Papua sangat berbeda, tidak bisa disamakan. Sebab itu, agar kurikulum pendidikan bisa diterima di wilayah Tanah Papua sekaligus bisa menghormati adat dan kearifan budaya lokal di wilayah Tanah Papua, harus dikembangkan pula kurikulum muatan budaya lokal dalam pendidikan di wilayah Tanah Papua. Artinya, pendidikan di wilayah Tanah Papua tetap mengacu pada mutu dan standar nasional, tapi kurikulum perlu ditambah dengan muatan lokal seperti masalah etnografi, sosial budaya Tanah Papua, dan agama --termasuk masalah wawasan kebangsaan. Dengan kata lain, kurikulum harus disesuaikan dengan karakter akar lokal wilayah Tanah Papua.
Kelima, lingkungan. Partisipasi masyarakat juga sangat menentukan dalam memajukan pendidikan di wilayah Tanah Papua. Perlu ada sosialisasi kepada masyarakat betapa pentingnya dukungan masyarakat dalam upaya peningkatan dan memajukan mutu pendidikan di wilayah Tanah Papua.
Jadi pengembangan kualitas SDM di wilayah Tanah Papua adalah kunci dan solusi bagi terwujudnya tujuan pembangunan: kemajuan dan kesejahteraan rakyat-masyarakat di wilayah Tanah Papua. Dengan kualitas SDM yang baik, secara otomatis daya saing daerah akan meningkat lantaran orang-orang di wilayah Tanah Papua mampu berperan dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan sesuai dengan kemampuan dan kompetensi yang dimilikinya. Manusia Papua akan berperan penting sebagai human capital yang mampu memberdayakan dan mengelola SDA yang dimiliki daerah bagi kepentingan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Bahkan, kontribusi Papua di pentas dunia. ***


Books I
Pendidikan, Kesehatan dan Ketenagakerjaan

Untuk pembangunan atau pengembangan kualitas hidup masyarakat wilayah Tanah Papua (SDM) sebenarnya bukan tergantung dari peningkatan pendidikannya saja. Tapi, juga tidak terlepas dari pemeliharaan kesehatan di sana. Sebab, dengan tingkat pendidikan dan kesehatan yang optimal, akan terjadi peningkatan kemampuan ekonomi masyarakat Tanah Papua. Dengan manusia yang sehat dan berpendidikan, sudah dipastikan masyarakat di wilayah Tanah Papua dapat memanfaatkan SDA yang ada secara optimal dan dapat memajukan daerahnya. Sebab itu tidak salah kalau dalam  pengukuran Indeks Pembangunan Manusia (IPM), selain pendidikan, kesehatan juga menjadi salah satu komponen utama.

Karena itu selain pendidikan, pembangunan kesehatan merupakan faktor yang harus pula mendapat perhatian khusus serta harus dipandang sebagai suatu investasi untuk meningkatkan kualitas SDM di Wilayah Tanah Papua. Dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan ditetapkan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Kondisi pembangunan kesehatan secara umum dapat dilihat dari status kesehatan dan gizi masyarakat, yaitu angka kematian bayi, kematian ibu melahirkan, prevalensi gizi kurang dan umur angka harapan hidup.

Walaupun telah diketahui bahwa kesehatan juga merupakan faktor yang tidak kalah penting dibandingkan pendidikan dalam pengembangan SDM di wilayah Tanah Papua, tapi masalah kesehatan di Bumi Cenderawasih ini masih saja menjadi buah bibir. Soal kesehatan masih terus diperbicangkan di berbagai kalangan masyarakat. Kenapa? Sebab, berbagai penyakit serius seperti seperti HIV/AIDS, TBC, lepra dan DBD serta penyakit lainnya kerap kali terjadi dan belum tertangani secara baik, terutama di lingkungan masyarakat wilayah Tanah Papua yang ada di kampung-kampung pedalaman, pesisir dan pegunungan. Artinya, secara keseluruhan kondisi kesehatan masyarakat kampung atau pedalaman di wilayah Tanah Papua masih sangat rendah.

Hal ini disebabkan karena belum adanya pelayanan kesehatan yang memuaskan serta minimnya alat-alat kesehatan. Baik itu di puskesmas maupun setingkat rumah sakit. Kalau pun ada, mereka sulit memperoleh karena terbatasnya jangkauan pelayanan kesehatan yang dapat diakses. Dan di wilayah Tanah Papua masyarakatnya juga masih rendah kesadarannya untuk berperilaku hidup sehat serta rendahnya pengetahuan dan kesadaran terhadap kesehatan lingkungan. Misalkan mengenai pemberian gizi bagi anak-anak Papua. Warga masyarakat Tanah Papua, terutama para orang tua, belum mengerti dan memahami makanan yang harus diberikan kepada anak-anaknya. Untuk itu, anak-anak yang berusia 0-1 tahun hingga 5 tahun banyak yang mengalami kurang gizi. Sebagai contoh bisa dilihat dari prosentase gizi kurang dan gizi buruk yang terjadi di Provinsi Papua.

Tabel II
Prosentase Gizi Kurang dan Gizi Buruk Pada Balita di Provinsi Papua

Uraian

2007

2008
2009
Gizi Kurang

3,7%
7.1%
9,8%
Gizi Buruk

14,3%
14,5%
14,8%
        Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Papua


Dari data tabel di atas menandakan bahwa gizi di wilayah Tanah Papua masih menjadi masalah yang perlu mendapatkan perhatian khusus, terutama dari orang tua. Padahal, orang tua harus mengasuh dan membimbing anak dengan baik. Mereka harus memberikan gizi yang baik dan disertai dengan simulasi pendidikan sesuai tahap perkembangan anak sebelum anak memasuki usia sekolah. Artinya, anak-anak usia 0-4 tahun harus mendapatkan asupan gizi yang baik. Sehingga, ketika mulai masuk sekolah anak-anak mereka mampu mencerna dan menyerap pelajaran-pelajaran dengan baik. Niscaya hasil belajar mereka pun akan baik dan kelak bisa tercipta SDM yang berkualitas yang dapat membangun wilayah Tanah Papua. 

Sebagai gambaran, gizi dalam kehidupan kita pada dasarnya tidak terlepas dari perannya dalam menjaga kebugaran tubuh agar kita tetap fit dan bertenaga. Sebagai unsur penting dalam tubuh, gizi memainkan peran penting dalam kehidupan makhluk hidup. Zat gizi adalah unsur yang terkandung dalam makanan yang memberikan manfaat bagi kesehatan manusia. Setiap jenis makanan memiliki kandungan gizi yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat berupa jenis zat gizi yang terkandung dalam makanan dan jumlah dari masing-masing zat gizi. Karena itu, dapat dikatakan bahwa tidak ada satupun jenis makanan yang lengkap zat gizinya, sehingga untuk memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari kita harus makan beraneka ragam makanan.

Gizi menjadi sumber energi, didapatkan melalui proses metabolisme yang begitu kompleks yang mampu memberikan tenaga bagi manusia untuk beraktivitas. Zat gizi utama yang menjadi sumber energi bagi tubuh adalah Karbohidrat dan Lemak. Sumber karbohidrat bisa didapat dari nasi, jagung, sagu, ubi dan talas. Sementara lemak bisa diperoleh dari daging, susu dan mentega.

Kemudian zat-zat gizi juga ada yang disebut sebagai zat pembangun. Arti kata, zat gizi juga memiliki fungsi sebagai pembentuk sel-sel pada jaringan tubuh manusia. Jika kekurangan mengkonsumsi zat gizi ini maka pertumbuhan dan perkembangan manusia akan terhambat. Selain itu zat gizi ini juga berfungsi untuk menggantikan sel-sel tubuh yang rusak dan mempertahankan fungsi organ tubuh. Zat gizi yang fungsi utamanya sebagai zat pembangun adalah protein yang bisa diperoleh dari ikan, daging, dan telur.

Selain sebagai sumber energi dan zat pembangun, gizi juga merupakan zat pengatur dalam tubuh kita. Proses metabolisme di dalam tubuh perlu pengaturan agar terjadi keseimbangan. Untuk itu diperlukan sejumlah zat gizi buat mengatur berlangsungnya metabolisme di dalam tubuh. Zat gizi yang berperan utama sebagai zat pengatur adalah vitamin dan mineral. Seandainya warga masyarakat di wilayah Tanah Papua mengetahui dan memahami arti penting asupan gizi, serta menjaga kualitas dan kuantitas makanannya, maka sudah pasti mereka akan menjadi SDM yang berkualitas.

Selain gizi, rendahnya kualitas kesehatan di wilayah Tanah Papua juga tidak terlepas dari kelayakan rumah tinggal mereka. Haruslah disadari bahwa rumah --dalam pengertian yang mendalam-- bukan sekadar memiliki makna fisik semata sebagai tempat berlindung dari ganasnya alam. Rumah pun memiliki peran dan fungsi sebagai sarana pembentukan karakter, peningkatan harkat dan martabat manusia. Juga, tempat persemaian budaya, sarana menjaga kesehatan, serta pendidikan dan pembinaan keluarga. Pendek kata, rumah adalah wahana bagi terbentuknya karakter manusia yang beradab dan bermartabat. Pertanyaannya, jika sebagian warga Tanah Papua (termasuk anak-anak) bertempat tinggal di rumah yang alakadarnya, maka bagaimana karakter penerus Tanah Papua di masa depan itu?

Perlu diketahui, pemenuhan kebutuhan papan (dalam hal ini rumah yang layak) merupakan hak dasar yang wajib diterima warga Indonesia dari negara selain pangan dan sandang. Setelah itu, baru kemudian pendidikan, kesehatan dan lain-lainnya. Kalau sandang terpenuhi, maka rakyat Indonesia akan menjadi manusia yang beradab. Kalau pangan terpenuhi, maka rakyat Indonesia akan menjadi manusia yang sehat, tidak kelaparan dan dapat melanjutkan kehidupan. Dan, kalau papan terpenuhi, maka rakyat Indonesia akan menjadi manusia yang sehat, beradab serta bermartabat. Pendidikan dan kesehatan adalah penyempurnanya. Itulah ukuran yang berlaku universal.

Pemenuhan kebutuhan papan memiliki posisi yang sangat stategis. Kalau papan sudah terpenuhi, sesungguhnya, rakyat Indonesia termasuk di dalamnya masyarakat yang tinggal di wilayah Tanah Papua, sudah menjadi manusia seutuhnya sebagaimana yang selama ini sama-sama kita dambakan. Dan, soal pemenuhan kebutuhan papan bagi rakyat Indonesia, the founding father juga telah meletakkan landasan dan dasar-dasar pemikiran. Dalam UUD 1945 pasal 28 ayat 1 misalkan, secara tegas telah dikatakan, “Setiap orang berhak bertempat tinggal serta mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.” Jadi, rumah dapat dimaknai sebagai hak setiap warga negara. Dengan kata lain, setiap warga negara berhak mendiami rumah yang layak dan sehat.

Namun, pada kenyataannya, sekarang ini di wilayah Tanah Papua masih ada terlihat rumah tinggal yang kurang layak dan kurang sehat. Di sana masih terlihat banyak rumah yang dibangun tanpa pernah memikirkan utilitas (perlengkapan) bangunan. Utilitas dalam bangunan kadang menjadi pertimbangan terakhir “bagi bangunan rumah di wilayah Tanah Papua”. Yang mereka  pikirkan adalah “yang penting rumah jadi”. Luas bangunan rumah yang mereka bangun rata-rata amat sempit. Sekadar bisa buat berteduh bersama beberapa anggota keluarga. Konstruksi bangunan juga hanya alakadarnya. Berlantai tanah, bertiang bambu atau kayu-kayu seadanya, dan atap rumah terbuat dari bahan ditemukan di alam sekitarnya seperti dari daun sagu atau aren. Pun tidak memiliki tempat mandi, cuci serta kakus (MCK). Tidak memiliki ventilasi untuk sirkulasi udara. Sumber kebutuhan air diperoleh dari sungai atau tadah hujan (tidak ada penyediaan air bersih). Tidak memiliki penerangan listrik, dapur menyatu dengan ruang tidur, serta bahan bakar yang digunakan berasal dari potongan kayu bakar, arang, atau minyak tanah. Jadi, tempat tinggal mereka memang begitu sempit benar-benar membuat sesak nafas. Selain rumahnya yang sempit, banyak pula di antara warga masyarakat di wilayah Tanah Papua yang tinggal berdesak-desakan dalam satu rumah.

Jadi untuk menciptakan SDM di wilayah Tanah Papua yang berkualitas, tatacara atau kelengkapan pembangunan rumah juga harus benar-benar diperhatikan. Tentu tanpa harus menghilangkan ”jati diri dan identitas” rumah asli orang-orang Tanah Papua yang sangat tradisional.

Setelah masalah pendidikan dan kesehatan di wilayah Tanah Papua teratasi dengan baik, masalah yang tidak kalah penting untuk ditangani adalah masalah ketenaga-kerjaan. Sebab, kini bisa dikatakan kondisi dan potensi ketenaga-kerjaan di wilayah Tanah Papua itu masih sangat rendah. Hal ini terlihat dari minimnya jumlah angkatan kerja, penduduk yang bekerja dan angka pengangguran yang masih sangat tinggi. Sebenarnya permasalahan ketenaga-kerjaan di wilayah Tanah Papua masih saja terjadi lantaran disebabkan masih rendahnya tingkat penyerapan tenaga kerja atau lowongan kerja terbatas sehingga semakin meningkatkan angka pengangguran.

Meningkatnya berbagai persoalan pendidikan, kesehatan dan ketenaga-kerjaan di wilayah Tanah Papua merupakan tanggung jawab bersama. Apalagi setiap kasus-kasus pendidikan, penyakit dan lapangan pekerjaan terus menjadi momok dan ketakutan dalam masyarakat di Wilayah Tanah Papua. Pemerintah daerah harus mengambil langkah-langkah penyelesaian yang komprehensif dan terpadu. ***

No comments:

Post a Comment