Tuesday, March 26, 2013

Berharap Pelaksanaan BPJS yang Tak Diskriminatif


"Walau ada perbedaan besaran iuran jaminan kesehatan."

Ketua bidang Advokasi Serikat Pekerja Nasional, Djoko Heriyono, mencemaskan pelayanan kesehatan yang akan diterima peserta BPJS tak akan setara. Pasalnya, dalam Perpres Jaminan Kesehatan (Jamkes) Djoko melihat terdapat ketentuan yang membedakan fasilitas kesehatan yang didapat oleh tiap kelompok peserta BPJS.

Misalnya, untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan pekerja formal yang mendapat upah setara upah minimum mendapat pelayanan kesehatan di ruang yang fasilitasnya tergolong kelas III. Sedangkan untuk PNS, termasuk TNI/Polri dan pekerja formal yang upahnya dua kali penghasilan tidak kena pajak (PTKP), mendapat fasilitas kesehatan yang lebih baik seperti kelas II dan I.

Belum lagi penetapan peserta PBI yang diatur dalam PP PBI, menurut Djoko bakal berganti-ganti jumlahnya tiap 6 bulan. Begitu pula masalah iuran, untuk Jamkes bakal dibebankan kepada pekerja. Padahal, saat ini iuran tersebut dibayar penuh oleh pemberi kerja karena hal tersebut merupakan hak pekerja. Namun dengan terbitnya UU SJSN dan UU BPJS, hak tersebut akan berubah menjadi kewajiban karena pekerja akan mengiur dalam jumlah presentase tertentu.

Alih-alih membawa perubahan yang lebih baik dalam menyelenggarakan Jaminan Sosial (Jamsos) ataupun Jamkes, Djoko menilai pelaksanaan BPJS mengalami degradasi dari pelaksanaan program serupa sebelumnya seperti Jamsostek. “BPJS mengubah yang tadinya hak (pekerja,-red) menjadi kewajiban,” kata dia dalam diskusi di Jakarta, Senin (25/3/2013).

Pada kesempatan yang sama, Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, membenarkan adanya perbedaan fasilitas kesehatan itu. Tapi dia menegaskan bahwa pelayanan kesehatan yang didapat oleh peserta BPJS harus setara dan tanpa diskriminasi. “Pelayanan medis tidak boleh dibedakan, kalau hanya fasilitas, ya itu wajar,” ucapnya.

Timboel menegaskan, jika pada praktiknya nanti peserta PBI tak tertampung di ruang kelas III di rumah sakit, maka sewaktu membutuhkan pertolongan, maka RS harus mencarikan ruang kosong untuk menampung. Misalnya, untuk sementara menggunakan ke ruang kelas II, setelah ada ruangan kelas III yang kosong, baru kembali dipindah.

Terlepas dari itu Timboel mendesak agar pemerintah serius melaksanakan BPJS. Pasalnya, pelaksanaan BPJS sudah tertunda bertahun-tahun walau Presiden SBY sudah menjalani masa pemerintahan selama dua periode. Soal iuran Jaminan pemeliharaan Kesehatan (JPK) yang selama ini menjadi tanggungan pemberi kerja, Timboel mengatakan hal itu sangat baik.

Namun sistem tersebut, Timboel melanjutkan, akan berjalan baik di bawah pengelolaan BPJS ketimbang PT Jamsostek yang berada di bawah naungan BUMN. Dari pantauannya selama ini, Timboel menilai pengelolaan uang Jamsostek carut-marut, sehingga dana pekerja yang disimpan di PT Jamsostek lewat bermacam program yang diselenggarakan itu rawan dikorupsi.

Dengan sistem yang baik, BPJS akan menyelenggarakan Jamsos secara sistematis, bukan sekedar bantuan sosial belaka seperti yang selama ini dilakukan pemerintah di pusat ataupun daerah. Seperti pelaksanaan program Jamkesmas, Jamkesda dan Jampersal. Melihat persiapan pelaksanaan BPJS yang dilakukan pemerintah, Timboel melihat belum ada keseriusan. Misalnya, dari beberapa peraturan pelaksana yang sudah diterbitkan yaitu PP PBI dan Perpres Jamkes, Timboel menilai masih terdapat kelemahan yang harus dibenahi.

Apalagi, dalam rapat koordinasi BPJS pekan lalu, antar kementerian menyepakati usulan Kemenkeu yang menetapkan jumlah PBI sebanyak 86,4juta orang dengan iuran sebesar Rp15.500/orang/bulan. Mengacu hal itu Timboel melihat pemerintah masih mengutamakan masalah fiskal ketimbang memberi pelayanan Jamsos dan Jamkes terbaik untuk rakyatnya. Selain itu melihat anggaran negara yang ada, Timboel menghitung cukup untuk memberi Jamsos ke lebih dari 100 juta rakyat Indonesia.

Atas dasar itu, Timboel mengatakan serikat pekerja yang mendukung adanya Jamsos untuk seluruh rakyat Indonesia akan mendesak DPR untuk menggunakan hak budget. Sehingga, ketika Presiden SBY membacakan APBN 2013 nanti di DPR yang rencananya dilakukan bulan Agustus, DPR khususnya Komisi IX harus menekankan pada jumlah anggaran untuk pelaksanaan BPJS. Sehingga, jumlah peserta PBI dan iuran dapat diubah sampai pada angka yang layak sesuai kemampuan anggaran negara yang ada.

Sementara anggota Komisi IX DPR dari FPKS, Arif Minardi, mengatakan secara sederhana BPJS akan melaksanakan lima jaminan dasar, salah satunya Jamkes. Peserta BPJS wajib membayar iuran. Untuk masyarakat yang tak mampu, iuran akan ditanggung negara. Saat ini, pemerintah masih dalam tahap persiapan menjalankan BPJS seperti membentuk peraturan pelaksana yang dibutuhkan. Ketika BPJS Kesehatan beroperasi di tahun 2014 nanti, maka bermacam program Jamkes yang ada akan beralih ke BPJS Kesehatan. Misalnya, Jamkesmas dan Jamkesda.

Dari persiapan yang masih diupayakan pemerintah untuk pelaksanaan BPJS Kesehatan, Arif mengatakan khusus untuk tempat tidur di ruang kelas III, baru terdapat 44 ribu tempat tidur. Padahal, banyaknya tempat tidur yang dibutuhkan untuk melayani peserta BPJS diperkirakan lebih dari itu. Menurutnya, hal itu harus dibenahi agar peristiwa buruk yang selama ini kerap terjadi dimana orang miskin yang butuh mendapat pelayanan kesehatan di RS, ditolak dengan alasan ruangan penuh tak terjadi lagi.

Tak ketinggalan, mantan ketua serikat pekerja di PT Dirgantara Indonesia itu mengatakan sewaktu mengambil program Jaminan Pensiun Jamostek yang dimilikinya, Arif mengatakan jumlahnya sedikit, hanya Rp11 juta. Padahal, dia mengaku sudah mengabdi di perusahaan milik negara itu selama 16 tahun dan memperkirakan upah yang diterimanya kala itu jauh lebih besar ketimbang pekerja pada umumnya yang bekerja di pabrik-pabrik. Oleh karenanya Arif cemas dengan besaran jaminan pensiun yang bakal diterima oleh pekerja lain yang menggunakan program Jaminan Pensiun Jamsostek. “Saya saja hanya menerima segitu,” tuturnya.

Atas dasar itu Arif mengatakan harus ada UU yang mengatur khusus tentang hal itu. Oleh karenanya UU SJSN dan UU BPJS dibentuk. Untuk mendukung agar amanat peraturan itu dapat terlaksana dengan lancar, Arif mengingatkan bahwa pemerintah harus merancang dan menerbitkan peraturan pelaksana yang baik.

No comments:

Post a Comment