Oleh Irfan Syauqi Beik
Ketua Prodi Ekonomi Syariah FEM IPB dan
Sekretaris Eksekutif Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah (CIBEST) IPB
Tahun 2013 yang
baru saja kita masuki harus dijadikan momentum untuk memperkuat peran ekonomi
syariah dalam pembangunan ekonomi bangsa. Bahkan lebih dari itu, orientasi
penguatan peran ini harus dipandang sebagai bagian dari kerangka membangun
peradaban Islam masa depan. Karena itu, ada empat pilar yang harus diwujudkan
dalam membangun peradaban berbasis ekonomi syariah ini, yaitu pilar
kesejahteraan, kemandirian ekonomi, kedaulatan ekonomi, dan tata kelola
perekonomian.
Pilar
Kesejahteraan
Terkait pilar
kesejahteraan, maka definisi tentang konsep kesejahteraan ini sangat kompleks.
Namun demikian, jika merujuk pada QS Quraisy : 1-4, paling tidak ada 4
indikator utama dari pilar kesejahteraan ini. Yaitu, sistem nilai Islami,
kekuatan ekonomi di sektor riil (industri dan perdagangan), pemenuhan kebutuhan
dasar dan sistem distribusi, serta keamanan dan ketertiban sosial.
Basis dari
kesejahteraan adalah ketika nilai ajaran Islam menjadi panglima dalam kehidupan
perekonomian suatu bangsa. Kesejahteraan sejati tidak akan pernah bisa diraih
melalui penentangan terhadap aturan Allah SWT. Penentangan ini justru menjadi
sumber penyebab hilangnya kesejahteraan dan keberkahan hidup manusia (QS Thaha
: 124). Kesejahteraan pun tidak akan mungkin diraih ketika kegiatan ekonomi di
sektor riil tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sektor riil inilah yang
menyerap angkatan kerja paling banyak dan menjadi inti dari ekonomi syariah.
Bahkan keuangan syariah pun didesain untuk memperkuat sektor riil.
Selanjutnya,
syarat kesejahteraan adalah apabila kebutuhan dasar masyarakat dapat terpenuhi.
Dengan kata lain, sistem distribusi ekonomi memegang peranan yang sangat
penting. Islam mengajarkan bahwa sistem distribusi yang baik adalah sistem
distribusi yang mampu menjamin rendahnya angka kemiskinan dan kesenjangan,
serta menjamin bahwa perputaran roda perekonomian bisa dinikmati semua lapisan
masyarakat tanpa kecuali (QS Al-Hasyr : 7).
Demikian pula
dengan aspek keamanan dan ketertiban sosial, dimana kesejahteraan tidak akan
dapat diwujudkan, apabila rasa aman ini hilang dari kehidupan masyarakat,
akibat konflik horizontal yang destruktif.
Kemandirian
Ekonomi
Pilar yang
kedua adalah kemandirian ekonomi. Tidak dapat dipungkiri bahwa kekuatan ekonomi
suatu bangsa dan peradaban sangat dipengaruhi oleh kemandirian ekonomi
masyarakatnya. Terkait dengan hal ini, ada 3 indikator utama kemandirian
ekonomi yang harus diwujudkan, yaitu optimalisasi potensi lokal, kualitas SDM,
dan budaya bisnis syariah.
Pada
optimalisasi potensi lokal, yang menjadi parameternya adalah sejauh mana suatu
bangsa mampu menggali, mengelaborasi dan mengoptimalkan potensi lokal yang
dimiliki. Jangan terlalu bergantung pada produk yang dihasilkan oleh bangsa
lain. Sebagai contoh, jika kita lebih memilih mengimpor buah dibandingkan
dengan memproduksinya secara lokal, dengan alasan lebih mudah dan lebih murah,
maka bisa dipastikan bahwa kemandirian ekonomi kita akan terganggu.
Sedangkan pada
indikator kualitas SDM, peran institusi pendidikan menjadi sangat penting.
Tingginya kebutuhan akan SDM berkualitas harus bisa diatasi melalui sistem
pendidikan yang terencana dengan baik, dan bukan hanya melalui training yang
sifatnya jangka pendek. Demikian pula dengan urgensi mengembangkan budaya
bisnis yang sesuai syariah. Dalam konteks ini, ajaran Islam sangat kaya dengan
prinsip budaya bisnis syariah. Sebagai contoh, sabda Rasulullah SAW :
Sesungguhnya sebaik-baik penghasilan ialah penghasilan para pedagang yang mana
apabila berbicara tidak bohong, apabila diberi amanah tidak khianat, apabila
berjanji tidak mengingkarinya, apabila membeli tidak mencela, apabila menjual
tidak berlebihan (dalam menaikkan harga), apabila berhutang tidak menunda-nunda
pelunasan dan apabila menagih hutang tidak memperberat orang yang sedang
kesulitan (HR Baehaqi).
Hadits ini
memberi panduan bagaimana budaya bisnis yang harus dikembangkan, baik terkait
dengan karakter pribadi yang harus dimiliki (jujur, amanah dan tepat janji),
proses negosiasi bisnis yang tepat (membeli tidak mencela, menjual tidak
berlebih-lebihan), dan tentang utang, yaitu bagaimana prinsip berutang dan
prinsip menagih hutang.
Kedaulatan dan
Tata Kelola Perekonomian
Selanjutnya
pilar yang ketiga adalah kedaulatan ekonomi. Untuk menegakkan kedaulatan
ekonomi ini, maka faktor yang paling mendasar adalah kebijakan ekonomi yang
berbasis pada konsep maslahah, yang mengacu pada dua pondasi dasar, yaitu
kemanfaatan dan keberkahan. Namun yang menjadi catatan adalah, tidak semua yang
bermanfaat akan memberikan keberkahan. Akan tetapi, semua yang berkah pasti
bermanfaat.
Agar kebijakan
ekonomi yang dihasilkan dapat memberikan kemaslahatan, maka ada dua syarat yang
harus dipenuhi. Pertama, kebijakan tersebut harus sesuai dengan maqashid
syariah, atau tujuan syariat Islam, yaitu proteksi agama, jiwa, harta,
keturunan dan akal. Kedua, titik berangkat kebijakan tersebut harus didasarkan
pada simpul terlemah masyarakat.
Menarik sekali
apabila kita merujuk pada pernyataan Khalifah Umar bin Khattab ra. Beliau
mengatakan bahwa kelompok orang yang dianggap kuat di mata rakyatnya, beliau
anggap sebagai kelompok orang yang lemah. Sebaliknya, setiap orang yang
dianggap lemah oleh masyarakat, justru di mata beliau sangat kuat dan powerful,
sehingga Umar tunduk pada mereka. Contohnya adalah kelompok dhuafa, yang sering
dianggap lemah oleh masyarakat. Karena itu, jika suatu kebijakan berangkat dari
simpul terlemah masyarakat, maka bisa dipastikan bahwa kebijakan tersebut
adalah kebijakan yang adil.
Sedangkan pilar
yang keempat adalah tata kelola perekonomian, dimana ia tidak bisa dipisahkan
dari tiga indikator utamanya, yaitu transparansi, profesionalitas, dan
akuntabilitas. Transparansi merupakan hal yang sangat mendasar. Ia merupakan
instrumen yang menjamin keterbukaan dan akses informasi kepada publik, sehingga
publik dapat memberikan masukan dan saran bagi perbaikan kinerja perekonomian.
Adapun
profesionalitas, ia merupakan prinsip dasar yang akan menjamin bekerjanya mesin
perekonomian, serta menentukan kualitas output yang dihasilkannya. Ajaran Islam
telah memerintahkan umat ini untuk senantiasa profesional (itqan), sehingga
segala potensi dan sumberdaya yang dimiliki dapat dioptimalkan.
Sementara
akuntabilitas atau pertanggungjawaban (amanah dan masuliyyah), merupakan
variabel strategis yang memiliki dua unsur utama, yaitu unsur administratif dan
etika. Pertanggungjawaban administratif merupakan instrumen yang akan menjamin
setiap rupiah yang dikeluarkan akan selaras dengan tujuan pembangunan ekonomi
syariah tanpa terkontaminasi oleh korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
Sedangkan pertanggungjawaban etika merupakan instrumen yang menjamin sisi
kepatutan dan kewajaran suatu aktivitas perekonomian. Segala sesuatu yang dapat
dipertanggungjawabkan secara administratif, belum tentu dapat
dipertanggungjawabkan secara etika.
Sebagai contoh,
penetapan marjin profit dalam akad murabahah (jual beli) pada praktek perbankan
syariah harus didokumentasikan dengan baik, dan harus tertuang dalam naskah
kesepakatan yang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Ini adalah bentuk
pertanggungjawaban administratif. Namun jika ternyata marjin profit tersebut
nilainya 300 persen, maka secara etika, tidak bisa dipertanggungjawabkan. Pertanggungjawaban
etika memberi rambu-rambu yang dapat menghindarkan kita dari eksploitasi
sumberdaya ekonomi secara tidak wajar. Wallahu a’lam.
Catatan :
artikel ini telah dimuat di Majalah SHARING edisi Januari 2013
No comments:
Post a Comment