Thursday, March 7, 2013

Empat Pilar Peradaban Ekonomi Syariah



Oleh Irfan Syauqi Beik
Ketua Prodi Ekonomi Syariah FEM IPB dan Sekretaris Eksekutif Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah (CIBEST) IPB

Tahun 2013 yang baru saja kita masuki harus dijadikan momentum untuk memperkuat peran ekonomi syariah dalam pembangunan ekonomi bangsa. Bahkan lebih dari itu, orientasi penguatan peran ini harus dipandang sebagai bagian dari kerangka membangun peradaban Islam masa depan. Karena itu, ada empat pilar yang harus diwujudkan dalam membangun peradaban berbasis ekonomi syariah ini, yaitu pilar kesejahteraan, kemandirian ekonomi, kedaulatan ekonomi, dan tata kelola perekonomian.

Pilar Kesejahteraan

Terkait pilar kesejahteraan, maka definisi tentang konsep kesejahteraan ini sangat kompleks. Namun demikian, jika merujuk pada QS Quraisy : 1-4, paling tidak ada 4 indikator utama dari pilar kesejahteraan ini. Yaitu, sistem nilai Islami, kekuatan ekonomi di sektor riil (industri dan perdagangan), pemenuhan kebutuhan dasar dan sistem distribusi, serta keamanan dan ketertiban sosial.

Basis dari kesejahteraan adalah ketika nilai ajaran Islam menjadi panglima dalam kehidupan perekonomian suatu bangsa. Kesejahteraan sejati tidak akan pernah bisa diraih melalui penentangan terhadap aturan Allah SWT. Penentangan ini justru menjadi sumber penyebab hilangnya kesejahteraan dan keberkahan hidup manusia (QS Thaha : 124). Kesejahteraan pun tidak akan mungkin diraih ketika kegiatan ekonomi di sektor riil tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sektor riil inilah yang menyerap angkatan kerja paling banyak dan menjadi inti dari ekonomi syariah. Bahkan keuangan syariah pun didesain untuk memperkuat sektor riil.

Selanjutnya, syarat kesejahteraan adalah apabila kebutuhan dasar masyarakat dapat terpenuhi. Dengan kata lain, sistem distribusi ekonomi memegang peranan yang sangat penting. Islam mengajarkan bahwa sistem distribusi yang baik adalah sistem distribusi yang mampu menjamin rendahnya angka kemiskinan dan kesenjangan, serta menjamin bahwa perputaran roda perekonomian bisa dinikmati semua lapisan masyarakat tanpa kecuali (QS Al-Hasyr : 7).

Demikian pula dengan aspek keamanan dan ketertiban sosial, dimana kesejahteraan tidak akan dapat diwujudkan, apabila rasa aman ini hilang dari kehidupan masyarakat, akibat konflik horizontal yang destruktif.

Kemandirian Ekonomi

Pilar yang kedua adalah kemandirian ekonomi. Tidak dapat dipungkiri bahwa kekuatan ekonomi suatu bangsa dan peradaban sangat dipengaruhi oleh kemandirian ekonomi masyarakatnya. Terkait dengan hal ini, ada 3 indikator utama kemandirian ekonomi yang harus diwujudkan, yaitu optimalisasi potensi lokal, kualitas SDM, dan budaya bisnis syariah.

Pada optimalisasi potensi lokal, yang menjadi parameternya adalah sejauh mana suatu bangsa mampu menggali, mengelaborasi dan mengoptimalkan potensi lokal yang dimiliki. Jangan terlalu bergantung pada produk yang dihasilkan oleh bangsa lain. Sebagai contoh, jika kita lebih memilih mengimpor buah dibandingkan dengan memproduksinya secara lokal, dengan alasan lebih mudah dan lebih murah, maka bisa dipastikan bahwa kemandirian ekonomi kita akan terganggu.

Sedangkan pada indikator kualitas SDM, peran institusi pendidikan menjadi sangat penting. Tingginya kebutuhan akan SDM berkualitas harus bisa diatasi melalui sistem pendidikan yang terencana dengan baik, dan bukan hanya melalui training yang sifatnya jangka pendek. Demikian pula dengan urgensi mengembangkan budaya bisnis yang sesuai syariah. Dalam konteks ini, ajaran Islam sangat kaya dengan prinsip budaya bisnis syariah. Sebagai contoh, sabda Rasulullah SAW : Sesungguhnya sebaik-baik penghasilan ialah penghasilan para pedagang yang mana apabila berbicara tidak bohong, apabila diberi amanah tidak khianat, apabila berjanji tidak mengingkarinya, apabila membeli tidak mencela, apabila menjual tidak berlebihan (dalam menaikkan harga), apabila berhutang tidak menunda-nunda pelunasan dan apabila menagih hutang tidak memperberat orang yang sedang kesulitan (HR Baehaqi).

Hadits ini memberi panduan bagaimana budaya bisnis yang harus dikembangkan, baik terkait dengan karakter pribadi yang harus dimiliki (jujur, amanah dan tepat janji), proses negosiasi bisnis yang tepat (membeli tidak mencela, menjual tidak berlebih-lebihan), dan tentang utang, yaitu bagaimana prinsip berutang dan prinsip menagih hutang.

Kedaulatan dan Tata Kelola Perekonomian

Selanjutnya pilar yang ketiga adalah kedaulatan ekonomi. Untuk menegakkan kedaulatan ekonomi ini, maka faktor yang paling mendasar adalah kebijakan ekonomi yang berbasis pada konsep maslahah, yang mengacu pada dua pondasi dasar, yaitu kemanfaatan dan keberkahan. Namun yang menjadi catatan adalah, tidak semua yang bermanfaat akan memberikan keberkahan. Akan tetapi, semua yang berkah pasti bermanfaat.

Agar kebijakan ekonomi yang dihasilkan dapat memberikan kemaslahatan, maka ada dua syarat yang harus dipenuhi. Pertama, kebijakan tersebut harus sesuai dengan maqashid syariah, atau tujuan syariat Islam, yaitu proteksi agama, jiwa, harta, keturunan dan akal. Kedua, titik berangkat kebijakan tersebut harus didasarkan pada simpul terlemah masyarakat.

Menarik sekali apabila kita merujuk pada pernyataan Khalifah Umar bin Khattab ra. Beliau mengatakan bahwa kelompok orang yang dianggap kuat di mata rakyatnya, beliau anggap sebagai kelompok orang yang lemah. Sebaliknya, setiap orang yang dianggap lemah oleh masyarakat, justru di mata beliau sangat kuat dan powerful, sehingga Umar tunduk pada mereka. Contohnya adalah kelompok dhuafa, yang sering dianggap lemah oleh masyarakat. Karena itu, jika suatu kebijakan berangkat dari simpul terlemah masyarakat, maka bisa dipastikan bahwa kebijakan tersebut adalah kebijakan yang adil.

Sedangkan pilar yang keempat adalah tata kelola perekonomian, dimana ia tidak bisa dipisahkan dari tiga indikator utamanya, yaitu transparansi, profesionalitas, dan akuntabilitas. Transparansi merupakan hal yang sangat mendasar. Ia merupakan instrumen yang menjamin keterbukaan dan akses informasi kepada publik, sehingga publik dapat memberikan masukan dan saran bagi perbaikan kinerja perekonomian.

Adapun profesionalitas, ia merupakan prinsip dasar yang akan menjamin bekerjanya mesin perekonomian, serta menentukan kualitas output yang dihasilkannya. Ajaran Islam telah memerintahkan umat ini untuk senantiasa profesional (itqan), sehingga segala potensi dan sumberdaya yang dimiliki dapat dioptimalkan.

Sementara akuntabilitas atau pertanggungjawaban (amanah dan masuliyyah), merupakan variabel strategis yang memiliki dua unsur utama, yaitu unsur administratif dan etika. Pertanggungjawaban administratif merupakan instrumen yang akan menjamin setiap rupiah yang dikeluarkan akan selaras dengan tujuan pembangunan ekonomi syariah tanpa terkontaminasi oleh korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Sedangkan pertanggungjawaban etika merupakan instrumen yang menjamin sisi kepatutan dan kewajaran suatu aktivitas perekonomian. Segala sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan secara administratif, belum tentu dapat dipertanggungjawabkan secara etika.

Sebagai contoh, penetapan marjin profit dalam akad murabahah (jual beli) pada praktek perbankan syariah harus didokumentasikan dengan baik, dan harus tertuang dalam naskah kesepakatan yang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Ini adalah bentuk pertanggungjawaban administratif. Namun jika ternyata marjin profit tersebut nilainya 300 persen, maka secara etika, tidak bisa dipertanggungjawabkan. Pertanggungjawaban etika memberi rambu-rambu yang dapat menghindarkan kita dari eksploitasi sumberdaya ekonomi secara tidak wajar. Wallahu a’lam.

Catatan : artikel ini telah dimuat di Majalah SHARING edisi Januari 2013

No comments:

Post a Comment