Kita
barangkali sepakat bahwa betapapun berbakatnya seseorang, betapa unggulnya
sebuah produk, atau betapa kuatnya sebuah kasus hukum, kesuksesan atau
keberhasilan tidak akan pernah diperoleh tanpa penguasaan keterampilan
komunikasi yang efektif. Apakah Anda sedang mempersiapkan presentasi, negosiasi
bisnis, melatih tim bola basket, membangun sebuah teamwork, bahkan menghadapi ujian akhir gelar kesarjanaan, maka
efektivitas komunikasi akan menentukan kesuksesan Anda dalam kegiatan-kegiatan
tersebut. Kemampuan Anda dalam menyampaikan pesan atau informasi secara baik,
kemampuan menjadi pendengar yang baik, kemampuan atau keterampilan menggunakan
berbagai media atau alat audio-visual merupakan bagian penting dalam
melaksanakan komunikasi yang efektif.
Menurut
Thomas Leech dalam bukunya Say it like
Shakepeare, terdapat lima komponen atau unsur penting dalam komunikasi yang
harus kita perhatikan, yaitu: (1) Pengirim pesan (sender), (2) Pesan yang dikirimkan (message), (3) Bagaimana pesan tersebut dikirimkan (delivery channel atau media), (4)
Penerima pesan (receiver), (5) Umpan
balik (feedback). Leech menambahkan,
bahwa untuk membangun komunikasi yang efektif, setidaknya kita harus menguasai
empat keterampilan dasar dalam komunikasi, yaitu membaca-menulis (bahasa
tulisan) dan mendengar-berbicara (bahasa lisan). Begitu pentingmya, banyak
orang menghabiskan waktunya untuk melakukan, paling tidak, salah satu dari keempat
keterampilan itu.
Penulis
lain, seperti Stephen Covey, bahkan mengatakan bahwa komunikasi merupakan
keterampilan yang paling penting dalam kehidupan kita. Dia mengibaratkan
komunikasi itu layaknya bernafas yang sudah secara otomatis kita lakukan setiap
hari. Akibatnya, kita tidak memiliki kesadaran untuk melakukan komunikasi itu secara
efektif: bagaimana membaca dan menulis efektif, dan bagaimana mendengar dan
berbicara secara efektif. Kita terkadang lebih banyak berbicara daripada
mendengar. Padahal, mulut kita hanya satu dan telinga kita ada dua yang berarti
kita harus lebih banyak mendengar daripada berbicara.
Stephen
Covey menekankan konsep kesaling-tergantungan (interdependency) untuk menjelaskan hubungan antar-manusia. Unsur
yang paling penting dalam komunikasi bukan sekadar pada apa yang kita tulis
atau kita katakan, tetapi lebih pada karakter kita dan bagaimana kita
menyampaikan pesan kepada penerima pesan. Jika kata-kata ataupun tulisan kita
dibangun dari teknik hubungan manusia yang dangkal (etika kepribadian), bukan
dari diri kita yang paling dalam (etika karakter), maka orang lain akan melihat
atau membaca sikap kita. Jadi syarat utama dalam komunikasi efektif adalah
karakter yang kokoh yang dibangun dari pondasi integritas pribadi yang kuat.
Selain
kita sebagai penyampai pesan (komunikator), poin penting dalam komunikasi yang
efektif ialah respon dari komunikan. Ketika komunikan memahami pesan yang
disampaikan, responnya pun akan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh sang
komunikator.
Tidak
selamanya komunikator dan komunikan dapat berkomunikasi secara efektif. Bahkan,
tidak jarang terjadi miskomunikasi antara keduanya. Ada banyak faktor mengapa
komunikasi kerap tidak berjalan efektif, di antaranya berikut:
·
Hambatan
dari Proses Komunikasi.
Hambatan
dari pengirim pesan, misalkan pesan yang akan disampaikan belum jelas bagi
dirinya atau pengirim pesan. Hal ini dipengaruhi oleh perasaan atau situasi
emosional.
Termasuk
dalam hambatan proses komunikasi adalah hambatan dalam penyandian/simbol. Hal
ini dapat terjadi lantaran bahasa dan sandi yang dipergunakan tidak jelas
sehingga mempunyai arti lebih dari satu, simbol yang dipergunakan antara si
pengirim dan penerima tidak sama atau bahasa yang dipergunakan terlalu sulit.
Proses
komunikasi kadang terhambat karena media, adalah hambatan yang terjadi dalam
penggunaan media komunikasi, misalnya gangguan suara radio dan aliran listrik
sehingga tidak dapat mendengarkan pesan.
Hambatan
juga datang dari penerima pesan. Sekadar contoh, kurangnya perhatian pada saat
menerima/mendengarkan pesan, sikap prasangka, tanggapan yang keliru dan tidak
mencari informasi lebih lanjut.
Masih
hambatan dari penerima pesan, adalah hambatan dalam memberikan umpan balik (feedback). Umpan balik yang diberikan tidak menggambarkan apa
adanya akan tetapi memberikan interpretasi, tidak tepat waktu, tidak jelas, dan
sebagainya.
Tidaklah
mudah untuk melakukan komunikasi secara efektif. Bahkan, beberapa ahli
komunikasi menyatakan bahwa tidaklah mungkin seseorang melakukan komunikasi
yang sebenar-benarnya efektif. Ada banyak hambatan atau gangguan yang bisa
merusak komunikasi. Berikut ini adalah beberapa hal yang merupakan hambatan atau
gangguan komunikasi yang harus menjadi perhatian bagi komunikator kalau ingin
komunikasinya berjalan sukses.
·
Gangguan
Ada
dua jenis gangguan terhadap jalannya komunikasi yang menurut sifatnya dapat
diklasifikasikan sebagai gangguan mekanik dan gangguan semantik.
Gangguan
mekanik (mechanical channel noise). Yang
dimaksudkan dengan gangguan mekanik ialah gangguan yang disebabkan oleh saluran
komunikasi atau kegaduhan yang bersifat fisik. Sekadar contoh, gangguan suara
ganda (interferensi) pada pesawat radio disebabkan dua pemancar yang
berdempetan gelombangnya; gambar meliuk-liuk atau berubah-ubah pada layar
televisi; atau huruf yang tidak jelas, jalur huruf yang hilang atau terbalik,
atau halaman yang sobek pada surat kabar.
Termasuk
gangguan mekanik pula adalah bunyi mengaung pada pengeras suara, riuh hadirin dan
bunyi kendaraan lewat ketika seseorang berpidato dalam suatu pertemuan.
Gangguan
semantik (semantic noise). Semantik
adalah pengetahuan mengenai pengertian kata-kata yang sebenarnya atau perubahan
pengertian kata-kata. Lambang kata yang sama mempunyai pengertian yang berbeda
untuk orang-orang yang berlainan. Ini disebabkan dua jenis pengertian mengenai
kata-kata: ada yang mempunyai pengertian denotatif dan ada yang mempunyai
pengertian konotatif.
Pengertian
denotatif (denotative meaning) adalah
pengertian suatu perkataan yang lazim terdapat dalam kamus yang secara umum
diterima oleh orang-orang dengan bahasa dan kebudayaan yang sama. Sedangkan pengertian
konotatif (conotative meaning) ialah
pengertian yang bersifat emosional latar belakang dan pengalaman seseorang.
Sebagai
contoh, secara denotatif semua orang akan setuju, bahwa anjing adalah binatang
berbulu dan berkaki empat. Secara konotatif, banyak orang yang menganggap
anjing sebagai binatang piaraan yang setia, bersahabat dan panjang ingatan.
Tetapi untuk orang-orang lainnya, perkataan anjing mengkonotasikan binatang
yang menakutkan dan berbahaya.
Jadi
gangguan semantik bersangkutan dengan pesan komunikasi yang kadang pengertiannya
menjadi rusak. Gangguan semantik tersaring ke dalam pesan melalui penggunaan
bahasa. Kekacauan mengenai pengertian suatu istilah atau konsep yang terdapat
pada komunikator akan lebih banyak menyebabkan gangguan semantik dalam
pesannya. Gangguan semantik terjadi dalam salah pengertian.
Pada
hakikatnya orang-orang yang terlibat dalam komunikasi menginterpretasikan
bahasa yang menyalurkan suatu pesan dengan berbagai cara. Karena itu, mereka
mempunyai pengertian yang berbeda pula. Seorang komunikan mungkin menerima
suatu pesan dengan jelas sekali, baik secara mekanik maupun secara fonetik --secara
fisik berlaku dengan keras dan jelas-- tetapi disebabkan kesukaran pengertian
(gangguan semantik) komunikasi menjadi gagal.
·
Kepentingan
Interest
atau kepentingan akan membuat seseorang selektif dalam menanggapi atau
menghayati suatu pesan. Orang akan hanya memperhatikan perangsang yang berhubungan
dengan kepentingannya. Apabila kita tersesat dalam hutan dan beberapa hari tidak
menemui makanan sedikitpun, maka kita akan lebih memperhatikan
perangsang-perangsang yang mungkin dapat dimakan daripada yang lain-lainya.
Andaikata dalam situasi demikian kita dihadapkan pada pilihan antara makanan
dan sekantong berlian, maka pastilah kita akan memilih makanan. Berlian barulah
akan diperhatikan kemudian. Kepentingan bukan hanya mempengaruhi perhatian kita
tetapi juga menentukan daya tanggap, pikiran dan tingkah laku kita akan
merupakan sifat reaktif terhadap segala perangsang yang tidak bersesuaian atau
bertentangan dengan suatu kepentingan.
Setiap
peraturan yang dikeluarkan, apakah itu mengenai perburuhan, perkawinan,
kurikulum baru, dan sebagainya, ada saja yang merasa dirugikan. Pihak yang
berkepentingan biasanya tidak mengajukan tanggapan dengan alasan yang sungguh-sungguh,
namun seringkali mengetengahkan argumentasi dan alasan tersembunyi (disguised argumentation and reasons).
·
Motivasi
Terpendam
Motivation
atau motivasi akan mendorong seseorang berbuat sesuatu yang sesuai benar dengan
keinginan, kebutuhan dan kekurangannya.
Keinginan,
kebutuhan dan kekurangan seseorang berbeda dengan orang lainnya, dari waktu ke
waktu dan dari tempat ke tempat, sehingga karenanya motivasi itu berbeda dalam
intensitasnya. Demikianlah pula intensitas tanggapan seseorang terhadap suatu
komunikasi.
Semakin
sesuai komunikasi dengan motivasi seseorang maka bertambah besar kemungkinan
komunikasi itu dapat diterima dengan baik oleh pihak yang bersangkutan.
Sebaliknya, komunikan akan mengabaikan suatu komunikasi yang tak sesuai dengan
motivasinya. Dalam pada itu seringkali pula terjadi seorang komunikator tertipu
oleh tanggapan komunikan yang seolah-olah tampaknya khusu’ (attentive) menanggapinya, sungguhpun
pesan komunikasi tidak bersesuaian dengan motivasinya. Tanggapan semu dari
komunikan itu tentu mempunyai motivasi terpendam. Mungkin sekali seorang
pegawai seolah-olah menanggapi komunikasi dari atasannya secara attentive, kendati pun ada yang tidak
disetujuinya. Hal itu dilakukannya mungkin sekali lantaran si pegawai
berkeinginan naik pangkat dan ingin menyenangkan hati atasannya.
·
Prasangka
Prejudice
atau prasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan berat bagi suatu
kegiatan komunikasi. Karena, orang yang mempunyai prasangka belum apa-apa sudah
bersikap curiga dan menentang komunikator yang hendak melancarkan komunikasi.
Dalam prasangka, emosi memaksa kita untuk menarik kesimpulan atas dasar
syakwasangka tanpa menggunakan pikiran yang rasional. Emosi seringkali
membutakan pikiran dan pandangan kita terhadap fakta yang nyata bagaimanapun. Oleh
karena, sekali prasangka itu sudah menghunjam, maka seseorang tidak akan dapat
berpikir secara obyektif dan segala apa yang dilihatnya selalu akan dinilai secara
negatif. Sesuatu yang obyektif pun akan dinilai negatif. Prasangka bukan saja
dapat terjadi terhadap suatu ras, seperti sering kita dengar, melainkan juga
terhadap agama, pendirian politik dan kelompok. Pendek kata, suatu perangsang
yang dalam pengalaman pernah memberi kesan yang tidak enak.
Contoh,
seorang politikus yang di suatu tempat mengemukakan suatu analisis yang
ternyata meleset, akan ditanggapi dengan penuh prasangka apabila ia kembali
berpidato di tempat tersebut. Contoh lainnya dari sebuah eksperimen. Dua
kelompok sekolah dilatih untuk suatu pertunjukan. Kelompok pertama terdiri dari
anak-anak orang kaya, sedangkan kelompok kedua dari anak-anak buruh rendahan.
Kelompok kedua dilatih sedemikian rupa sehingga tidak ada kesalahan. Sementara kelompok
pertama disengaja untuk membuat kesalahan. Setelah pertunjukan selesai, para
penonton diminta menilai kelompok mana yang membuat kesalahan. Kebanyakan
menjawab bahwa anak-anak buruh rendahan yang berbuat kesalahan paling banyak.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam menilai sesuatu pun berlaku rasa simpati dan
tidak simpati, like and dislike,
terdapat prasangka bahwa anak-anak orang kaya tak dapat berbuat lebih banyak
kesalahan daripada anak buruh rendahan.
Faktor
kepentingan dan prasangka merupakan hambatan yang paling berat. Sebab, usaha
yang paling sukar bagi seorang komunikator ialah mengadakan komunikasi dengan
orang-orang yang jelas tidak menyenangi komunikator, atau menyajikan pesan
komunikasi yang berlawanan dengan fakta atau isinya yang mengganggu suatu
kepentingan.
Apabila
seseorang dikonfrontasikan dengan suatu bentuk komunikasi yang tidak disukainya
karena mengganggu kedudukan atau kepentingannya, maka orang tersebut biasanya
mencemooh komunikasi tersebut atau mungkin pula mengelakkan dan secara acuh tak
acuh mendiskreditkan pesan komunikasi sebagai hal yang sulit dimengerti.
Gejala
mencemooh dan mengelakkan suatu komunikasi untuk kemudian mendiskreditkan atau
menyesatkan pesan komunikasi dinamakan evasion
of communication. E. Cooper dan M. Johada mengemukakan beberapa jenis
evasi:
*
Menyesatkan pengertian (understanding
derailed). Ini merupakan kebiasaan orang untuk menyesatkan pengertian dari
suatu pesan komunikasi. Jika seorang kepala bagian dari suatu jawatan atau
perusahaan menyerukan kepada seorang pegawainya untuk bekerja lebih giat dengan
jalan masuk kantor dan pulang pada waktu yang telah ditetapkan, maka
komunikasinya itu mungkin dianggap sebagai usaha untuk mencari muka atau ambisi
dalam mengejar kedudukan. Segala sesuatu diberi interpretasi sesuai dengan
selera perasaannya.
*
Mencacatkan pesan komunikasi (message
made invalid). Sebagai contoh, apabila A adalah seorang yang tidak
disenangi B, dan B mengatakan kepada C, bahwa A ditegur oleh bapak kepala, maka
C mungkin mengatakan kepada D, bahwa A dimarahi oleh bapak kepala. D yang juga
tidak menyenangi A mungkin meneruskan pesan komunikasinya kepada E, bahwa A diskors.
E yang juga tidak senang akan A, mungkin pula bercerita lagi, bahwa A
diberhentikan dari pekerjaannya.
*
Mengubah kerangka referensi (Changing
frame of reference). Kebiasaan mengubah kerangka referensi menunjukkan
seseorang menanggapi komunikasi dengan diukur oleh kerangka referensi sendiri. Bila
ia meneruskan pesan komunikasi itu maka ia memberi warna kepada pesan
komunikasi itu menurut kerangka referensinya sendiri. Seorang agamawan dan
seorang nasionalis akan melihat Pancasila dari sudut frame of reference-nya masing-masing.
Setelah
memahami faktor apa saja yang dapat menghambat, perlu pula kita memperhatikan faktor
penunjang komunikasi yang efektif. Pakar komunikasi Wilbur Schramm mengungkapkan
apa yang ia sebut "the condition of
success in communication", yakni kondisi yang harus dipenuhi jika kita
menginginkan agar suatu pesan mampu membangkitkan tanggapan yang kita
kehendaki. Kondisi-kondisi tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut:
*
Pesan harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa, sehingga dapat menarik
perhatian komunikan.
*
Pesan harus menggunakan lambang-lambang tertuju kepada pengalaman yang sama
antara komunikator dan komunikan, dengan harapan sama-sama mengerti.
*
Pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi komunikan dan menyarankan beberapa
cara untuk memperoleh kebutuhan tersebut.
*
Pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan tadi yang layak
bagi situasi kelompok di mana komunikan berada pada saat ia digerakkan untuk
memberikan tanggapan yang dikehendaki.
Melihat
kondisi-kondisi pendukung model Wilbur Schramm, agar komunikasi berjalan
efektif, seorang komunikator harus memulai dengan meneliti sedalam-dalamnya
tujuan komunikan dan mengapa "know
your audience" merupakan ketentuan utama dalam komunikasi. Seorang
komunikator mesti mengetahui: timing
yang tepat untuk suatu pesan, bahasa yang harus dipergunakan agar pesan dapat
dimengerti, sikap dan nilai yang harus ditampilkan agar efektif, dan jenis
kelompok di mana komunikasi akan dilaksanakan.
Dari
sisi komponen komunikan, seseorang dapat dan akan menerima sebuah pesan hanya
kalau terdapat empat kondisi berikut ini secara simultan: pertama, ia dapat dan benar-benar mengerti pesan komunikasi. Kedua, pada saat ia mengambil keputusan,
ia sadar bahwa keputusannya itu sesuai dengan tujuannya. Ketiga, pada saat ia mengambil keputusan, ia sadar bahwa
keputusannya itu bersangkutan dengan kepentingan pribadinya. Dan keempat, ia mampu untuk menepatinya baik
secara mental maupun secara fisik.
Masih
dari sisi komponen komunikan, Chester I. Barnard dalam bukunya "Effective Public Relations"
mengemukakan fakta-fakta fundamental yang perlu diingat oleh komunikator,
antara lain:
*
Bahwa komunikan terdiri dari orang-orang yang hidup, bekerja, dan bermain satu
sama lain dalam jaringan lembaga sosial. Karena itu, setiap orang adalah subyek
bagi berbagai pengaruh, di antaranya adalah pengaruh dari komunikator.
*
Bahwa komunikan membaca, mendengarkan, dan menonton proses komunikasi yang
menyajikan pandangan hubungan pribadi yang mendalam.
*
Bahwa tanggapan yang diinginkan komunikator dari komunikan harus menguntungkan
bagi komunikan; kalau tidak, maka ia tidak akan memberikan tanggapan.
Kemudian
dari sisi komunikator, untuk melaksanakan komunikasi yang efektif, terdapat dua
faktor penting pada diri komunikator, yakni kepercayaan kepada komunikator (source credibilily) dan daya tarik
komunikator (source attractiveness).
Kedua hal ini dilihat dari sudut pandang posisi komunikan yang akan menerima
pesan:
*
Hasrat seseorang untuk memperoleh suatu pernyataan yang benar. Jadi komunikator
mendapat kualitas komunikasinya sesuai dengan kualitas sampai di mana ia
memperoleh kepercayaan dari komunikan berkat apa yang dinyatakannya.
*
Hasrat seseorang untuk menyamakan dirinya dengan komunikator atau bentuk
hubungan lain dengan komunikator yang secara emosional memuaskan. Jadi
komunikator akan sukses dalam komunikasinya, bila ia berhasil memikat perhatian
komunikan.
Penjelasan
secara agak lengkap dapat penulis sampaikan berikut ini. Kepercayaan kepada
komunikator (source credibility). Bahwa
kepercayaan kepada komunikator ditentukan oleh keahliannya dan layak-tidaknya
ia dipercaya. Penelitian menunjukkan bahwa kepercayaan yang besar akan dapat
meningkatkan daya perubahan sikap, sedang kepercayaan yang kecil akan
mengurangi daya perubahan yang menyenangkan. Bila komunikator lebih dikenal dan
disenangi oleh komunikan, maka komunikan akan lebih mudah mengubah kepercayaannya
ke arah yang dikehendaki komunikator. Kepercayaan kepada komunikator
mencerminkan bahwa pesan yang diterima komunikan dianggap benar dan sesuai
dengan kenyataan empiris.
Selain
itu, pada umumnya diakui, bahwa pesan yang dikomunikasikan mempunyai daya
pengaruh yang lebih besar apabila komunikator dianggap sebagai seorang ahli. Keahliannya
bisa saja khas atau bersifat umum, karena pendidikan yang lebih baik, status
sosial atau jabatan profesi yang lebih tinggi. Untuk memperoleh kepercayaan yang
sebesar-besarnya, komunikator bukan saja mesti mempunyai keahlian, mengetahui
kebenaran, tetapi harus pula cukup obyektif dalam memotivasikan apa yang
diketahuinya.
Mengenai
daya tarik komunikator (source
attractiveness). Seorang komunikator akan mempunyai kemampuan untuk
melakukan perubahan sikap melalui mekanisme daya tarik, jika pihak komunikan
merasa bahwa komunikator ikut serta dengan mereka dalam hubungannya dengan
opini secara memuaskan. Misalnya, komunikator dapat disenangi atau dikagumi
sedemikian rupa, sehingga pihak komunikan akan menerima kepuasan dari usaha
menyamakan diri dengannya melalui kepercayaan yang diberikan. Atau, komunikator
dapat dianggap mempunyai persamaan dengan komunikan, sehingga komunikan bersedia
tunduk kepada pesan yang dikomunikasikan komunikator.
Byrne
telah melakukan demonstrasi bahwa komunikan menyenangi komunikator, apabila ia
merasa adanya kesamaan antara komunikator dengannya. Khusushya kesamaan
ideologi lebih penting daripada kesamaan demografi. Tampaknya ada kecenderungan
yang kuat pada orang-orang untuk menyukai orang lain, kalau mereka merasa,
bahwa orang lain tadi mengambil bagian dalam kepercayaannya.
Adalah
faktor perasaan yang sama dengan komunikator yang terdapat pada komunikan yang
akan menyebabkan komunikasi berjalan sukses dan efektif. Sikap komunikator yang
berusaha menyamakan diri dengan komunikan akan menimbulkan simpati komunikan kepada
komunikator.
Seorang
komunikator akan berhasil dalam komunikasinya, kalau ia menyesuaikan
komunikasinya dengan the image dari
komunikan, yaitu memahami kepentingannya, kebutuhannya, kecakapannya,
pengalamannya, kemampuan berpikirnya, kesulitannya, dan sebagainya. Singkat kata,
komunikator harus dapat menjaga kesemestaan alam mental yang terdapat pada
komunikan, yang oleh Prof. Hartley disebut "the image of other".
Prinsip-prinsip efektivitas komunikasi dapat pula diturunkan dari model teori pergaulan sosial (Thibaut et al., 1986).
Teori pergaulan sosial menekankan bahwa kita mengembangkan hubungan apabila
manfaatnya lebih besar daripada biaya yang harus dikeluarkan. Teori tersebut
cenderung menjelaskan kecenderungan manusia untuk mencari keuntungan atau
manfaat dengan mengeluarkan biaya sesedikit mungkin. Kebanyakan dari kita
mempunyai harapan dalam suatu hubungan. Apabila harapan terlampaui, maka akan
mengalami kepuasan. Sebagai contoh, manusia merasa puas jika mendapat manfaat
lebih besar daripada apa yang semula diharapkan. Apabila harapan tidak
terpenuhi maka mereka akan mengalami ketidak-puasan.
Dengan
melihat sisi hambatan dan pendukung komunikator dan komunikan, untuk mencapai
komunikasi yang efektif, terutama komunikator, haruslah memperhatikan sembilan
cara berikut:
·
Menguasai ragam komunikasi. Mulai dari
menulis sampai berbicara. Teknik komunikasi yang dipakai bergantung pada siapa
yang dihadapi. Penguasaan ragam komunikasi tersebut untuk meminimalisasi
terjadinya ketidak-tepatan dalam memakai cara berkomunikasi.
·
Bersikap empati. Memposisikan diri Anda
dalam situasi yang dialami oleh orang lain. Dengan cara ini kita mampu lebih
bersikap obyektif dalam berkomunikasi.
·
Terbuka. Dalam artian, bersedia untuk
dikoreksi kalau hal yang disampaikan memang keliru. Dan siap meminta maaf kalau
terbukti salah.
·
Fleksibel. Anda tidak harus melulu
serius dengan pembawaan gaya yang formal dan sekali-sekali Anda boleh memakai
gaya informal dengan selipan rasa humor agar terlihat santai dan fresh.
·
Lugas dan ringkas. Pergunakan kata yang
to the point dan diringkas sepadat
mungkin dalam susunan kata yang pendek. Pemakaian kata-kata yang bertele-tele
membuat komunikasi membosankan.
·
Memahami komunikasi non-verbal. Ya,
Anda perlu tahu gestur tubuh dari komunikan. Terkadang bahasa tubuh lebih
bermakna ketimbang bahasa verbal karena
sulit dimanipulasi.
·
Pendengar yang baik. Apakah Anda
menyimak sengan saksama manakala rekan Anda berbicara? Pastikan Anda bisa
melakukan hal tersebut.
·
Konsisten. Tidak plin-plan dan mengubah
begitu saja apa yang sudah diucapkannya. “Saiki
dele, sesuk tempe (hari in kedelai, besok tempe),” kata orang Jawa.
·
Egaliter. Menghilangkan sekat-sekat
pembatas yang mungkin muncul. Mulai dari struktur formal (atasan-bawahan)
sampai aspek kultural.
Selain
sembilan cara komunikasi tersebut, komunikator harus pula memahami lima aspek
dalam membangun komunikasi yang efektif, masing-masing:
·
Kejelasan (clarity). Bahasa maupun informasi yang disampaikan harus jelas. Kalau
kita banyak menggunakan kata ini, anu, dan sejenisnya, maka akan menyebabkan
ketidak-jelasan terkait dengan pesan yang ingin disampaikan. Hal ini akan
menyebabkan munculnya salah tafsir dan salah persepsi.
·
Ketepatan (accuracy). Bahasa dan informasi yang ingin disampaikan harus
benar-benar akurat dan tepat. Bahasa yang digunakan harus sesuai dan informasi
yang disampaikan harus benar. Arti kata, sesuai dengan apa yang sesungguhnya
ingin disampaikan. Bisa saja informasi yang ingin kita sampaikan belum tentu
kebenarannya, namun apa yang kita sampaikan benar-benar apa yang memang kita
ketahui. Inilah yang dimaksud akurat.
·
Konteks (context). Bahasa dan informasi yang disampaikan harus sesuai dengan
kondisi dan lingkungan di mana komunikasi itu terjadi. Bisa saja kita
menggunakan bahasa dan informasi yang jelas dan tepat, tapi karena konteksnya
tidak tepat maka reaksi yang kita terima tidak sesuai dengan yang diharapkan.
·
Alur (flow). Keruntutan alur bahasa dan informasi akan sangat penting
dalam menjalin komunikasi yang efektif. Sewaktu kita meminjam uang misalkan,
kita cenderung mengajukan kesulitan-kesulitan kita sebelum kita menyampaikan
maksud untuk meminjam uang. Mungkin begitu pula pada saat kita pertama kali
menyampaikan perasaan jatuh cinta pada seseorang.
·
Budaya (culture). Aspek ini tidak saja menyangkut bahasa dan informasi, namun
juga tatakrama atau etika. Bersalaman dengan satu tangan untuk orang Sunda
mungkin terkesan kurang sopan, tapi untuk orang dari etnis lain barangkali
suatu hal yang biasa.
Dalam bahasa yang sedikit berbeda, Spitzberg dan Cupach (1989) menjelaskan bahwa agar
komunikasi efektif dapat menerapkan model kompetensi. Model ini
menawarkan lima
kualitas efektivitas: kepercayaan diri, kebersatuan, manajemen interaksi, daya
pengungkapan, dan orientasi ke pihak lain.
Kelima hal yang menentukan kualitas
komunikasi yang efektif itu dapat dideskripsikan berikut. Ihwal kepercayaan diri. Komunikator yang secara sosial memiliki kepercayaan
bersikap santai, tidak kaku, fleksibel dalam suara dan gerak tubuh, tidak
terpaku pada nada suara tertentu dan gerak suara tertentu. Sosok yang santai, menurut riset, mengkomunikasikan sikap terkendali,
status serta kekuatan. Ketegangan, kekakuan serta kecanggungan mengisyaratkan
ketidak-mampuan mengendalikan orang lain atau ia berada dalam
kendali pihak luar.
Kemudian soal kebersatuan. Kebersatuan mengacu pada penggabungan antara komunikator
dan komunikan, terciptanya rasa kebersamaan dan kesatuan. Komunikator yang
memperlihatkan kebersatuan mengisyaratkan minat dan perhatian
yang sama. Bahasa yang
menunjukkan kebersatuan umumnya ditanggapi secara positif. Kebersatuan
menyatukan komunikator dan komunikan. Secara non-verbal, kebersatuan dapat diwujudkan dengan memelihara
kontak mata, kedekatan fisik serta sosok tubuh yang terbuka yang
meliputi gerak tubuh yang dipusatkan pada orang yang
sedang diajak berinteraksi, pandangan yang terfokus, tersenyum dan perilaku
lain yang mengisyaratkan minat komunikator untuk berinteraksi dengan komunikan.
Kebersatuan
dikomunikasikan secara verbal dengan berbagai cara. Misalnya menyebut nama lawan bicara, memberikan umpan balik yang relevan,
menggunakan kata ganti yang mencakup baik pembicara maupun pendengar,
memusatkan perhatian pada kata-kata lawan bicara, serta menghargai pembicaraan orang
lain.
Selanjutnya manajemen interaksi. Manajemen interaksi menekankan pada kedua pihak,
masing-masing berkontribusi dalam keseluruhan komunikasi. Menjaga peran sebagai
pembicara dan pendengar, melalui gerakan mata, ekspresi vokal, gerakan tubuh
dan wajah yang sesuai, saling memberikan kesempatan untuk berbicara merupakan
keterampilan manajemen interaksi. Penting untuk menyampaikan pesan verbal dan
non-verbal yang saling berkesesuaian dan memperkuat.
Pemantauan
diri berhubungan secara integral dengan manajemen interaksi interpersonal. Pemantauan diri merupakan manipulasi citra yang
ditampilkan kepada pihak lain. Pemantauan diri yang cermat selalu menyesuaikan
perilaku mereka menurut umpan balik dari pihak lain untuk mendapatkan efek yang
paling menyenangkan.
Berikutnya daya pengungkapan atau ekspresi.
Daya pengungkapan atau ekspresi menekankan pada
keterampilan mengkomunikasikan keterlibatan tulus dalam interaksi
interpersonal. Daya ekspresi sama dengan keterbukaan dalam hal penekanannya
pada keterlibatan. Contohnya ekspresi bertanggung-jawab atas pikiran dan perasaan, mendorong umpan balik
yang relevan, dan keterbukaan pada orang lain.
Dan terakhir, orientasi ke pihak lain. Orientasi mengacu pada kemampuan untuk menyesuaikan diri
dengan komunikan selama terjadi interaksi. Orientasi tersebut mencakup
pengkomunikasian perhatian dan minat terhadap apa yang dikatakan komunikan.
Komunikator yang berorientasi pada pihak lain melihat situasi dan interaksi
dari sudut pandang lawan bicara dan menghargai perbedaan pandangan.
Ketika
cara, aspek dan model kompetensi tersebut dapat terpenuhi dalam proses
komunikasi, maka proses komunikasi yang efektif dapat terlaksana dengan baik
selain juga dipengaruhi oleh faktor-faktor manusianya. ***
No comments:
Post a Comment