Sunday, August 18, 2013

Citra Diri dan Kepekaan Sosial





Sistem komunikasi antar-personal sangat efektif untuk mempengaruhi sikap komunikan yang diinginkan oleh komunikator. Untuk memperoleh hasil yang diharapkan maka dalam proses komunikasi harus ada kesamaan antara komunikan dengan komunikator. Sebagaimana dikatakan oleh Evert M. Rogers dalam teori Homophily, bahwa Homophily adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan tingkat di mana pihak  yang berinteraksi memiliki kesamaan dalam beberapa hal, antara lain kepercayaan, pendidikan, status sosial, dan kepentingan. 
Apabila di pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi sudah terbentuk kesamaan, selanjutnya untuk mencapai komunikasi yang efektif, maka pesan yang akan disampaikan komunikator haruslah cocok dengan frame of reference, yakni pengalaman dan pengertian yang pernah didapat komunikan. Seperti apa yang pernah disampaikan Wilbur Schramm bahwa kondisi yang harus dipenuhi apabila kita menginginkan agar suatu pesan membangkitkan tanggapan yang kita kehendaki maka haruslah memenuhi syarat sebagai berikut:
·         Pesan harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa sehingga dapat menarik perhatian komunikan.
·         Pesan harus menggunakan lambang-lambang tertuju pada pengalaman yang sama antara komunikator dan komunikan sehingga sama-sama mengerti.
·         Pesan mesti mampu membangkitkan kebutuhan pribadi komunikan dan menyarankan beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan sendiri.
·         Pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan yang layak bagi situasi kelompok di mana komunikan berada pada saat ia digerakkan untuk memberikan tanggapan yang dikehendaki. 
Dari hal-hal tadi, pada saat akan memulai komunikasinya, seorang komunikator harus memperhatikan semua faktor tersebut, selain juga harus pandai berempati dengan komunikannya. Syarat ini mutlak harus dipenuhi oleh komunikator apabila ia menginginkan komunikasi berjalan lancar, efektif dan mencapai tujuan yang diharapkan.
Kemudian yang penting pula dalam komunikasi adalah bagaimana caranya agar suatu pesan yang disampaikan komunikator itu menimbulkan dampak atau efek tertentu terhadap komunikan. Dampak itu sendiri dapat diklasifikasikan menurut kadarnya, yaitu dampak kognitif, dampak yang timbul pada komunikan yang menyebabkan komunikan menjadi tahu atau meningkat intelektualnya. Kemudian dampak afektif, yaitu dampak yang lebih tinggi daripada dampak kognitif, di sini diharapkan komunikan sampai tergerak hati. Dan dampak behavioral, dampak yang timbul pada komunikan dalam bentuk perilaku, tindakan atau kegiatan.
Sedangkan komunikasi kelompok (group communication) termasuk komunikasi tatap muka, karena komunikator dan komunikan berada dalam situasi saling berhadapan dan saling intensif melihat. Komunikasi kelompok adalah komunikasi dengan sejumlah komunikan. Karena jumlah komunikan itu menimbulkan konsekuensi. Jenis ini diklasifikasikan menjadi kelompok kecil dan kelompok besar.
Dasar pengklasifikasian ini bukan dihitung secara matematis, melainkan kesempatan komunikan dalam penyampaian tanggapanya. Komunikan kelompok kecil bersifat rasional, komunikan dalam menghadapi persoalan lebih menggunakan pikiran daripada perasaan. Tetapi kelompok besar lebih bersifat emosional, lebih-lebih jika komunikannya heterogen, beragam dalam usia, pekerjaan, pendidikan, agama, pengalaman, dan sebagainya. Dalam situasi seperti ini biasanya terjadi wabah mental.
Komunikasi personal atau antar-personal dapat saja berlangsung dalam komunikasi kelompok. Hal ini mengacu pada pendapat Riyono Pratikno (1997: 58), bahwa komunikasi kelompok adalah interaksi tatap muka dari tiga individu atau lebih dengan tujuan yang sudah diketahui sebelumnya, seperti berbagi informasi, pemecahan masalah, yang anggota-anggotanya dapat mengingat karateristik anggota lainnya.
Komunikasi kelompok merupakan komunikasi tatap muka yang jumlah anggota-anggotanya terbatas dan komunikator dapat melakukan komunikasi antar-pribadi dengan anggota kelompoknya dan bertatap muka secara intensif dengan komunikannya. Efek komunikasi ini berhubungan dengan persepsi terhadap komunikatornya.
Untuk memperjelas pemahaman kita tentang komunikasi personal, dapatlah kita bandingkan dengan komunikasi massa yang bertumpu pada konsep komunikasi bermedia (mediated communication). Ada perbedaan esensial di antara keduanya. Dalam komunikasi interpersonal, kontak tatap muka itu memungkinkan adanya hubungan langsung di antara komunikator dan komunikan. Sedangkan pada komunikasi bermedia ada perantaraan --seperti surat kabar harian, majalah, buku, pesawat televisi, atau radio-- antara sumber dan penerima pesan. Konsekuensinya, sumber pesan (pengarang, produser, pembuat berita dan sebagainya) tetap tinggal sebagai sebuah sumber yang berada di luar jangkauan komunikan. Mereka tidak saling membagi kombinasi peran sumber dan penerima sebagaimana bilamana mereka melakukan komunikasi personal. Orang pun menyimpulkan bahwa komunikasi interpersonal dan komunikasi massa merupakan proses fenomena yang berlainan secara fundamental.
Kemudian untuk menunjukkan karakteristik perbedaan antara komunikasi interpersonal dan komunikasi bermedia (massa) dapat disimak pada tabel berikut:
Tabel 8.1
Perbedaan Komunikasi Interpersonal dan Komunikasi Bermedia
Karakteristik
Saluran interpersonal
Saluran media massa
  1. Arus pesan
  2. Konteks komunikasi
  3. Tingkat umpan balik yang terjadi
  4. Kecepatan jangkauan audience yang besar
  5. Efek yang mungkin terjadi
Cenderung 2 arah
Tatap muka
Tinggi
Relatif lambat

Perubahan sikap
Cenderung serarah
Melalui media
Rendah
Relatif cepat

Penambahan pengetahuan
Sumber: (Eduard Depari, 1996:16)
Mengacu pada tabel di atas bahwa dalam komunikasi interpersonal, yang menjadi saluran maupun sumber komunikasi adalah pemrakarsa komunikasi. Saluran media massa adalah semua alat penyampai pesan-pesan yang melibatkan mekanisme untuk mencapai audience yang luas dan tidak terbatas. Surat kabar, radio, film dan televisi merupakan alat yang memungkinkan sumber informasi menjangkau audience dengan jumlah yang besar dan tersebar luas.
Sedangkan teori yang menunjukkan karakteristik (kelebihan/kekurangan) komunikasi bermedia dan komunikasi interpersonal, adalah sebagai berikut:
·         Teori peluru/jarum suntik. Teori ini dibangun berdasarkan anggapan bahwa media massa merupakan senjata yang ampuh buat menembakkan peluru kepada sasarannya. Akibat tindakan ini dapat dirasakan secara langsung oleh sasaran tindakan tersebut. Hal ini sama dengan teori jarum suntik yang juga dibangun atas dasar anggapan bahwa audience media massa mempunyai pengaruh terhadap audience secara langsung, segera dan sangat menentukan.
Teori peluru dan teori jarum suntik ini menganggap audience bersikap pasif serta tidak mampu berpikir lain, secara otomatis terikat pada kelompok walaupun terikat pada media massa.
·         Teori Pencarian Informasi. Teori ini berfokus pada perilaku pencarian informasi oleh seseorang dan berusaha untuk mengindentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku tersebut. Dengan demikian teori ini memindahkan fokus penelitian dari komunikator/pesan kepada penerima.
Dengan melihat kedua teori tersebut, dapat dijelaskan bahwa teori jarum suntuk atau teori peluru merupakan teori yang berkaitan dengan model komunikasi bermedia. Media dianggap sebagai senjata yang ampuh untuk memberikan informasi pada komunikan, sehingga diharapkan komunikan akan bertambah pengetahuan setelah mengetahui informasi yang disampaikan melalui media tersebut.
Sedangkan teori pencarian informasi merupakan teori yang berkaitan dengan model komunikasi interpersonal, misalkan petani aktif mencari informasi dan bertukar informasi dengan sesama petani lainnya mengenai masalah-masalah pertanian. Diharapkan, dengan bertambahnya pengetahuan mereka, maka akan dapat memperoleh hasil pertanian yang lebih meningkat.
Menurut Lunandi (1994), ada empat aspek yang mempengaruhi komunikasi interpersonal, yaitu citra diri (self-image), citra pihak lain (the image of the others), lingkungan fisik, dan lingkungan sosial.
Bagaimana penjelasan keempat aspek tersebut? Kita mulai dari citra diri (self-image). Setiap manusia mempunyai gambaran tertentu mengenai dirinya, status sosialnya, kelebihan dan kekurangannya. Gambaran itulah yang menjadi penentu bagi apa yang dilihatnya, didengarnya, bagaimana penilaiannya terhadap segala yang berlangsung di sekitarnya. Dengan kata lain, citra diri menentukan ekspresi dan persepsi orang. Manusia belajar menciptakan citra diri melalui hubungannya dengan orang lain, terutama manusia lain yang penting bagi dirinya. Seperti ayah-bunda, guru, dan atasan. Melalui kata-kata ataupun komunikasi tanpa kata (perlakuan, pandangan mata dan sebagainya) dari orang lain ia mengetahui apakah dirinya dicintai ataukah dibenci, dihormati ataukah diremehkan, dihargai ataukah direndahkan. Citra diri sebagai seseorang yang lemah akan terlihat pada komunikasinya dengan orang lain. Sukar berbicara bebas, sulit mengatakan isi hati dan pikiran, ataupun yang terjadi sebaliknya.
Lalu citra pihak lain (the image of the others). Selain citra diri, citra pihak lain juga menentukan cara dan kemampuan orang berkomunikasi. Pihak lain, yakni orang yang diajak berkomunikasi, mempunyai gambaran khas bagi dirinya. Kadang  dengan orang yang satu komunikasi berjalan lancar, jelas, dan tenang. Dengan orang yang lain lagi tahu-tahu jadi gugup, sukar menemukan kata-kata yang tepat dan bingung. Ternyata pada saat berkomunikasi itu dirasakan campur tangan ataupun umpan balik antara citra diri dan citra pihak lain.
Selanjutnya lingkungan fisik. Faktor ini punya pengaruh terhadap komunikasi. Bagaimana juga orang yang suka berteriak pada waktu berada di rumah sendiri, ia lebih banyak berbisik di tempat beribadah. Sekalipun orang diajak berkomunikasi itu sama (misal anak sendiri). Di tempat kerja, ia berkomunikasi dengan gaya lain. Memang tingkah laku manusia berbeda dari suatu tempat ke tempat yang lain. Karena setiap tempat mempunyai norma sendiri yang harus ditaati.
Dan lingkungan sosial. Lingkungan sosial merupakan proses komunikasi yang terjadi pada situasi ataupun orangnya. Situasi atau orang yang berbeda akan menyebabkan terjadinya proses komunikasi yang berbeda pula. Pakaian, tingkah laku dan bahasa pada jamuan para cendekiawan di hotel besar tentu tidak sama dengan yang dipakai pada pesta pernikahan pembantu rumah tangga di kampung. Perlu dikemukakan, sebagaimana lingkungan (fisik dan sosial) mempengaruhi tingkah laku dan cara berkomunikasi, setiap orang harus memiliki kepekaan terhadap lingkungan tempat berada, memiliki kemahiran untuk membedakan lingkungan yang satu dengan lingkungan yang lain.
Amat penting bagi kita untuk memahami garis-garis atraksi dan penghindaran dalam sistem sosial agar mampu diramalkan dari mana pesan akan muncul, kepada siapa pesan itu akan mengalir dan lebih dalam lagi bagaimana pesan akan diterima. Berarti dengan mengetahui siapa tertarik kepada siapa atau siapa menghindari siapa, seseorang dapat meramalkan arus komunikasi interpersonal yang akan terjadi. Semakin seseorang tertarik kepada orang lain bertambah besar kecenderungan seseorang berkomunikasi dengan orang tersebut. Kesukaan kepada orang lain, sikap positif dan daya tarik seseorang disebut sebagai atraksi interpersonal.
Sebagai seorang komunikator kita tentu berharap dapat memperoleh kepercayaan dari komunikan dalam komunikasi interpersonal. Philip Kotler (2000) menjelaskan adanya tiga faktor yang melandasi kredibilitas komunikator, yaitu:
·         Keahlian.
Keahlian merupakan kemampuan khusus yang dimiliki oleh komunikator untuk mendukung pesan yang disampaikan. Contoh, apabila seorang akunting membicarakan masalah keuangan perusahaan akan lebih dipercaya dibandingkan yang berbicara adalah bagian humas.
·         Kelayakan untuk dipercaya.
Kelayakan untuk dipercaya berkaitan dengan anggapan atas tingkat obyektivitas dan kejujuran sumber pesan itu. Teman lebih dipercaya dibandingkan orang yang belum dikenal, dan orang yang tidak dibayar untuk merekomendasikan sesuatu dianggap lebih dapat dipercaya ketimbang orang yang dibayar.
·         Kemampuan untuk disukai.
Kemampuan untuk disukai menunjukkan daya tarik sumber di mata komunikan. Sifat-sifat seperti terus terang, humoris, dan apa adanya membuat komunikator lebih disukai.
Kelayakan untuk dipercaya adalah paling utama dari ketiga hal tersebut. Bila seseorang memiliki sikap yang positif terhadap komunikator dan pesan, atau sikap yang negatif terhadap keduanya, maka terjadilah keadaan yang dinamakan keadaan kongruen. Perubahan sikap akan terjadi searah dengan bertambahnya jumlah kesesuaian antara kedua evaluasi tersebut. Prinsip kongruen menjelaskan bahwa komunikator dapat menggunakan citra baiknya untuk mengurangi sikap negatif terhadap suatu pesan tetapi dalam proses tersebut komunikator mungkin kehilangan penghargaan dari komunikan.

Teknik-teknik komunikasi
Dalam melakukan komunikasi interpersonal terdapat beberapa aspek yang harus diperhatikan agar komunikasi berlangsung secara efektif. Menurut De Vito (1997), agar komunikasi berlangsung secara efektif, beberapa teknik yang harus diperhatikan oleh para pelaku komunikasi interpersonal tersebut, antara lain:
a. Keterbukaan (openness).
Keterbukaan dapat dipahami sebagai keinginan untuk membuka diri dalam rangka berinteraksi dengan orang lain. Kualitas keterbukaan mengacu pada sedikitnya tiga aspek dari komunikasi, yaitu komunikator harus terbuka pada komunikan demikian pula sebaliknya; kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang; dan mengakui perasaan, pikiran serta mempertanggung-jawabkannya.
b. Empati (Emphaty).
Empati didefinisikan oleh Henry Backrack (1976) sebagai kemampuan untuk merasakan hal-hal yang dirasakan orang lain. Hal ini termasuk salah satu cara untuk melakukan pemahaman terhadap orang lain. Langkah pertama dalam mencapai empati adalah menahan godaan untuk mengevaluasi, menilai, menafsirkan, dan mengkritik. Langkah kedua dengan mencoba mengerti alasan yang membuat orang itu memiliki perasaan tersebut. Ketiga, mencoba merasakan apa yang sedang dirasakan orang lain dari sudut pandangnya. Empati dapat dikomunikasikan secara verbal ataupun non-verbal.
c. Sikap mendukung (supportiveness).
Dukungan meliputi tiga hal. Pertama, descriptiveness, dipahami sebagai lingkungan yang tidak dievaluasi menjadikan orang bebas dalam mengucapkan perasaannya dan tidak defensif, sehingga orang tidak malu dalam mengungkapkan perasaannya dan tidak akan merasa bahwa dirinya dijadikan bahan kritikan secara terus-menerus.
Kedua, spontanity, dipahami sebagai kemampuan seseorang untuk berkomunikasi secara spontan dan mempunyai pandangan yang berorientasi ke depan, yang mempunyai sikap terbuka dalam menyampaikan pemikirannya. Ketiga,  professionalism dipahami sebagai kemampuan untuk berpikir secara terbuka (open minded).
d. Sikap Positif (positiveness).
Sikap positif dalam komunikasi berarti bahwa kemampuan seseorang dalam memandang dirinya secara positif dan menghargai orang lain. Sikap positif tidak dapat lepas dari upaya mendorong menghargai keberadaan serta pentingnya keberadaan orang lain. Dorongan positif umumnya berbentuk pujian atau penghargaan, dan terdiri dari perilaku yang biasanya kita harapkan.
d. Kesetaraan (equality).
Tidak akan pernah ada dua orang yang sama-sama setara dalam semua hal. Komunikasi akan efektif apabila suasananya setara. Artinya, harus ada pengakuan dari kedua belah pihak sama-sama berharga dan ada sesuatu yang akan disumbangkan. Kesamaan dalam suatu komunikasi akan menjadikan suasana komunikasi yang akrab. Sebab, dengan tercapainya kesamaan, kedua belah pihak --baik komunikan maupun komunikator-- akan berinteraksi secara nyaman.
Apabila di dalam suatu hubungan terdapat kesetaraan, maka ketidak-sepakatan serta konflik dipandang sebagai upaya untuk lebih memahami perbedaan, tidak untuk menjatuhkan pihak lain. Kesetaraan tidak berarti menerima semua perilaku verbal dan non-verbal pihak lain melainkan memberikan “penghargaan positif tak bersyarat”.
Manakala kita mampu menerapkan kelima teknik komunikasi interpersonal tersebut, maka kita tidak akan mengalami kesulitan untuk melakukan komunikasi interpersonal yang efektif. Kemampuan ini pun akan menjadi salah satu modal kita untuk dapat secara efektif berkomunikasi dalam organisasi. ***

No comments:

Post a Comment