Program Santunan Kematian yang dijalankan oleh
Pemerintah Kota Depok telah banyak dikritik karena dinilai memboroskan
anggaran. Titik masalahnya karena program ini memakai pendekatan institusional
atau universal, di mana setiap penduduk baik kaya ataupun miskin punya hak
untuk mengklaim dana santunan. Menanggapi hal ini, Pemerintah Kota Depok
berpendapat bahwa besaran anggaran untuk Program Santunan Kematian sesungguhnya
tidak signifikan, yakni di bawah 5% dari total APBD Kota Depok ditambah biaya
operasional yang juga kecil, yakni hanya 0,4% dari total dana santunan
kematian.
Selain itu, Pemerintah Kota Depok beranggapan bahwa
dana santunan kematian dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh
masyarakat. Memang dapat dimaklumi kalau Program Santunan Kematian sedikit
memberatkan anggaran Pemerintah Kota Depok. Namun bila dilihat dari kacamata
bahwa program ini merupakan bagian dari upaya peningkatan taraf hidup masyarakat,
memberatkan anggaran tidak dipandang sebagai masalah yang paling pokok.
Bagaimana pun juga, niat baik pasti membutuhkan sebuah pengorbanan. Lagipula
bila dilihat dari salah satu peran dan fungsi pemerintah, yakni mengupayakan
distribusi pendapatan kepada seluruh warganya. Program Santunan Kematian dapat
dipandang sebagai bagian dari upaya distribusi pendapatan dengan didasari oleh
nilai keadilan sosial dalam pembangunan. Tambahan pula, Program Santunan
Kematian merupakan sebuah upaya Pemerintah Kota Depok dalam mengakomodasi
harapan dan kebutuhan masyarakat.
Peraturan Walikota Depok No.28 Tahun 2010 menjadi
petunjuk pelaksanaan Program Santunan Kematian. Didasari produk hukum tersebut,
Pemerintah Kota Depok telah menentukan beberapa keputusan mencakup bentuk
program, jenis layanan, maupun pengecualian pada beberapa calon penerima
layanan.
Program Santunan Kematian diperuntukkan bagi
seluruh warga Kota Depok yang meninggal dunia. Layanan diberikan kepada ahli
waris tanpa mempertimbangkan status sosial ekonomi yang bersangkutan. Dengan
kata lain layanan ini menggunakan model atau pendekatan institusionalis
(institutionalist approach). Pilihan ini sesungguhnya bukan tanpa dasar yang
kuat. Berdasarkan hasil wawancara dengan Tinte Rosmiati, Kabid Sosial Disnakersos
Kota Depok, setidaknya diperoleh enam alasan utama yang mendorong Pemeritah
Kota Depok memilih pendekatan institusionalis.
Alasan pertama Pemerintah Kota Depok memilih
pendekatan institusionalis adalah karena persentase penduduk menengah ke atas
di Kota Depok tidak terlalu signifikan. Jika melihat pada data tahun 2009,
pendapatan perkapita Kota Depok hanya sebesar Rp.6.784.681,-/orang/tahun, atau
kira-kira hanya sebesar Rp.565.390,-/orang/bulan. Angka ini jauh di bawah upah
minimum regional Kota Depok yang telah mencapai Rp.1.157.000,-/bulan. Belum
lagi jika kita melihat distribusi pendapatan di Kota Depok yang tidak merata.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar warga Kota Depok berada dalam
kelompok ekonomi menengah ke bawah.
Alasan kedua adalah karena Pemerintah Kota Depok
tidak ingin membeda-bedakan warganya ke dalam kelas-kelas sosial ekonomi.
Alasan ini dapat dirujuk kepada pandangan Spicker, bahwa upaya penggolongan
masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial ekonomi berpotensi menciptakan ”victim
blamming” pada penerima layanan. Dengan kata lain, ada semacam stigma atau rasa
malu yang dialamatkan kepada penerima layanan. Dalam perkembangan dunia
pelayanan ke depan, kondisi degradatif terhadap masyarakat tersebut sudah
selayaknya dihindari. Jadi, cara terbaik untuk menolong kelompok masyarakat
miskin keluar dari kondisi yang membelitnya adalah dengan tidak membuat
pembedaan antara mereka dengan kelompok masyarakat yang lainnya.
Alasan ketiga adalah karena Pemerintah Kota Depok
ingin memberikan hak yang sama kepada setiap warganya, sementara yang dibedakan
hanya kewajibannya saja. Untuk menunjang tercapainya tujuan-tujuan kebijakan
sosial, dalam rangka mewujudkan sebuah masyarakat yang adil dan makmur,
dibutuhkan sebuah mekanisme pajak yang berkeadilan. Dalam hal ini kelompok yang
kaya telah membayar pajak lebih tinggi. Maka setelah kelompok kaya ini dibebani
oleh kewajiban yang lebih berat, sangat tidak adil rasanya bila selanjutnya
mereka tidak memperoleh hak yang sama dengan warga masyarakat yang lainnya.
Alasan keempat Pemerintah Kota Depok memilih
pendekatan institusionalis adalah karena secara administrasi, pendekatan ini
lebih mudah dikelola. Hal ini cukup jelas bila kita merujuk pandangan Spicker
bahwa bila layanan tidak diberikan secara universal, maka dibutuhkan sebuah uji
atau means-test yang mana seringkali target group-nya sulit diidentifikasi.
Alasan kelima yaitu kemudahan dalam proses
penganggaran. Hal ini memang berkaitan dengan konsep awal Program Santunan
Kematian berbentuk bantuan sosial yang pelaksanaannya diasuransikan. Untuk
periode kedua, alasan ini masih bisa diterima sebab akan lebih mudah bagi
Pemerintah Kota Depok melakukan proyeksi berapa jumlah warga Kota Depok yang
meninggal per tahun daripada melakukan proyeksi berapa jumlah “warga miskin”
Kota Depok yang meninggal per tahun. Dengan demikian pengajuan anggaran juga
akan lebih mudah dilakukan.
Alasan terakhir yaitu karena Program Santunan
Kematian merupakan realisasi dari janji walikota terpilih. Program Santunan
Kematian sudah menjadi sebuah kontrak politik yang harus dilaksanakan oleh
pemerintah daerah saat ini, di bawah kepemimpinan Walikota Nur Mahmudi Ismail.
Meskipun pada dasarnya Program Santunan Kematian
bersifat universal, pengecualian bukannya tidak ada. Kenyataannya santunan
tidak akan diberikan kepada penduduk yang meninggal karena tiga kriteria, yakni
bunuh diri, HIV/AIDS karena perilaku menyimpang, atau melakukan tindak pidana.
Menanggapi masalah diskriminasi terhadap masyarakat
yang meninggal dalam tiga kriteria tersebut, menurut Tinte Rosmiati, hal ini
sesungguhnya dikarenakan Program Santunan Kematian didasari oleh nilai-nilai
keagamaan. Agama manapun tidak membenarkan seseorang meninggal dalam tiga
kriteria tersebut. Dan bahwa secara hukum kenegaraan pun, mati dalam cara itu
tidak dibenarkan. Jadi melalui Program Santunan Kematian, Pemerintah Kota Depok
ingin memberikan pesan yang jelas kepada warganya untuk hidup tertib, yakni
tertib administrasi kependudukan, tertib pola hidup dan perilaku yang sehat,
serta tertib hukum.
Akhirnya, perlu dipahami bahwa masyarakat Indonesia
adalah masyarakat yang religius serta menjunjung nilai-nilai Pancasila,
khususnya nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, ketika terjadi kasus
kematian, keluarga akan senantiasa berupaya memberikan penghormatan terakhir
terhadap salah satu anggota keluarga mereka yang meninggal dengan menjalankan
ritual keagamaan. Jasad dan ruh orang yang meninggal harus diperlakukan sebaik
mungkin. Faktanya, segala prosesi kematian mulai dari penguburan hingga
kegiatan tahlilan telah mendorong (kalau tidak boleh dikatakan memaksa)
keluarga almarhum/almarhumah mengeluarkan biaya. Di sini lah Pemerintah Kota
Depok memasang badan untuk mewujudkan perlindungan sosial, bukan dalam rangka
memboroskan anggaran.
…
Indra Setia Baki, alumnus jurusan Ilmu
Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia
No comments:
Post a Comment