Memantapkan Kaki di Jagat Politik
Komitmen menyangkut keseimbangan
yang sempurna dari karakter dan kompetensi, khususnya melibatkan integritas
(karakter) dan kemampuan melakukan apa yang Anda katakan akan Anda lakukan
(kompetensi).
Stephen
R. Covey,
pakar manajemen dan kepemimpinan
Tepukan
Ali Murtopo di pundaknya saat bertemu pada acara pamitan di Kantor Gubernur
Kalimantan Timur di pertengahan dekade 1980-an itu betul-betul mengusik benak
Awang Faroek muda. “Kamu ini satu kaki di politik, satu kaki lagi masih di
kampus. Tidak boleh begitu. Kalau kamu mau sukses di politik, kamu harus angkat
kakimu yang satu (di kampus),” saran Ali Murtopo ketika itu.
Apalagi,
dunia politik bukan hal baru bagi Awang Faroek muda. Sejak kuliah di IKIP
Malang dia sudah bersinggungan dengan kehidupan politik praktis. Tepatnya tahun
1971-1973 dia sempat dipercaya sebagai anggota Golongan Karya (Golkar)
Kotamadya Malang, Jawa Timur. Kemudian menjelang usia 30 tahun, 1978, Awang
Faroek memperoleh amanah menjadi Ketua Biro Pemuda, Mahasiswa dan Cendekiawan
DPD Golkar Daerah Tingkat I Kalimantan Timur. Dan, tahun 1983, di tengah
kesibukannya mengembangkan Universitas Mulawarman, dia dipercaya sebagai
Sekretaris Golkar DPD Daerah Tingkat I Kalimantan Timur. Sampai di tahun 1986
dia mengemban amanah jabatan Sekretaris Golkar Daerah Kaltim.
Jelas,
sejak usia 20-an nama Awang Faroek sudah sangat dikenal di kalangan politisi
Golkar. Hal ini bisa menjadi modal kuat dan penting dalam petualangan Awang
Faroek di jagad politik. Dia pun mantap menjawab saran Ali Murtopo, “Dua kaki
saya harus menginjak bumi politik.”
A. Memasuki Parlemen di Usia Mendekati
Lima Windu
Awang
Faroek tidak ingin setengah hati memasuki dunia politik yang sebenarnya sudah
dia retas jauh-jauh hari sebelum meniti karir sebagai tenaga pengajar
(akademisi) di Universitas Mulawarman, Samarinda. Semasa masih kuliah di IKIP
Malang, tahun 1971-1973, dia sudah menjadi anggota Golongan Karya (Golkar) Kotamadya
Malang, Jawa Timur.
Tatkala
pulang kampung ke Kalimantan Timur lalu masuk sebagai birokrat di Kantor
Gubernur Kalimantan Timur lantas dilanjutkan berkiprah menjadi akademisi di
Universitas Mulawarman, Awang Faroek tetap aktif di jalur politik. Keaktifan
itu ditandai dengan kesediaan dirinya menerima mandat sebagai Ketua Biro Pemuda
dan Cendekiawan DPD Golkar Daerah Tingkat I Kalimantan Timur pada tahun 1978.
Lelaki
kelahiran Tenggarong tanggal 31 Juli 1948 itu aktif pula menggumuli
organisasi-organisasi yang secara tidak langsung menjadi sayap Golkar. Tahun
1975 dia masuk sebagai anggota Kosgoro (Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong),
dan bahkan sampai sekarang Awang Faroek masih tercatat sebagai anggota Kosgoro.
Kemudian tahun 1979, dia pun aktif sebagai Wakil Ketua DPD AMPI (Angkatan Muda
Pembaruan Indonesia) Tingkat I Kalimantan Timur. Tahun 1977, dia sudah diajukan
Golkar untuk menjadi calon anggota DPRD Tingkat II Kotamadya Samarinda
Memasuki
dekade 1980-an, nama Awang Faroek semakin populer sebagai kader Golkar yang
mumpuni. Pada Pemilu tahun 1982, nama Awang Faroek diajukan Golkar sebagai
calon anggota DPRD Tingkat I Kalimantan Timur. Di tahun 1982 itu pula dia sempat
memperoleh kepercayaan untuk memberikan bimbingan politik bagi anggota DPRD
Tingkat I dan DPRD Tingkat II se-Kaltim 1982-1987. Masih di tahun 1982 juga,
dia dipercaya memberikan materi penataran calon-calon anggota DPRD Tingkat I
Kalimantan Timur.
Keseriusannya
menapaki jalur politik terus diasah agar semakin peka terhadap setiap aspirasi
masyarakat yang berkembang. Di antaranya dilalui dengan mengikuti Penataran Kader Fungsional Pendidik Golkar
Tingkat Pusat, Jakarta, 1985; Penataran
Juru Kampanye Golkar Tingkat Nasional di Jakarta, 1986; Penataran Kader Fungsional (Karsinal) Golkar
Tingkat Nasional, Jakarta, 1986; dan Penataran
Kader Penggerak Teritorial Desa (Karaktedes) Golkar Tingkat Nasional,
Jakarta, 1986.
Dengan
bekal pengetahuan politik yang relatif cukup, Awang Faroek tidak menyia-nyiakan
kesempatan dan amanah ketika dipercaya mengemban jabatan Sekretaris Golkar DPP
Tingkat I Kalimantan Timur (1983-1988). Keseriusannya mengemban jabatan
sekretaris tersebut kemudian berbuah penghargaan dari Ketua Umum DPP Golkar
(masa itu) Soedharmono SH. Dia diapresiasi sebagai Sekretaris DPD Golkar yang
berhasil mendongkrak nama Golkar di daerah Kaltim dan membawa kesuksesan pada
Pemilu 1987. Sukses Pemilu 1987 juga berbuah penghargaan dari Ketua Dewan
Pembina Golkar (saat itu) Soeharto.
Awang
Faroek pun tidak menampik manakala Golkar menawarkan nama dirinya dipasang pada
nomor jadi daftar calon anggota legislatif mewakili rakyat dan Golkar
Kalimantan Timur pada Pemilu 1987. Lewat perjuangan kampanye ke seluruh pelosok
Kalimantan Timur menjelang Pemilu, dia ternyata mampu mendulang suara yang
cukup signifikan untuk layak mewakili Golkar Kalimantan Timur melaju ke Gedung
Parlemen Senayan, Jakarta. Dia lantas terpilih sebagai anggota DPR/MPR RI
periode 1987-1992 dari daerah penghasil tambang barubara ini.
Dan
di usia mendekati lima windu, tepatnya 39 tahun, Awang Faroek menapaki pendakian
karir di parlemen yang kemudian membawa dirinya melewatkan hari-harinya di
Senayan. Oleh Fraksi Karya Pembangunan (FKP) DPR RI, dia diplot memperkuat
Komisi II DPR yang biasa bermitra dengan Menteri Dalam Negeri, para gubernur,
walikota dan bupati, Sekretaris Negara, Lembaga Administrasi Negara (LAN),
Badan Pertanahan Nasional (BPN), Badan Kepegawaian Negara (BKN), Badan
Penyelenggara Pelaksanaan Pendidikan Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (BP-7)
dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Komisi ini pula yang
akrab bersinggungan dengan tugas-tugas Pemerintahan Daerah dan proses mengolah
aspirasi pemekaran wilayah.
“Pada
waktu itu, saya melihat banyak gubernur atau bupati/walikota yang berhasil
membawa kemajuan bagi daerahnya. Saya dapat belajar dari pengalaman mereka, dan
saya tidak mau mengulangi kesalahan atau kegagalan yang pernah mereka lakukan.
Itulah yang menjadi guru, karena pengalaman merupakan guru yang terbaik,” tutur
Awang Faroek suatu waktu.
Dalam
menyampaikan ide dan gagasan di masa menjadi wakil rakyat di Senayan,
konsep-konsep Awang Faroek dapat dikatakan jernih dan inovatif. “Saya mengenal
Awang Faroek di DPR ketika itu sebagai pemuda yang tampan dan cerdas, dalam
usia 40-an tahun dia tampil penuh percaya diri dalam forum parlemen pusat dan
sekaligus forum politik tertinggi di negeri ini. Dia membawa bukan saja
aspirasi daerahnya, tapi juga gagasan-gagasan jernih dan inovatif tentang
pembangunan dan upaya memajukan daerah yang diwakilinya, Provinsi Kalimantan
Timur,” ujar Anindyati Sulasikin Murpratomo, Menteri Negara Urusan Wanita di
akhir 1980-an sampai awal 1990-an.
Mantan
Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri Suryatna Soebrata menilai Awang
Faroek sebagai mitra pemerintah (ketika itu) yang sangat baik, kooperatif,
luwes, supel, enak bergaul dan rendah hati. “Dia memiliki konsep-konsep
pembangunan yang jelas dan kuat memegang teguh prinsip. Dalam pandangan saya,
dia figur yang konsisten dengan prinsip-prinsipnya,” ujar Suryatna.
Ir.
Sarwono Kusumaatmadja, mantan Menteri Kelautan RI, sependapat berkomentar, "Sosok
Awang Faroek cukup menyenangkan. Bukan hanya ketika menjadi Bupati Kutai Timur atau
Gubernur Kalimantan Timur seperti sekarang, tetapi sejak kami sama-sama duduk
sebagai anggota DPR RI tahun 1987-1997 lalu. Dia orang yang sangat cerdas,
sehingga kami sering bertukar pikiran terhadap berbagai hal. Di samping akomodatif
terhadap ide-ide baru dan juga sangat kritis, Awang Faroek tidak berlebihan dan
bahasanya santun dalam menyampaikan kritik atau memberi masukan."
Hal
senada disampaikan oleh Menko Kesra yang juga mantan Ketua DPR RI Drs. R.H.
Agung Laksono. Katanya, “Ada satu hal yang membuat saya selalu kagum pada Bung
Awang Faroek, yakni pancaran sinar wajahnya yang ceria dan ini menunjukkan dia
selalu optimis menatap masa depan. Hal ini yang mungkin juga menjadi salah satu
bekal dia sebagai anggota DPR/MPR-RI waktu itu. Terbukti, dia berhasil
menduduki posisi wakil rakyat hingga dua periode (1987-1992 dan 1992-1997).”
Penilaian
keempat tokoh nasional tadi tidaklah berlebihan. Dari rekam jejak masa awal
Awang Faroek di Senayan, dia pernah dipercaya sebagai Anggota Badan Musyawarah
(Bamus) DPR RI 1987-1992; anggota Tim FKP dalam Penyusunan Bahan-bahan untuk
Sidang Umum MPR RI 1988; Floor Leader
FKP Komisi II DPR RI 1989-1990; Sekretaris Komisi II DPR RI 1989-1995; Wakil
Ketua Komisi II DPR RI 1990-1995.
Kompetensi
dan pengalamannya di bidang pendidikan menjadi bekal tersendiri dalam kiprah
Awang Faroek di parlemen. Tahun 1990, dia cukup sukses mendorong Rancangan
Undang-undang (RUU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menjadi UU
Sisdiknas.
Sebagai
wakil rakyat yang mewakili daerah yang kaya sumber daya alam seperti Kalimantan
Timur, tahun 1989, Awang Faroek sempat pula dipercaya sebagai Ketua Pansus RUU
Konservasi Sumber Daya Alam dan anggota Pansus RUU Lingkungan Hidup.
Awang
Faroek juga senantiasa mengasah diri dengan menuangkan buah pikirannya ke dalam
bentuk karya publikasi dan kertas kerja. Kedekatannya dengan mitra Kementerian
Dalam Negeri setidaknya memantik pikirannya untuk menghasilkan karya publikasi
seperti Usaha-usaha Menciptakan
Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa (Pemberantasan Korupsi), 1990; Peningkatan Pendapatan Asli Daerah dalam
Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah Tingkat II, 1990; Peningkatan Kepemimpinan Aparatur Pemerintah dalam Rangka Terwujudnya
Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggung-jawab pada Pemerintahan Daerah
Ditinjau dari Aspek Kemampuan Pengambilan Keputusan, 1990; Upaya Peningkatan Supra dan Infra Struktural
Politik Menjelang Era Tinggal Landas, 1992; dan Peranan Pajak Daerah dalam Upaya Peningkatan Pendapatan Asli Daerah,
1992.
Awang
Faroek memang sepantasnya memperoleh banyak kepercayaan tatkala duduk sebagai
wakil rakyat di Senayan. Karena, di mata mantan anggota DPR/MPR RI Djafar
Ahmad, “Selama ini saya melihat Pak Awang, di samping pemikir, juga seorang
pelaksana yang baik. Memang, banyak orang mampu berpikir, dengan buah pikiran
yang memang sangat baik, tapi sedikit orang yang mampu melaksanakan
pemikiran-pemikirannya. Sebaliknya juga banyak orang mampu melaksanakan sesuatu
dengan baik, tapi ide-ide yang dilaksanakannya itu bukan ide-ide yang berasal dari
buah pemikirannya. Lain halnya dengan Pak Awang Faroek, selain sebagai pemikir
beliau juga menjadi pelaksana yang baik. Dia cukup kuat dalam konsep dan mampu
menggandeng berbagai pihak yang berkompeten dalam pelaksanaannya.”
Di
sela-sela aktivitasnya yang padat di Gedung Parlemen Senayan, tahun 1990 Awang
tetap menyempatkan diri menambah bekal keilmuan. Selaku wakil rakyat yang waktu
itu masih tercatat sebagai PNS, Awang Faroek diberi kesempatan untuk mengikuti Sekolah
Staf dan Pimpinan Administrasi Nasional (Sespanas) Angkatan XI Tahun 1990 –
Lembaga Administrasi Negara (LAN) Republik Indonesia. Di Sespanas ini, dia
berhasil tampil sebagai peserta dengan predikat lulusan terbaik pertama.
Kemudian, di tahun 1992, dia berkesempatan pula mengikuti Kursus Reguler
Angkatan (KRA) XXV Lemhanas – Departemen Pertahanan Keamanan RI. Gubernur
Lemhanas menilai Awang Faroek sebagai peserta berprestasi tinggi dan memiliki
kemampuan yang dapat diandalkan.
“Saya
mengenal Awang Faroek ketika kami sama-sama mengikuti pendidikan di KRA
Lemhanas Angkatan XXV tahun 1992. Sekitar sembilan bulan kami dalam
kebersamaan. Dalam kebersamaan itulah, saya melihat Awang Faroek sebagai orang
yang baik, pintar, dan dia mudah akrab dengan siapa saja. Dia merupakan sosok
nasionalis yang kuat,” ujar Letnan Jenderal (Purn) Arifin Tarigan, mantan
Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional.
Selain
Letnan Jenderal (Purn) Arifin Tarigan, teman-teman seangkatan Awang Faroek di
KRA Lemhanas Angkatan XXV tahun1992 itu antara lain tiga mantan Kapolri
(Jenderal Pol. Purn. Dibyo Widodo, Jenderal Pol. Purn. Roesmanhadi, dan
Jenderal Pol. Purn. Rusdihardjo), mantan Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen
Kejaksaan Agung RI Mayor Jenderal Yusuf Kartanegara, Menteri Pertahanan Purnomo
Yusgiantoro, mantan Ketua LIPI Prof. Dr. Sofyan Tsauri, dan mantan Menteri
Koperasi dan UKM Drs. Zarkasih Noor.
B. Memantapkan Kiprah di Pentas
Politik
Kendati
telah nyaman menapaki pentas politik di Senayan (1987-1992), bukan berarti
Awang Faroek bisa ongkang-ongkang kaki. Pertarungan memperebutkan kursi di
Senayan waktu-waktu berikutnya senantiasa menuntut kekuatan, kemampuan dan
kedisiplinan si politisi untuk memelihara suara rakyat dan bahkan harus terus
meningkatkan raihan suara dukungan rakyat. Sebab itu, dia tidak menyia-nyiakan
manakala datang tawaran untuk mengikuti Penataran Juru Kampanye Golkar Tingkat
Nasional di Jakarta tahun 1991 sebagai langkah persiapan menghadapi Pemilu
1992.
Langkahnya
semakin mantap menghadapi Pemilu 1992. Nama Awang Faroek tetap berada di nomor
jadi daftar anggota legislatif mewakili Golkar daerah pemilihan Kalimantan
Timur. Tanpa aral yang berarti, dia kembali mampu mendulang suara yang cukup
signifikan untuk tetap melenggang ke Gedung Parlemen Senayan.
Pasca
Pemilu 1992, Awang Faroek tetap berkantor di Gedung Parlemen Senayan, Jalan
Gatot Subroto, Jakarta. Pada periode kedua (1992-1997) masa pengabdian sebagai
wakil rakyat, FKP DPR RI menugaskan Awang Faroek memperkuat Komisi X DPR RI. Komisi
yang bermitra kerja dengan Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan
Tenaga Atom Nasional (Batan), Lembaga Pengembangan Antariksa Nasional (Lapan)
dan sejenisnya.
Pada
periode kedua ini, Awang Faroek dipercaya sebagai floor leader Komisi X DPR (1995-1997). Di Komisi X ini, dia aktif
menjadi anggota Pansus untuk penyusunan sejumlah rancangan undang-undang (RUU).
Antara lain RUU tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya; RUU
tentang Penataan Ruang; RUU tentang Perpajakan, RUU tentang Kapabeanan; dan RUU
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kemudian RUU tentang Pembentukan Daerah Tingkat
II Bitung, Halmahera Tengah, Tangerang, Jayapura, Denpasar, Palu, Kendari dan
Lampung Barat; RUU tentang Pajak dan Retribusi; RUU tentang Badan Peradilan
Pajak; RUU tentang Sengketa Pajak; dan RUU tentang Ketenaga-nukliran.
Tidak
cuma sebatas mengasah diri melalui penataran juru kampanye dan bersuara di
Parlemen. Dia tidak lupa pula terus menuangkan buah pikirannya ke dalam
berbagai karya publikasi dan kertas kerja. Tercatat antara lain kertas kerja
berjudul Upaya Optimalisasi Peranan
Politik DPRD Tingkat I dan Tingkat II, 1993; Kiprah Golkar dalam Menunjang Suksesnya Pembangunan Jangka Panjang
Tahap II, 1993; dan Peranan DPRD
dalam Mekanisme Pelaksanaan, Pencalonan, Pemilihan dan Pengangkatan Kepala
Daerah, 1994. Kemudian tulisan berjudul Suatu
Tinjauan Terhadap Sistem Proporsional Berimbang dan Sistem Pemilu Distrik,
1994; Pembangunan Bangsa Indonesia dalam
Pembangunan Jangka Panjang II Khususnya Repelita VI, 1995; dan Pembangunan Wilayah Kalimantan dalam
Perspektif Kebijaksanaan Pembangunan Nasional, 1997.
Alumnus
terbaik Sespanas XI/1990 dan KRA XXV Lemhanas 1992 ini sangat intens
memperjuangkan aspirasi daerah ke pentas nasional –baik melalui parlemen maupun
tulisan-tulisan yang terserak di berbagai media massa. Dengan begitu dia mampu mengetahui
persis bagaimana suatu kebijakan nasional dilahirkan dan juga sekaligus dia
dapat secara leluasa menyampaikan aspirasi dari daerahnya.
“Menurut
saya, sejak dulu Pak Awang Faroek adalah representasi otentik dari daerahnya,
Kalimantan Timur. Sejauh yang saya kenal, Pak Awang adalah representasi daerah
–meski pada masa Orde Baru sistemnya masih dikendalikan dari pusat— karena
kiprahnya tetap menggambarkan representasi yang kuat bagi daerahnya. Bisa
dikatakan, dia merupakan tokoh nasional dengan identitas aspirasi regional,”
ujar Marzuki Darusman, Jaksa Agung RI era kepemimpinan Presiden Abdurrahman
Wahid (1999-2000).
Selain
aktif memperjuangkan aspirasi rakyat, Awang Faroek termasuk sosok yang memegang
teguh komitmen dan janji-janji. “Pak Awang Faroek adalah sosok yang teguh
memegang komitmen dan dia selalu setia pada janji-janjinya. Kepada siapa saja
dia mengucapkan janji itu, dia pasti akan coba penuhi. Ini sesuatu yang
terkesan dari sahabat saya ini. Setahu saya, Pak Awang Faroek juga memiliki
keberpihakan yang begitu besar kepada rakyat yang diwakilinya,” kata mantan
Menteri Kehutanan RI yang dikenal pula sebagai fungsionaris Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) H. Marzuki Usman, SE, MA.
Pada
masa periode kedua menapaki hari-hari di Parlemen (1992-1997), Awang Faroek
juga masih menyempatkan diri mengikuti Penataran Calon Tingkat Nasional bagi
Eselon I/Manggala BP-7 Pusat yang dilaksanakan di Istana Bogor pada tanggal
8-17 Juli 1996. Di mata para koleganya sesama peserta penataran Manggala BP-7,
Awang Faroek tetap sebagai sosok yang cerdas, santun dalam bersikap dan sopan
saat bertutur-kata. “Dari perkenalan singkat saat penataran Manggala BP-7 di
Istana Bogor, saya melihat Awang Faroek sebagai sosok yang santun, baik dalam
bersikap maupun bertutur-kata. Kesantunannya ini merupakan ciri khas yang
menonjol dalam dirinya. Dia termasuk peserta yang aktif dalam setiap diskusi.
Pemikirannya mendeskripsikan kecerdasannya,” ujar mantan Kepala Staf TNI
Angkatan Darat yang juga teman seangkatan penataran Manggala BP-7 di Istana
Bogor, Jenderal TNI (Purn) Subagyo Hadi Siswoyo.
C. Belajar Sepanjang Hayat
Sebagai
politisi yang telah menasional, Awang Faroek tidak melupakan dunia akademisi
yang telah ditekuni dan memberikan dirinya pangkat edukatif Lektor Kepala.
Dunia akademisi adalah dunia yang senantiasa diwarnai belajar dan belajar
sepanjang hayat, long life education.
Sebab itu pula, walau sibuk dengan rapat-rapat yang padat di parlemen, darah
akademisi tidak meluntur dalam diri Awang Faroek. Dia tetap tidak ketinggalan
mengasah diri di dunia akademik.
Sekitar
tahun 1995, Awang Faroek menempa diri mengikuti pendidikan pascasarjana strata
dua (S-2) dengan fokus program Magister Manajemen di universitas ternama di Jakarta.
Program ini dia selesaikan tahun 1997 sehingga Awang Faroek berhak menuliskan
gelar MM di belakang namanya.
Merasa
belum puas atas ilmu yang telah diperolehnya, Awang Faroek kembali menempuh
pendidikan program pascasarjana S-3 di Program Studi Pengkajian Ketahanan
Nasional di Universitas Indonesia. Setelah menyusun dan menulis tesis berjudul Peranan Kawasan Andalan Sasamba dalam rangka
Meningkatkan Ketahanan Nasional di Wilayah Provinsi Kalimantan Timur pada
tahun 1998, maka Awang Faroek pun berhak menambahkan gelar M.Si dalam deretan gelar
yang dimilikinya.
Pengagum
Presiden Pertama RI Soekarno ini memang cukup intens menyuarakan segala hal
yang berbau nasional dan nasionalisme sejak masih kuliah di IKIP Malang. “Saya
percaya, apa pun partai politik yang diikuti sekarang, Pak Awang Faroek tetap
sebagai seorang nasionalis. Dia pengagum sejati Bung Karno, pikiran-pikirannya
banyak dipengaruhi oleh buah pemikiran Bung Karno. Apalagi sejak muda dia sudah
menjadi anggota GMNI dan itu bukti bahwa dia seorang nasionalis,” ujar Politisi
PDI Perjuangan yang mantan Ketua Umum Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Tjahjo
Kumolo.
Sekadar
pengetahuan, Presiden Pertama RI Soekarno atau yang populer disapa Bung Karno
adalah pemimpin terkemuka gerakan nasionalis Indonesia. Dikenal sebagai orator
ulung, sejak muda Buang Karno memperjuangkan hak-hak bangsa Indonesia melalui
Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikannya pada tahun 1927. Ketika
Indonesia merdeka, Insinyur lulusan ITB ini terpilih menjadi presiden pertama Republik
Indonesia (1945-1968).
Soekarno
lahir di Blitar, Jawa Timur, pada tanggal 6 juni 1901, anak dari seorang guru Sekolah
Rakyat (SR), Raden Soekami, dan wanita Bali berdarah bangsawan Ida Ayu Rai.
Sebagai anak priyayi yang memang pandai, Soekarno mampu mengecap pendidikan
tinggi dan lulus dari Teknik Sipil ITB tahun 1925.
Dia
aktif berjuang merebut kemerdekaan dari kaum penjajah Belanda. Soekarno
menerapkan sikap non-kooperasi dengan Belanda yang membuatnya beberapa kali
masuk tahanan. Pada tahun 1929 dia ditahan oleh Belanda di Penjara Sukamiskin,
Bandung, karena aktivitas politiknya. Lalu dia dibebaskan dua tahun kemudian.
Dan dia ditahan lagi pada tahun 1933, diasingkan ke Ende (Nusa Tenggara Timur) dan selanjutnya dibuang ke Bengkulu, sampai
dia dibebaskan oleh Jepang pada tahun 1942.
Pada
tanggal 17 Agustus 1945, tak lama setelah Jepang takluk kepada Sekutu, atas
desakan para aktivis pemuda yang sempat menculiknya ke Rengasdengklok, Soekarno-Hatta
didaulat untuk memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Dan sehari berselang,
pasangan Soekarno-Hatta diangkat menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI yang
pertama.
Semasa
menjabat sebagai presiden, ada beberapa karya arsitektur yang dipengaruhi atau
dicetuskan oleh Soekarno. Juga perjalanan secara maraton dari bulan Mei sampai
Juli di tahun 1956 ke negara-negara Amerika Serikat, Kanada, Italia, Jerman
Barat dan Swiss, membuat cakrawala alam pikir Soekarno semakin kaya dalam
menata Indonesia secara holistik dan menampilkannya sebagai negara baru merdeka
yang cukup disegani di mata dunia internasional.
Soekarno
membidik Jakarta sebagai wajah muka Indonesia terkait beberapa kegiatan
berskala internasional yang diadakan di kota ini. Selain itu juga merencanakan
sebuah kota sejak awal yang diharapkan berfungsi sebagai pusat pemerintahan di
masa mendatang. Beberapa karya monumental di Jakarta banyak dipengaruhi oleh
Soekarno atau atas perintah dan koordinasinya dengan beberapa arsitek seperti
Frederich Silaban dan R.M. Soedarsono, dibantu beberapa arsitek yunior untuk
visualisasi. Beberapa desain arsitektural juga dibuat melalui sayembara, antara
lain Masjid Istiqlal, Monumen Nasional (Monas), Gedung Ganefo, Gedung Sarinah, Wisma
Nusantara, Hotel Indonesia (HI), Tugu Selamat Datang, Monumen Pembebasan Irian
Barat (Lapangan Banteng) dan Patung Dirgantara (Pancoran).
Tahun
1955 Ir. Soekarno menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Sebagai seorang insinyur
teknik sipil, Soekarno tergerak untuk memberikan sumbangan ide arsitektural
kepada Pemerintah Arab Saudi agar merenovasi Masjidil Haram dan membuat
bangunan untuk melakukan sa’i (salah satu rukun haji: lari-lari kecil dari
Bukit Safa dan Bukit Marwa) menjadi dua jalur dalam bangunan dua lantai.
Pemerintah Arab Saudi akhirnya melakukan renovasi Masjidil Haram secara
besar-besaran pada tahun 1966, termasuk pembuatan lantai bertingkat bagi umat
yang melaksanakan sa’i menjadi dua jalur dan lantai bertingkat untuk melakukan
tawaf.
Presiden
Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia internasional.
Keprihatinannya terhadap nasib bangsa-bangsa Asia-Afrika, masih belum merdeka,
belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, mendorong Presiden
Soekarno, pada tahun 1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi
Asia-Afrika di Bandung, Jawa Barat, yang menghasilkan Dasa Sila. Bandung
dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Ketimpangan dan konflik akibat "bom
waktu" yang ditinggalkan negara-negara Barat yang dicap masih mementingkan
imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan dan kekhawatiran akan munculnya
perang nuklir yang mengubah peradaban, ketidak-adilan badan-badan dunia
internasional dalam pemecahan konflik juga menjadi perhatiannya. Bersama
Presiden Josep Broz Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali
Jinnah (Pakistan), U Nu, (Birma) dan Jawaharlal Nehru (India), dia mengadakan
Konferensi Asia Afrika yang membuahkan Gerakan Non-Blok. Berkat jasanya itu,
banyak negara-negara Asia Afrika yang memperoleh kemerdekaannya. Namun
sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik berkepanjangan sampai saat
ini karena ketidak-adilan dalam pemecahan masalah, yang masih saja dikuasai
negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula, banyak penduduk dari
kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno bila ingat atau mengenal akan
Indonesia.
Guna
menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional,
Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin
negara. Di antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni Soviet), John Fitzgerald
Kennedy (Amerika Serikat), Fidel Castro (Kuba), dan Mao Tse Tung (RRC).
D. Vokalis Golkar yang Mengagumi
Soeharto
Mantan
Ketua FKP DPR Usman Hasan memiliki kesan bahwa Awang Faroek merupakan sosok
yang berpihak kepada rakyat dan lantang (vokal) menyuarakan aspirasi rakyat.
“Ketika kami masih anggota DPR/MPR RI, saya melihat Pak Awang Faroek sebagai
anggota FKP yang paling vokal. Beliau selalu mengemukakan buah pemikirannya,
kebanyakan berpihak kepada rakyat. Sebagai sahabat, saya menilai Pak Awang
adalah sosok yang sangat cerdas. Setiap kali dia diberikan penugasan-penugasan
terkait bidang yang ditanganinya, dia selalu mengerjakannya dengan baik.”
Koleganya
yang lain, mantan Wakil Ketua MPR RI Soetardjo Soerjogoeritno menuturkan bahwa,
semasa di Parlemen, Awang Faroek merupakan sosok yang cukup vokal. Kendati dia
menjadi bagian dari Golkar, Awang Faroek tidak canggung-canggung melontarkan
kritik tajam terhadap jalannya pemerintahan, yang pada masa itu masih kuat
dikendalikan oleh Presiden Soeharto. Padahal, zaman itu terasa ‘haram’ hukumnya
bagi kader Golkar untuk mengkritik konsep dan kebijakan pemerintahan. Namun,
atas nama kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat, Awang Faroek dengan
konsepnya yang demikian mapan justru sangat lantang mengutarakan ide-idenya
dengan polesan kritik yang tajam.
Sikap
kritisnya terhadap kebijakan Presiden Soeharto bukan berarti Awang Faroek tidak
menyukai sosok Presiden ke-2 Republik Indonesia itu. Sebaliknya, dia termasuk
politisi yang mengagumi sosok Soeharto yang dalam perjalanan pemerintahannya
terasa penuh kontroversi.
Bukan
tanpa alasan bila Awang Faroek mengagumi Soeharto. Sekadar kilas balik, di
pertengahan tahun 1980-an, Presiden Soeharto sukses mengantarkan Indonesia dari
negara pengimpor beras terbesar di dunia menjadi negara swasembada beras.
Sampai kemudian Soeharto didapuk maju ke podium untuk memberikan pidatonya pada
Konferensi ke-23 Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) yang diikuti tidak
kurang dari 165 negara anggota di Roma, Italia, 14 November 1985. Usai
berpidato Soeharto menyerahkan bantuan satu juta ton padi kering (gabah) dari
para petani Indonesia untuk diberikan kepada rakyat Afrika yang saat itu sedang
mengalami kelaparan.
“Jika
pembangunan di bidang pangan ini dinilai berhasil, itu merupakan kerja raksasa
dari seluruh bangsa Indonesia,” kata Presiden Soeharto dalam pidatonya. Karena
itu, FAO mengapresiasi keberhasilan itu dengan penghargaan khusus berupa medali
emas pada tanggal 21 Juli 1986. Prestasi Soeharto di bidang pertanian memang terasa
fantastik. Indonesia mengecap swasembada beras mulai tahun 1984. Produksi beras
pada tahun itu mencapai 25,8 juta ton. Padahal, data tahun 1969 memperlihatkan beras
yang dihasilkan Indonesia hanya 12,2 juta ton. Hasil itu memaksa Indonesia
mengimpor beras minimal 2 juta ton.
Berkat
prestasi tersebut, pada tanggal 10 Maret 1988, Soeharto kembali terpilih
sebagai Presiden RI oleh MPR untuk kelima-kalinya. Posisi wakil presiden
diserahkan dari Umar Wirahadikusumah kepada Sudharmono.
Sekali
lagi, mata dunia kembali tertuju kepada sosok Soeharto. Karena sukses dalam
pelaksanaan program kependudukan dan Keluarga Berencana (KB), Presiden Soeharto
menerima penghargaan UN Population Award,
penghargaan tertinggi PBB di bidang kependudukan. Penghargaan itu disampaikan
langsung oleh Sekretaris Jenderal PBB, Javier de Cueller, di Markas Besar PBB,
New York, bertepatan dengan ulang tahun Soeharto yang ke-68 pada 8 Juni 1989. “Kenaikan
produksi pangan tidak banyak berarti jika pertambahan jumlah penduduk tidak
terkendali,” tandas Soeharto seusai menerima penghargaan waktu itu.
Soeharto
makin dilirik ketika berhasil menegakkan harkat bangsa Indonesia di latar
ekonomi Asia. Di ASEAN, dia dianggap berjasa ikut mengembangkan organisasi
regional ini sehingga diperhitungkan di kancah dunia internasional. “Tanpa
kebaikan dan kehadiran Soeharto, kami akan menghabiskan banyak jatah produk
domestik bruto di bidang pertahanan,” ujar Perdana Menteri Australia Paul
Keating ketika itu. Paul Keating menyebut Soeharto sebagai “ayah”.
Pemikiran
dan kebijakan Soeharto di bidang pertanian dan kependudukan itulah yang
kemudian hari sedikit-banyak mewarnai pemikiran Awang Faroek ketika memperoleh
mandat rakyat memimpin Kabupaten Kutai Timur dan Kalimantan Timur.
Kekaguman
Awang Faroek terhadap Soeharto tidak lantas menjadikan dia tidak kritis
terhadap kebijakan dan garis politik Presiden ke-2 Republik Indonesia yang
mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998 itu. Salah satu kekritisan Awang
Faroek adalah ketika Soeharto hendak maju kembali pada pemilihan Presiden usai Pemilu
1997.
Sekitar
tahun 1997, Awang Faroek dan kawan-kawan –secara santun—meminta agar penguasa
Orde Baru itu mundur dari jabatannya sebagai presiden. Saat itu Awang Faroek
bergabung pada kelompok vokal Golkar yang terdiri dari antara lain Marzuki
Darusman, Widjanarko Puspoyo (mantan Direktur Utama Perum Bulog), dan Jacob
Tobing. Belakangan kedua nama terakhir tersebut bergabung dengan Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) pimpinan Megawati Sukarnoputeri.
“Saya
sangat menghormati dan mengagumi Pak Harto sebagai tokoh pemimpin nasional,
terlepas dari kelebihan dan kekurangan beliau sebagai manusia biasa. Melihat
situasi yang berkembang tahun 1997 saat itu, maka Pak Harto harus
‘diselamatkan’. Karena bagian dari upaya ‘menyelamatkan’ beliau itulah, saya
dan kawan-kawan meminta beliau mundur,” ungkap Awang Faroek yang kala itu
sempat datang menghadap bersama-sama Jenderal TNI (Purn) Wahono (Ketua Umum
Golkar) dan Jenderal TNI (Purn) Kharis Suhud (mantan Ketua DPR/MPR RI).
Awang
Faroek menegaskan bahwa sebagai anggota Golkar justru langkahnya itu
menunjukkan loyalitasnya kepada Soeharto yang saat itu merupakan Ketua Dewan
Pembina Golkar. Jadi, Awang Faroek harus berani memberikan koreksi. Tahun 1998
itu, ketika Pak Harto didorong untuk kesekian kalinya menjadi presiden, karena
menurut Harmoko (Ketua Umum DPP Golkar), masih banyak yang mendukungnya, namun
Awang Faroek dan kawan-kawan justru menolak.
Kelompok
Awang Faroek waktu itu dikenal publik sebagai “Golkar Putih” yang sangat vokal
terhadap kebijakan pemerintahan Orde Baru. Kritik-kritiknya sangat tajam, tapi
kritik itu semata-mata dimaksudkan untuk perbaikan sendi-sendi kehidupan
berbangsa dan bernegara. Kevokalan kelompok ini, karena Awang Faroek dan
kawan-kawan harus menyuarakan kebenaran sesuai dengan panggilan hati nuraninya.
Namun,
apa yang terjadi kemudian? Langkah Awang Faroek dan kawan-kawan itu bagai
membentur ‘tembok’ yang teramat kokoh, di mana pada akhirnya berdampak besar
terhadap karir politik mereka di waktu-waktu berikutnya. Dan Awang Faroek harus
rela membayar mahal kevokalannya saat itu, lantaran tiba-tiba namanya
menghilang alias ‘dicoret’ dari daftar calon legislatif (DPR/MPR RI) di
Senayan. Padahal, baru saja nama Awang Faroek dan kawan-kawannya terpilih pada
Pemilu 1997 dan tinggal menunggu hari pelantikan.
“Usai
Pemilu 1997, saya sebenarnya sudah akan dilantik sebagai anggota DPR/MPR RI
untuk periode ketiga. Apalagi, saat itu suara saya nomor urut satu di Kaltim.
Tapi, karena imbas peristiwa itu, nama saya dan kawan-kawan mendadak dicoret,”
Awang Faroek berkisah. Dia menambahkan namanya dicoret dari daerah pemilihan
(Dapil) Katim, Tjahjo Kumolo dicoret dari Dapil Jawa Tengah, dan Widjanarko
Puspoyo dicoret dari Dapil Jawa Timur.
Kecewakah?
“Ya, kecewa tentu ada, tapi saya tidak sakit hati. Peristiwa pencoretan itu
jelas mengagetkan saya. Bayangkan, tinggal sepekan lagi dilantik, eh nama saya tiba-tiba dicoret,” ungkap
Awang Faroek, yang mengaku pasrah dan legowo atas pencoretan nama dirinya itu.
Pencoretan
nama dirinya yang mendadak itu, demikian kata Awang Faroek, bukan hanya
mengagetkan diri dan keluarga besarnya, namun juga koleganya di Golkar. Sebagian
besar dari mereka tidak percaya atas pencoretan
itu, bahkan banyak yang memberikan dukungan kepada Awang Faroek.
“Pimpinan tiga jalur ABG (ABRI, Birokrat, Golkar) merasa tidak tahu-menahu
kalau nama saya dicoret. Bahkan, Pak Harmoko (Menpen/Golkar) pun tidak tahu-menahu
kalau nama saya dicoret. Saya waktu itu malah dibela Jenderal Feisal Tandjung
(Pangab/ABRI) dan Letnan Jenderal Yogie S. Memet (Mendagri/Birokrat),” papar
Awang Faroek.
Di
balik peristiwa itu, Awang Faroek tak mau berprasangka buruk, apalagi sakit
hati menaruh dendam kesumat. Sekali lagi, dia memilih pasrah dan legowo
menerima pencoretan nama dirinya, kendati orang-orang di DPP Golkar banyak yang
terkesan lepas tangan. Walau merasa didzalimi, toh dia tidak merasa sakit hati.
Bahkan, saat Soeharto wafat (Januari 2008) dan dimakamkan di Kompleks Astana
Giribangun, Karanganyar, Jawa Tengah, Awang Faroek bergegas langsung terbang ke
Solo serta ikut melayat mantan penguasa Orde Baru itu.
Dampak
dari peristiwa itu Awang Faroek memutuskan untuk kembali ke daerahnya,
Kalimantan Timur. Dia merasa terpanggil untuk pulang membangun tanah
kelahirannya, Kalimantan Timur, yang telah lama dia tinggalkan. Sekali lagi,
Awang Faroek menegaskan, dirinya tidak pernah sakit hati terhadap orang yang
pernah mencoret nama dirinya. Sebab, menurut dia, hidup ini telah diatur oleh
Allah SWT. Manusia tinggal menjalankan ketetapan hidup yang telah
digariskan-Nya. “Saya tidak pernah sakti hati sedikit pun, dan saya yakin,
pasti ada hikmah lain yang bakal saya petik di balik semua ini,” tuturnya
berusaha bijak.
Dan
pilihannya pulang ke Kalimantan ternyata cukup tepat. Karena, tidak lama
berselang, terjadi suksesi kepemimpinan nasional di Jakarta (1998), disusul
kelahiran era otonomi daerah (desentralisasi), sesuai UU Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (direvisi menjadi UU Nomor 32 Tahun
2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004). Kehadiran kedua UU ini menjadi titik balik
bagi Kepala Daerah di seluruh Indonesia –di mana Awang Faroek menjadi salah
satu aktor sentral di dalamnya— untuk lebih berperan aktif dan proaktif secara sinergis
memberdayakan masyarakat dan komunitas daerahnya dalam konteks otonomi daerah
yang luas, nyata dan bertanggung-jawab.
Kematangan
Awang Faroek di pentas politik berjalan seiring dengan kematangan umurnya yang
melewati setengah abad. Dia berusaha bijak menyikapi segala hal yang memang harus
dijalani dan dilewati. Dia pun melangkah pulang ke Kalimantan Timur dengan
kepala tegak untuk kembali mengabdikan dirinya di jalur pendakian yang lebih
memberi arti bagi rakyat di wilayah ini. ***
No comments:
Post a Comment