Thursday, April 11, 2013

Bangsawan dari Kutai (4)


Memantapkan Kaki di Jagat Politik

Komitmen menyangkut keseimbangan yang sempurna dari karakter dan kompetensi, khususnya melibatkan integritas (karakter) dan kemampuan melakukan apa yang Anda katakan akan Anda lakukan (kompetensi).
Stephen R. Covey, pakar manajemen dan kepemimpinan

Tepukan Ali Murtopo di pundaknya saat bertemu pada acara pamitan di Kantor Gubernur Kalimantan Timur di pertengahan dekade 1980-an itu betul-betul mengusik benak Awang Faroek muda. “Kamu ini satu kaki di politik, satu kaki lagi masih di kampus. Tidak boleh begitu. Kalau kamu mau sukses di politik, kamu harus angkat kakimu yang satu (di kampus),” saran Ali Murtopo ketika itu.
Apalagi, dunia politik bukan hal baru bagi Awang Faroek muda. Sejak kuliah di IKIP Malang dia sudah bersinggungan dengan kehidupan politik praktis. Tepatnya tahun 1971-1973 dia sempat dipercaya sebagai anggota Golongan Karya (Golkar) Kotamadya Malang, Jawa Timur. Kemudian menjelang usia 30 tahun, 1978, Awang Faroek memperoleh amanah menjadi Ketua Biro Pemuda, Mahasiswa dan Cendekiawan DPD Golkar Daerah Tingkat I Kalimantan Timur. Dan, tahun 1983, di tengah kesibukannya mengembangkan Universitas Mulawarman, dia dipercaya sebagai Sekretaris Golkar DPD Daerah Tingkat I Kalimantan Timur. Sampai di tahun 1986 dia mengemban amanah jabatan Sekretaris Golkar Daerah Kaltim.  
Jelas, sejak usia 20-an nama Awang Faroek sudah sangat dikenal di kalangan politisi Golkar. Hal ini bisa menjadi modal kuat dan penting dalam petualangan Awang Faroek di jagad politik. Dia pun mantap menjawab saran Ali Murtopo, “Dua kaki saya harus menginjak bumi politik.”

A.   Memasuki Parlemen di Usia Mendekati Lima Windu
Awang Faroek tidak ingin setengah hati memasuki dunia politik yang sebenarnya sudah dia retas jauh-jauh hari sebelum meniti karir sebagai tenaga pengajar (akademisi) di Universitas Mulawarman, Samarinda. Semasa masih kuliah di IKIP Malang, tahun 1971-1973, dia sudah menjadi anggota Golongan Karya (Golkar) Kotamadya Malang, Jawa Timur.
Tatkala pulang kampung ke Kalimantan Timur lalu masuk sebagai birokrat di Kantor Gubernur Kalimantan Timur lantas dilanjutkan berkiprah menjadi akademisi di Universitas Mulawarman, Awang Faroek tetap aktif di jalur politik. Keaktifan itu ditandai dengan kesediaan dirinya menerima mandat sebagai Ketua Biro Pemuda dan Cendekiawan DPD Golkar Daerah Tingkat I Kalimantan Timur pada tahun 1978.
Lelaki kelahiran Tenggarong tanggal 31 Juli 1948 itu aktif pula menggumuli organisasi-organisasi yang secara tidak langsung menjadi sayap Golkar. Tahun 1975 dia masuk sebagai anggota Kosgoro (Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong), dan bahkan sampai sekarang Awang Faroek masih tercatat sebagai anggota Kosgoro. Kemudian tahun 1979, dia pun aktif sebagai Wakil Ketua DPD AMPI (Angkatan Muda Pembaruan Indonesia) Tingkat I Kalimantan Timur. Tahun 1977, dia sudah diajukan Golkar untuk menjadi calon anggota DPRD Tingkat II Kotamadya Samarinda
Memasuki dekade 1980-an, nama Awang Faroek semakin populer sebagai kader Golkar yang mumpuni. Pada Pemilu tahun 1982, nama Awang Faroek diajukan Golkar sebagai calon anggota DPRD Tingkat I Kalimantan Timur. Di tahun 1982 itu pula dia sempat memperoleh kepercayaan untuk memberikan bimbingan politik bagi anggota DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II se-Kaltim 1982-1987. Masih di tahun 1982 juga, dia dipercaya memberikan materi penataran calon-calon anggota DPRD Tingkat I Kalimantan Timur.
Keseriusannya menapaki jalur politik terus diasah agar semakin peka terhadap setiap aspirasi masyarakat yang berkembang. Di antaranya dilalui dengan mengikuti Penataran Kader Fungsional Pendidik Golkar Tingkat Pusat, Jakarta, 1985; Penataran Juru Kampanye Golkar Tingkat Nasional di Jakarta, 1986; Penataran Kader Fungsional (Karsinal) Golkar Tingkat Nasional, Jakarta, 1986; dan Penataran Kader Penggerak Teritorial Desa (Karaktedes) Golkar Tingkat Nasional, Jakarta, 1986.
Dengan bekal pengetahuan politik yang relatif cukup, Awang Faroek tidak menyia-nyiakan kesempatan dan amanah ketika dipercaya mengemban jabatan Sekretaris Golkar DPP Tingkat I Kalimantan Timur (1983-1988). Keseriusannya mengemban jabatan sekretaris tersebut kemudian berbuah penghargaan dari Ketua Umum DPP Golkar (masa itu) Soedharmono SH. Dia diapresiasi sebagai Sekretaris DPD Golkar yang berhasil mendongkrak nama Golkar di daerah Kaltim dan membawa kesuksesan pada Pemilu 1987. Sukses Pemilu 1987 juga berbuah penghargaan dari Ketua Dewan Pembina Golkar (saat itu) Soeharto.  
Awang Faroek pun tidak menampik manakala Golkar menawarkan nama dirinya dipasang pada nomor jadi daftar calon anggota legislatif mewakili rakyat dan Golkar Kalimantan Timur pada Pemilu 1987. Lewat perjuangan kampanye ke seluruh pelosok Kalimantan Timur menjelang Pemilu, dia ternyata mampu mendulang suara yang cukup signifikan untuk layak mewakili Golkar Kalimantan Timur melaju ke Gedung Parlemen Senayan, Jakarta. Dia lantas terpilih sebagai anggota DPR/MPR RI periode 1987-1992 dari daerah penghasil tambang barubara ini.
Dan di usia mendekati lima windu, tepatnya 39 tahun, Awang Faroek menapaki pendakian karir di parlemen yang kemudian membawa dirinya melewatkan hari-harinya di Senayan. Oleh Fraksi Karya Pembangunan (FKP) DPR RI, dia diplot memperkuat Komisi II DPR yang biasa bermitra dengan Menteri Dalam Negeri, para gubernur, walikota dan bupati, Sekretaris Negara, Lembaga Administrasi Negara (LAN), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Badan Kepegawaian Negara (BKN), Badan Penyelenggara Pelaksanaan Pendidikan Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (BP-7) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Komisi ini pula yang akrab bersinggungan dengan tugas-tugas Pemerintahan Daerah dan proses mengolah aspirasi pemekaran wilayah.
“Pada waktu itu, saya melihat banyak gubernur atau bupati/walikota yang berhasil membawa kemajuan bagi daerahnya. Saya dapat belajar dari pengalaman mereka, dan saya tidak mau mengulangi kesalahan atau kegagalan yang pernah mereka lakukan. Itulah yang menjadi guru, karena pengalaman merupakan guru yang terbaik,” tutur Awang Faroek suatu waktu.
Dalam menyampaikan ide dan gagasan di masa menjadi wakil rakyat di Senayan, konsep-konsep Awang Faroek dapat dikatakan jernih dan inovatif. “Saya mengenal Awang Faroek di DPR ketika itu sebagai pemuda yang tampan dan cerdas, dalam usia 40-an tahun dia tampil penuh percaya diri dalam forum parlemen pusat dan sekaligus forum politik tertinggi di negeri ini. Dia membawa bukan saja aspirasi daerahnya, tapi juga gagasan-gagasan jernih dan inovatif tentang pembangunan dan upaya memajukan daerah yang diwakilinya, Provinsi Kalimantan Timur,” ujar Anindyati Sulasikin Murpratomo, Menteri Negara Urusan Wanita di akhir 1980-an sampai awal 1990-an.
Mantan Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri Suryatna Soebrata menilai Awang Faroek sebagai mitra pemerintah (ketika itu) yang sangat baik, kooperatif, luwes, supel, enak bergaul dan rendah hati. “Dia memiliki konsep-konsep pembangunan yang jelas dan kuat memegang teguh prinsip. Dalam pandangan saya, dia figur yang konsisten dengan prinsip-prinsipnya,” ujar Suryatna.
Ir. Sarwono Kusumaatmadja, mantan Menteri Kelautan RI, sependapat berkomentar, "Sosok Awang Faroek cukup menyenangkan. Bukan hanya ketika menjadi Bupati Kutai Timur atau Gubernur Kalimantan Timur seperti sekarang, tetapi sejak kami sama-sama duduk sebagai anggota DPR RI tahun 1987-1997 lalu. Dia orang yang sangat cerdas, sehingga kami sering bertukar pikiran terhadap berbagai hal. Di samping akomodatif terhadap ide-ide baru dan juga sangat kritis, Awang Faroek tidak berlebihan dan bahasanya santun dalam menyampaikan kritik atau memberi masukan."
Hal senada disampaikan oleh Menko Kesra yang juga mantan Ketua DPR RI Drs. R.H. Agung Laksono. Katanya, “Ada satu hal yang membuat saya selalu kagum pada Bung Awang Faroek, yakni pancaran sinar wajahnya yang ceria dan ini menunjukkan dia selalu optimis menatap masa depan. Hal ini yang mungkin juga menjadi salah satu bekal dia sebagai anggota DPR/MPR-RI waktu itu. Terbukti, dia berhasil menduduki posisi wakil rakyat hingga dua periode (1987-1992 dan 1992-1997).”
Penilaian keempat tokoh nasional tadi tidaklah berlebihan. Dari rekam jejak masa awal Awang Faroek di Senayan, dia pernah dipercaya sebagai Anggota Badan Musyawarah (Bamus) DPR RI 1987-1992; anggota Tim FKP dalam Penyusunan Bahan-bahan untuk Sidang Umum MPR RI 1988; Floor Leader FKP Komisi II DPR RI 1989-1990; Sekretaris Komisi II DPR RI 1989-1995; Wakil Ketua Komisi II DPR RI 1990-1995.
Kompetensi dan pengalamannya di bidang pendidikan menjadi bekal tersendiri dalam kiprah Awang Faroek di parlemen. Tahun 1990, dia cukup sukses mendorong Rancangan Undang-undang (RUU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menjadi UU Sisdiknas.
Sebagai wakil rakyat yang mewakili daerah yang kaya sumber daya alam seperti Kalimantan Timur, tahun 1989, Awang Faroek sempat pula dipercaya sebagai Ketua Pansus RUU Konservasi Sumber Daya Alam dan anggota Pansus RUU Lingkungan Hidup.
Awang Faroek juga senantiasa mengasah diri dengan menuangkan buah pikirannya ke dalam bentuk karya publikasi dan kertas kerja. Kedekatannya dengan mitra Kementerian Dalam Negeri setidaknya memantik pikirannya untuk menghasilkan karya publikasi seperti Usaha-usaha Menciptakan Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa (Pemberantasan Korupsi), 1990; Peningkatan Pendapatan Asli Daerah dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah Tingkat II, 1990; Peningkatan Kepemimpinan Aparatur Pemerintah dalam Rangka Terwujudnya Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggung-jawab pada Pemerintahan Daerah Ditinjau dari Aspek Kemampuan Pengambilan Keputusan, 1990; Upaya Peningkatan Supra dan Infra Struktural Politik Menjelang Era Tinggal Landas, 1992; dan Peranan Pajak Daerah dalam Upaya Peningkatan Pendapatan Asli Daerah, 1992.
Awang Faroek memang sepantasnya memperoleh banyak kepercayaan tatkala duduk sebagai wakil rakyat di Senayan. Karena, di mata mantan anggota DPR/MPR RI Djafar Ahmad, “Selama ini saya melihat Pak Awang, di samping pemikir, juga seorang pelaksana yang baik. Memang, banyak orang mampu berpikir, dengan buah pikiran yang memang sangat baik, tapi sedikit orang yang mampu melaksanakan pemikiran-pemikirannya. Sebaliknya juga banyak orang mampu melaksanakan sesuatu dengan baik, tapi ide-ide yang dilaksanakannya itu bukan ide-ide yang berasal dari buah pemikirannya. Lain halnya dengan Pak Awang Faroek, selain sebagai pemikir beliau juga menjadi pelaksana yang baik. Dia cukup kuat dalam konsep dan mampu menggandeng berbagai pihak yang berkompeten dalam pelaksanaannya.”
Di sela-sela aktivitasnya yang padat di Gedung Parlemen Senayan, tahun 1990 Awang tetap menyempatkan diri menambah bekal keilmuan. Selaku wakil rakyat yang waktu itu masih tercatat sebagai PNS, Awang Faroek diberi kesempatan untuk mengikuti Sekolah Staf dan Pimpinan Administrasi Nasional (Sespanas) Angkatan XI Tahun 1990 – Lembaga Administrasi Negara (LAN) Republik Indonesia. Di Sespanas ini, dia berhasil tampil sebagai peserta dengan predikat lulusan terbaik pertama. Kemudian, di tahun 1992, dia berkesempatan pula mengikuti Kursus Reguler Angkatan (KRA) XXV Lemhanas – Departemen Pertahanan Keamanan RI. Gubernur Lemhanas menilai Awang Faroek sebagai peserta berprestasi tinggi dan memiliki kemampuan yang dapat diandalkan.
“Saya mengenal Awang Faroek ketika kami sama-sama mengikuti pendidikan di KRA Lemhanas Angkatan XXV tahun 1992. Sekitar sembilan bulan kami dalam kebersamaan. Dalam kebersamaan itulah, saya melihat Awang Faroek sebagai orang yang baik, pintar, dan dia mudah akrab dengan siapa saja. Dia merupakan sosok nasionalis yang kuat,” ujar Letnan Jenderal (Purn) Arifin Tarigan, mantan Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional.
Selain Letnan Jenderal (Purn) Arifin Tarigan, teman-teman seangkatan Awang Faroek di KRA Lemhanas Angkatan XXV tahun1992 itu antara lain tiga mantan Kapolri (Jenderal Pol. Purn. Dibyo Widodo, Jenderal Pol. Purn. Roesmanhadi, dan Jenderal Pol. Purn. Rusdihardjo), mantan Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Kejaksaan Agung RI Mayor Jenderal Yusuf Kartanegara, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, mantan Ketua LIPI Prof. Dr. Sofyan Tsauri, dan mantan Menteri Koperasi dan UKM Drs. Zarkasih Noor.

B.    Memantapkan Kiprah di Pentas Politik
Kendati telah nyaman menapaki pentas politik di Senayan (1987-1992), bukan berarti Awang Faroek bisa ongkang-ongkang kaki. Pertarungan memperebutkan kursi di Senayan waktu-waktu berikutnya senantiasa menuntut kekuatan, kemampuan dan kedisiplinan si politisi untuk memelihara suara rakyat dan bahkan harus terus meningkatkan raihan suara dukungan rakyat. Sebab itu, dia tidak menyia-nyiakan manakala datang tawaran untuk mengikuti Penataran Juru Kampanye Golkar Tingkat Nasional di Jakarta tahun 1991 sebagai langkah persiapan menghadapi Pemilu 1992.
Langkahnya semakin mantap menghadapi Pemilu 1992. Nama Awang Faroek tetap berada di nomor jadi daftar anggota legislatif mewakili Golkar daerah pemilihan Kalimantan Timur. Tanpa aral yang berarti, dia kembali mampu mendulang suara yang cukup signifikan untuk tetap melenggang ke Gedung Parlemen Senayan.
Pasca Pemilu 1992, Awang Faroek tetap berkantor di Gedung Parlemen Senayan, Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Pada periode kedua (1992-1997) masa pengabdian sebagai wakil rakyat, FKP DPR RI menugaskan Awang Faroek memperkuat Komisi X DPR RI. Komisi yang bermitra kerja dengan Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Tenaga Atom Nasional (Batan), Lembaga Pengembangan Antariksa Nasional (Lapan) dan sejenisnya.
Pada periode kedua ini, Awang Faroek dipercaya sebagai floor leader Komisi X DPR (1995-1997). Di Komisi X ini, dia aktif menjadi anggota Pansus untuk penyusunan sejumlah rancangan undang-undang (RUU). Antara lain RUU tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya; RUU tentang Penataan Ruang; RUU tentang Perpajakan, RUU tentang Kapabeanan; dan RUU Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kemudian RUU tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Bitung, Halmahera Tengah, Tangerang, Jayapura, Denpasar, Palu, Kendari dan Lampung Barat; RUU tentang Pajak dan Retribusi; RUU tentang Badan Peradilan Pajak; RUU tentang Sengketa Pajak; dan RUU tentang Ketenaga-nukliran.
Tidak cuma sebatas mengasah diri melalui penataran juru kampanye dan bersuara di Parlemen. Dia tidak lupa pula terus menuangkan buah pikirannya ke dalam berbagai karya publikasi dan kertas kerja. Tercatat antara lain kertas kerja berjudul Upaya Optimalisasi Peranan Politik DPRD Tingkat I dan Tingkat II, 1993; Kiprah Golkar dalam Menunjang Suksesnya Pembangunan Jangka Panjang Tahap II, 1993; dan Peranan DPRD dalam Mekanisme Pelaksanaan, Pencalonan, Pemilihan dan Pengangkatan Kepala Daerah, 1994. Kemudian tulisan berjudul Suatu Tinjauan Terhadap Sistem Proporsional Berimbang dan Sistem Pemilu Distrik, 1994; Pembangunan Bangsa Indonesia dalam Pembangunan Jangka Panjang II Khususnya Repelita VI, 1995; dan Pembangunan Wilayah Kalimantan dalam Perspektif Kebijaksanaan Pembangunan Nasional, 1997.
Alumnus terbaik Sespanas XI/1990 dan KRA XXV Lemhanas 1992 ini sangat intens memperjuangkan aspirasi daerah ke pentas nasional –baik melalui parlemen maupun tulisan-tulisan yang terserak di berbagai media massa. Dengan begitu dia mampu mengetahui persis bagaimana suatu kebijakan nasional dilahirkan dan juga sekaligus dia dapat secara leluasa menyampaikan aspirasi dari daerahnya.
“Menurut saya, sejak dulu Pak Awang Faroek adalah representasi otentik dari daerahnya, Kalimantan Timur. Sejauh yang saya kenal, Pak Awang adalah representasi daerah –meski pada masa Orde Baru sistemnya masih dikendalikan dari pusat— karena kiprahnya tetap menggambarkan representasi yang kuat bagi daerahnya. Bisa dikatakan, dia merupakan tokoh nasional dengan identitas aspirasi regional,” ujar Marzuki Darusman, Jaksa Agung RI era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2000).
Selain aktif memperjuangkan aspirasi rakyat, Awang Faroek termasuk sosok yang memegang teguh komitmen dan janji-janji. “Pak Awang Faroek adalah sosok yang teguh memegang komitmen dan dia selalu setia pada janji-janjinya. Kepada siapa saja dia mengucapkan janji itu, dia pasti akan coba penuhi. Ini sesuatu yang terkesan dari sahabat saya ini. Setahu saya, Pak Awang Faroek juga memiliki keberpihakan yang begitu besar kepada rakyat yang diwakilinya,” kata mantan Menteri Kehutanan RI yang dikenal pula sebagai fungsionaris Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) H. Marzuki Usman, SE, MA.
Pada masa periode kedua menapaki hari-hari di Parlemen (1992-1997), Awang Faroek juga masih menyempatkan diri mengikuti Penataran Calon Tingkat Nasional bagi Eselon I/Manggala BP-7 Pusat yang dilaksanakan di Istana Bogor pada tanggal 8-17 Juli 1996. Di mata para koleganya sesama peserta penataran Manggala BP-7, Awang Faroek tetap sebagai sosok yang cerdas, santun dalam bersikap dan sopan saat bertutur-kata. “Dari perkenalan singkat saat penataran Manggala BP-7 di Istana Bogor, saya melihat Awang Faroek sebagai sosok yang santun, baik dalam bersikap maupun bertutur-kata. Kesantunannya ini merupakan ciri khas yang menonjol dalam dirinya. Dia termasuk peserta yang aktif dalam setiap diskusi. Pemikirannya mendeskripsikan kecerdasannya,” ujar mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat yang juga teman seangkatan penataran Manggala BP-7 di Istana Bogor, Jenderal TNI (Purn) Subagyo Hadi Siswoyo.

C.   Belajar Sepanjang Hayat
Sebagai politisi yang telah menasional, Awang Faroek tidak melupakan dunia akademisi yang telah ditekuni dan memberikan dirinya pangkat edukatif Lektor Kepala. Dunia akademisi adalah dunia yang senantiasa diwarnai belajar dan belajar sepanjang hayat, long life education. Sebab itu pula, walau sibuk dengan rapat-rapat yang padat di parlemen, darah akademisi tidak meluntur dalam diri Awang Faroek. Dia tetap tidak ketinggalan mengasah diri di dunia akademik.
Sekitar tahun 1995, Awang Faroek menempa diri mengikuti pendidikan pascasarjana strata dua (S-2) dengan fokus program Magister Manajemen di universitas ternama di Jakarta. Program ini dia selesaikan tahun 1997 sehingga Awang Faroek berhak menuliskan gelar MM di belakang namanya.
Merasa belum puas atas ilmu yang telah diperolehnya, Awang Faroek kembali menempuh pendidikan program pascasarjana S-3 di Program Studi Pengkajian Ketahanan Nasional di Universitas Indonesia. Setelah menyusun dan menulis tesis berjudul Peranan Kawasan Andalan Sasamba dalam rangka Meningkatkan Ketahanan Nasional di Wilayah Provinsi Kalimantan Timur pada tahun 1998, maka Awang Faroek pun berhak menambahkan gelar M.Si dalam deretan gelar yang dimilikinya.    
Pengagum Presiden Pertama RI Soekarno ini memang cukup intens menyuarakan segala hal yang berbau nasional dan nasionalisme sejak masih kuliah di IKIP Malang. “Saya percaya, apa pun partai politik yang diikuti sekarang, Pak Awang Faroek tetap sebagai seorang nasionalis. Dia pengagum sejati Bung Karno, pikiran-pikirannya banyak dipengaruhi oleh buah pemikiran Bung Karno. Apalagi sejak muda dia sudah menjadi anggota GMNI dan itu bukti bahwa dia seorang nasionalis,” ujar Politisi PDI Perjuangan yang mantan Ketua Umum Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Tjahjo Kumolo.
Sekadar pengetahuan, Presiden Pertama RI Soekarno atau yang populer disapa Bung Karno adalah pemimpin terkemuka gerakan nasionalis Indonesia. Dikenal sebagai orator ulung, sejak muda Buang Karno memperjuangkan hak-hak bangsa Indonesia melalui Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikannya pada tahun 1927. Ketika Indonesia merdeka, Insinyur lulusan ITB ini terpilih menjadi presiden pertama Republik Indonesia (1945-1968).
Soekarno lahir di Blitar, Jawa Timur, pada tanggal 6 juni 1901, anak dari seorang guru Sekolah Rakyat (SR), Raden Soekami, dan wanita Bali berdarah bangsawan Ida Ayu Rai. Sebagai anak priyayi yang memang pandai, Soekarno mampu mengecap pendidikan tinggi dan lulus dari Teknik Sipil ITB tahun 1925.
Dia aktif berjuang merebut kemerdekaan dari kaum penjajah Belanda. Soekarno menerapkan sikap non-kooperasi dengan Belanda yang membuatnya beberapa kali masuk tahanan. Pada tahun 1929 dia ditahan oleh Belanda di Penjara Sukamiskin, Bandung, karena aktivitas politiknya. Lalu dia dibebaskan dua tahun kemudian. Dan dia ditahan lagi pada tahun 1933, diasingkan ke Ende (Nusa Tenggara Timur)  dan selanjutnya dibuang ke Bengkulu, sampai dia dibebaskan oleh Jepang pada tahun 1942.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, tak lama setelah Jepang takluk kepada Sekutu, atas desakan para aktivis pemuda yang sempat menculiknya ke Rengasdengklok, Soekarno-Hatta didaulat untuk memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Dan sehari berselang, pasangan Soekarno-Hatta diangkat menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI yang pertama.
Semasa menjabat sebagai presiden, ada beberapa karya arsitektur yang dipengaruhi atau dicetuskan oleh Soekarno. Juga perjalanan secara maraton dari bulan Mei sampai Juli di tahun 1956 ke negara-negara Amerika Serikat, Kanada, Italia, Jerman Barat dan Swiss, membuat cakrawala alam pikir Soekarno semakin kaya dalam menata Indonesia secara holistik dan menampilkannya sebagai negara baru merdeka yang cukup disegani di mata dunia internasional.
Soekarno membidik Jakarta sebagai wajah muka Indonesia terkait beberapa kegiatan berskala internasional yang diadakan di kota ini. Selain itu juga merencanakan sebuah kota sejak awal yang diharapkan berfungsi sebagai pusat pemerintahan di masa mendatang. Beberapa karya monumental di Jakarta banyak dipengaruhi oleh Soekarno atau atas perintah dan koordinasinya dengan beberapa arsitek seperti Frederich Silaban dan R.M. Soedarsono, dibantu beberapa arsitek yunior untuk visualisasi. Beberapa desain arsitektural juga dibuat melalui sayembara, antara lain Masjid Istiqlal, Monumen Nasional (Monas), Gedung Ganefo, Gedung Sarinah, Wisma Nusantara, Hotel Indonesia (HI), Tugu Selamat Datang, Monumen Pembebasan Irian Barat (Lapangan Banteng) dan Patung Dirgantara (Pancoran).
Tahun 1955 Ir. Soekarno menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Sebagai seorang insinyur teknik sipil, Soekarno tergerak untuk memberikan sumbangan ide arsitektural kepada Pemerintah Arab Saudi agar merenovasi Masjidil Haram dan membuat bangunan untuk melakukan sa’i (salah satu rukun haji: lari-lari kecil dari Bukit Safa dan Bukit Marwa) menjadi dua jalur dalam bangunan dua lantai. Pemerintah Arab Saudi akhirnya melakukan renovasi Masjidil Haram secara besar-besaran pada tahun 1966, termasuk pembuatan lantai bertingkat bagi umat yang melaksanakan sa’i menjadi dua jalur dan lantai bertingkat untuk melakukan tawaf.
Presiden Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia internasional. Keprihatinannya terhadap nasib bangsa-bangsa Asia-Afrika, masih belum merdeka, belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, mendorong Presiden Soekarno, pada tahun 1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung, Jawa Barat, yang menghasilkan Dasa Sila. Bandung dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Ketimpangan dan konflik akibat "bom waktu" yang ditinggalkan negara-negara Barat yang dicap masih mementingkan imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan dan kekhawatiran akan munculnya perang nuklir yang mengubah peradaban, ketidak-adilan badan-badan dunia internasional dalam pemecahan konflik juga menjadi perhatiannya. Bersama Presiden Josep Broz Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali Jinnah (Pakistan), U Nu, (Birma) dan Jawaharlal Nehru (India), dia mengadakan Konferensi Asia Afrika yang membuahkan Gerakan Non-Blok. Berkat jasanya itu, banyak negara-negara Asia Afrika yang memperoleh kemerdekaannya. Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik berkepanjangan sampai saat ini karena ketidak-adilan dalam pemecahan masalah, yang masih saja dikuasai negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula, banyak penduduk dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno bila ingat atau mengenal akan Indonesia.
Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional, Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara. Di antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni Soviet), John Fitzgerald Kennedy (Amerika Serikat), Fidel Castro (Kuba), dan Mao Tse Tung (RRC).

D.   Vokalis Golkar yang Mengagumi Soeharto
Mantan Ketua FKP DPR Usman Hasan memiliki kesan bahwa Awang Faroek merupakan sosok yang berpihak kepada rakyat dan lantang (vokal) menyuarakan aspirasi rakyat. “Ketika kami masih anggota DPR/MPR RI, saya melihat Pak Awang Faroek sebagai anggota FKP yang paling vokal. Beliau selalu mengemukakan buah pemikirannya, kebanyakan berpihak kepada rakyat. Sebagai sahabat, saya menilai Pak Awang adalah sosok yang sangat cerdas. Setiap kali dia diberikan penugasan-penugasan terkait bidang yang ditanganinya, dia selalu mengerjakannya dengan baik.” 
Koleganya yang lain, mantan Wakil Ketua MPR RI Soetardjo Soerjogoeritno menuturkan bahwa, semasa di Parlemen, Awang Faroek merupakan sosok yang cukup vokal. Kendati dia menjadi bagian dari Golkar, Awang Faroek tidak canggung-canggung melontarkan kritik tajam terhadap jalannya pemerintahan, yang pada masa itu masih kuat dikendalikan oleh Presiden Soeharto. Padahal, zaman itu terasa ‘haram’ hukumnya bagi kader Golkar untuk mengkritik konsep dan kebijakan pemerintahan. Namun, atas nama kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat, Awang Faroek dengan konsepnya yang demikian mapan justru sangat lantang mengutarakan ide-idenya dengan polesan kritik yang tajam.
Sikap kritisnya terhadap kebijakan Presiden Soeharto bukan berarti Awang Faroek tidak menyukai sosok Presiden ke-2 Republik Indonesia itu. Sebaliknya, dia termasuk politisi yang mengagumi sosok Soeharto yang dalam perjalanan pemerintahannya terasa penuh kontroversi.
Bukan tanpa alasan bila Awang Faroek mengagumi Soeharto. Sekadar kilas balik, di pertengahan tahun 1980-an, Presiden Soeharto sukses mengantarkan Indonesia dari negara pengimpor beras terbesar di dunia menjadi negara swasembada beras. Sampai kemudian Soeharto didapuk maju ke podium untuk memberikan pidatonya pada Konferensi ke-23 Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) yang diikuti tidak kurang dari 165 negara anggota di Roma, Italia, 14 November 1985. Usai berpidato Soeharto menyerahkan bantuan satu juta ton padi kering (gabah) dari para petani Indonesia untuk diberikan kepada rakyat Afrika yang saat itu sedang mengalami kelaparan.
“Jika pembangunan di bidang pangan ini dinilai berhasil, itu merupakan kerja raksasa dari seluruh bangsa Indonesia,” kata Presiden Soeharto dalam pidatonya. Karena itu, FAO mengapresiasi keberhasilan itu dengan penghargaan khusus berupa medali emas pada tanggal 21 Juli 1986. Prestasi Soeharto di bidang pertanian memang terasa fantastik. Indonesia mengecap swasembada beras mulai tahun 1984. Produksi beras pada tahun itu mencapai 25,8 juta ton. Padahal, data tahun 1969 memperlihatkan beras yang dihasilkan Indonesia hanya 12,2 juta ton. Hasil itu memaksa Indonesia mengimpor beras minimal 2 juta ton.
Berkat prestasi tersebut, pada tanggal 10 Maret 1988, Soeharto kembali terpilih sebagai Presiden RI oleh MPR untuk kelima-kalinya. Posisi wakil presiden diserahkan dari Umar Wirahadikusumah kepada Sudharmono.  
Sekali lagi, mata dunia kembali tertuju kepada sosok Soeharto. Karena sukses dalam pelaksanaan program kependudukan dan Keluarga Berencana (KB), Presiden Soeharto menerima penghargaan UN Population Award, penghargaan tertinggi PBB di bidang kependudukan. Penghargaan itu disampaikan langsung oleh Sekretaris Jenderal PBB, Javier de Cueller, di Markas Besar PBB, New York, bertepatan dengan ulang tahun Soeharto yang ke-68 pada 8 Juni 1989. “Kenaikan produksi pangan tidak banyak berarti jika pertambahan jumlah penduduk tidak terkendali,” tandas Soeharto seusai menerima penghargaan waktu itu.
Soeharto makin dilirik ketika berhasil menegakkan harkat bangsa Indonesia di latar ekonomi Asia. Di ASEAN, dia dianggap berjasa ikut mengembangkan organisasi regional ini sehingga diperhitungkan di kancah dunia internasional. “Tanpa kebaikan dan kehadiran Soeharto, kami akan menghabiskan banyak jatah produk domestik bruto di bidang pertahanan,” ujar Perdana Menteri Australia Paul Keating ketika itu. Paul Keating menyebut Soeharto sebagai “ayah”.   
Pemikiran dan kebijakan Soeharto di bidang pertanian dan kependudukan itulah yang kemudian hari sedikit-banyak mewarnai pemikiran Awang Faroek ketika memperoleh mandat rakyat memimpin Kabupaten Kutai Timur dan Kalimantan Timur.
Kekaguman Awang Faroek terhadap Soeharto tidak lantas menjadikan dia tidak kritis terhadap kebijakan dan garis politik Presiden ke-2 Republik Indonesia yang mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998 itu. Salah satu kekritisan Awang Faroek adalah ketika Soeharto hendak maju kembali pada pemilihan Presiden usai Pemilu 1997.
Sekitar tahun 1997, Awang Faroek dan kawan-kawan –secara santun—meminta agar penguasa Orde Baru itu mundur dari jabatannya sebagai presiden. Saat itu Awang Faroek bergabung pada kelompok vokal Golkar yang terdiri dari antara lain Marzuki Darusman, Widjanarko Puspoyo (mantan Direktur Utama Perum Bulog), dan Jacob Tobing. Belakangan kedua nama terakhir tersebut bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) pimpinan Megawati Sukarnoputeri.
“Saya sangat menghormati dan mengagumi Pak Harto sebagai tokoh pemimpin nasional, terlepas dari kelebihan dan kekurangan beliau sebagai manusia biasa. Melihat situasi yang berkembang tahun 1997 saat itu, maka Pak Harto harus ‘diselamatkan’. Karena bagian dari upaya ‘menyelamatkan’ beliau itulah, saya dan kawan-kawan meminta beliau mundur,” ungkap Awang Faroek yang kala itu sempat datang menghadap bersama-sama Jenderal TNI (Purn) Wahono (Ketua Umum Golkar) dan Jenderal TNI (Purn) Kharis Suhud (mantan Ketua DPR/MPR RI).
Awang Faroek menegaskan bahwa sebagai anggota Golkar justru langkahnya itu menunjukkan loyalitasnya kepada Soeharto yang saat itu merupakan Ketua Dewan Pembina Golkar. Jadi, Awang Faroek harus berani memberikan koreksi. Tahun 1998 itu, ketika Pak Harto didorong untuk kesekian kalinya menjadi presiden, karena menurut Harmoko (Ketua Umum DPP Golkar), masih banyak yang mendukungnya, namun Awang Faroek dan kawan-kawan justru menolak.
Kelompok Awang Faroek waktu itu dikenal publik sebagai “Golkar Putih” yang sangat vokal terhadap kebijakan pemerintahan Orde Baru. Kritik-kritiknya sangat tajam, tapi kritik itu semata-mata dimaksudkan untuk perbaikan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kevokalan kelompok ini, karena Awang Faroek dan kawan-kawan harus menyuarakan kebenaran sesuai dengan panggilan hati nuraninya.
Namun, apa yang terjadi kemudian? Langkah Awang Faroek dan kawan-kawan itu bagai membentur ‘tembok’ yang teramat kokoh, di mana pada akhirnya berdampak besar terhadap karir politik mereka di waktu-waktu berikutnya. Dan Awang Faroek harus rela membayar mahal kevokalannya saat itu, lantaran tiba-tiba namanya menghilang alias ‘dicoret’ dari daftar calon legislatif (DPR/MPR RI) di Senayan. Padahal, baru saja nama Awang Faroek dan kawan-kawannya terpilih pada Pemilu 1997 dan tinggal menunggu hari pelantikan.
“Usai Pemilu 1997, saya sebenarnya sudah akan dilantik sebagai anggota DPR/MPR RI untuk periode ketiga. Apalagi, saat itu suara saya nomor urut satu di Kaltim. Tapi, karena imbas peristiwa itu, nama saya dan kawan-kawan mendadak dicoret,” Awang Faroek berkisah. Dia menambahkan namanya dicoret dari daerah pemilihan (Dapil) Katim, Tjahjo Kumolo dicoret dari Dapil Jawa Tengah, dan Widjanarko Puspoyo dicoret dari Dapil Jawa Timur.
Kecewakah? “Ya, kecewa tentu ada, tapi saya tidak sakit hati. Peristiwa pencoretan itu jelas mengagetkan saya. Bayangkan, tinggal sepekan lagi dilantik, eh nama saya tiba-tiba dicoret,” ungkap Awang Faroek, yang mengaku pasrah dan legowo atas pencoretan nama dirinya itu.
Pencoretan nama dirinya yang mendadak itu, demikian kata Awang Faroek, bukan hanya mengagetkan diri dan keluarga besarnya, namun juga koleganya di Golkar. Sebagian besar dari mereka tidak percaya atas pencoretan  itu, bahkan banyak yang memberikan dukungan kepada Awang Faroek. “Pimpinan tiga jalur ABG (ABRI, Birokrat, Golkar) merasa tidak tahu-menahu kalau nama saya dicoret. Bahkan, Pak Harmoko (Menpen/Golkar) pun tidak tahu-menahu kalau nama saya dicoret. Saya waktu itu malah dibela Jenderal Feisal Tandjung (Pangab/ABRI) dan Letnan Jenderal Yogie S. Memet (Mendagri/Birokrat),” papar Awang Faroek.
Di balik peristiwa itu, Awang Faroek tak mau berprasangka buruk, apalagi sakit hati menaruh dendam kesumat. Sekali lagi, dia memilih pasrah dan legowo menerima pencoretan nama dirinya, kendati orang-orang di DPP Golkar banyak yang terkesan lepas tangan. Walau merasa didzalimi, toh dia tidak merasa sakit hati. Bahkan, saat Soeharto wafat (Januari 2008) dan dimakamkan di Kompleks Astana Giribangun, Karanganyar, Jawa Tengah, Awang Faroek bergegas langsung terbang ke Solo serta ikut melayat mantan penguasa Orde Baru itu.
Dampak dari peristiwa itu Awang Faroek memutuskan untuk kembali ke daerahnya, Kalimantan Timur. Dia merasa terpanggil untuk pulang membangun tanah kelahirannya, Kalimantan Timur, yang telah lama dia tinggalkan. Sekali lagi, Awang Faroek menegaskan, dirinya tidak pernah sakit hati terhadap orang yang pernah mencoret nama dirinya. Sebab, menurut dia, hidup ini telah diatur oleh Allah SWT. Manusia tinggal menjalankan ketetapan hidup yang telah digariskan-Nya. “Saya tidak pernah sakti hati sedikit pun, dan saya yakin, pasti ada hikmah lain yang bakal saya petik di balik semua ini,” tuturnya berusaha bijak.
Dan pilihannya pulang ke Kalimantan ternyata cukup tepat. Karena, tidak lama berselang, terjadi suksesi kepemimpinan nasional di Jakarta (1998), disusul kelahiran era otonomi daerah (desentralisasi), sesuai UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (direvisi menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004). Kehadiran kedua UU ini menjadi titik balik bagi Kepala Daerah di seluruh Indonesia –di mana Awang Faroek menjadi salah satu aktor sentral di dalamnya— untuk lebih berperan aktif dan proaktif secara sinergis memberdayakan masyarakat dan komunitas daerahnya dalam konteks otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung-jawab.
Kematangan Awang Faroek di pentas politik berjalan seiring dengan kematangan umurnya yang melewati setengah abad. Dia berusaha bijak menyikapi segala hal yang memang harus dijalani dan dilewati. Dia pun melangkah pulang ke Kalimantan Timur dengan kepala tegak untuk kembali mengabdikan dirinya di jalur pendakian yang lebih memberi arti bagi rakyat di wilayah ini. ***   
           

No comments:

Post a Comment