Program jaminan pensiun yang akan dijalankan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan harus bersifat komplementer (saling melengkapi) dengan program dana pensiun sukarela. Agar tidak mematikan pengelola dana pensiun sukarela, BPJS mesti menyasar masyarakat yang belum mengikuti program pensiun. Selain itu, iuran BPJS sebaiknya tidak terlalu besar dan hanya meng-cover perlindungan dasar, sehingga tak memicu pengalihan dana atau peserta secara besar-besaran dari pengelola dana pensiun sukarela ke BPJS.
Untuk itu, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Program Jaminan Pensiun yang sedang digodok pemerintah sebagaimana diamanatkan UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) harus harmonis dengan UU 11/1992 tentang Dana Pensiun. Harmonisasi juga perlu dilakukan dengan UU 3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Agar menghasilkan win-win solution, penyusunan RPP harus melibatkan semua pemangku kepentingan. Dengan demikian, PP Program Jaminan Pensiun yang kelak diberlakukan tetap menguntungkan peserta dana pensiun dan perusahaan pemberi kerja, menjamin kesinambungan BPJS, serta kondusif bagi industri dana pensiun pemberi kerja (DPPK) dan dana pensiun lembaga keuangan (DPLK) sebagai dana pensiun sukarela.
Demikian benang merah yang mengemuka dalam diskusi SP Forum bertajuk “Harmonisasi RPP Program Penyelenggaraan Jaminan Pensiun dengan UU Dana Pensiun” yang diselenggarakanSuara Pembaruan dan Beritasatu.com.
Diskusi yang dipandu Pemimpin Redaksi Suara Pembaruan dan Beritasatu.com Primus Dorimulu itu menghadirkan Direktur Pengupahan dan Jaminan Sosial Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertrans) Wahyu Widodo, pengurus Asosiasi Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) Steven Tanner, Institutional Investor Relation Manager PT Jamsostek (Persero) Jatmiko, Ketua Umum Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI) Djoni Rolindrawan, serta Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DKI Jakarta Soeprayitno.
Sesuai UU 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), program jaminan pensiun akan dijalankan PT Jamsostek (Persero) yang bertransformasi menjadi BPJS Ketenagakerjaan mulai 1 Januari 2014 dan beroperasi selambatnya pada 1 Juli 2015. Untuk mendukung hal itu, pemerintah sedang menggodok RPP Program Jaminan Pensiun yang drafnya ditargetkan rampung akhir bulan ini.
Jangan Kontraproduktif
Menurut Ketua Umum ADPI Djoni Rolindrawan, penyusunan RPP Program Jaminan Pensiun harus mempertimbangkan kepentingan karyawan dan tidak kontraproduktif terhadap perkembangan industri dana pensiun.
Menurut Ketua Umum ADPI Djoni Rolindrawan, penyusunan RPP Program Jaminan Pensiun harus mempertimbangkan kepentingan karyawan dan tidak kontraproduktif terhadap perkembangan industri dana pensiun.
“Jangan sampai RPP tersebut justru mengurangi kesejahteraan peserta yang sudah ada pada industri DPPK maupun DPLK,” ujarnya.
Data per akhir 2012 menunjukkan terdapat 244 DPPK dan 25 DPLK dengan total aset Rp 157,6 triliun dan jumlah peserta 3 juta orang. Sedangkan PT Jamsostek mengelola dana Rp 133 triliun dengan jumlah peserta 29 juta orang.
Djoni juga menekankan pentingnya harmonisasi aturan dalam UU SJSN dan UU BPJS. Selain itu, DPPK harus berjalan beriringan dengan BPJS Ketenagakerjaan.“Jadi, silakan BPJS mencari orang yang belum mendapat program pensiun. Biarkan kami yang sudah ada bisa berjalan beriringan dan saling melengkapi. Kalau ada argumen bahwa program BPJS adalah wajib dan dana pensiun yang sudah ada adalah sukarela, ini harus diselaraskan,” kata Djoni.
Saat ini, lanjutnya, masih ada puluhan juta pekerja yang belum memiliki program jaminan pensiun. Agar tidak memberatkan pemberi kerja yang sudah mendaftarkan karyawan pada pengelola dana pensiun, iuran program Jaminan Hari Tua (JHT) Jamsostek yang berasal dari 5,7 persen upah pekerja bisa dikonversi ke program jaminan pensiun.
Di sisi lain, jika pemberi kerja cenderung hanya mengutamakan program kesejahteraan yang bersifat wajib, laju pertumbuhan industri DPPK-DPLK dalam jangka panjang akan terhambat. Bahkan, kemungkinan besar akan terjadi pembubaran DPPK yang sudah ada. Itu sangat berbahaya. “Kami berharap BPJS dapat berjalan serta fokus pada masyarakat yang belum terjangkau DPPK dan DPLK,” tutur Djoni.
Pengurus Asosiasi DPLK Steven Tanner mengemukakan saat ini terdapat beberapa program kesejahteraan pekerja yang sama dan diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang berbeda. Akibatnya, banyak tumpang-tindih aturan yang perlu diharmoniskan. Tambahan beban iuran ke dalam sistem yang tumpang-tindih, tanpa adanya harmonisasi terhadap program sejenis, akan memberatkan pemberi kerja. “Akhirnya itu akan berdampak pada pengurangan kesejahteraan pekerja,” ucapnya.
Steven menjelaskan, kesejahteraan hidup pada hari tua dapat diukur melalui besaran tingkat penghasilan pensiun (TPP) atau replacement rate, yaitu perbandingan penghasilan seseorang setelah pensiun pada usia tertentu terhadap penghasilan terakhirnya sebelum pensiun. Penghasilan tersebut dapat berupa penghasilan terakhir, penghasilan rata-rata beberapa tahun terakhir, atau penghasilan rata-rata selama peserta bekerja.
“Para ahli memperkirakan TPP yang dianggap memadai berkisar 70-80 persen dari penghasilan terakhir seseorang yang dihasilkan setelah bekerja selama 35-40 tahun,” ujarnya.
Steven Tanner menambahkan, saat pensiun yang umumnya pada usia 55 tahun dengan masa kerja 30 tahun, manfaat program pesangon yang diatur UU 13/2003 adalah 32,2 kali upah. Sedangkan manfaat JHT dengan iuran 5,7 persen yang diakumulasikan selama 30 tahun diperkirakan mencapai 22,5 kali upah.
Manfaat pesangon dan JHT, menurut Steven, memiliki padanan TPP masing-masing 17,5 persen dan 12,2 persen dari upah bulan terakhir, sehingga totalnya menjadi 29,7 perse dari upah bulan terakhir. Biaya yang dibebankan kepada pemberi kerja dan pekerja untuk pesangon dan JHT dengan perkiraan TPP 29,7 persen berkisar 12,7-13,7 persen dari upah.
Sedangkan manfaat pensiun secara bulanan dari DPPK-DPLK dengan padanan TPP diperkirakan 20 persen. Bila hanya dipenuhi dari program wajib, tanpa DPPK-DPLK, akan terdapat gap TPP sebesar 40,3-50,3 persen dari upah. Tapi jika memperhitungkan program DPPK-DPLK akan mengurangi gap TPP sebesar 20,3-30,3 persen.
Itu sebabnya, kata Steven, kontribusi DPPK-DPLK sebagai program pensiun sangat signifikan dalam menjaga kesejahteraan pegawai setelah pensiun.
Perumusan manfaat pensiun juga harus memperhatikan besaran iuran yang akan dibebankan kepada pemberi kerja dan pekerja, termasuk beban pemerintah. “Dengan pemahaman program jaminan pensiun hanya memberikan perlindungan pensiun dasar saja, sebaiknya TPP untuk program tersebut berkisar 10-15 persen dari upah bulan terakhir, dengan iuran pada kisaran 2-3 persen dari upah,” katanya.
Menurut Steven Tanner, besaran iuran BPJS yang harus dibayarkan perusahaan pemberi kerja sebaiknya maksimal 3 persen dari gaji pokok pekerja. Saat ini, iuran dana pensiun yang dipatok DPPK berkisar 5-10 persen dari gaji pokok pekerja. ”Kalau iuran dana pensiun naik jauh di atas itu, perusahaan pemberi kerja akan memilih BPJS ketimbang DPPK maupun DPLK,” katanya.
Peran Pemerintah
Ketua Apindo DKI Soeprayitno mengatakan pemerintah harus konsisten menerapkan jaminan sosial sesuai undang-undang. Jika pemerintahan berganti, jangan sampai aturannya ikut diganti. “Tapi kalau sampai berubah, doa pengusaha adalah jangan sampai terimplementasi. Mestinyasocial security adalah urusan pemerintah. Lalu kenapa pengusaha harus 100 persen mengurusi hal itu? Di mana peran pemerintah?” tanyanya.
Ketua Apindo DKI Soeprayitno mengatakan pemerintah harus konsisten menerapkan jaminan sosial sesuai undang-undang. Jika pemerintahan berganti, jangan sampai aturannya ikut diganti. “Tapi kalau sampai berubah, doa pengusaha adalah jangan sampai terimplementasi. Mestinyasocial security adalah urusan pemerintah. Lalu kenapa pengusaha harus 100 persen mengurusi hal itu? Di mana peran pemerintah?” tanyanya.
Menurutnya, BPJS dapat bekerja dengan baik jika pemerintah memiliki dana untuk menutup biaya jaminan sosial. Masalahnya, kemampuan fiskal pemerintah saat ini terbatas. “Ujung-ujungnya pengusaha akan menjadi sapi perah. Pengusaha tidak rela jika BPJS berjalan seperti itu,” tegasnya.
Menanggapi hal itu, Direktur Pengupahan dan Jaminan Sosial Kemnakertrans Wahyu Widodo menyatakan esensi program jaminan pensiun adalah memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada manusia yang telah mengabdikan dirinya, serta menjamin kelangsungan hidup yang bermartabat bagi peserta. “Program tersebut bersifat wajib dan memberikan manfaat,” tuturnya.
Wahyu memastikan program jaminan pensiun tidak akan mematikan DPPK-DPLK, karena programnya berbeda dengan program wajib. “BPJS memberikan jaminan dengan prinsip perlindungan dasar dan layak. Sedangkan DPPK dan DPLK mengutamakan manfaat secara maksimum bersifat on top,” katanya.
Dia menambahkan, RPP Program Jaminan Pensiun yang sedang disusun Kemnakertrans memuat beberapa aspek. Program itu tidak hanya berisi jaminan sosial, tetapi juga JHT dan mekanisme pesangon. Prinsip BPJS, antara lain mengacu pada kecukupan manfaat dasar, keterjangkauan iuran, sehingga tidak menimbulkan beban berlebih bagi pekerja dan pemberi kerja, serta adanya keberlangsungan.
“Keberlangsungan artinya tidak menjadi beban fiskal negara. Harapan pemerintah, sesuai UU yang ada, BPJS sebaiknya harus jalan dan memperhatikan apa yang sudah ada. DPPK dan DPLK juga tetap jalan,” papar Wahyu.
Sedangkan, Institutional Investor Relation Manager Jamsostek, Jatmiko mengemukakan RPP Program Jaminan Pensiun perlu memperhatikan DPPK-DPLK. Program jaminan pensiun dalam BPJS Ketenagakerjaan justru muncul setelah UU Dana Pensiun diterbitkan dan industri DPPK-DPLK bertumbuh pesar serta memiliki banyak peserta. “Jadi, harus diselaraskan, bagaimanabenefit-nya supaya tidak membunuh industri yang sudah ada. Kalau program ini sudah lebih dulu ada, program komersial lebih mudah menyesuaikan,” ujarnya.
Sumber:Investor Daily
No comments:
Post a Comment