Sebagai sesepuh NU, suatu kali saya bertandang ke
desa sentra bawang di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Sebagaimana galibnya,
saban kali orang pusat datang ke daerah, mereka yang ada di daerah siap
menyodorkan sejumlah proposal, siap meminta bantuan dana. Bahkan, dalam sesi
tatap muka, ada yang meminta fasilitas komputer buat kelengkapan
kesekretariatan.
Saya berusaha menanggapi secara bijak. Tidak serta
merta memanjakan mereka dengan langsung setuju menggelontorkan dana buat beli
komputer. Berapa saja yang kalian butuhkan, saya katakan, akan tercukupi bila
kalian dengan berpikir cerdas dan bekerja keras. Kalian harus menyadari bahwa
dana itu berada di tangan umat, tidak terkecuali di tangan warga desa penghasil
bawang merah ini.
Lalu saya melihat ada satu masjid megah di tengah desa
yang dihuni sekitar 400 kepala keluarga (KK) itu. Rupanya mereka berhasil membangun
secara swadaya masjid bernilai Rp1 miliar selama empat tahun. Artinya, warga
desa yang sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani bawah merah itu
mampu menyisihkan sekitar Rp250 juta per tahun demi terwujudnya sebuah masjid
yang kini menjadi kebanggaan desa. Dan, warga desa tersebut merasa tabu meminta
bantuan dana pada warga desa lain dan pejabat pemerintah.
Saya melihat cara yang mereka tempuh simpel-simpel
saja. Dimulai dari kumpul warga lalu memilih beberapa orang untuk melakukan
pendataan seputar seberapa banyak warga desa yang mampu, setengah mampu dan
miskin. Termasuk pula mendata apa saja pekerjaan mereka.
Setelah data lengkap, melalui sebuah musyawarah
mufakat-bulat, mereka lantas memilih tiga orang untuk bertugas mengoleksi infak
dari warga yang mampu, antara lain petani bawang, pegawai negeri, karyawan
swasta, wirausahawan dan pedagang. Tiga orang kolektor itu secara rutin menagih
infak kepada orang-orang berpunya, tidak sembarang mendatangi rumah warga desa.
Mereka menjadi juru pengingat orang-orang yang di dalam hartanya masih ada hak
orang lain. Bahkan, ketika musim panen bawang merah, ketiga orang kolektor itu
diamanahi membuka posko di sekitar lokasi panen. Mereka langsung menarik infak
dan zakat dalam bentuk barang (bawang merah), tidak menunggu dulu sampai bawah
merah laku jual. Sampai kemudian terkumpul dana yang cukup buat membangu
masjid.
Dari kegiatan ini, saya langsung meminta warga
setempat meneruskan aktivitas ini dengan mengangkat tiga kolektor zakat, infak
dan sedekah (ZIS) sebagai sumber dana umat yang dapat dipergunakan untuk
kepentingan umat pula. Pada tiga bulan pertama, tiga orang itu diupah secara
layak oleh pemrakarsa mobilisasi dana umat desa itu. Selanjutnya, dari dana
yang terus terkumpul, ketiga orang kolektor itu pun beroleh alokasi upah dari
hasil pengumpulan ZIS.
Dengan kemampuan menghimpun dan mendistribusikan
ZIS rata-rata Rp7 juta sampai Rp8 juta per bulan, mereka pun mampu membeli
perangkat komputer, memberikan bantuan dana bergulir pada petani dan wirausaha
desa, menyantuni anak yatim, dan mendistribusikan zakat kepada yang berhak
menerima.
Sekali lagi saya tekankan kepada mereka bahwa dana
itu berada di tangan umat, bukan di pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Sungguh
langkah yang tidak mudah. Saya juga mengajarkan bagaimana pertanggung-jawaban
penghimpunan dan pendistribusian ZIS itu. Sederhana saja. Saya minta pengurus
pengumpulan ZIS mengundang para muzakki
pada gelaran kegiatan santunan anak yatim, pemberian bea sekolah siswa
berprestasi, dan penyaluran dana bergulir wirausaha kecil-kecilan di desa.
Selain itu, menempelkan pula laporan tertulis alur pemasukan-penyaluran ZIS di
tempat-tempat yang mudah dibaca oleh warga desa.
Kini desa itu tidak lagi berteriak-teriak minta
sumbangan dana. Desa sentra produksi bawang merah itu benar-benar mandiri. Saya
berharap kiat penghimpunan dan penditribusian ZIS dari desa bawang ini dapat dicontoh
oleh desa-desa lain. Dengan begitu tidak akan ada lagi desa miskin dan orang
miskin di desa. Semoga. (disarikan dari wawancara dengan Ketua PP LAZISNU KH Masyhuri Malik)
No comments:
Post a Comment