Friday, April 19, 2013

Dari Sibolga Memimpin Dairi (4-Selesai)


Menjadi Kerabat Keraton Surakarta Hadiningrat

Bukan hal yang sederhana ketika tersemat sebuah gelar kehormatan di depan nama. Karena, dalam gelar tersebut terkandung tanggung jawab menjaga perilaku, tutur kata, nama baik dan kehormatan diri.
Heri Priyatmoko, pengamat sejarah Solo

Apalah arti sebuah nama? What it’s a name? Demikian ujaran populer penulis naskah drama kondang dunia William Shakespeare. Shakespeare, dan orang Barat pada umumnya, tak begitu hirau pada nama yang ditempelkan pada sosok atau individdu yang baru lahir ke alam fana ini. Nama adalah sekadar kata penyebut atau pemanggil orang untuk membedakan dengan orang yang lain.
Tentu tidak begitu bagi orang-orang kita di Indonesia, nama memiliki arti dan makna tersendiri. Bahkan, nama merefleksikan identitas diri si pemilik. Identitas kesukuan, agama, dan juga kasta. Sebut saja sebuah nama Ketut Arnaya. Kita tentu paham bahwa nama yang satu ini merupakan milik sosok mantan Direktur Utama PT Sarinah (Persero) yang berasal dari Bali dan berkasta waisya --golongan pedagang, petani, dan tukang dalam masyarakat Hindu-Bali. Sebut pula misalkan nama Raden Ngabehi Ronggowarsito, tentu benak kita langsung melayang bahwa sosok yang satu ini adalah orang Jawa kerabat Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Lalu bagaimana dengan nama Kanjeng Raden Aryo (KRA) Johnny Sitohang Adinegoro? Sebuah nama yang tidak semata-mata di dalamnya mengalir darah satu suku bangsa saja. Secara sepintas ada percampuran darah Suku Batak (menilik nama Sitohang) dan darah kerabat Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat (melihat nama Kanjeng Raden Aryo Adinegoro). Benarkah dalam tubuh KRA Johnny Sitohang Adinegoro benar-benar mengalir darah atau turunan Batak bercampur ningrat Jawa?
Menilik asal-muasal dan nama kedua orang-tuanya, sosok yang sekarang tengah menjabat Bupati Dairi ini dapat dikatakan orang Batak tulen. Dia lahir dari ibu Mutiara boru Tobing dan ayah Jonathan Ompu Tording Sitohang yang pahlawan perjuangan Tanah Dairi lepas dari cengkeraman penjajah Belanda pada Agresi Belanda ke-2 (1949). Tidak sedikitpun ada percampuran darah ningrat Jawa.      
Lalu, dari mana darah ningrat (bangsawan) Jawa itu mengalir dalam diri seorang Johnny Sitohang? Ceritanya cukup panjang.

A.   Gelar dari Keraton Surakarta
Suatu waktu di tahun 2006, saat masih menjabat Wakil Bupati Dairi, Johnny Sitohang bertemu Sekretaris Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kanjeng Raden Aryo (KRA) Drs. Sri Sadoyo yang juga mantan Wakil Bupati Karanganyar. Pertemuan dua pejabat itu bertepatan dengan agenda studi banding wakil kepala daerah ke Solo, Jawa Tengah. Pada kesempatan itu, Sri Sadoyo kemudian mengajak Johnny bertandang ke Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat guna melihat dari dekat sekilas upaya pelestarian adat budaya Jawa di lingkungan kerajaan Jawa yang berdiri tahun 1755 sebagai hasil dari Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 itu. Sekadar pengetahuan sejarah, Perjanjian Giyanti antara VOC dan pihak-pihak yang bersengketa di Kesultanan Mataram, yaitu Sunan Pakubuwono III dan Pangeran Mangkubumi, menyepakati bahwa Kesultanan Mataram dibagi dalam dua wilayah kekuasaan, masing-masing Surakarta dan Yogyakarta.
Beberapa saat berselang setelah acara studi banding di Solo selesai, Sri Sadoyo mengusulkan kepada Sampeyan Ndalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan (SISKS) Pakubuwono XIII Hangabehi (Raja Kasunanan Surakarta) agar Johnny Sitohang dikukuhkan menjadi anggota keluarga (kerabat) keraton. Saat itu, Pakubuwono XIII Hangabehi tidak secara langsung memberikan tanggapan. Tak lama kemudian, sekitar tahun 2007, Johnny diundang ke Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Agendanya, bagai mendapat durian runtuh, dia menerima gelar Kanjeng Raden Aryo (KRA) dan penambahan ‘Adinegoro’ di belakang nama dirinya. Adinegoro dapat dimaknai sebagai negarawan, sosok yang berpikir dan bertindak untuk kepentingan bangsa dan negara. Dan mulai saat itu, Johhny memiliki nama lengkap KRA Johnny Sitohang Adinegoro.
Nilai sosial politisi penobatan gelar KRT dan pemberian gelar KRA dipandang sangat tinggi. Ada sikap kenegarawanan dalam diri Johnny sehingga Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat menjadikannya sebagai kerabat keraton dan memberikan gelar KRA. Sikap kenegarawanan Johnny patut diteladani sehingga layak mendapat kehormatan melalui gelar Kanjeng Raden Aryo (KRA).
Sehubungan dengan gelar KRA itu, dalam setiap acara, Johnny mendapat kursi di barisan depan petinggi istana Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Menurut Sekretaris Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat Sri Sadoyo, tidak banyak warga non-Jawa yang mendapat kesempatan sedemikian penting.    
Selain gelar bangsawan dari Keraton Kasunanan, jelas Sri Sadoyo, Johnny juga telah didaulat menjadi bagian dari keluarga Istana Mangkunegaran (Solo) yang disertai dengan penabalan gelar Kandjeng Raden Tumanggeng (KRT) pada tahun 2006. Dia mengaku tersanjung, sebab tanpa pengorbanan apa-apa, pintu keluarga keraton dibuka lebar untuknya. Ketika itu dia memperoleh penabalan gelar KRT bersama dengan Menteri Kesehatan (waktu itu) Siti Fadillah Supari dan Menteri Pekerjaan Umum Joko Kirmanto.
Johnny mengaku senang menjadi anggota atau kerabat Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Istana Mangkunegaran. Sisi positif, dia bisa menambah cakrawala, termasuk mendalami seluk beluk budaya. Sebagai putera Batak tulen, tentulah merasa memiliki kebanggaan istimewa. Dan, secara langsung, dia merupakan saudara dari keluarga Jawa di daerah otonom Kabupaten Dairi khususnya dan Nusantara umumnya.
"Kalau Anda melihat saya cepat akrab bersama Kapolres (Dairi), Enggar Pareanom, itu terkait erat status personal perwira menengah tersebut. Dia adalah keturunan Keraton (Kasunanan Surakarta Hadiningrat), makanya saya cepat nyambung," kata Johnny penuh ceria pada suatu kesempatan berbincang dengan kalangan jurnalis di Sidikalang, Kabupaten Dairi.
Kekerabatan itu pun membuahkan hasil. Misalkan, awal tahun 2012, Sekretaris Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, KRA Drs. Sri Sadoyo, yang juga pengusaha tekstil menghibahkan sejumlah kemeja bercorak Pakpak. Kemeja berwarna kuning itu kini dikenakan jajaran PNS setiap hari Kamis.
Dengan hibah pakaian semacam itu, Johnny mengakui, dirinya kerap menerima kritik yang cukup pedas. Tidak mudah memang. “Berbuat baik pun dikritik. Padahal, kain itu benar-benar bercorak budaya lokal Pakpak. Kalau latar belakang warnanya kuning, mau bilang apa? Namanya juga hibah,” ujar Johnny usai mendendangkan tembang favorit irama Melayu karya The Mercy’s pada acara ulang  tahun ke-56 dirinya pada 17 April 2012.
Apresiasi Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat tidak cukup berhenti di sini. Bulan Juni tahun 2012, Johhny Sitohang menerima tanda kehormatan (lencana) yang diberi nama Lencana Radyo Laksono --sebagai lambang kehormatan tertinggi dan biasanya hanya diberikan kepada kerabat keraton.
Lencana berbentuk bintang lima itu langsung disematkan oleh Pangeran Kanjeng Gusti Pareanom Haryo Puger bersama isteri --didampingi saudara perempuannya Gusti Kanjeng Retno Dumila serta kerabat Keraton lainnya-- di Pendopo Sasono Hadiwina Keraton Surakarta Hadiningrat. Kanjeng Gusti Haryo menjelaskan penyematan tanda kehormatan Radyo Laksono biasanya diberikan kepada kerabat Keraton saja. Apresiasi ini diberikan kepada kerabat keraton yang peduli pada pengembangan dan nasib budaya lokal.  
Johnny Sitohang ke Solo pada Juni 2012 tidak sendirian. Sebelum ke Solo, Johnny mendampingi para kepala desa se wilayah Kabupaten Dairi mengikuti Bimbingan Teknik (Bimtek) di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD), Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Agenda ini kemudian dilanjutkan dengan kunjungan lapangan kepala desa ke Keraton Solo.
Kunjungan para kepala desa sewilayah Kabupaten Dairi ke Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat merupakan salah satu agenda kegiatan kunjugan lapangan yang dibuat panitia di sela-sela Bimtek. “Tujuannya, untuk memberikan pemahaman lebih dekat tentang Keraton, karena tidak bisa kita pungkiri, mungkin di antara mereka ada yang belum pernah berkunjung ke Keraton, sebagai peninggalan sejarah bangsa kita,” terang Johnny Sitohang.
Johnny menyebutkan, sejak dirinya memperoleh penobatan KRT (2006) dan dianugerahi gelar Kanjeng Raden Aryo (KRA) tahun 2007 lalu, dia menaruh perhatian serta kepedulian terhadap perkembangan dan kelestarian nilai-nilai kultural Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Istana Mangkunegaran. Dia mengaku bahagia menerima lencana Radyo Laksono tersebut. Radyo Laksono merupakan lambang kebesaran kultural Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Dia sebelumnya tidak menduga bakal menerima lencana dari Keraton Solo itu. Selama ini, kata dia, hubunganya dengan keluarga Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat berjalan sangat baik.
“Pihak Keraton menganggap bahwa beliau (Johnny Sitohang) adalah orang yang sangat peduli terhadap perkembangan dan kelestarian kebudayaan yang merupakan warisan bagi generasi bangsa ini. Selain bagi pribadi Johnny Sitohang, karena beliau juga sebagai Bupati Dairi, momen pemberian tanda kehormatan Radyo Laksono ini dapat diperluas sebagai hubungan kerja sama pertukaran kebudayaan Jawa  dengan kebudayaan Kabupaten Dairi, sebagai kebanggaan bangsa ini,” jelas Sekretaris Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat KRA Drs. Sri Sadoyo.
Sri Sadoyo menambahkan bahwa pihaknya banyak mendapat donasi dan atensi dari Johnny Sitohang, sementara Johnny tidak mengharap imbal balik yang sepadan.

B.    Sekilas Keraton Kasunanan Surakarta
Kasunanan Surakarta Hadiningrat adalah sebuah kerajaan di Jawa Tengah yang berdiri tahun 1755 sebagai hasil dari Perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755. Perjanjian antara VOC dan pihak-pihak yang bersengketa di Kesultanan Mataram (Sunan Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi) itu menyepakati bahwa Kesultanan Mataram dibagi dalam dua wilayah kekuasaan, masing-masing Surakarta dan Yogyakarta.
Secara umum Kasunanan Surakarta tidak dianggap sebagai pengganti Kesultanan Mataram, melainkan sebuah kerajaan tersendiri, walaupun rajanya masih keturunan raja Mataram. Dalam perjalanan sejarah, setiap raja Kasunanan Surakarta yang bergelar Sunan (demikian pula raja Kasultanan Yogyakarta yang bergelar Sultan) selalu menanda-tangani kontrak politik dengan VOC atau Pemerintah Hindia Belanda.
Kesultanan Mataram runtuh akibat pemberontakan Trunojoyo pada tahun 1677. Kemudian Sunan Amral memindahkan ibukota kerajaan ke Kartasura. Pada masa Sunan Pakubuwono II memegang tampuk pemerintahan, Keraton Mataram mendapat serbuan dari pemberontak orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan orang-orang Jawa anti-VOC tahun 1742. Kerajaan Mataram yang berpusat di Kartasura itu pun runtuh. Kota Kartasura berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati Cakraningrat IV, penguasa Madura Barat yang merupakan sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak parah. Pakubuwono II, yang menyingkir ke Ponorogo (Jawa Timur), lalu memutuskan untuk membangun istana baru di Desa Solo, sebagai ibukota kerajaan Mataram yang baru.
Sunan Pakubuwono II lantas memerintahkan Tumenggung Honggowongso (bernama kecil Joko Sangrib atau Kentol Surawijaya yang kemudian diberi gelar Tumenggung Arungbinang I) --bersama Tumenggung Mangkuyudho dan komandan pasukan Belanda J.A.B. van Hohendorff-- mencari lokasi ibukota keraton yang baru. Pada tahun 1745 mereka mendapat lokasi baru yang berjarak sekitar 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, tepatnya di Desa Solo dan berada di tepi Bengawan Solo. Selanjutnya mereka membangun istana baru di Desa Solo ini. Nama "Surakarta" diberikan sebagai nama "wisuda" bagi pusat pemerintahan baru. Menurut sejumlah sumber, pembangunan keraton ini menggunakan bahan kayu jati dari kawasan Alas Kethu (hutan di dekat Wonogiri) dan kayunya dihanyutkan melalui Bengawan Solo. Secara resmi, keraton mulai ditempati tanggal 17 Februari 1745 (atau Rabu Pahing 14 Suro 1670 Penanggalan Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya).
Dengan berlakunya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755), Surakarta  dijadikan pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta dengan rajanya Pakubuwono III. Sedangkan Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta, dengan rajanya Sultan Hamengkubuwono I. Keraton dan kota Yogyakarta mulai dibangun pada 1755, dengan pola tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu dibangun.
Selanjutnya wilayah Kasunanan Surakarta semakin berkurang setelah berlakunya Perjanjian Salatiga 17 Maret 1757. Perjanjian itu mengakui Raden Mas Said sebagai seorang pangeran merdeka dengan wilayah kekuasaan berstatus kadipaten, yang disebut dengan nama Praja Mangkunegaran. Sebagai penguasa, Raden Mas Said bergelar Adipati Mangkunegoro. Wilayah Surakarta berkurang lagi setelah usai Perang Diponegoro pada tahun 1830, di mana daerah-daerah mancanegara diberikan kepada Belanda sebagai ganti rugi atas biaya peperangan.
Berbeda dengan Pakubuwono III yang agak patuh kepada VOC, penerus tahta Kasunanan Surakarta berikutnya, Sri Susuhunan Pakubuwono IV (1788-1820), merupakan sosok raja yang membenci penjajah dan penuh cita-cita serta keberanian. Pada November 1790, terjadi Peristiwa Pakepung, yakni insiden pengepungan Keraton Surakarta oleh persekutuan VOC, Hamengkubuwono I, dan Mangkunegoro I. Pengepungan ini terjadi lantaran Pakubuwono IV yang berpaham Kejawen menyingkirkan para pejabat istana yang tidak sepaham dengan dirinya. Para pejabat istana yang disingkirkan kemudian meminta bantuan VOC untuk menghadapi Pakubuwono IV. VOC yang memang merasa khawatir atas aktivitas Kejawen Pakubuwono IV akhirnya bersekutu dengan Hamengkubuwono I dan Mangkunegoro I untuk mengepung istana. Di dalam istana, para pejabat yang sebenarnya tidak sependapat dengan Pakubuwono IV juga ikut menekan dengan tujuan agar para penasehat rohani kerajaan yang beraliran Kejawen bisa disingkirkan. Pada 26 November 1790, Pakubuwono IV akhirnya takluk dan menyerahkan para penasehatnya untuk diasingkan oleh VOC. Pada era pemerintahan Pakubuwono IV terjadi perundingan bersama yang isinya menerangkan bahwa Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, serta Praja Mangkunegaran memiliki kedudukan dan kedaulatan yang setara sehingga tidak boleh saling menyerang.
Pengganti Pakubuwono IV adalah Sri Susuhunan Pakubuwono V, yang oleh masyarakat saat itu dijuluki sebagai Sunan Ngabehi, karena baginda yang sangat kaya --baik kaya harta maupun kesaktian. Setelah wafat, pengganti Pakubuwono V adalah Sri Susuhunan Pakubuwono VI. Pakubuwono VI adalah pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, yang memberontak terhadap Kesultanan Yogyakarta dan Pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1825. Penulis naskah-naskah babad waktu itu sering menutupi pertemuan rahasia Pakubuwono VI dengan Pangeran Diponegoro menggunakan bahasa simbolis. Misalnya, Pakubuwono VI dikisahkan pergi bertapa ke Gunung Merbabu atau bertapa di Hutan Krendawahana. Padahal, sebenarnya, secara diam-diam dia pergi menemui Pangeran Diponegoro. Dalam perang melawan Pangeran Diponegoro, Pakubuwono VI menjalankan aksi ganda. Di samping memberikan bantuan dan dukungan, dia juga mengirim pasukan untuk pura-pura membantu Belanda. Pujangga besar Ronggowarsito mengaku semasa muda dirinya pernah ikut serta dalam pasukan sandiwara tersebut. Setelah menangkap Pangeran Diponegoro, Belanda juga menangkap Pakubuwono VI dan membuangnya ke Ambon pada tanggal 8 Juni 1830 karena Mas Pajangswara (ketika itu dikabarkan sudah nyaman hidup di Batavia) telah membocorkan semua sepak terjangnya.
Fitnah yang dilancarkan pihak Belanda ini kemudian berakibat buruk terhadap hubungan putera Pakubuwono VI (Pakubuwono IX) dengan putera Mas Pajangswara yang dikenal sebagai pujangga Keraton dengan nama Raden Ngabehi Ronggowarsito. Pakubuwono IX sendiri masih berada dalam kandungan ketika Pakubuwono VI berangkat ke Ambon. Tahta Surakarta kemudian jatuh kepada paman Pakubuwono VI, yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwono VII.
Saat itu Perang Diponegoro baru saja berakhir. Masa pemerintahan Pakubuwono VII relatif lebih damai apabila dibandingkan dengan masa raja-raja sebelumya. Keadaan yang damai itu mendorong tumbuhnya kegiatan sastra secara besar-besaran di lingkungan keraton. Masa pemerintahan Pakubuwono VII dianggap sebagai puncak kejayaan sastra di Kasunanan Surakarta dengan pujangga besar Raden Ngabehi Ronggowarsito sebagai pelopor. Pemerintahan Pakubuwono VII berakhir saat beliau wafat. Karena tidak memiliki putera mahkota, Pakubuwono VII digantikan oleh kakaknya (lain ibu) bergelar Sri Susuhunan Pakubuwono VIII yang naik tahta pada usia 69 tahun.
Pemerintahan Pakubuwono VIII berjalan selama tiga tahun hingga akhir hayatnya. Pakubuwono VIII digantikan putera Pakubuwono VI sebagai raja Surakarta selanjutnya, yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwono IX. Hubungan antara Pakubuwono IX dengan Ronggowarsito kurang harmonis karena fitnah pihak Belanda bahwa Mas Pajangswara (ayah Ronggowarsito yang menjabat sebagai juru tulis keraton) telah membocorkan rahasia persekutuan antara Pakubuwono VI dan Pangeran Diponegoro yang mengakibatkan Pakubuwono VI dibuang ke Ambon, Maluku. Hal ini membuat Pakubuwono IX membenci keluarga Mas Pajangswara. Padahal, juru tulis keraton tersebut ditemukan tewas mengenaskan gara-gara disiksa dalam penjara oleh tentara Belanda. Ronggowarsito sendiri berusaha memperbaiki hubungannya dengan raja melalui persembahan naskah Serat Cemporet.
Pemerintahan Pakubuwono IX berakhir saat kematiannya pada tanggal 16 Maret 1893. Dia digantikan puteranya sebagai raja Surakarta berikutnya, bergelar Sri Susuhunan Pakubuwono X. Masa pemerintahannya ditandai dengan kemegahan tradisi dan suasana politik kerajaan yang stabil. Pada masa pemerintahannya yang cukup panjang, Kasunanan Surakarta mengalami transisi, dari kerajaan tradisional menuju era modern, sejalan dengan perubahan politik di Hindia Belanda. Meskipun berada dalam tekanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda, Pakubuwono X memberikan kebebasan berorganisasi dan penerbitan media massa. Dia mendukung pendirian organisasi Sarekat Islam, salah satu organisasi pergerakan nasional pertama di Indonesia. Kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta (1938) juga diadakan pada masa pemerintahannya.
Infrastruktur moderen kota Surakarta banyak dibangun pada masa pemerintahannya, antara lain bangunan Pasar Gede, Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo-Kota (Sangkrah), Stadion Sriwedari, Kebun Binatang Sriwedari yang dalam perkembangannya dipindahkan ke Jurug, Jembatan Jurug yang melintasi Bengawan Solo di timur kota, Taman Balekambang, gapura-gapura di batas Kota Surakarta, rumah pemotongan hewan ternak di Jagalan, rumah singgah bagi tunawisma, dan rumah perabuan (pembakaran jenazah) bagi warga Tionghoa. Pakubuwono X meninggal dunia pada tanggal 1 Februari 1939. Oleh rakyatnya, dia disebut sebagai Sunan Panutup atau raja besar Surakarta yang terakhir. Pemerintahannya kemudian digantikan oleh puteranya yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwono XI.
Pemerintahan Pakubuwono XI berada pada masa sulit, yaitu bertepatan dengan meletusnya Perang Dunia Kedua. Dia juga mengalami pergantian pemerintah penjajahan dari tangan Belanda kepada Jepang pada tahun 1942. Pihak Jepang menyebut Surakarta dengan nama “Solo Koo”. Setelah meninggal, dia digantikan Sri Susuhunan Pakubuwono XII.
Awal pemerintahan Pakubuwono XII hampir bersamaan dengan kelahiran Republik Indonesia. Belanda yang tidak merelakan kemerdekaan Indonesia berusaha merebut kembali negeri ini dengan kekerasan. Pada bulan Januari 1946 ibukota Indonesia terpaksa pindah ke Yogyakarta karena Jakarta jatuh ke tangan Belanda. Barisan Banteng berhasil menguasai Surakarta sedangkan pemerintah Indonesia tidak menumpasnya karena pembelaan Jenderal Sudirman. Bahkan, Jenderal Sudirman juga berhasil mendesak pemerintah sehingga mencabut status Daerah Istimewa Surakarta. Pada awal pemerintahannya, Pakubuwono XII dinilai gagal mengambil peran penting dan memanfaatkan situasi politik Republik Indonesia. Bahkan, hingga muncul rumor bahwa para bangsawan Surakarta sejak dulu merupakan sekutu Pemerintah Belanda, sehingga rakyat merasa marah dan memberontak terhadap kekuasaan Kasunanan. Padahal, fitnah itu keliru. Karena, sebagaimana kita ketahui, raja-raja Kasunanan terdahulu merupakan salah satu penentang pemerintah penjajah yang paling utama.
Meskipun gagal secara politik, Pakubuwono XII tetap menjadi figur pelindung kebudayaan Jawa. Pada zaman reformasi, para tokoh nasional, semisal Gus Dur, tetap menghormatinya sebagai salah satu sesepuh Tanah Jawa. Pakubuwono XII wafat pada tanggal 11 Juni 2004, dan masa pemerintahannya merupakan yang terlama di antara para raja-raja Kasunanan terdahulu, yaitu sejak tahun 1945-2004. Sepeninggalnya, Kasunanan dipimpin oleh Pakubuwono XIII Hangabehi.
Dalam kehidupan keraton, sampai sekarang Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat masih melestarikan pemakaian gelar kebangsawanan. Gelar-gelar yang dipakai di Keraton Kasunanan Surakarta meliputi Penguasa Kasunanan bergelar Sampeyan Dalem ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Prabu Sri Pakubuwono Senopati ing Alogo Ngabdulrahman Sayidin Panatagama Kaping … (SISKS); Permaisuri Susuhunan Pakubuwono bergelar Gusti Kanjeng Ratu (GKR), dengan urutan Ratu Kilen (Ratu Barat), Ratu Wetan (Ratu Timur); Selir Susuhunan Pakubuwono bergelar Kanjeng Bendara Raden Ayu (KBRAy), dengan urutan Bandara Raden Ayu,       Raden Ayu, Raden, Mas Ayu, Mas Ajeng, Mbok Ajeng. Kemudian Pewaris tahta Kasunanan (putra mahkota): Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangku Negara Sudibyo Rajaputra Nalendra ing Mataram. Anak lelaki, selain putra mahkota dari permaisuri, ketika masih muda Raden Mas Gusti (RMG). Dan anak lelaki, selain putra mahkota dari permaisuri, saat sudah dewasa bergelar Kanjeng Gusti Pangeran (KGP), dengan urutan Mangkubumi, Buminoto, Purbaya, dan Puger.
Selanjutnya anak lelaki dari selir ketika masih muda menyandang gelar Bendara Raden Mas (BRM) selanjutnya setelah dewasa memakai gelar Bendara Kanjeng Pangeran (BKP). Berikutnya cucu lelaki dari garis pria bergelar Bendara Raden Mas (BRM). Cicit lelaki dan keturunan lelaki lain dari garis pria: Raden Mas (RM). Anak perempuan dari permaisuri ketika belum dinikahkan memakai gelarGusti Raden Ajeng (GRA) dan setelah dinikahkan memperoleh gelar Gusti Raden Ayu (GRAy). Lalu anak perempuan tertua dari permaisuri ketika sudah dewasa bergelar Gusti Kanjeng Ratu (GKR), dengan urutan Sekar Kedhaton, Pembayun, Maduratna, Bendara, Angger, dan Timur.
Berikutnya, anak perempuan dari selir ketika belum dinikahkan bergelar Bendara Raden Ajeng (BRA) dan setelah menikah menyandang Bendara Raden Ayu (BRAy).
Sedangkan gelar bangsawan turunan di Praja Mangkunagaran meliputi Penguasa Mangkunegaran: Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Haryo Mangkunegoro Senopati ing Ayuda Kaping ... (KGPAA). Kemudian Permaisuri Raja Mangkunegoro bergelar Kanjeng Bendara Raden Ayu (KBRAy) dan Selir Raja Mangkunagara menyandang gelar Bendara Raden Ayu (BRAy) atau Raden Ayu (RAy).
Pewaris tahta Mangkunegaran (putera mahkota): Pangeran Adipati Harya Prabu Prangwadana. Anak lelaki selain putera mahkota dari permaisuri: Gusti Raden Mas (GRM). Dan anak lelaki dari selir: Bendara Raden Mas (RM).
Dalam lingkup gelar kebangsawanan Mataram Islam, empat praja (Kesultanan, Kasunanan, Pakualaman dan Mangkunegaraan) dikenal pula Gelar Istimewa. Gelar-gelar ini dibedakan menjadi dua macam, yakni gelar yang dapat diteruskan pada generasi berikutnya (baik putera maupun puteri) dan gelar yang tidak dapat diturunkan pada generasi berikutnya dengan alasan merupakan gelar jabatan.
Pada gelar istimewa yang dapat diturunkan, untuk keturunan dari lelaki dapat memperoleh gelar yang sama dengan generasi sebelumnya. Khusus keturunan dari perempuan gelarnya akan diturunkan sesuai dengan tingkatan gelar umum. Jika tingkatan gelar keturunan dari perempuan habis maka keturunan berikutnya tidak mendapatkan gelar lagi, kecuali trah dari garis wanita memiliki kedudukan kebangsawanan yang kuat. Contoh gelar yang dapat diturunkan, putra: Raden Mas (RM), Raden (R), Raden Bagus (RB), Raden Bei, Raden Panji (RP), Raden Aryo Panji, dan Mas / Mas Anom / Aryo Bagus / Bagus. Sementara untuk puteri: Raden Ajeng (RA), Raden Ayu (RAy), Rara (Rr), Raden Nganten (RNgt), Dyah/Ayu/Nimas.
Selain gelar-gelar atas dasar keturunan tadi, Keraton juga memberikan gelar-gelar jabatan. Tersebut gelar untuk pejabat pria antara lain Kanjeng Raden Aryo (KRA), Kanjeng Radèn Haryo Tumenggung (KRHT), Mas Radèn Haryo Tumenggung (MRHT), Kanjeng Radèn Mas Tumenggung (KRMT), Radèn Mas Tumenggung (RMT), Ki Tumenggung Adipati, Ki Ageng, Kyai Ageng, Mas Tumenggung / Mas Adipati, Raden Hangabehi (RNg), Mas Ngabéi (MNg), Mas Bekel, dan Mas Ngebel. Sedangkan untuk wanita di antaranya Kanjeng Mas Ayu Tumenggung, Kanjeng Mas Ayu, Mas Ayu, Nimas Ayu, Nyai Tumenggung, Nyai Ajeng, dan Nyai.
Gelar istimewa karena jabatan biasa disandang oleh para Priyayi Anom, Adipati, Patih, Bupati, Walikota, Wedana, Camat, dan Mantri.  Gelar ini dulu disandangkan pada laki-laki, karena pemangku jabatan tersebut mayoritas adalah laki-laki. Sekarang gelar istimewa ini juga diberikan kepada pejabat setingkat Menteri, Gubernur, petinggi lembaga legislatif, petinggi lembaga yudikatif dan petinggi partai politik.

C.   Makna di Balik Gelar Bangsawan
Kendati Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk republik, namun tak bisa dipungkiri bahwa di berbagai daerah dalam wilayah Repulik Indonesia masih banyak keraton (tak terkecuali Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat) yang tetap bertahan dan berusaha menjaga kelestarian dan eksistensinya hingga saat ini.
Keberadaan keraton kini bukan lagi merupakan lembaga politik melainkan simbol budaya dan pengemban misi kebudayaan. Sebagai simbol budaya berarti menghadirkan fungsi kekeratonan untuk mengemban tugas kebudayaan, yaitu merawat tradisi dan melestarikan adat kebudayaan setempat. Institusi keraton menjadi perekat tradisi dan penjaga warisan budaya yang harus tetap lestari.
Karena itu, keraton dapat berperan sebagai pengayom masyarakat yang menghormati tata cara adat istiadat melalui pendekatan kebudayaan. Budaya dan tata cara adat keraton menjadi model untuk pengembangan kebudayaan dan adat istiadat masyarakat.  Dalam lingkup nasional, keraton bisa menjadi perekat bangsa. Hal ini disebabkan potensialitas keraton merupakan wasiat warisan leluhur di mana keraton-keraton di masa silam adalah keraton yang merekatkan, menyatukan, dan mengayomi rakyatnya.
Sebagai upaya untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa  Indonesia, Keraton Surakarta Hadiningrat secara rutin memberikan gelar kehormatan atau gelar adat kebangsawanan kepada orang atau tokoh yang peduli pada pelestarian dan pengembangan kebudayaan masyarakat.
Gelar kebangsawanan biasanya merupakan penanda ikatan darah atau keturunan dengan keraton berdasarkan posisi dalam trahnya. Gelar kebangsawanan dapat pula sebagai bentuk penghargaan yang diberikan raja kepada orang-orang yang memang dianggap berjasa atau memiliki kontribusi terhadap keraton.  Namun gelar juga tidak menjamin seseorang untuk mendapatkan warisan dan materi lainnya.
Pemberian gelar kekerabatan dan kebangsawanan tersebut dilakukan  melalui mekanisme selektif yang dinilai oleh Lembaga Pengageng Putra Sentana dan Pengageng Parentah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Pemberian gelar tersebut melalui mekanisme baku Keraton. Adapun kriteria pemberian gelar bangsawan yakni memberi jasa kepada masyarakat, memiliki eksistensi di bidangnya masing-masing, dan membagikan hal-hal yang bermanfaat dalam bidang kebudayaan.
Dengan demikian, bukan hal yang sederhana ketika tersemat sebuah gelar kehormatan di depan nama. Karena, dalam gelar tersebut terkandung tanggung jawab menjaga perilaku, tutur kata, nama baik dan kehormatan diri. Namun bukan berarti pula harus dibela-bela mati-matian dengan membeli sebuah gelar hanya untuk diakui kemampuan kita menjaga tutur kata dan berperilaku baik. Intinya, lakukan hal baik dengan sepenuh hati dan tetap menjadi diri sendiri.
Pemberian gelar bermakna dapat lebih memotivasi si penerima menjadi lebih baik lagi. Menjadi lebih bersemangat membangkitkan budaya daerah, mencintai kebudayaan bangsa, dan melestarikan budaya dan nasionalisme. Semangat tersebut tercermin dalam sembilan kewajiban yang harus dijalankan para penerima gelar kebangsawanan. Kewajiban tersebut adalah  menghadiri atau mengikuti ritual malem setunggal suro, tingalan jumenangan dalem ingkang sinuwun, grebeg poso, grebeg besar, grebeg mulud, malem selikur poso, maringi zakat fitrah dhateng masjid ageng, wilujengan nagari maheso lawung, wilujengan hadeging Keraton Surakarta Hadiningrat.

D.   Dari Lokal Sampai Nasional
Johnny Sitohang bukanlah orang pertama dari Suku Batak yang memperoleh kehormatan menyandang gelar bangsawan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Sebelumnya, tahun 1985, lelaki Batak kelahiran 16 Juli 1943 di Porsea, Tarnama Sinambela, memperoleh gelar KRT dari Keraton Kasunanan Surakarta. Pemilik dan pendiri PT Sumber Batu Group itu kemudian dianugerahi gelar Kanjeng Raden Aryo (KRA) pada tahun 1994.
Tahun 2011 lalu, Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat memberikan gelar kebangsawanan kepada 28 tokoh masyarakat yang berasal dari kalangan pemerintah, budayawan, pemangku adat, seniman, dan masyarakat umum yang dinilai telah memberikan jasa besar dalam kegiatan pembangunan bangsa dan negara.
Tersebut di antaranya Wakil Ketua MPR RI Hj. Melani Leimena Suharli, Suhardi (Ketua Umum Gerindra), Hidayat Nur Wahid (Mantan Ketua MPR), Yeni Wahid (Direktur Wahid Institute), Manajer “Satu Miliar” Tanri Abeng, dan Walikota Singkawang Dr. KRA Hasan Karman, SH, MM, Bupati Karanganyar Rina Iriani, Kartika Soekarno dan mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno. Sementara dari kalangan seniman, Keraton memberikan gelar kebangsawanan kepada model Luna Maya, presenter Lula Kamal, dan biduanita Rossa.
Melani Leimena Suharli yang kini bergelar Kanjeng Ratu Ayu Adipati mengaku terkejut atas gelar yang diberikan padanya tersebut. Menurutnya, gelar tersebut terkait perannya di MPR yang sedang menggiatkan pelestarian kebudayaan sebagai salah satu upaya melestarikan kebhinekaan. “Kita tidak hanya melestarikan kebudayaan daerah asal kita, tapi juga kebudayaan daerah di seluruh Indonesia,” tutur wanita berdarah Maluku-Sunda itu. "Saya berharap pemberian gelar ini dapat lebih memotivasi dan menjadi lebih baik lagi. Ini membuat saya lebih bersemangat membangkitkan budaya daerah, mencintai kebudayaan bangsa, dan melestarikan budaya dan nasionalisme," tegasnya.
Sementara itu Yeni Wahid mendapatkan gelar Kanjeng Ratu Ayu Sitaningrum karena dianggap telah berprestasi dalam memperjuangkan kehidupan pluralisme di Indonesia. "Saya dinobatkan terkait kegiatan saya sebagai penggiat pluralisme," terang putri Mantan Presiden RI Abdurahman Wahid ini.
Kartika Soekarno (anak Presiden pertama RI Soekarno dari Dewi Soekarno) memperoleh penyematan gelar Kanjeng Raden Ayu Adipati. Sedangkan Erman Suparno mendapatkan gelar Kanjeng Pangeran Haryo dan Bupati Karanganyar Rina Iriani berhak menyandang gelar Kanjeng Mas Ayu.
Tahun 2012, Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat memberikan gelar bangsawan kepada empat menteri Kabinet Indonesia Bersatu jilid II sebagai apresiasi atas peran mereka dalam rekonsiliasi Keraton Kasunanan. Keempat Menteri tersebut adalah Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Menteri Pekerjaan Umum Joko Kirmanto, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh, dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu. Sinuhun Pakubuwono XIII juga memberikan gelar kepada Gubenur Jawa Tengah Bibit Waluyo dan Wali Kota Solo Joko Widodo (Jokowi). Dalam perkembangannya Jokowi menolak pemberian gelar tersebut karena merasa belum berbuat apa-apa kepada Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Tahun 2012 Keraton Kasunanan juga memberikan gelar kepada 250 warga lainnya yang dianggap telah berjasa dan mengabdi untuk Keraton Kasunanan Surakarta.
Yang cukup menarik, tahun 2012, Keraton Surakarta Hadiningrat memberi gelar kepada warga Yogyakarta yang nyata-nyata memiliki kontribusi terhadap berbagai bidang. Salah satu sosok yang mendapat anugerah itu adalah Akhir Lusono SSn. Alumni Jurusan Teater Institut Seni Indonesia (ISI) Yogya yang juga banyak berkiprah di dunia sastra Jawa itu diberi Kakancingan dan mendapat gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Akhir Lusono Wibaksodipuro SSn.
Akhir mengaku Kakancingan itu bukan datang atas permintaannya. Kakancingan dan gelar itu murni datang dari Keraton Surakarta Hadiningrat. Menurut Akhir, di Yogya terdapat paguyuban bernama Pakasa atau Paguyuban Kawula Keraton Surakarta. Saat itu dia diajak untuk aktif dalam paguyuban tersebut. Selama lebih dari setahun dia aktif dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan Pakasa, tanpa harus meninggalkan aktivitasnya sebagai pegiat Sastra Jawa.
"Saat bergabung itu saya tidak diberitahu untuk apa. Yang jelas saya diajak untuk ikut bergabung. Dan saya bersedia, tanpa berpikir mengapa saya diajak dan sebagainya. Sampai kemudian saya juga diminta mendokumentasikan karya-karya saya dalam bidang Sastra Jawa," ungkap Akhir.
Pada perkembangannya, lanjut Akhir, ternyata Pakasa mengusulkan kepada Keraton Surakarta Hadiningrat untuk memberinya gelar kebangsawanan. Sebab, dia dianggap telah turut serta nguri-uri Sastra Jawa yang selama ini barangkali hanya sedikit orang yang menjamahnya.
Setelah melalui beberapa tahap, akhirnya gelar itu pun diberikan. Pangkat setingkat Bupati Sepuh pun disandangnya. Gelar kebangsawanan memang berarti sebuah anugerah. Namun di balik itu, ada beban dan tantangan yang harus dipikul dan dilaksanakan. Itu pulalah yang kemudian dirasakan oleh Akhir.
"Terus terang, dengan adanya Kakancingan ini, saya juga merasa mendapat anugerah sekaligus beban. Anugerah karena ternyata aktivitas dan perjuangan saya selama ini dalam Sastra Jawa dihargai. Beban, karena dengan gelar itu, saya mau tidak mau harus lebih gencar dan lebih intens lagi dalam nguri-uri kebudayaan dan Sastra Jawa," ujarnya.
Salah satu hal yang dilakukan oleh Akhir adalah menyiapkan seperangkat gamelan yang diharapkan bisa dimanfaatkan oleh banyak orang, khususnya para tetangga di kampungnya. Gamelan dari besi itu kelak akan dimanfaatkan pula untuk membina kesenian jatilan di lingkungan tempat tinggalnya.
"Apa yang saya lakukan ini barangkali tidak seberapa. Namun, setidaknya saya telah mencoba berbuat sesuatu. Dengan demikian, gelar yang telah diberikan kepada saya tidak sia-sia. Sebab, meskipun gelar kebangsawanan itu bukan obsesi saya, namun karena saya telah diberi anugerah itu, mau tidak mau saya harus menjaga dan menjunjung tinggi," ucapnya. ***

No comments:

Post a Comment