Menjadi Kerabat Keraton Surakarta
Hadiningrat
Bukan hal yang sederhana ketika
tersemat sebuah gelar kehormatan di depan nama. Karena, dalam gelar tersebut
terkandung tanggung jawab menjaga perilaku, tutur kata, nama baik dan
kehormatan diri.
Heri
Priyatmoko, pengamat sejarah Solo
Apalah
arti sebuah nama? What it’s a name? Demikian
ujaran populer penulis naskah drama kondang dunia William Shakespeare.
Shakespeare, dan orang Barat pada umumnya, tak begitu hirau pada nama yang
ditempelkan pada sosok atau individdu yang baru lahir ke alam fana ini. Nama adalah
sekadar kata penyebut atau pemanggil orang untuk membedakan dengan orang yang
lain.
Tentu
tidak begitu bagi orang-orang kita di Indonesia, nama memiliki arti dan makna
tersendiri. Bahkan, nama merefleksikan identitas diri si pemilik. Identitas
kesukuan, agama, dan juga kasta. Sebut saja sebuah nama Ketut Arnaya. Kita
tentu paham bahwa nama yang satu ini merupakan milik sosok mantan Direktur
Utama PT Sarinah (Persero) yang berasal dari Bali dan berkasta waisya --golongan pedagang, petani, dan
tukang dalam masyarakat Hindu-Bali. Sebut pula misalkan nama Raden Ngabehi
Ronggowarsito, tentu benak kita langsung melayang bahwa sosok yang satu ini
adalah orang Jawa kerabat Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Lalu
bagaimana dengan nama Kanjeng Raden Aryo (KRA) Johnny Sitohang Adinegoro? Sebuah
nama yang tidak semata-mata di dalamnya mengalir darah satu suku bangsa saja.
Secara sepintas ada percampuran darah Suku Batak (menilik nama Sitohang) dan darah
kerabat Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat (melihat nama Kanjeng Raden Aryo
Adinegoro). Benarkah dalam tubuh KRA Johnny Sitohang Adinegoro benar-benar
mengalir darah atau turunan Batak bercampur ningrat Jawa?
Menilik
asal-muasal dan nama kedua orang-tuanya, sosok yang sekarang tengah menjabat
Bupati Dairi ini dapat dikatakan orang Batak tulen. Dia lahir dari ibu Mutiara
boru Tobing dan ayah Jonathan Ompu Tording Sitohang yang pahlawan perjuangan
Tanah Dairi lepas dari cengkeraman penjajah Belanda pada Agresi Belanda ke-2
(1949). Tidak sedikitpun ada percampuran darah ningrat Jawa.
Lalu,
dari mana darah ningrat (bangsawan) Jawa itu mengalir dalam diri seorang Johnny
Sitohang? Ceritanya cukup panjang.
A. Gelar dari Keraton Surakarta
Suatu
waktu di tahun 2006, saat masih menjabat Wakil Bupati Dairi, Johnny Sitohang bertemu
Sekretaris Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kanjeng Raden Aryo (KRA)
Drs. Sri Sadoyo yang juga mantan Wakil Bupati Karanganyar. Pertemuan dua pejabat
itu bertepatan dengan agenda studi banding wakil kepala daerah ke Solo, Jawa Tengah.
Pada kesempatan itu, Sri Sadoyo kemudian mengajak Johnny bertandang ke Keraton
Kasunanan Surakarta Hadiningrat guna melihat dari dekat sekilas upaya
pelestarian adat budaya Jawa di lingkungan kerajaan Jawa yang berdiri tahun
1755 sebagai hasil dari Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 itu. Sekadar
pengetahuan sejarah, Perjanjian Giyanti antara VOC dan pihak-pihak yang
bersengketa di Kesultanan Mataram, yaitu Sunan Pakubuwono III dan Pangeran
Mangkubumi, menyepakati bahwa Kesultanan Mataram dibagi dalam dua wilayah
kekuasaan, masing-masing Surakarta dan Yogyakarta.
Beberapa
saat berselang setelah acara studi banding di Solo selesai, Sri Sadoyo
mengusulkan kepada Sampeyan Ndalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan (SISKS)
Pakubuwono XIII Hangabehi (Raja Kasunanan Surakarta) agar Johnny Sitohang dikukuhkan
menjadi anggota keluarga (kerabat) keraton. Saat itu, Pakubuwono XIII Hangabehi
tidak secara langsung memberikan tanggapan. Tak lama kemudian, sekitar tahun 2007,
Johnny diundang ke Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Agendanya, bagai
mendapat durian runtuh, dia menerima gelar Kanjeng Raden Aryo (KRA) dan
penambahan ‘Adinegoro’ di belakang nama dirinya. Adinegoro dapat dimaknai
sebagai negarawan, sosok yang berpikir dan bertindak untuk kepentingan bangsa
dan negara. Dan mulai saat itu, Johhny memiliki nama lengkap KRA Johnny
Sitohang Adinegoro.
Nilai
sosial politisi penobatan gelar KRT dan pemberian gelar KRA dipandang sangat
tinggi. Ada sikap kenegarawanan dalam diri Johnny sehingga Keraton Kasunanan
Surakarta Hadiningrat menjadikannya sebagai kerabat keraton dan memberikan
gelar KRA. Sikap kenegarawanan Johnny patut diteladani sehingga layak mendapat
kehormatan melalui gelar Kanjeng Raden Aryo (KRA).
Sehubungan
dengan gelar KRA itu, dalam setiap acara, Johnny mendapat kursi di barisan depan
petinggi istana Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Menurut Sekretaris
Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat Sri Sadoyo, tidak banyak warga non-Jawa
yang mendapat kesempatan sedemikian penting.
Selain
gelar bangsawan dari Keraton Kasunanan, jelas Sri Sadoyo, Johnny juga telah
didaulat menjadi bagian dari keluarga Istana Mangkunegaran (Solo) yang disertai
dengan penabalan gelar Kandjeng Raden Tumanggeng (KRT) pada tahun 2006. Dia
mengaku tersanjung, sebab tanpa pengorbanan apa-apa, pintu keluarga keraton dibuka
lebar untuknya. Ketika itu dia memperoleh penabalan gelar KRT bersama dengan
Menteri Kesehatan (waktu itu) Siti Fadillah Supari dan Menteri Pekerjaan Umum Joko
Kirmanto.
Johnny
mengaku senang menjadi anggota atau kerabat Keraton Kasunanan Surakarta
Hadiningrat dan Istana Mangkunegaran. Sisi positif, dia bisa menambah cakrawala,
termasuk mendalami seluk beluk budaya. Sebagai putera Batak tulen, tentulah
merasa memiliki kebanggaan istimewa. Dan, secara langsung, dia merupakan
saudara dari keluarga Jawa di daerah otonom Kabupaten Dairi khususnya dan Nusantara
umumnya.
"Kalau
Anda melihat saya cepat akrab bersama Kapolres (Dairi), Enggar Pareanom, itu
terkait erat status personal perwira menengah tersebut. Dia adalah keturunan Keraton
(Kasunanan Surakarta Hadiningrat), makanya saya cepat nyambung," kata Johnny
penuh ceria pada suatu kesempatan berbincang dengan kalangan jurnalis di
Sidikalang, Kabupaten Dairi.
Kekerabatan
itu pun membuahkan hasil. Misalkan, awal tahun 2012, Sekretaris Keraton
Kasunanan Surakarta Hadiningrat, KRA Drs. Sri Sadoyo, yang juga pengusaha
tekstil menghibahkan sejumlah kemeja bercorak Pakpak. Kemeja berwarna kuning itu
kini dikenakan jajaran PNS setiap hari Kamis.
Dengan
hibah pakaian semacam itu, Johnny mengakui, dirinya kerap menerima kritik yang
cukup pedas. Tidak mudah memang. “Berbuat baik pun dikritik. Padahal, kain itu
benar-benar bercorak budaya lokal Pakpak. Kalau latar belakang warnanya kuning,
mau bilang apa? Namanya juga hibah,” ujar Johnny usai mendendangkan tembang
favorit irama Melayu karya The Mercy’s
pada acara ulang tahun ke-56 dirinya
pada 17 April 2012.
Apresiasi
Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat tidak cukup berhenti di sini. Bulan
Juni tahun 2012, Johhny Sitohang menerima tanda kehormatan (lencana) yang diberi
nama Lencana Radyo Laksono --sebagai lambang kehormatan tertinggi dan biasanya hanya
diberikan kepada kerabat keraton.
Lencana
berbentuk bintang lima itu langsung disematkan oleh Pangeran Kanjeng Gusti
Pareanom Haryo Puger bersama isteri --didampingi saudara perempuannya Gusti
Kanjeng Retno Dumila serta kerabat Keraton lainnya-- di Pendopo Sasono Hadiwina
Keraton Surakarta Hadiningrat. Kanjeng Gusti Haryo menjelaskan penyematan tanda
kehormatan Radyo Laksono biasanya diberikan kepada kerabat Keraton saja.
Apresiasi ini diberikan kepada kerabat keraton yang peduli pada pengembangan dan
nasib budaya lokal.
Johnny
Sitohang ke Solo pada Juni 2012 tidak sendirian. Sebelum ke Solo, Johnny mendampingi
para kepala desa se wilayah Kabupaten Dairi mengikuti Bimbingan Teknik (Bimtek)
di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD), Kabupaten Sleman, Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta. Agenda ini kemudian dilanjutkan dengan kunjungan
lapangan kepala desa ke Keraton Solo.
Kunjungan
para kepala desa sewilayah Kabupaten Dairi ke Keraton Kasunanan Surakarta
Hadiningrat merupakan salah satu agenda kegiatan kunjugan lapangan yang dibuat
panitia di sela-sela Bimtek. “Tujuannya, untuk memberikan pemahaman lebih dekat
tentang Keraton, karena tidak bisa kita pungkiri, mungkin di antara mereka ada
yang belum pernah berkunjung ke Keraton, sebagai peninggalan sejarah bangsa
kita,” terang Johnny Sitohang.
Johnny
menyebutkan, sejak dirinya memperoleh penobatan KRT (2006) dan dianugerahi gelar
Kanjeng Raden Aryo (KRA) tahun 2007 lalu, dia menaruh perhatian serta
kepedulian terhadap perkembangan dan kelestarian nilai-nilai kultural Keraton Kasunanan
Surakarta Hadiningrat dan Istana Mangkunegaran. Dia mengaku bahagia menerima
lencana Radyo Laksono tersebut. Radyo Laksono merupakan lambang kebesaran
kultural Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Dia sebelumnya tidak menduga bakal
menerima lencana dari Keraton Solo itu. Selama ini, kata dia, hubunganya dengan
keluarga Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat berjalan sangat baik.
“Pihak
Keraton menganggap bahwa beliau (Johnny Sitohang) adalah orang yang sangat
peduli terhadap perkembangan dan kelestarian kebudayaan yang merupakan warisan
bagi generasi bangsa ini. Selain bagi pribadi Johnny Sitohang, karena beliau
juga sebagai Bupati Dairi, momen pemberian tanda kehormatan Radyo Laksono ini
dapat diperluas sebagai hubungan kerja sama pertukaran kebudayaan Jawa dengan kebudayaan Kabupaten Dairi, sebagai
kebanggaan bangsa ini,” jelas Sekretaris Keraton Kasunanan Surakarta
Hadiningrat KRA Drs. Sri Sadoyo.
Sri
Sadoyo menambahkan bahwa pihaknya banyak mendapat donasi dan atensi dari Johnny
Sitohang, sementara Johnny tidak mengharap imbal balik yang sepadan.
B. Sekilas Keraton Kasunanan
Surakarta
Kasunanan
Surakarta Hadiningrat adalah sebuah kerajaan di Jawa Tengah yang berdiri tahun
1755 sebagai hasil dari Perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755. Perjanjian
antara VOC dan pihak-pihak yang bersengketa di Kesultanan Mataram (Sunan
Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi) itu menyepakati bahwa Kesultanan
Mataram dibagi dalam dua wilayah kekuasaan, masing-masing Surakarta dan
Yogyakarta.
Secara
umum Kasunanan Surakarta tidak dianggap sebagai pengganti Kesultanan Mataram,
melainkan sebuah kerajaan tersendiri, walaupun rajanya masih keturunan raja
Mataram. Dalam perjalanan sejarah, setiap raja Kasunanan Surakarta yang
bergelar Sunan (demikian pula raja Kasultanan Yogyakarta yang bergelar Sultan)
selalu menanda-tangani kontrak politik dengan VOC atau Pemerintah Hindia
Belanda.
Kesultanan
Mataram runtuh akibat pemberontakan Trunojoyo pada tahun 1677. Kemudian Sunan
Amral memindahkan ibukota kerajaan ke Kartasura. Pada masa Sunan Pakubuwono II
memegang tampuk pemerintahan, Keraton Mataram mendapat serbuan dari pemberontak
orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan orang-orang Jawa anti-VOC tahun
1742. Kerajaan Mataram yang berpusat di Kartasura itu pun runtuh. Kota
Kartasura berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati Cakraningrat IV,
penguasa Madura Barat yang merupakan sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak
parah. Pakubuwono II, yang menyingkir ke Ponorogo (Jawa Timur), lalu memutuskan
untuk membangun istana baru di Desa Solo, sebagai ibukota kerajaan Mataram yang
baru.
Sunan
Pakubuwono II lantas memerintahkan Tumenggung Honggowongso (bernama kecil Joko
Sangrib atau Kentol Surawijaya yang kemudian diberi gelar Tumenggung
Arungbinang I) --bersama Tumenggung Mangkuyudho dan komandan pasukan Belanda
J.A.B. van Hohendorff-- mencari lokasi ibukota keraton yang baru. Pada tahun
1745 mereka mendapat lokasi baru yang berjarak sekitar 20 km ke arah tenggara
dari Kartasura, tepatnya di Desa Solo dan berada di tepi Bengawan Solo. Selanjutnya
mereka membangun istana baru di Desa Solo ini. Nama "Surakarta"
diberikan sebagai nama "wisuda" bagi pusat pemerintahan baru. Menurut
sejumlah sumber, pembangunan keraton ini menggunakan bahan kayu jati dari
kawasan Alas Kethu (hutan di dekat Wonogiri) dan kayunya dihanyutkan melalui
Bengawan Solo. Secara resmi, keraton mulai ditempati tanggal 17 Februari 1745
(atau Rabu Pahing 14 Suro 1670 Penanggalan Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya).
Dengan
berlakunya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755), Surakarta dijadikan pusat pemerintahan Kasunanan
Surakarta dengan rajanya Pakubuwono III. Sedangkan Yogyakarta menjadi pusat
pemerintahan Kasultanan Yogyakarta, dengan rajanya Sultan Hamengkubuwono I.
Keraton dan kota Yogyakarta mulai dibangun pada 1755, dengan pola tata kota
yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu dibangun.
Selanjutnya
wilayah Kasunanan Surakarta semakin berkurang setelah berlakunya Perjanjian
Salatiga 17 Maret 1757. Perjanjian itu mengakui Raden Mas Said sebagai seorang
pangeran merdeka dengan wilayah kekuasaan berstatus kadipaten, yang disebut
dengan nama Praja Mangkunegaran. Sebagai penguasa, Raden Mas Said bergelar
Adipati Mangkunegoro. Wilayah Surakarta berkurang lagi setelah usai Perang
Diponegoro pada tahun 1830, di mana daerah-daerah mancanegara diberikan kepada
Belanda sebagai ganti rugi atas biaya peperangan.
Berbeda
dengan Pakubuwono III yang agak patuh kepada VOC, penerus tahta Kasunanan
Surakarta berikutnya, Sri Susuhunan Pakubuwono IV (1788-1820), merupakan sosok
raja yang membenci penjajah dan penuh cita-cita serta keberanian. Pada November
1790, terjadi Peristiwa Pakepung, yakni insiden pengepungan Keraton Surakarta
oleh persekutuan VOC, Hamengkubuwono I, dan Mangkunegoro I. Pengepungan ini
terjadi lantaran Pakubuwono IV yang berpaham Kejawen menyingkirkan para pejabat
istana yang tidak sepaham dengan dirinya. Para pejabat istana yang disingkirkan
kemudian meminta bantuan VOC untuk menghadapi Pakubuwono IV. VOC yang memang merasa
khawatir atas aktivitas Kejawen Pakubuwono IV akhirnya bersekutu dengan
Hamengkubuwono I dan Mangkunegoro I untuk mengepung istana. Di dalam istana,
para pejabat yang sebenarnya tidak sependapat dengan Pakubuwono IV juga ikut
menekan dengan tujuan agar para penasehat rohani kerajaan yang beraliran Kejawen
bisa disingkirkan. Pada 26 November 1790, Pakubuwono IV akhirnya takluk dan
menyerahkan para penasehatnya untuk diasingkan oleh VOC. Pada era pemerintahan
Pakubuwono IV terjadi perundingan bersama yang isinya menerangkan bahwa
Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, serta Praja Mangkunegaran memiliki
kedudukan dan kedaulatan yang setara sehingga tidak boleh saling menyerang.
Pengganti
Pakubuwono IV adalah Sri Susuhunan Pakubuwono V, yang oleh masyarakat saat itu
dijuluki sebagai Sunan Ngabehi, karena baginda yang sangat kaya --baik kaya
harta maupun kesaktian. Setelah wafat, pengganti Pakubuwono V adalah Sri
Susuhunan Pakubuwono VI. Pakubuwono VI adalah pendukung perjuangan Pangeran
Diponegoro, yang memberontak terhadap Kesultanan Yogyakarta dan Pemerintah
Hindia Belanda sejak tahun 1825. Penulis naskah-naskah babad waktu itu sering
menutupi pertemuan rahasia Pakubuwono VI dengan Pangeran Diponegoro menggunakan
bahasa simbolis. Misalnya, Pakubuwono VI dikisahkan pergi bertapa ke Gunung
Merbabu atau bertapa di Hutan Krendawahana. Padahal, sebenarnya, secara
diam-diam dia pergi menemui Pangeran Diponegoro. Dalam perang melawan Pangeran
Diponegoro, Pakubuwono VI menjalankan aksi ganda. Di samping memberikan bantuan
dan dukungan, dia juga mengirim pasukan untuk pura-pura membantu Belanda.
Pujangga besar Ronggowarsito mengaku semasa muda dirinya pernah ikut serta
dalam pasukan sandiwara tersebut. Setelah menangkap Pangeran Diponegoro,
Belanda juga menangkap Pakubuwono VI dan membuangnya ke Ambon pada tanggal 8
Juni 1830 karena Mas Pajangswara (ketika itu dikabarkan sudah nyaman hidup di
Batavia) telah membocorkan semua sepak terjangnya.
Fitnah
yang dilancarkan pihak Belanda ini kemudian berakibat buruk terhadap hubungan
putera Pakubuwono VI (Pakubuwono IX) dengan putera Mas Pajangswara yang dikenal
sebagai pujangga Keraton dengan nama Raden Ngabehi Ronggowarsito. Pakubuwono IX
sendiri masih berada dalam kandungan ketika Pakubuwono VI berangkat ke Ambon.
Tahta Surakarta kemudian jatuh kepada paman Pakubuwono VI, yang bergelar Sri
Susuhunan Pakubuwono VII.
Saat
itu Perang Diponegoro baru saja berakhir. Masa pemerintahan Pakubuwono VII
relatif lebih damai apabila dibandingkan dengan masa raja-raja sebelumya.
Keadaan yang damai itu mendorong tumbuhnya kegiatan sastra secara besar-besaran
di lingkungan keraton. Masa pemerintahan Pakubuwono VII dianggap sebagai puncak
kejayaan sastra di Kasunanan Surakarta dengan pujangga besar Raden Ngabehi Ronggowarsito
sebagai pelopor. Pemerintahan Pakubuwono VII berakhir saat beliau wafat. Karena
tidak memiliki putera mahkota, Pakubuwono VII digantikan oleh kakaknya (lain
ibu) bergelar Sri Susuhunan Pakubuwono VIII yang naik tahta pada usia 69 tahun.
Pemerintahan
Pakubuwono VIII berjalan selama tiga tahun hingga akhir hayatnya. Pakubuwono
VIII digantikan putera Pakubuwono VI sebagai raja Surakarta selanjutnya, yang
bergelar Sri Susuhunan Pakubuwono IX. Hubungan antara Pakubuwono IX dengan Ronggowarsito
kurang harmonis karena fitnah pihak Belanda bahwa Mas Pajangswara (ayah Ronggowarsito
yang menjabat sebagai juru tulis keraton) telah membocorkan rahasia persekutuan
antara Pakubuwono VI dan Pangeran Diponegoro yang mengakibatkan Pakubuwono VI
dibuang ke Ambon, Maluku. Hal ini membuat Pakubuwono IX membenci keluarga Mas
Pajangswara. Padahal, juru tulis keraton tersebut ditemukan tewas mengenaskan gara-gara
disiksa dalam penjara oleh tentara Belanda. Ronggowarsito sendiri berusaha
memperbaiki hubungannya dengan raja melalui persembahan naskah Serat Cemporet.
Pemerintahan
Pakubuwono IX berakhir saat kematiannya pada tanggal 16 Maret 1893. Dia
digantikan puteranya sebagai raja Surakarta berikutnya, bergelar Sri Susuhunan
Pakubuwono X. Masa pemerintahannya ditandai dengan kemegahan tradisi dan
suasana politik kerajaan yang stabil. Pada masa pemerintahannya yang cukup
panjang, Kasunanan Surakarta mengalami transisi, dari kerajaan tradisional
menuju era modern, sejalan dengan perubahan politik di Hindia Belanda. Meskipun
berada dalam tekanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda, Pakubuwono X
memberikan kebebasan berorganisasi dan penerbitan media massa. Dia mendukung
pendirian organisasi Sarekat Islam, salah satu organisasi pergerakan nasional
pertama di Indonesia. Kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta (1938) juga diadakan
pada masa pemerintahannya.
Infrastruktur
moderen kota Surakarta banyak dibangun pada masa pemerintahannya, antara lain
bangunan Pasar Gede, Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo-Kota (Sangkrah), Stadion
Sriwedari, Kebun Binatang Sriwedari yang dalam perkembangannya dipindahkan ke
Jurug, Jembatan Jurug yang melintasi Bengawan Solo di timur kota, Taman
Balekambang, gapura-gapura di batas Kota Surakarta, rumah pemotongan hewan
ternak di Jagalan, rumah singgah bagi tunawisma, dan rumah perabuan (pembakaran
jenazah) bagi warga Tionghoa. Pakubuwono X meninggal dunia pada tanggal 1
Februari 1939. Oleh rakyatnya, dia disebut sebagai Sunan Panutup atau raja
besar Surakarta yang terakhir. Pemerintahannya kemudian digantikan oleh puteranya
yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwono XI.
Pemerintahan
Pakubuwono XI berada pada masa sulit, yaitu bertepatan dengan meletusnya Perang
Dunia Kedua. Dia juga mengalami pergantian pemerintah penjajahan dari tangan
Belanda kepada Jepang pada tahun 1942. Pihak Jepang menyebut Surakarta dengan
nama “Solo Koo”. Setelah meninggal, dia digantikan Sri Susuhunan Pakubuwono
XII.
Awal
pemerintahan Pakubuwono XII hampir bersamaan dengan kelahiran Republik
Indonesia. Belanda yang tidak merelakan kemerdekaan Indonesia berusaha merebut
kembali negeri ini dengan kekerasan. Pada bulan Januari 1946 ibukota Indonesia
terpaksa pindah ke Yogyakarta karena Jakarta jatuh ke tangan Belanda. Barisan
Banteng berhasil menguasai Surakarta sedangkan pemerintah Indonesia tidak
menumpasnya karena pembelaan Jenderal Sudirman. Bahkan, Jenderal Sudirman juga
berhasil mendesak pemerintah sehingga mencabut status Daerah Istimewa
Surakarta. Pada awal pemerintahannya, Pakubuwono XII dinilai gagal mengambil
peran penting dan memanfaatkan situasi politik Republik Indonesia. Bahkan,
hingga muncul rumor bahwa para bangsawan Surakarta sejak dulu merupakan sekutu Pemerintah
Belanda, sehingga rakyat merasa marah dan memberontak terhadap kekuasaan
Kasunanan. Padahal, fitnah itu keliru. Karena, sebagaimana kita ketahui,
raja-raja Kasunanan terdahulu merupakan salah satu penentang pemerintah
penjajah yang paling utama.
Meskipun
gagal secara politik, Pakubuwono XII tetap menjadi figur pelindung kebudayaan
Jawa. Pada zaman reformasi, para tokoh nasional, semisal Gus Dur, tetap
menghormatinya sebagai salah satu sesepuh Tanah Jawa. Pakubuwono XII wafat pada
tanggal 11 Juni 2004, dan masa pemerintahannya merupakan yang terlama di antara
para raja-raja Kasunanan terdahulu, yaitu sejak tahun 1945-2004. Sepeninggalnya,
Kasunanan dipimpin oleh Pakubuwono XIII Hangabehi.
Dalam
kehidupan keraton, sampai sekarang Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat
masih melestarikan pemakaian gelar kebangsawanan. Gelar-gelar yang dipakai di Keraton
Kasunanan Surakarta meliputi Penguasa Kasunanan bergelar Sampeyan Dalem ingkang
Sinuhun Kanjeng Susuhunan Prabu Sri Pakubuwono Senopati ing Alogo Ngabdulrahman
Sayidin Panatagama Kaping … (SISKS); Permaisuri Susuhunan Pakubuwono bergelar
Gusti Kanjeng Ratu (GKR), dengan urutan Ratu Kilen (Ratu Barat), Ratu Wetan
(Ratu Timur); Selir Susuhunan Pakubuwono bergelar Kanjeng Bendara Raden Ayu
(KBRAy), dengan urutan Bandara Raden Ayu, Raden
Ayu, Raden, Mas Ayu, Mas Ajeng, Mbok Ajeng. Kemudian Pewaris tahta Kasunanan
(putra mahkota): Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangku Negara Sudibyo
Rajaputra Nalendra ing Mataram. Anak lelaki, selain putra mahkota dari
permaisuri, ketika masih muda Raden Mas Gusti (RMG). Dan anak lelaki, selain
putra mahkota dari permaisuri, saat sudah dewasa bergelar Kanjeng Gusti
Pangeran (KGP), dengan urutan Mangkubumi, Buminoto, Purbaya, dan Puger.
Selanjutnya
anak lelaki dari selir ketika masih muda menyandang gelar Bendara Raden Mas
(BRM) selanjutnya setelah dewasa memakai gelar Bendara Kanjeng Pangeran (BKP).
Berikutnya cucu lelaki dari garis pria bergelar Bendara Raden Mas (BRM). Cicit
lelaki dan keturunan lelaki lain dari garis pria: Raden Mas (RM). Anak
perempuan dari permaisuri ketika belum dinikahkan memakai gelarGusti Raden
Ajeng (GRA) dan setelah dinikahkan memperoleh gelar Gusti Raden Ayu (GRAy).
Lalu anak perempuan tertua dari permaisuri ketika sudah dewasa bergelar Gusti
Kanjeng Ratu (GKR), dengan urutan Sekar Kedhaton, Pembayun, Maduratna, Bendara,
Angger, dan Timur.
Berikutnya,
anak perempuan dari selir ketika belum dinikahkan bergelar Bendara Raden Ajeng
(BRA) dan setelah menikah menyandang Bendara Raden Ayu (BRAy).
Sedangkan
gelar bangsawan turunan di Praja Mangkunagaran meliputi Penguasa Mangkunegaran:
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Haryo Mangkunegoro Senopati ing Ayuda Kaping ...
(KGPAA). Kemudian Permaisuri Raja Mangkunegoro bergelar Kanjeng Bendara Raden
Ayu (KBRAy) dan Selir Raja Mangkunagara menyandang gelar Bendara Raden Ayu
(BRAy) atau Raden Ayu (RAy).
Pewaris
tahta Mangkunegaran (putera mahkota): Pangeran Adipati Harya Prabu Prangwadana.
Anak lelaki selain putera mahkota dari permaisuri: Gusti Raden Mas (GRM). Dan anak
lelaki dari selir: Bendara Raden Mas (RM).
Dalam
lingkup gelar kebangsawanan Mataram Islam, empat praja (Kesultanan, Kasunanan,
Pakualaman dan Mangkunegaraan) dikenal pula Gelar Istimewa. Gelar-gelar ini
dibedakan menjadi dua macam, yakni gelar yang dapat diteruskan pada generasi
berikutnya (baik putera maupun puteri) dan gelar yang tidak dapat diturunkan
pada generasi berikutnya dengan alasan merupakan gelar jabatan.
Pada
gelar istimewa yang dapat diturunkan, untuk keturunan dari lelaki dapat
memperoleh gelar yang sama dengan generasi sebelumnya. Khusus keturunan dari
perempuan gelarnya akan diturunkan sesuai dengan tingkatan gelar umum. Jika
tingkatan gelar keturunan dari perempuan habis maka keturunan berikutnya tidak
mendapatkan gelar lagi, kecuali trah dari garis wanita memiliki kedudukan
kebangsawanan yang kuat. Contoh gelar yang dapat diturunkan, putra: Raden Mas
(RM), Raden (R), Raden Bagus (RB), Raden Bei, Raden Panji (RP), Raden Aryo
Panji, dan Mas / Mas Anom / Aryo Bagus / Bagus. Sementara untuk puteri: Raden
Ajeng (RA), Raden Ayu (RAy), Rara (Rr), Raden Nganten (RNgt), Dyah/Ayu/Nimas.
Selain
gelar-gelar atas dasar keturunan tadi, Keraton juga memberikan gelar-gelar
jabatan. Tersebut gelar untuk pejabat pria antara lain Kanjeng Raden Aryo
(KRA), Kanjeng Radèn Haryo Tumenggung (KRHT), Mas Radèn Haryo Tumenggung (MRHT),
Kanjeng Radèn Mas Tumenggung (KRMT), Radèn Mas Tumenggung (RMT), Ki Tumenggung
Adipati, Ki Ageng, Kyai Ageng, Mas Tumenggung / Mas Adipati, Raden Hangabehi
(RNg), Mas Ngabéi (MNg), Mas Bekel, dan Mas Ngebel. Sedangkan untuk wanita di
antaranya Kanjeng Mas Ayu Tumenggung, Kanjeng Mas Ayu, Mas Ayu, Nimas Ayu, Nyai
Tumenggung, Nyai Ajeng, dan Nyai.
Gelar
istimewa karena jabatan biasa disandang oleh para Priyayi Anom, Adipati, Patih,
Bupati, Walikota, Wedana, Camat, dan Mantri. Gelar ini dulu disandangkan pada laki-laki,
karena pemangku jabatan tersebut mayoritas adalah laki-laki. Sekarang gelar
istimewa ini juga diberikan kepada pejabat setingkat Menteri, Gubernur, petinggi
lembaga legislatif, petinggi lembaga yudikatif dan petinggi partai politik.
C. Makna di Balik Gelar Bangsawan
Kendati
Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk republik, namun tak bisa
dipungkiri bahwa di berbagai daerah dalam wilayah Repulik Indonesia masih
banyak keraton (tak terkecuali Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat) yang
tetap bertahan dan berusaha menjaga kelestarian dan eksistensinya hingga saat
ini.
Keberadaan
keraton kini bukan lagi merupakan lembaga politik melainkan simbol budaya dan
pengemban misi kebudayaan. Sebagai simbol budaya berarti menghadirkan fungsi
kekeratonan untuk mengemban tugas kebudayaan, yaitu merawat tradisi dan
melestarikan adat kebudayaan setempat. Institusi keraton menjadi perekat
tradisi dan penjaga warisan budaya yang harus tetap lestari.
Karena
itu, keraton dapat berperan sebagai pengayom masyarakat yang menghormati tata
cara adat istiadat melalui pendekatan kebudayaan. Budaya dan tata cara adat keraton
menjadi model untuk pengembangan kebudayaan dan adat istiadat masyarakat. Dalam lingkup nasional, keraton bisa menjadi
perekat bangsa. Hal ini disebabkan potensialitas keraton merupakan wasiat
warisan leluhur di mana keraton-keraton di masa silam adalah keraton yang
merekatkan, menyatukan, dan mengayomi rakyatnya.
Sebagai
upaya untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, Keraton Surakarta Hadiningrat secara
rutin memberikan gelar kehormatan atau gelar adat kebangsawanan kepada orang
atau tokoh yang peduli pada pelestarian dan pengembangan kebudayaan masyarakat.
Gelar
kebangsawanan biasanya merupakan penanda ikatan darah atau keturunan dengan
keraton berdasarkan posisi dalam trahnya. Gelar kebangsawanan dapat pula
sebagai bentuk penghargaan yang diberikan raja kepada orang-orang yang memang
dianggap berjasa atau memiliki kontribusi terhadap keraton. Namun gelar juga tidak menjamin seseorang
untuk mendapatkan warisan dan materi lainnya.
Pemberian
gelar kekerabatan dan kebangsawanan tersebut dilakukan melalui mekanisme selektif yang dinilai oleh
Lembaga Pengageng Putra Sentana dan Pengageng Parentah Keraton Kasunanan
Surakarta Hadiningrat. Pemberian gelar tersebut melalui mekanisme baku Keraton.
Adapun kriteria pemberian gelar bangsawan yakni memberi jasa kepada masyarakat,
memiliki eksistensi di bidangnya masing-masing, dan membagikan hal-hal yang
bermanfaat dalam bidang kebudayaan.
Dengan
demikian, bukan hal yang sederhana ketika tersemat sebuah gelar kehormatan di
depan nama. Karena, dalam gelar tersebut terkandung tanggung jawab menjaga
perilaku, tutur kata, nama baik dan kehormatan diri. Namun bukan berarti pula
harus dibela-bela mati-matian dengan membeli sebuah gelar hanya untuk diakui
kemampuan kita menjaga tutur kata dan berperilaku baik. Intinya, lakukan hal
baik dengan sepenuh hati dan tetap menjadi diri sendiri.
Pemberian
gelar bermakna dapat lebih memotivasi si penerima menjadi lebih baik lagi. Menjadi
lebih bersemangat membangkitkan budaya daerah, mencintai kebudayaan bangsa, dan
melestarikan budaya dan nasionalisme. Semangat tersebut tercermin dalam
sembilan kewajiban yang harus dijalankan para penerima gelar kebangsawanan.
Kewajiban tersebut adalah menghadiri
atau mengikuti ritual malem setunggal
suro, tingalan jumenangan dalem ingkang sinuwun, grebeg poso, grebeg besar,
grebeg mulud, malem selikur poso, maringi zakat fitrah dhateng masjid ageng,
wilujengan nagari maheso lawung, wilujengan hadeging Keraton Surakarta
Hadiningrat.
D. Dari Lokal Sampai Nasional
Johnny
Sitohang bukanlah orang pertama dari Suku Batak yang memperoleh kehormatan
menyandang gelar bangsawan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Sebelumnya,
tahun 1985, lelaki Batak kelahiran 16 Juli 1943 di Porsea, Tarnama Sinambela,
memperoleh gelar KRT dari Keraton Kasunanan Surakarta. Pemilik dan pendiri PT
Sumber Batu Group itu kemudian dianugerahi gelar Kanjeng Raden Aryo (KRA) pada
tahun 1994.
Tahun
2011 lalu, Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat memberikan gelar
kebangsawanan kepada 28 tokoh masyarakat yang berasal dari kalangan pemerintah,
budayawan, pemangku adat, seniman, dan masyarakat umum yang dinilai telah
memberikan jasa besar dalam kegiatan pembangunan bangsa dan negara.
Tersebut
di antaranya Wakil Ketua MPR RI Hj. Melani Leimena Suharli, Suhardi (Ketua Umum
Gerindra), Hidayat Nur Wahid (Mantan Ketua MPR), Yeni Wahid (Direktur Wahid
Institute), Manajer “Satu Miliar” Tanri Abeng, dan Walikota Singkawang Dr. KRA
Hasan Karman, SH, MM, Bupati Karanganyar Rina Iriani, Kartika Soekarno dan
mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno. Sementara dari
kalangan seniman, Keraton memberikan gelar kebangsawanan kepada model Luna
Maya, presenter Lula Kamal, dan biduanita Rossa.
Melani
Leimena Suharli yang kini bergelar Kanjeng Ratu Ayu Adipati mengaku terkejut
atas gelar yang diberikan padanya tersebut. Menurutnya, gelar tersebut terkait
perannya di MPR yang sedang menggiatkan pelestarian kebudayaan sebagai salah
satu upaya melestarikan kebhinekaan. “Kita tidak hanya melestarikan kebudayaan
daerah asal kita, tapi juga kebudayaan daerah di seluruh Indonesia,” tutur
wanita berdarah Maluku-Sunda itu. "Saya berharap pemberian gelar ini dapat
lebih memotivasi dan menjadi lebih baik lagi. Ini membuat saya lebih
bersemangat membangkitkan budaya daerah, mencintai kebudayaan bangsa, dan
melestarikan budaya dan nasionalisme," tegasnya.
Sementara
itu Yeni Wahid mendapatkan gelar Kanjeng Ratu Ayu Sitaningrum karena dianggap
telah berprestasi dalam memperjuangkan kehidupan pluralisme di Indonesia.
"Saya dinobatkan terkait kegiatan saya sebagai penggiat pluralisme,"
terang putri Mantan Presiden RI Abdurahman Wahid ini.
Kartika
Soekarno (anak Presiden pertama RI Soekarno dari Dewi Soekarno) memperoleh
penyematan gelar Kanjeng Raden Ayu Adipati. Sedangkan Erman Suparno mendapatkan
gelar Kanjeng Pangeran Haryo dan Bupati Karanganyar Rina Iriani berhak
menyandang gelar Kanjeng Mas Ayu.
Tahun
2012, Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat memberikan gelar bangsawan kepada
empat menteri Kabinet Indonesia Bersatu jilid II sebagai apresiasi atas peran
mereka dalam rekonsiliasi Keraton Kasunanan. Keempat Menteri tersebut adalah Menteri
Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Menteri Pekerjaan Umum Joko Kirmanto, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh, dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Mari Elka Pangestu. Sinuhun Pakubuwono XIII juga memberikan gelar kepada
Gubenur Jawa Tengah Bibit Waluyo dan Wali Kota Solo Joko Widodo (Jokowi). Dalam
perkembangannya Jokowi menolak pemberian gelar tersebut karena merasa belum
berbuat apa-apa kepada Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Tahun
2012 Keraton Kasunanan juga memberikan gelar kepada 250 warga lainnya yang
dianggap telah berjasa dan mengabdi untuk Keraton Kasunanan Surakarta.
Yang
cukup menarik, tahun 2012, Keraton Surakarta Hadiningrat memberi gelar kepada
warga Yogyakarta yang nyata-nyata memiliki kontribusi terhadap berbagai bidang.
Salah satu sosok yang mendapat anugerah itu adalah Akhir Lusono SSn. Alumni
Jurusan Teater Institut Seni Indonesia (ISI) Yogya yang juga banyak berkiprah
di dunia sastra Jawa itu diberi Kakancingan
dan mendapat gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Akhir Lusono Wibaksodipuro
SSn.
Akhir
mengaku Kakancingan itu bukan datang
atas permintaannya. Kakancingan dan
gelar itu murni datang dari Keraton Surakarta Hadiningrat. Menurut Akhir, di Yogya
terdapat paguyuban bernama Pakasa atau Paguyuban Kawula Keraton Surakarta. Saat
itu dia diajak untuk aktif dalam paguyuban tersebut. Selama lebih dari setahun dia
aktif dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan Pakasa, tanpa harus
meninggalkan aktivitasnya sebagai pegiat Sastra Jawa.
"Saat
bergabung itu saya tidak diberitahu untuk apa. Yang jelas saya diajak untuk
ikut bergabung. Dan saya bersedia, tanpa berpikir mengapa saya diajak dan
sebagainya. Sampai kemudian saya juga diminta mendokumentasikan karya-karya
saya dalam bidang Sastra Jawa," ungkap Akhir.
Pada
perkembangannya, lanjut Akhir, ternyata Pakasa mengusulkan kepada Keraton
Surakarta Hadiningrat untuk memberinya gelar kebangsawanan. Sebab, dia dianggap
telah turut serta nguri-uri Sastra Jawa yang selama ini barangkali hanya
sedikit orang yang menjamahnya.
Setelah
melalui beberapa tahap, akhirnya gelar itu pun diberikan. Pangkat setingkat
Bupati Sepuh pun disandangnya. Gelar kebangsawanan memang berarti sebuah
anugerah. Namun di balik itu, ada beban dan tantangan yang harus dipikul dan
dilaksanakan. Itu pulalah yang kemudian dirasakan oleh Akhir.
"Terus
terang, dengan adanya Kakancingan
ini, saya juga merasa mendapat anugerah sekaligus beban. Anugerah karena
ternyata aktivitas dan perjuangan saya selama ini dalam Sastra Jawa dihargai.
Beban, karena dengan gelar itu, saya mau tidak mau harus lebih gencar dan lebih
intens lagi dalam nguri-uri
kebudayaan dan Sastra Jawa," ujarnya.
Salah
satu hal yang dilakukan oleh Akhir adalah menyiapkan seperangkat gamelan yang
diharapkan bisa dimanfaatkan oleh banyak orang, khususnya para tetangga di
kampungnya. Gamelan dari besi itu kelak akan dimanfaatkan pula untuk membina
kesenian jatilan di lingkungan tempat tinggalnya.
"Apa
yang saya lakukan ini barangkali tidak seberapa. Namun, setidaknya saya telah
mencoba berbuat sesuatu. Dengan demikian, gelar yang telah diberikan kepada
saya tidak sia-sia. Sebab, meskipun gelar kebangsawanan itu bukan obsesi saya,
namun karena saya telah diberi anugerah itu, mau tidak mau saya harus menjaga
dan menjunjung tinggi," ucapnya. ***
No comments:
Post a Comment