Friday, April 19, 2013

Pemerintah Diminta tak Lupakan Peran Apoteker



Rakernas Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) memberi catatan kritis atas kinerja apoteker dalam dunia kesehatan belakangan ini. Pemerintah melupakan peran apoteker dalam penyusunan kerangka infrastruktur pelayanan kesehatan semesta Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) bidang kesehatan. Ketiadaan peran apoteker dikhawatirkan bakal mengganggu proses pengendalian mutu dan ketersediaan obat.

Menurut Dani Pratomo, Ketua IAI, dalam diskusi tentang SJSN bidang kesehatan di Jakarta, 25 Februari 2013, saat ini kontribusi apoteker sebagai tenaga kesehatan masih belum diperhitungkan. Padahal profesi kesehatan ini sebagai mitra pemerintah melaksanakan amanat UU SJSN.

Dani mengatakan profesi apoteker diakui dalam dunia kedokteran di Indonesia, yakni dalam Pasal 108 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam pasal itu disebutkan, segala pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan obat harus dilakukan seorang apoteker.

"Yang menjadi kekhawatiran kami, dana SJSN bisa jebol akibat penggunaan obat yang tak terkendali. Dokter meresepkan obat, tapi apoteker sebenarnya yang memegang kendali karena saat ini tersedia beragam merek obat dengan berbagai variasi harganya," kata Dani.

Dani bahkan menyebutkan pemerintah masih melihat profesi apoteker sebatas penjual obat, atau bahkan pembantu penjual obat.

Profesi apoteker menjadi terabaikan dilihat dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Dana yang dihitung dalam proporsi reimbursement oleh BPJS (Badan Pengelola Jaminan Sosial) terhadap klaim dari pelayanan kesehatan, hanya porsi harga obat, penggunaan alat medis dan jasa dokter. Sedangkan jasa apoteker menjadi tidak diperhitungkan.

Padahal, apoteker bisa menunjang hasil diagnosis dokter. Terutama dari pendapat segi efektivitas dan kinerja pengobatan, yang muaranya menggunakan obat lebih bertanggung jawab.

Bila dokter kurang memahami reaksi obat atau adanya subyektivitas memakai satu jenis obat tertentu, apoteker bisa menjembatani dengan penguasaan materi obat. "Masyarakat lebih diuntungkan dan rumah sakit lebih efektif menyusun budget pembelian obat," kata Dani yang didampingi Sekjen IAI Nurul Falah dan Ketua Umum Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Ahaditomo.

Dari dialog antara dokter dan apoteker, akan terjadi mekanisme pengecekan dan keseimbangan mencari obat yang sesuai. ”Bukan sekadar mengakomodasi pesan sponsor, dokter memberi resep dengan komisi tinggi dari perusahaan farmasi," ujar Dani lagi.

No comments:

Post a Comment