Tuesday, April 16, 2013

Dari Sibolga Memimpin Dairi (1)


Orang Dairi yang Lahir di Sibolga

Sukses tidak terukur sebanyak posisi yang dicapai seseorang dalam hidupnya, tetapi sebanyak rintangan yang mampu dikalahkan seseorang yang sedang berusaha untuk menggapai keberhasilan.
Brooker Taliaferro Washington,
pendidik, penulis, dan pejuang hak sipil Afrika-Amerika


Sibolga. Sebuah kota kecil yang terletak di pantai barat Pulau Sumatera, membujur sepanjang pantai dari utara ke selatan dan berada pada kawasan teluk yang bernama Teluk Tapian Nauli. Berjarak sekitar 350 km dari kota Medan, ibukota Provinsi Sumatera Utara. Sudah sejak awal abad 20, kota ini cukup sohor, terutama bagi mereka yang ingin melancong ke Pulau Nias.
Sibolga memang memiliki sejarah yang cukup panjang. Bermula dari wilayah Tapanuli Tengah yang dulu dikuasai oleh Kolonial Inggris. Dengan Traktat London tanggal 17 Maret 1824, Inggris menyerahkan Sumatera kepada Belanda, sebagai imbalannya Belanda memberikan Semenanjung Melayu. Pada saat itulah Inggris menyerahkan Teluk Tapian Nauli kepada Belanda. Selanjutnya, oleh Belanda, Teluk Tapian Nauli dimasukkan dalam Wilayah Residen Sumatera Barat yang beribukota di Padang.
Ketika daerah jajahan Belanda semakin luas hingga ke Silindung pada tahun 1859 dan ke daerah Toba tahun 1883, untuk lebih memperkokoh strategi pembagian dan perluasan wilayah yang telah dikuasai, Pemerintah Belanda mengeluarkan Staadblad Nomor 193 Tahun 1884 yang menentukan teritorial baru di Karesidenan Tapanuli. Karesidenan Tapanuli pada saat itu dibagi atas 4 afdeling, salah satunya afdeling Sibolga yang meliputi 4 onder afdeling, masing-masing Sibolga dan daerah sekitarnya, Distrik Batang Toru, Barus dan Pakkat, dan Singkil.
Lalu setelah keluar Staadblad Nomor 496 Tahun 1906, status Tapanuli yang semula bagian dari Sumatera Barat beralih menjadi di bawah Gubernur Sumatera yang berkedudukan di Medan yang membagi wilayah Karesidenan Tapanuli dalam 5 afdeling, yaitu Afdeling Natal dan Batang Natal; Afdeling Sibolga dan Batang Toru;  Afdeling Padangsidimpuan; Afdeling Nias; dan Afdeling Tanah Batak.
Afdeling Sibolga diperintah oleh seorang Contraleur dengan wilayah meliputi 13 Kakuriaan dan masing-masing dipimpin oleh Kepala Kuria. Pada saat itu Onder Afdeling Barus masih termasuk Afdeling Tanah Batak. Dengan keluarnya Staadblad Nomor 93 Tahun 1933, sebagian Onder Afdeling Barus digabung ke Afdeling Sibolga dan sebagian lagi masuk Afdeling dataran-dataran tinggi Toba. Selanjutnya, dengan Staadblad Nomor 563 Tahun 1937, keseluruhan Onder Afdeling Barus dimasukkan ke Afdeling Sibolga. Kemudian yang termasuk Afdeling Sibolga adalah Onder Distrik Sibolga, Onder Distrik Lumut, dan Onder Distrik Barus.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, pada tanggal 15 Oktober 1945 Gubernur Sumatera Utara Mr. T. Mohd. Hasan menyerahkan urusan pembentukan daerah otonom bawahan dan penyusunan pemerintah daerah kepada masing-masing Residen, termasuk pembentukan Bupati Sibolga. Pada Juni 1946, melalui sidang Komite Nasional Daerah Karesidenan Tapanuli, dibentuk Kabupaten Tanah Batak. Khususnya untuk Kota Sibolga, dengan Surat Keputusan Gubernur pada tanggal 17 Mei 1946, Sibolga dijadikan Kota Administratif yang dipimpin oleh seorang Walikota yang pada saat itu dirangkap oleh Bupati Kabupaten Sibolga.
Dengan Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1956, wilayah Sumatera Utara membentuk Daerah Otonom Kabupaten, kecuali Kabupaten Dairi (yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 4/1964). Salah satu kabupaten yang disebutkan dalam Undang-Undang Darurat tersebut ialah Tapanuli Tengah yang pada saat itu masih meliputi Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Sibolga sekarang ini. Tetapi dengan Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom kota-kota besar terbentuklah Kotapraja Sibolga yang pada saat ini dikenal sebagai Kota Sibolga.
Dapat dikatakan bahwa Sibolga benar-benar kota yang bersejarah, sejalan dengan sejarah kemerdekaan Republik Indonesia. Kota ini pun sarat nilai-nilai kemerdekaan. Di kota inilah, Bupati Dairi Johnny Sitohang lahir, tepatnya pada tanggal 17 April 1956. “Di Sibolga, saya hanya numpang lahir. Karena ketika itu ada gejolak PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia), kami mengungsi ke Medan dan seterusnya melewatkan masa kecil sampai remaja di Medan,” ujar Johnny Sitohang.

A.   Lahir dari Seorang Pejuang 1949
Johnny Sitohang lahir sebagai anak keempat dari Mutiara br Tobing, isteri  kedua dari Jonathan Ompu Tording (JOT) Sitohang –pahlawan yang memperjuangkan Tanah Dairi lepas dari cengkeraman penjajah Belanda pada Agresi Belanda ke-2 (1949). Selain melahirkan Johnny, dari rahim Mutiara br Tobing dan benih Jonathan Ompu Toding lahir pula Sahala Sitohang, Karni Sulastri Sitohang, Murniati Sitohang, Sabar Sitohang dan Rusni Sitohang. Sedangkan dari rahim isteri pertama Damme br Sagala, lahir saudara-saudara tiri Johnny Sitohang seperti Armina Sitohang, Gayur Sitohang, Tiamsa Sitohang, Kristiana Sitohang, Philip Sitohang, Sorta Sitohang dan Maruli Hamonangan Sitohang. “Saya 13 bersaudara dari dua isteri bapak Jonathan Ompu Tording Sitohang,” ujar Jonny Sitohang.
JOT Sitohang boleh dikatakan pejuang yang cukup populer di Tanah Dairi di masa awal kemerdekaan Republik Indonesia. JOT lahir pada tahun 1902 di Desa Sitogang Sigalingging dan tutup usia pada umur 76 tahun, tepatnya pada 1 Desember 1978 di Desa Lae Hole. Pada 4 Desember dikebumikan dengan upacara kenegaraan di pemakaman keluarga di Desa Lae Hole karena permintaan keluarga. Seharusnya JOT dimakamkan di taman makam pahlawan. Pada Hari Pahlawan 10 November 1982 diadakan upacara di makam JOT oleh berbagai lapisan masyarakat Dairi mengingat jasa-jasanya sebagai pahlawan yang memperjuangkan Tanah Dairi.
Berawal dari pelaksanaan Persetujuan Renville yang ternyata menghadapi berbagai kesulitan yang tidak dapat diatasi. Pihak Belanda ataupun pihak Republik Indonesia bersikeras pada pendapat dan tafsir tentang isi persetujuan itu. Belanda berkeras pada tujuannya menghancurkan Indonesia. Mereka mengadakan blokade ekonomi terhadap politik republik dan menuntut agar TNI dibubarkan. Belanda memperhitungkan bahwa RI akan hancur dan tidak berdaya karena peristiwa Madiun 1948.
Keadaan Republik Indonesia yang agak payah itu dimanfaatkan oleh Belanda untuk melancarkan serangan secara tiba-tiba. Pada tanggal 19 Desember 1948 pagi hari, angkatan perang Belanda menyerbu Yogyakarta –ibukota RI waktu itu. Pemerintah RI yang ingin tetap berkomunikasi dengan anggota-anggota Komisi Tiga Negara (Australia, Belgia dan Amerika Serikat) tidak meninggalkan kota Yogya. Presiden, wakil presiden dan beberapa orang menteri dan pejabat tinggi negara ditawan oleh Belanda dan diasingkan ke Bangka dan Parapat (Sumatera Utara).
Dengan kejatuhan Yogyakarta, Belanda mengira bahwa riwayat RI sudah tamat. Namun perkiraan Belanda meleset. Karena para pemimpin RI sudah memperhitungkan strategi dengan membentuk pemerintahan darurat di Sumatera Barat dengan menunjuk Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai kepala pemerintahan yang melanjutkan tugas Pemerintah RI.
Penangkapan para pemimpin Indonesia lebih mengobarkan semangat rakyat. Justru karena penawanan itu kecintaan dan kepercayaan terhadap para pemimpinnya bertambah kuat. Rakyat merasa yakin, bahwa dalam keadaan bagaimanapun para pemimpinnya tetap mempertahankan cita-cita perjuangannya. Ketetapan hati dan kebulatan tekad rakyat Indonesia tampak nyata dalam perjuangan selanjutnya.
Panglima Besar Jenderal Sudirman menyingkir dari Yogya dan masuk ke wilayah pedalaman. Di sana diatur pemerintahan dan dipikirkan siasat persatuan dan kesatuan seluruh rakyat dan tekad perjuangan yang tidak kenal lelah menyerah serta merelakan pengorbanan apa saja yang diperlukan maka akhirnya kita mampu meyakinkan dunia untuk mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia.
Menjelang pengakuan kedaulatan, Pemerintah Republik Indonesia dan Belanda telah mencapai kata mufakat bahwa beberapa kota yang selama ini diduduki oleh tentara Belanda diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Sebagai pelaksanaan dari persetujuan ini pada tanggal 10 Desember 1949 Pemerintah Republik Indonesia yang diwakili oleh TNI Sektor III telah menerima penyerahan kota Sidikalang, ibukota Kabupaten Dairi. Upacara serah-terima kota Sidikalang dari tentara Belanda kepada Komando TNI Sektor III, selain disaksikan oleh Bupati Dairi JOT Sitohang, juga turut dihadiri oleh Komisaris Polisi Nya Umar yang mewakili Kepala Kepolisian Sumatera Utara.
Setelah upacara serah-terima kota usai, mulailah pasukan TNI Sektor II dalam keadaan pakaian robek-robek dan sebagian besar tidak mengenakan alas kaki berbaris memasuki kota Sidikalang. Suasana kota pada waktu pasukan Sektor III memasuki kota Sidikalang, tidak ada ubahnya bagaikan kota yang baru disambar Garuda. Tidak seorang penduduk pun yang dibenarkan oleh Belanda berdiri di jalan atau di depan rumahnya pada saat dia meninggalkan kota atau di waktu pasukan TNI memasuki kota. Tentara Belanda telah memerintahkan agar seluruh penduduk pada jam serah-terima kota harus berkurung dalam rumah masing-masing, dengan jendela dan pintu tertutup. Sebab itu, setelah pasukan TNI memasuki kota barulah mereka berani membuka pintu dan jendelanya. Kemudian mereka berduyun-duyun menuju Lapangan Merdeka untuk mengelu-elukan kedatangan pasukan gerilya Sektor III Sub Terr VIII. Tindakan tersebut dilakukan tentara Belanda sebagai tindakan pengamanan, mencegah adanya pembalasan dari penduduk.
Usai sereh-terima kota Sidikalang, selanjutnya dilakukan pula upacara serah-terima jembatan Belly di Lau Renun kepada masyarakat Sumbul. Saat pelaksanaan serah-terima kota Sidikalang dan jembatan Lau Renun, Sekretaris merangkap Juru Bahasa F.G Gubernur Militer Dairi, HM Siburian, yang mengikuti Komandan Sektor III dalam serah-terima kota Sidikalang pada tanggal 10 Desember 1949, dalam laporan yang disusunnya menjelaskan: “Malam tanggal 10 Desember 1949 bertempat di rumah Jabangan Sianturi Kepala Neger Sitellu Nempu Hilir, Komandan Sektor III selaku FG Gubernur Militer Dairi, Mayor Selamat Ginting mengadakan pertemuan dengan Bupati Dairi JOT Sitohang untuk menetapkan siapa-siapa.”
Tanggal 10 Desember 1949 adalah hari yang ikut dalam acara serah-terima Kabupaten Dairi dari tangan penjajah Belanda ke kedaulatan Republik Indonesia yang diwakili oleh Mayor Selamat Ginting, Komandan Sektor III/F.G Gubernur Militer dan yang kedua oleh JOT Sitohang selaku Bupati Militer Agresi Belanda ke-2. Sementara itu di Ibukota Jakarta, baru pada tanggal 27 Desember 1949 Ratu Juliana menandatangani piagam pengakuan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) di Amsterdam (Ibukota Nederland). Di Istana Merdeka diadakan upacara pemindahan kekuasaan dari Pemerintah Belanda kepada RIS yang diwakili oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Melalui upacara penurunan bendera tiga warna, lalu dikibarkanlah sang saka Merah-Putih.

B.    Sekolah di Tengah Gejolak
Tidak ada memori sama sekali di Kota Sibolga bagi Johnny Sitohang. Benar-benar cuma numpang lahir di kota multietnis --antara lain Batak Toba, Batak Mandailing, dan Minangkabau—ini. Yang melekat dalam memori perjalanan hidup Johnny Sitohang adalah masa-masa bersekolah di kota Medan. Sebab, di ibukota Provinsi Sumatera Utara itulah dia menghabiskan masa-masa kecil, mulai dari balita, sekolah taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sampai tidak tamat sekolah menengah atas.
Saat Johnny Sitohang berumur sekitar tiga tahun (1959), terjadi pemberontakan PRRI di Sibolga. Johnny dan kakaknya (Sulastri) pernah berjalan kaki dari Sibolga ke Tarutung, dari Tarutung ke Medan. Di Medan, Jonathan Ompu Tording dan anak-anaknya menginap di Hotel Sinar Area Sambu. Tidak lama kemudian keluarga Jonathan memperoleh rumah dinas di Simpang Limun. Jonathan bekerja di kantor gubernuran. Di rumah dinas itu lahir dua adik Johnny: Sabar Sitohang dan Rusni Sitohang. Tahun 1972, keluarga Jonathan pindah ke kampung halaman di Desa Lae Hole.
Ketika keluarganya pulang kampung, Johnny Sitohang yang saat itu bersekolah di SMP 3 Teladan memilih tetap tinggal di Medan. Seorang diri di Medan, Johnny kehilangan kontrol orang tua. Dia jadi sering membolos sekolah. Sampai-sampai dia tidak boleh mengikuti ujian akhir di SMP 3 Teladan.
“Sekolah saya sempat berantakan. Saya tidak boleh ikut ujian akhir SMP. Tanpa selembar ijazah SMP saya melanjutkan sekolah SMA, sistem pendidikan masa itu masih memungkinkan seperti itu, masih membolehkan siswa yang tidak tamat SMP sini lalu masuk ke SMA yang bersedia menerima. Di SMA pun saya cuma sempat bersekolah di kelas satu lalu putus sekolah,” papar Johnny Sitohang mengenang masa-masa sekolah di Medan tahun 1970-an.
Putus sekolah SMA, Johnny Sitohang merantau ke Pekanbaru (Riau). Tidak berapa lama di sini, dia melanjutkan perantauannya di Jakarta. Di Jakarta, tahun 1973, dia dapat diterima bekerja sebagai wartawan di Harian Waktu. Saat menggeluti pekerjaan ini, Johnny tidak memiliki bekal di bidang kewartawanan. Kendati begitu, dia berusaha belajar memahami dengan kesabaran dan keuletan. “Pernah suatu ketika ada kasus pembunuhan di Lampung Utara dan kami harus mewawancarai polisi dan keluarga korban. Sementara saya tidak tahu jenis-jenis senjata. Setelah berpikir serius dan bekerja keras, saya dapat menuntaskan pekerjaan tersebut,” kenang Johnny Sitohang. Arti kata, menurut Johnny, di mana ada kemauan di situ ada jalan.
Meski pekerjaan jurnalistik itu hanya dijalani sekitar 1,5 tahun namun banyak kesan dan pengalaman yang direguk Johnny Sitohang. Dia memiliki pergaulan yang luas dengan pejabat-pejabat dan warga masyarakat. Yang dibutuhkan di sini kejujuran kita. “Meskipun dalam pekerjaan ini kita sering lapar tapi harus tetap kita jalani agar meraih sukses di kemudian hari,” ujar Johnny. Mengutip Brooker T. Washington, pemimpin kaum hitam yang paling berpengaruh dan pendidik pada zamannya, kata “sukses” tidak terukur sebanyak posisi yang dicapai seseorang dalam hidupnya, tetapi sebanyak rintangan yang mampu dikalahkan seseorang yang sedang berusaha untuk menggapai keberhasilan. Setiap sukses memiliki syarat-syaratnya tersendiri. Setiap sukses selalu memiliki rahasia di balik kesuksesan itu. Terlebih pada tokoh dunia. Selain keberuntungan dari Tuhan, mereka mempunyai kiat, strategi, daya hidup, semangat juang, dan semboyan kesuksesan yang secara terus-menerus memacu dirinya.
Perjalanan mulus untuk mengikuti arus kehidupan tanpa rintangan itu tidak pernah ada. Yang pasti senantiasa ada rintangan yang harus dikalahkan di tengah orang yang sedang berusaha untuk berhasil. Akibat dari rintangan itu, diperlukan kiat, strategi, daya hidup, semangat juang dan semboyan kesuksesan yang secara terus-menerus memacu dirinya. Dengan begitu, pada akhirnya kesuksesan dapat digapai.
Pun demikian yang dijalani seorang Johnny Sitohang. Memulai karir pada usia yang masih relatif muda, dia mengaku masih gampang terpengaruhi lingkungan sebayanya. Namun dia berkeras untuk meniti jalan di profesi jurnalistik. Bila dibandingkan dengan kehidupan kewartawanan masa ini, kehidupan wartawan muda Johnny Sitohang saat itu jauh dari layak dan cukup memprihatinkan.
Pada saat itu pekerjaan wartawan bukanlah pekerjaan yang gampang. Kata orang, hanya bermodalkan pena dan catatan kecil, tidak demikian kenyataannya. Profesi ini masih dipandang sebelah mata oleh warga masyarakat kita. Wajar, karena sebagian wartawan –apalagi wartawan lepas—penghasilannya relatif rendah dan tidak mengenyangkan. Selain itu, berita yang ditulis belum tentu dimuat. Apabila berita dimuat, barulah si wartawan memperoleh honor.
Barangkali bagi sebagian orang, menjadi wartawan itu gampang. Tapi, bagi sebagian yang lain bisa sebaliknya. Siapapun memang bisa jadi wartawan. Profesi ini bukan warisan. Juga bukan untuk mereka yang mengantongi indeks prestasi akademi nyaris sempurna. Menjadi wartawan juga tidak perlu menunggu jadi sarjana atau bergelar tinggi. Bukan gelar yang jadi ukuran kemampuan seseorang untuk menjadi wartawan profesional. Memang baik dengan berlatar pendidikan tinggi, namun jauh lebih baik berwawasan luas dan berpengetahuan tinggi.
Wartawan itu bukan profesi pengisi kesibukan Johnny, bukan buat gaya-gayaan, lebih daripada sebuah pekerjaan. Profesi ini adalah cara hidup. Wartawan adalah jembatan, media menghubungkan antara fakta dan pembaca. Sebagai jembatan, tugasnya adalah mengantarkan pesan yang diperoleh dari sekumpulan fakta ke hadapan sidang pembaca. Utuh. Tidak ditambah, tidak dikurangi. Tidak dimanipulasi. “Karena itu, pekerjaan ini tidak bisa dianggap main-main,” tutur Johnny.    
Yang unik dari profesi Johnny ini adalah menyatunya cara kerja seorang intelektual dengan cara berpikir pekerja lapangan, antara berpikir dan pekerjaan tangan, antara otak dan otot. Hal ini karena untuk mendapatkan fakta yang akurat seorang wartawan Johnny Sitohang harus turun ke lapangan dan mengendus sumber fakta paling utama, primer.
Uniknya lagi dari pekerjaan ini, Johnny Sitohang bukan menaik tetapi mendalam. Ukuran keberhasilannya tidak ditentukan apakah ia reporter, redaktur, atau pemimpin redaksi. Jabatan itu adalah urusan internal perusahaan berkaitan dengan kinerjanya di kantor itu, dan tidak berkaitan dengan karya wartawan itu. Kualitasnya ditentukan oleh ketajamannya dalam membidik angle berita, oleh kepiawaiannya dan kematangannya dalam menaklukkan narasumber yang sulit ditembus di daerah konflik, dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Jabatan, gaji, tunjangan, fasilitas kerja, dan jaminan hari tua adalah cara perusahaan mengapresiasinya sebagai karyawan.
Profesi ini ditekuninya, kendati berat namun memulainya tidaklah sulit bagi seorang Johnny Sitohang. Ketidak-sulitan ini beralasan baginya karena dia memiliki kiat ataupun strategi, dan semangat juang yang terus memacunya. Kiat dan strateginya adalah mempunya modal dasar dan modal khusus sebagaimana wartawan pada umumnya. Pengetahuan, kemauan dan keterampilan yang menjadi modal dasarnya. Sedangkan modal khususnya adalah memiliki rasa kaget, heran, peka, berani bertanya, rendah hati, tangguh dalam bekerja sendiri, mampu bekerja sama dalam tim, dan rajin membaca.
Johnny memilih profesi wartawan tidak lain dan tidak bukan hanyalah sebagai bawahan dari sebuah media. Sebab itu, sebagai seorang bawahan dari sebuah media tentulah harus melewati serangkaian tahapan dalam jenjang karirnya. Johnny cukup telaten dalam menerima pekerjaan. Dia berusaha dengan berbagai macam cara, bagaimana pekerjaan itu terlaksana baik dan dapat melewati rintangan keprofesiannya. Setelah tahapan-tahapan yang sangat sulit ini, Johnny mulai memberikan kontribusi terhadap media yang mempekerjakannya.
Tidak dapat dibantah bahwa Johnny mencintai pekerjaannya karena mempunyai rahasia di balik kesuksesan keprofesiannya. Johnny punya prinsip untuk berhasil. “Bekerja keras dan disiplin,” tutur Johnny. Bekerja keras adalah investasi terbaik yang mampu dibuat manusia. Punya inisiatif, artinya membuka jalan menuju keberhasilan. Dia mencintai profesi kewartawanan, mencintai agar dapat menemukan manfaat dalam memahami dan melaksanakan profesinya. Daya hidupnya terletak pada semangat untuk bekerja dan berhasil sehingga mampu mengalahkan setiap rintangan dalam menggeluti profesinya. Pada akhirnya, menjadi awal di antara karir dan pekerjaan lainnya yang cukup berpengaruh positif terhadap karir Johnny Sitohang berikutnya.
Selama menjalani pekerjaan sebagai wartawan, Johnny pernah belajar jurnalistik selama enam bulan di Medan. Surat Tanda Tamat Belajar pada Kursus Wartawan Medan (izin Departemen P dan K Nomor E/420/Kh/1975) dengan nomor sertifikat 0681/1979 tertanggal 28 September 1979 dengan Ketua Pelaksana M. Suparto dan Ketua Penguji Mahyudanil SH. Johnny Sitohang mempelajari ilmu jurnalistik bagian tertulis/tingkat reporter I yang meliputi bidang Kode Etik Jurnalistik/UU Pers, wawancara, mengarang dan tajuk rencana. Selain itu, Johnny pernah pula membuka kursus kewartawanan di Sidikalang, namun tidak begitu lama, ditutup, lantaran kesibukan kerja dan organisasi.

C.   Teladan Ayah Nasehat Ibu
Dalam kenangan Johnny Sitohang, ayah tercinta Jonathan Ompu Tording adalah figur ayah yang patut dibanggakan. “Jonathan Ompu Tording tidak pernah menyerah menghadapi masalah, apalagi ketia dia dikhianati oleh teman-temannya. Dia selalu memaafkan setiap orang yang pernah menyakiti hatinya,” tutur Johnny Sitohang mengenang ayah tercinta Jonathan Ompu Tording Sitohang.
Dari sifat Jonathan Ompu Tording inilah Johnny merasa kuat, sabar dan tabah dalam menghadapi cobaan-cobaan yang datang di tengah perjalanan karirnya.
Ketika menjabat Kappung (kepala desa), Jonathan Ompu Tording tidak pernah menyerah menghadapi masalah. Beliau senantiasa peduli terhadap keluhan yang disampaikan oleh warga masyarakat. memberikan jalan keluar terhadap persoalan yang dihadapi warga masyarakat.
Banyak nasehat yang baik yang diberikan oleh ayah tercinta Jonathan Ompu Tording. Salah satu nasehat ayah tercinta yang sampai sekarang masih menjadi pijakan hidup Johnny bahwa kehidupan ini ibarat bermain sepakbola. “Ketika kita jatuh gara-gara ditekel lawan main maka harus cepat-cepat bangkit berdiri. Cukup kita sendiri saja yang merasakan sakit, orang lain tidak perlu tahu kalau kita tengah menahan sakit. Filosofi ini membawa kita pada sikap untuk senantiasa tertawa manakala difitnah oleh lawan politik atau orang lain yang tidak menyukai,” tutur Johnny Sitohang.
Filosofi yang diwariskan oleh Jonathan Ompu Tording ini sejalan dengan filosofi bermain sepakbola model Vince Lombardi, pelatih soccer kenamaan asal Amerika Serikat. Bahwa yang terpenting bukanlah bagaimana kamu dijatuhkan, tapi bagaimana kamu dapat bangun. Perbedaan antara seseorang yang sukses dan orang lainnya bukanlah lantaran ketiadaan kekuatan. Bukan pula karena ketiadaan pengetahuan. Tapi lebih oleh sebab suatu ketiadaan kehendak. Sepakbola bagai kehidupan. Permainan ini memerlukan ketekunan, pengorbanan kepentingan diri sendiri demi kepentingan orang lain, kerja keras, perjuangan, dedikasi dan rasa hormat untuk otoritas tim. Bangun tim-mu dengan rasa kebersamaan, saling ketergantungan antara satu dan lainnya serta wujudkan kekuatan yang diperoleh melalui sebuah kesatuan tim.
Permainan sepakbola tidak hanya mengajarkan filosofi kesatuan tim yang tangguh. Permainan tim ini (terutama taktik total football) juga mengajarkan konsentrasi menguasai wilayah, komunikasi antar-wilayah, komitmen, tanggung jawab, dan kerja keras.
Total football, sebagaimana dipopulerkan oleh Tim Nasional Belanda pada Piala Dunia 1974, merupakan sebuah konsep dan sistem permainan sepakbola menyerang yang diciptakan oleh Rinus Michels yang menghendaki setiap pemain melakukan mobilitas yang tinggi. Saling bergantian bergerak, pada saat ada bola maupun tidak ada bola. Dari satu posisi ke posisi yang lain secara rotatif. Permainan bertumpu pada fleksibilitas pertukaran posisi pemain secara mulus. Posisi pemain terus berubah sesuai dengan kebutuhan seiring berjalannya permainan.
Semua pemain dituntut untuk betul-betul berkonsentrasi menguasai wilayah permainan dan nyaman bermain di semua posisi dalam kondisi-kondisi tertentu. Untuk itu, diperlukan ketangguhan fisik dan skill yang tinggi dalam skema permainan ini. Inti dasar dari konsep dan sistem total football adalah setiap pemain harus mampu berfungsi dan berperan sebagai penyerang. Selalu mengalirkan bola ke daerah lawan penuh konsistensi. Filosofi dari permainan sepakbola ini adalah menyerang untuk menghasilkan gol-gol yang banyak dan indah. Total football is attacking football.
Prinsip dasarnya sederhana saja. Besar-kecilnya lapangan sepakbola, walau ukurannya sama, tapi dalam konsep dan sistem total football bisa saja berubah. Misalkan, begitu pemain tim Belanda menguasai bola maka mereka akan membuat lapangan seluas mungkin. Pemain bergerak ke setiap jengkal ruang yang tersedia. Di benak lawan, lapangan menjadi tampak demikian lebar. Pemain yang terdekat dengan pemain lawan yang menguasai bola dituntut untuk menutup secepat mungkin. Dengan begitu, lawan terjepit dan dalam benaknya merasa bahwa lapangan tampak demikian sempit.
Di benak lawan, gerakan memperlebar atau mempersempit ruangan tentu bukan hal yang mudah. Harus ada kemaunan dan kemampuan untuk mencari ruangan. Pergerakan yang kompak. Cara mengumpan bola yang eksploitatif atas ruang yang tersedia, entah melengkung, lurus, melambung atau yang lain. Pendek kata, dibutuhkan pemahaman geometri ruangan yang tidak sederhana. Namun, secara sederhana, total football dapat dipahami sebagai sepakbola dengan gaya menyerang dan bertahan dalam satu unit. Mereka menyerang secara serentak, bertahan pun secara serentak. Filosofi ini menjadi efektif dan kreatif, karena didukung serta didirijeni oleh pemain yang dinamis dengan teknik dan skill tinggi seperti Johan Cruyff. Skema total football diperagakan dengan amat gemilang oleh Timnas Belanda di bawah kepemimpinan sang kapten Johan Cruyff.
Timnas Belanda benar-benar menyihir para pecinta sepakbola sejagat, kala itu. Dunia lebih mengenang dan mengidolakan Belanda sebagai “juara tanpa mahkota” dengan total football-nya yang ciamik, daripada Jerman yang juara. Hampir semua pengamat sepakbola di segenap penjuru dunia dibuat tertegun-tegun dengan pola dan kualitas yang diperagakan oleh Timnas Belanda. Hampir semua koran di dunia, pada waktu itu, menyebutnya sebagai sebuah revolusi dalam sejarah permainan sepakbola. Total football dianggap sebagai sistem permainan sepakbola yang paling menarik.
Rinus Michels kembali dengan konsep dan sistem total football-nya pada Piala Eropa 1988 di Jerman. Namun, kali ini, dia tidak ingin tim sepakbola indahnya hanya diberi label tanpa gelar. Dia terus berinovasi. Maka, dunia tak hanya dikejutkan oleh gol indah penyerang (striker) andal Marco van Basten ke gawang Renat Dassayev (Uni Soviet, waktu itu) di final. Tapi, dunia juga diberi pertunjukan seni sepakbola kelas tinggi pada nama van Basten, Ruud Gullit dan Frank Rijkaard. Belanda pun pulang dengan dua gelar: juara dan citra.
Salah satu elemen penting dalam menunjang kekuatan kerja dalam tim sepakbola model total football adalah komunikasi yang baik dan efektif antar-lini. Komunikasi semacam itulah yang mampu membangun kekuatan sebuah tim. Begitu pula sebaliknya, komunikasi yang buruk akan dapat menghancurkan sebuah tim. Good communication can build up a good team, bad one can break it. Seberapa saja kehebatan dan kemampuan individu pemain, tiada guna apabila tidak dapat berkomunikasi satu sama lain untuk tujuan bersama. Mereka hanya akan menjadi sekumpulan individu-individu yang tidak tahu ke mana arah yang hendak dituju bersama. Keahlian mereka akan sia-sia bilamana tidak dapat mengkomunikasikannya dengan pemain lain. Sebagaimana pernah dikatakan oleh pujangga yang tak lekang ditelan zaman William Shakespeare: “No man is lord of anything, though in and of him there be much consisting, till he communicate his part to other.”
Begitulah nilai-nilai filosofis sepakbola yang membekas pada benak Johnny Sitohang yang diwariskan ayah tercinta Jonathan Ompu Tording. Nilai-nilai filosofis yang kemudian mewarnai Johnny Sitohang di masa-masa berkarir dan memimpin rakyat Kabupaten Dairi.
Dalam perjalanan hidupnya, langkah Johnny Sitohang tidak hanya diwarnai oleh nilai-nilai yang diajarkan oleh ayah tercinta Jonathan Ompu Tording. Dia juga meresapi nilai-nilai “Jangan Sombong” yang ditanamkan oleh ibu terkasih Mutiara boru Tobing. Bahwa dalam hidup ini Jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah; Jangan suka berbuat curang agar tidak celaka; dan Jangan ragu-ragu agar tidak merugi. Dengan berpegang kepada nilai-nilai “Jangan Sombong” tadi, ibu terkasih menandaskan perjalanan hidup kita akan selamat, bahagia dan sejahtera. Jauh dari sifat angkara murka, serakah dan tamak. Dengan demikian hidup kita akan memberi manfaat bagi orang lain di sekitar kita. Semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentu akan lebih baik. Tapi, sekecil apapun manfaat yang dapat kita berikan, jangan sampai kita menjadi orang yang meresahkan masyarakat.

D.   Putera Si Pitu Ama
Johnny Sitohang Adinagoro adalah putera Si Pitu Ama. Putera dari kebanggaan marga Si Pitu Ama, baik yang berdomili di Kabupaten Dairi maupun di seluruh Indonesia. Ditilik dari marga, Johnny sebagai bagian dari marga Raja Itubungna –anak nomor enam Si Pitu Ama.
Dalam silsilah Si Pitu Ama, dari marga Situmorang lahir tujuh anak keturuan, masing-masing Lumbanpande, Lumbannahor, Suhutnihuta, Siringoringo, Dorimangambat, Rajaitubungna, dan Ompubonanionan. Lumbanpande disebut juga Raja Pande, Lumbannahor disebut Raja Nahor, Suhutnihuta disebut Tuan Suhut, Siringoringo disebut Tuan Ringo, Dorimangambat disebut Sitohang Uruk, Raja Itubungna disebut Sitohang Tonga-tonga, dan Ompubonanionan disebut Sitohang Toruan.
Menjelang pesta Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Dairi tahun 2004, Perkumpulan Marga Sitohang se-Kabupaten Dairi menyampaikan bulang-bulang dengan harapan dan doa agar Johnny Sitohang menjadi pemimpin di Kabupaten yang terkenal berkat Kopi Sidikalang itu. Acara pemberian bulang-bulang ini dihadiri sekitar 5.000 orang dan Bonar Sitohang sebagai penggerak acara ini. ***       
         

No comments:

Post a Comment