Orang Dairi yang Lahir di Sibolga
Sukses tidak terukur sebanyak posisi
yang dicapai seseorang dalam hidupnya, tetapi sebanyak rintangan yang mampu
dikalahkan seseorang yang sedang berusaha untuk menggapai keberhasilan.
Brooker Taliaferro
Washington,
pendidik,
penulis, dan pejuang hak sipil Afrika-Amerika
Sibolga.
Sebuah kota kecil yang terletak di pantai barat Pulau Sumatera, membujur
sepanjang pantai dari utara ke selatan dan berada pada kawasan teluk yang
bernama Teluk Tapian Nauli. Berjarak sekitar 350 km dari kota Medan, ibukota
Provinsi Sumatera Utara. Sudah sejak awal abad 20, kota ini cukup sohor,
terutama bagi mereka yang ingin melancong ke Pulau Nias.
Sibolga
memang memiliki sejarah yang cukup panjang. Bermula dari wilayah Tapanuli
Tengah yang dulu dikuasai oleh Kolonial Inggris. Dengan Traktat London tanggal
17 Maret 1824, Inggris menyerahkan Sumatera kepada Belanda, sebagai imbalannya
Belanda memberikan Semenanjung Melayu. Pada saat itulah Inggris menyerahkan Teluk
Tapian Nauli kepada Belanda. Selanjutnya, oleh Belanda, Teluk Tapian Nauli
dimasukkan dalam Wilayah Residen Sumatera Barat yang beribukota di Padang.
Ketika
daerah jajahan Belanda semakin luas hingga ke Silindung pada tahun 1859 dan ke
daerah Toba tahun 1883, untuk lebih memperkokoh strategi pembagian dan
perluasan wilayah yang telah dikuasai, Pemerintah Belanda mengeluarkan Staadblad
Nomor 193 Tahun 1884 yang menentukan teritorial baru di Karesidenan Tapanuli. Karesidenan
Tapanuli pada saat itu dibagi atas 4 afdeling, salah satunya afdeling Sibolga
yang meliputi 4 onder afdeling, masing-masing Sibolga dan daerah sekitarnya, Distrik
Batang Toru, Barus dan Pakkat, dan Singkil.
Lalu
setelah keluar Staadblad Nomor 496 Tahun 1906, status Tapanuli yang semula
bagian dari Sumatera Barat beralih menjadi di bawah Gubernur Sumatera yang
berkedudukan di Medan yang membagi wilayah Karesidenan Tapanuli dalam 5
afdeling, yaitu Afdeling Natal dan Batang Natal; Afdeling Sibolga dan Batang
Toru; Afdeling Padangsidimpuan; Afdeling
Nias; dan Afdeling Tanah Batak.
Afdeling
Sibolga diperintah oleh seorang Contraleur dengan wilayah meliputi 13 Kakuriaan
dan masing-masing dipimpin oleh Kepala Kuria. Pada saat itu Onder Afdeling
Barus masih termasuk Afdeling Tanah Batak. Dengan keluarnya Staadblad Nomor 93
Tahun 1933, sebagian Onder Afdeling Barus digabung ke Afdeling Sibolga dan
sebagian lagi masuk Afdeling dataran-dataran tinggi Toba. Selanjutnya, dengan
Staadblad Nomor 563 Tahun 1937, keseluruhan Onder Afdeling Barus dimasukkan ke
Afdeling Sibolga. Kemudian yang termasuk Afdeling Sibolga adalah Onder Distrik
Sibolga, Onder Distrik Lumut, dan Onder Distrik Barus.
Setelah
Proklamasi Kemerdekaan, pada tanggal 15 Oktober 1945 Gubernur Sumatera Utara
Mr. T. Mohd. Hasan menyerahkan urusan pembentukan daerah otonom bawahan dan penyusunan
pemerintah daerah kepada masing-masing Residen, termasuk pembentukan Bupati
Sibolga. Pada Juni 1946, melalui sidang Komite Nasional Daerah Karesidenan
Tapanuli, dibentuk Kabupaten Tanah Batak. Khususnya untuk Kota Sibolga, dengan
Surat Keputusan Gubernur pada tanggal 17 Mei 1946, Sibolga dijadikan Kota Administratif
yang dipimpin oleh seorang Walikota yang pada saat itu dirangkap oleh Bupati
Kabupaten Sibolga.
Dengan
Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1956, wilayah Sumatera Utara membentuk
Daerah Otonom Kabupaten, kecuali Kabupaten Dairi (yang dibentuk berdasarkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 4/1964). Salah satu kabupaten
yang disebutkan dalam Undang-Undang Darurat tersebut ialah Tapanuli Tengah yang
pada saat itu masih meliputi Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Sibolga
sekarang ini. Tetapi dengan Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1956 tentang
pembentukan daerah otonom kota-kota besar terbentuklah Kotapraja Sibolga yang
pada saat ini dikenal sebagai Kota Sibolga.
Dapat
dikatakan bahwa Sibolga benar-benar kota yang bersejarah, sejalan dengan
sejarah kemerdekaan Republik Indonesia. Kota ini pun sarat nilai-nilai
kemerdekaan. Di kota inilah, Bupati Dairi Johnny Sitohang lahir, tepatnya pada
tanggal 17 April 1956. “Di Sibolga, saya hanya numpang lahir. Karena ketika itu
ada gejolak PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia), kami mengungsi
ke Medan dan seterusnya melewatkan masa kecil sampai remaja di Medan,” ujar
Johnny Sitohang.
A. Lahir dari Seorang Pejuang 1949
Johnny
Sitohang lahir sebagai anak keempat dari Mutiara br Tobing, isteri kedua dari Jonathan Ompu Tording (JOT) Sitohang
–pahlawan yang memperjuangkan Tanah Dairi lepas dari cengkeraman penjajah
Belanda pada Agresi Belanda ke-2 (1949). Selain melahirkan Johnny, dari rahim
Mutiara br Tobing dan benih Jonathan Ompu Toding lahir pula Sahala Sitohang,
Karni Sulastri Sitohang, Murniati Sitohang, Sabar Sitohang dan Rusni Sitohang.
Sedangkan dari rahim isteri pertama Damme br Sagala, lahir saudara-saudara tiri
Johnny Sitohang seperti Armina Sitohang, Gayur Sitohang, Tiamsa Sitohang,
Kristiana Sitohang, Philip Sitohang, Sorta Sitohang dan Maruli Hamonangan
Sitohang. “Saya 13 bersaudara dari dua isteri bapak Jonathan Ompu Tording
Sitohang,” ujar Jonny Sitohang.
JOT
Sitohang boleh dikatakan pejuang yang cukup populer di Tanah Dairi di masa awal
kemerdekaan Republik Indonesia. JOT lahir pada tahun 1902 di Desa Sitogang
Sigalingging dan tutup usia pada umur 76 tahun, tepatnya pada 1 Desember 1978
di Desa Lae Hole. Pada 4 Desember dikebumikan dengan upacara kenegaraan di
pemakaman keluarga di Desa Lae Hole karena permintaan keluarga. Seharusnya JOT
dimakamkan di taman makam pahlawan. Pada Hari Pahlawan 10 November 1982 diadakan
upacara di makam JOT oleh berbagai lapisan masyarakat Dairi mengingat
jasa-jasanya sebagai pahlawan yang memperjuangkan Tanah Dairi.
Berawal
dari pelaksanaan Persetujuan Renville yang ternyata menghadapi berbagai
kesulitan yang tidak dapat diatasi. Pihak Belanda ataupun pihak Republik
Indonesia bersikeras pada pendapat dan tafsir tentang isi persetujuan itu. Belanda
berkeras pada tujuannya menghancurkan Indonesia. Mereka mengadakan blokade
ekonomi terhadap politik republik dan menuntut agar TNI dibubarkan. Belanda
memperhitungkan bahwa RI akan hancur dan tidak berdaya karena peristiwa Madiun
1948.
Keadaan
Republik Indonesia yang agak payah itu dimanfaatkan oleh Belanda untuk
melancarkan serangan secara tiba-tiba. Pada tanggal 19 Desember 1948 pagi hari,
angkatan perang Belanda menyerbu Yogyakarta –ibukota RI waktu itu. Pemerintah
RI yang ingin tetap berkomunikasi dengan anggota-anggota Komisi Tiga Negara
(Australia, Belgia dan Amerika Serikat) tidak meninggalkan kota Yogya.
Presiden, wakil presiden dan beberapa orang menteri dan pejabat tinggi negara
ditawan oleh Belanda dan diasingkan ke Bangka dan Parapat (Sumatera Utara).
Dengan
kejatuhan Yogyakarta, Belanda mengira bahwa riwayat RI sudah tamat. Namun
perkiraan Belanda meleset. Karena para pemimpin RI sudah memperhitungkan
strategi dengan membentuk pemerintahan darurat di Sumatera Barat dengan
menunjuk Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai kepala pemerintahan yang
melanjutkan tugas Pemerintah RI.
Penangkapan
para pemimpin Indonesia lebih mengobarkan semangat rakyat. Justru karena
penawanan itu kecintaan dan kepercayaan terhadap para pemimpinnya bertambah
kuat. Rakyat merasa yakin, bahwa dalam keadaan bagaimanapun para pemimpinnya
tetap mempertahankan cita-cita perjuangannya. Ketetapan hati dan kebulatan
tekad rakyat Indonesia tampak nyata dalam perjuangan selanjutnya.
Panglima
Besar Jenderal Sudirman menyingkir dari Yogya dan masuk ke wilayah pedalaman.
Di sana diatur pemerintahan dan dipikirkan siasat persatuan dan kesatuan
seluruh rakyat dan tekad perjuangan yang tidak kenal lelah menyerah serta
merelakan pengorbanan apa saja yang diperlukan maka akhirnya kita mampu meyakinkan
dunia untuk mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia.
Menjelang
pengakuan kedaulatan, Pemerintah Republik Indonesia dan Belanda telah mencapai
kata mufakat bahwa beberapa kota yang selama ini diduduki oleh tentara Belanda
diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Sebagai pelaksanaan dari
persetujuan ini pada tanggal 10 Desember 1949 Pemerintah Republik Indonesia
yang diwakili oleh TNI Sektor III telah menerima penyerahan kota Sidikalang,
ibukota Kabupaten Dairi. Upacara serah-terima kota Sidikalang dari tentara
Belanda kepada Komando TNI Sektor III, selain disaksikan oleh Bupati Dairi JOT
Sitohang, juga turut dihadiri oleh Komisaris Polisi Nya Umar yang mewakili
Kepala Kepolisian Sumatera Utara.
Setelah
upacara serah-terima kota usai, mulailah pasukan TNI Sektor II dalam keadaan
pakaian robek-robek dan sebagian besar tidak mengenakan alas kaki berbaris
memasuki kota Sidikalang. Suasana kota pada waktu pasukan Sektor III memasuki
kota Sidikalang, tidak ada ubahnya bagaikan kota yang baru disambar Garuda.
Tidak seorang penduduk pun yang dibenarkan oleh Belanda berdiri di jalan atau
di depan rumahnya pada saat dia meninggalkan kota atau di waktu pasukan TNI
memasuki kota. Tentara Belanda telah memerintahkan agar seluruh penduduk pada
jam serah-terima kota harus berkurung dalam rumah masing-masing, dengan jendela
dan pintu tertutup. Sebab itu, setelah pasukan TNI memasuki kota barulah mereka
berani membuka pintu dan jendelanya. Kemudian mereka berduyun-duyun menuju
Lapangan Merdeka untuk mengelu-elukan kedatangan pasukan gerilya Sektor III Sub
Terr VIII. Tindakan tersebut dilakukan tentara Belanda sebagai tindakan
pengamanan, mencegah adanya pembalasan dari penduduk.
Usai
sereh-terima kota Sidikalang, selanjutnya dilakukan pula upacara serah-terima
jembatan Belly di Lau Renun kepada masyarakat Sumbul. Saat pelaksanaan
serah-terima kota Sidikalang dan jembatan Lau Renun, Sekretaris merangkap Juru
Bahasa F.G Gubernur Militer Dairi, HM Siburian, yang mengikuti Komandan Sektor
III dalam serah-terima kota Sidikalang pada tanggal 10 Desember 1949, dalam
laporan yang disusunnya menjelaskan: “Malam tanggal 10 Desember 1949 bertempat
di rumah Jabangan Sianturi Kepala Neger Sitellu Nempu Hilir, Komandan Sektor
III selaku FG Gubernur Militer Dairi, Mayor Selamat Ginting mengadakan
pertemuan dengan Bupati Dairi JOT Sitohang untuk menetapkan siapa-siapa.”
Tanggal
10 Desember 1949 adalah hari yang ikut dalam acara serah-terima Kabupaten Dairi
dari tangan penjajah Belanda ke kedaulatan Republik Indonesia yang diwakili
oleh Mayor Selamat Ginting, Komandan Sektor III/F.G Gubernur Militer dan yang
kedua oleh JOT Sitohang selaku Bupati Militer Agresi Belanda ke-2. Sementara
itu di Ibukota Jakarta, baru pada tanggal 27 Desember 1949 Ratu Juliana
menandatangani piagam pengakuan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat
(RIS) di Amsterdam (Ibukota Nederland). Di Istana Merdeka diadakan upacara
pemindahan kekuasaan dari Pemerintah Belanda kepada RIS yang diwakili oleh Sri
Sultan Hamengkubuwono IX. Melalui upacara penurunan bendera tiga warna, lalu
dikibarkanlah sang saka Merah-Putih.
B. Sekolah di Tengah Gejolak
Tidak
ada memori sama sekali di Kota Sibolga bagi Johnny Sitohang. Benar-benar cuma
numpang lahir di kota multietnis --antara
lain Batak Toba, Batak Mandailing, dan Minangkabau—ini. Yang melekat dalam
memori perjalanan hidup Johnny Sitohang adalah masa-masa bersekolah di kota
Medan. Sebab, di ibukota Provinsi Sumatera Utara itulah dia menghabiskan
masa-masa kecil, mulai dari balita, sekolah taman kanak-kanak, sekolah dasar,
sekolah menengah pertama, sampai tidak tamat sekolah menengah atas.
Saat
Johnny Sitohang berumur sekitar tiga tahun (1959), terjadi pemberontakan PRRI
di Sibolga. Johnny dan kakaknya (Sulastri) pernah berjalan kaki dari Sibolga ke
Tarutung, dari Tarutung ke Medan. Di Medan, Jonathan Ompu Tording dan
anak-anaknya menginap di Hotel Sinar Area Sambu. Tidak lama kemudian keluarga
Jonathan memperoleh rumah dinas di Simpang Limun. Jonathan bekerja di kantor gubernuran.
Di rumah dinas itu lahir dua adik Johnny: Sabar Sitohang dan Rusni Sitohang.
Tahun 1972, keluarga Jonathan pindah ke kampung halaman di Desa Lae Hole.
Ketika
keluarganya pulang kampung, Johnny Sitohang yang saat itu bersekolah di SMP 3
Teladan memilih tetap tinggal di Medan. Seorang diri di Medan, Johnny
kehilangan kontrol orang tua. Dia jadi sering membolos sekolah. Sampai-sampai
dia tidak boleh mengikuti ujian akhir di SMP 3 Teladan.
“Sekolah
saya sempat berantakan. Saya tidak boleh ikut ujian akhir SMP. Tanpa selembar
ijazah SMP saya melanjutkan sekolah SMA, sistem pendidikan masa itu masih
memungkinkan seperti itu, masih membolehkan siswa yang tidak tamat SMP sini
lalu masuk ke SMA yang bersedia menerima. Di SMA pun saya cuma sempat
bersekolah di kelas satu lalu putus sekolah,” papar Johnny Sitohang mengenang
masa-masa sekolah di Medan tahun 1970-an.
Putus
sekolah SMA, Johnny Sitohang merantau ke Pekanbaru (Riau). Tidak berapa lama di
sini, dia melanjutkan perantauannya di Jakarta. Di Jakarta, tahun 1973, dia
dapat diterima bekerja sebagai wartawan di Harian Waktu. Saat menggeluti pekerjaan ini, Johnny tidak memiliki bekal
di bidang kewartawanan. Kendati begitu, dia berusaha belajar memahami dengan
kesabaran dan keuletan. “Pernah suatu ketika ada kasus pembunuhan di Lampung
Utara dan kami harus mewawancarai polisi dan keluarga korban. Sementara saya
tidak tahu jenis-jenis senjata. Setelah berpikir serius dan bekerja keras, saya
dapat menuntaskan pekerjaan tersebut,” kenang Johnny Sitohang. Arti kata,
menurut Johnny, di mana ada kemauan di situ ada jalan.
Meski
pekerjaan jurnalistik itu hanya dijalani sekitar 1,5 tahun namun banyak kesan
dan pengalaman yang direguk Johnny Sitohang. Dia memiliki pergaulan yang luas
dengan pejabat-pejabat dan warga masyarakat. Yang dibutuhkan di sini kejujuran
kita. “Meskipun dalam pekerjaan ini kita sering lapar tapi harus tetap kita
jalani agar meraih sukses di kemudian hari,” ujar Johnny. Mengutip Brooker T.
Washington, pemimpin kaum hitam yang paling berpengaruh dan pendidik pada
zamannya, kata “sukses” tidak terukur sebanyak posisi yang dicapai seseorang
dalam hidupnya, tetapi sebanyak rintangan yang mampu dikalahkan seseorang yang
sedang berusaha untuk menggapai keberhasilan. Setiap sukses memiliki syarat-syaratnya
tersendiri. Setiap sukses selalu memiliki rahasia di balik kesuksesan itu.
Terlebih pada tokoh dunia. Selain keberuntungan dari Tuhan, mereka mempunyai
kiat, strategi, daya hidup, semangat juang, dan semboyan kesuksesan yang secara
terus-menerus memacu dirinya.
Perjalanan
mulus untuk mengikuti arus kehidupan tanpa rintangan itu tidak pernah ada. Yang
pasti senantiasa ada rintangan yang harus dikalahkan di tengah orang yang
sedang berusaha untuk berhasil. Akibat dari rintangan itu, diperlukan kiat,
strategi, daya hidup, semangat juang dan semboyan kesuksesan yang secara
terus-menerus memacu dirinya. Dengan begitu, pada akhirnya kesuksesan dapat
digapai.
Pun
demikian yang dijalani seorang Johnny Sitohang. Memulai karir pada usia yang
masih relatif muda, dia mengaku masih gampang terpengaruhi lingkungan
sebayanya. Namun dia berkeras untuk meniti jalan di profesi jurnalistik. Bila
dibandingkan dengan kehidupan kewartawanan masa ini, kehidupan wartawan muda
Johnny Sitohang saat itu jauh dari layak dan cukup memprihatinkan.
Pada
saat itu pekerjaan wartawan bukanlah pekerjaan yang gampang. Kata orang, hanya
bermodalkan pena dan catatan kecil, tidak demikian kenyataannya. Profesi ini
masih dipandang sebelah mata oleh warga masyarakat kita. Wajar, karena sebagian
wartawan –apalagi wartawan lepas—penghasilannya relatif rendah dan tidak
mengenyangkan. Selain itu, berita yang ditulis belum tentu dimuat. Apabila
berita dimuat, barulah si wartawan memperoleh honor.
Barangkali
bagi sebagian orang, menjadi wartawan itu gampang. Tapi, bagi sebagian yang
lain bisa sebaliknya. Siapapun memang bisa jadi wartawan. Profesi ini bukan
warisan. Juga bukan untuk mereka yang mengantongi indeks prestasi akademi
nyaris sempurna. Menjadi wartawan juga tidak perlu menunggu jadi sarjana atau
bergelar tinggi. Bukan gelar yang jadi ukuran kemampuan seseorang untuk menjadi
wartawan profesional. Memang baik dengan berlatar pendidikan tinggi, namun jauh
lebih baik berwawasan luas dan berpengetahuan tinggi.
Wartawan
itu bukan profesi pengisi kesibukan Johnny, bukan buat gaya-gayaan, lebih
daripada sebuah pekerjaan. Profesi ini adalah cara hidup. Wartawan adalah
jembatan, media menghubungkan antara fakta dan pembaca. Sebagai jembatan,
tugasnya adalah mengantarkan pesan yang diperoleh dari sekumpulan fakta ke
hadapan sidang pembaca. Utuh. Tidak ditambah, tidak dikurangi. Tidak
dimanipulasi. “Karena itu, pekerjaan ini tidak bisa dianggap main-main,” tutur
Johnny.
Yang
unik dari profesi Johnny ini adalah menyatunya cara kerja seorang intelektual
dengan cara berpikir pekerja lapangan, antara berpikir dan pekerjaan tangan,
antara otak dan otot. Hal ini karena untuk mendapatkan fakta yang akurat
seorang wartawan Johnny Sitohang harus turun ke lapangan dan mengendus sumber
fakta paling utama, primer.
Uniknya
lagi dari pekerjaan ini, Johnny Sitohang bukan menaik tetapi mendalam. Ukuran
keberhasilannya tidak ditentukan apakah ia reporter, redaktur, atau pemimpin
redaksi. Jabatan itu adalah urusan internal perusahaan berkaitan dengan
kinerjanya di kantor itu, dan tidak berkaitan dengan karya wartawan itu.
Kualitasnya ditentukan oleh ketajamannya dalam membidik angle berita, oleh kepiawaiannya dan kematangannya dalam
menaklukkan narasumber yang sulit ditembus di daerah konflik, dalam
memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Jabatan, gaji, tunjangan, fasilitas
kerja, dan jaminan hari tua adalah cara perusahaan mengapresiasinya sebagai
karyawan.
Profesi
ini ditekuninya, kendati berat namun memulainya tidaklah sulit bagi seorang
Johnny Sitohang. Ketidak-sulitan ini beralasan baginya karena dia memiliki kiat
ataupun strategi, dan semangat juang yang terus memacunya. Kiat dan strateginya
adalah mempunya modal dasar dan modal khusus sebagaimana wartawan pada umumnya.
Pengetahuan, kemauan dan keterampilan yang menjadi modal dasarnya. Sedangkan
modal khususnya adalah memiliki rasa kaget, heran, peka, berani bertanya,
rendah hati, tangguh dalam bekerja sendiri, mampu bekerja sama dalam tim, dan
rajin membaca.
Johnny
memilih profesi wartawan tidak lain dan tidak bukan hanyalah sebagai bawahan
dari sebuah media. Sebab itu, sebagai seorang bawahan dari sebuah media
tentulah harus melewati serangkaian tahapan dalam jenjang karirnya. Johnny
cukup telaten dalam menerima pekerjaan. Dia berusaha dengan berbagai macam cara,
bagaimana pekerjaan itu terlaksana baik dan dapat melewati rintangan
keprofesiannya. Setelah tahapan-tahapan yang sangat sulit ini, Johnny mulai
memberikan kontribusi terhadap media yang mempekerjakannya.
Tidak
dapat dibantah bahwa Johnny mencintai pekerjaannya karena mempunyai rahasia di
balik kesuksesan keprofesiannya. Johnny punya prinsip untuk berhasil. “Bekerja
keras dan disiplin,” tutur Johnny. Bekerja keras adalah investasi terbaik yang
mampu dibuat manusia. Punya inisiatif, artinya membuka jalan menuju
keberhasilan. Dia mencintai profesi kewartawanan, mencintai agar dapat
menemukan manfaat dalam memahami dan melaksanakan profesinya. Daya hidupnya
terletak pada semangat untuk bekerja dan berhasil sehingga mampu mengalahkan
setiap rintangan dalam menggeluti profesinya. Pada akhirnya, menjadi awal di
antara karir dan pekerjaan lainnya yang cukup berpengaruh positif terhadap
karir Johnny Sitohang berikutnya.
Selama
menjalani pekerjaan sebagai wartawan, Johnny pernah belajar jurnalistik selama
enam bulan di Medan. Surat Tanda Tamat Belajar pada Kursus Wartawan Medan (izin
Departemen P dan K Nomor E/420/Kh/1975) dengan nomor sertifikat 0681/1979
tertanggal 28 September 1979 dengan Ketua Pelaksana M. Suparto dan Ketua
Penguji Mahyudanil SH. Johnny Sitohang mempelajari ilmu jurnalistik bagian
tertulis/tingkat reporter I yang meliputi bidang Kode Etik Jurnalistik/UU Pers,
wawancara, mengarang dan tajuk rencana. Selain itu, Johnny pernah pula membuka
kursus kewartawanan di Sidikalang, namun tidak begitu lama, ditutup, lantaran
kesibukan kerja dan organisasi.
C. Teladan Ayah Nasehat Ibu
Dalam
kenangan Johnny Sitohang, ayah tercinta Jonathan Ompu Tording adalah figur ayah
yang patut dibanggakan. “Jonathan Ompu Tording tidak pernah menyerah menghadapi
masalah, apalagi ketia dia dikhianati oleh teman-temannya. Dia selalu memaafkan
setiap orang yang pernah menyakiti hatinya,” tutur Johnny Sitohang mengenang
ayah tercinta Jonathan Ompu Tording Sitohang.
Dari
sifat Jonathan Ompu Tording inilah Johnny merasa kuat, sabar dan tabah dalam
menghadapi cobaan-cobaan yang datang di tengah perjalanan karirnya.
Ketika
menjabat Kappung (kepala desa),
Jonathan Ompu Tording tidak pernah menyerah menghadapi masalah. Beliau
senantiasa peduli terhadap keluhan yang disampaikan oleh warga masyarakat.
memberikan jalan keluar terhadap persoalan yang dihadapi warga masyarakat.
Banyak
nasehat yang baik yang diberikan oleh ayah tercinta Jonathan Ompu Tording.
Salah satu nasehat ayah tercinta yang sampai sekarang masih menjadi pijakan
hidup Johnny bahwa kehidupan ini ibarat bermain sepakbola. “Ketika kita jatuh
gara-gara ditekel lawan main maka harus cepat-cepat bangkit berdiri. Cukup kita
sendiri saja yang merasakan sakit, orang lain tidak perlu tahu kalau kita
tengah menahan sakit. Filosofi ini membawa kita pada sikap untuk senantiasa tertawa
manakala difitnah oleh lawan politik atau orang lain yang tidak menyukai,”
tutur Johnny Sitohang.
Filosofi
yang diwariskan oleh Jonathan Ompu Tording ini sejalan dengan filosofi bermain
sepakbola model Vince Lombardi, pelatih
soccer kenamaan asal Amerika Serikat. Bahwa yang terpenting bukanlah
bagaimana kamu dijatuhkan, tapi bagaimana kamu dapat bangun. Perbedaan antara
seseorang yang sukses dan orang lainnya bukanlah lantaran ketiadaan kekuatan.
Bukan pula karena ketiadaan pengetahuan. Tapi lebih oleh sebab suatu ketiadaan
kehendak. Sepakbola bagai kehidupan. Permainan ini memerlukan ketekunan,
pengorbanan kepentingan diri sendiri demi kepentingan orang lain, kerja keras,
perjuangan, dedikasi dan rasa hormat untuk otoritas tim. Bangun tim-mu dengan rasa
kebersamaan, saling ketergantungan antara satu dan lainnya serta wujudkan
kekuatan yang diperoleh melalui sebuah kesatuan tim.
Permainan
sepakbola tidak hanya mengajarkan filosofi kesatuan tim yang tangguh. Permainan
tim ini (terutama taktik total football)
juga mengajarkan konsentrasi menguasai wilayah, komunikasi antar-wilayah,
komitmen, tanggung jawab, dan kerja keras.
Total football,
sebagaimana dipopulerkan oleh Tim Nasional Belanda pada Piala Dunia 1974,
merupakan sebuah konsep dan sistem permainan sepakbola menyerang yang
diciptakan oleh Rinus Michels yang menghendaki setiap pemain melakukan
mobilitas yang tinggi. Saling bergantian bergerak, pada saat ada bola maupun
tidak ada bola. Dari satu posisi ke posisi yang lain secara rotatif. Permainan
bertumpu pada fleksibilitas pertukaran posisi pemain secara mulus. Posisi
pemain terus berubah sesuai dengan kebutuhan seiring berjalannya permainan.
Semua
pemain dituntut untuk betul-betul berkonsentrasi menguasai wilayah permainan
dan nyaman bermain di semua posisi dalam kondisi-kondisi tertentu. Untuk itu,
diperlukan ketangguhan fisik dan skill
yang tinggi dalam skema permainan ini. Inti dasar dari konsep dan sistem total football adalah setiap pemain harus
mampu berfungsi dan berperan sebagai penyerang. Selalu mengalirkan bola ke
daerah lawan penuh konsistensi. Filosofi dari permainan sepakbola ini adalah
menyerang untuk menghasilkan gol-gol yang banyak dan indah. Total football is attacking football.
Prinsip
dasarnya sederhana saja. Besar-kecilnya lapangan sepakbola, walau ukurannya
sama, tapi dalam konsep dan sistem total
football bisa saja berubah. Misalkan, begitu pemain tim Belanda menguasai
bola maka mereka akan membuat lapangan seluas mungkin. Pemain bergerak ke
setiap jengkal ruang yang tersedia. Di benak lawan, lapangan menjadi tampak
demikian lebar. Pemain yang terdekat dengan pemain lawan yang menguasai bola
dituntut untuk menutup secepat mungkin. Dengan begitu, lawan terjepit dan dalam
benaknya merasa bahwa lapangan tampak demikian sempit.
Di
benak lawan, gerakan memperlebar atau mempersempit ruangan tentu bukan hal yang
mudah. Harus ada kemaunan dan kemampuan untuk mencari ruangan. Pergerakan yang
kompak. Cara mengumpan bola yang eksploitatif atas ruang yang tersedia, entah
melengkung, lurus, melambung atau yang lain. Pendek kata, dibutuhkan pemahaman
geometri ruangan yang tidak sederhana. Namun, secara sederhana, total football dapat dipahami sebagai
sepakbola dengan gaya menyerang dan bertahan dalam satu unit. Mereka menyerang
secara serentak, bertahan pun secara serentak. Filosofi ini menjadi efektif dan
kreatif, karena didukung serta didirijeni oleh pemain yang dinamis dengan
teknik dan skill tinggi seperti Johan
Cruyff. Skema total football
diperagakan dengan amat gemilang oleh Timnas Belanda di bawah kepemimpinan sang
kapten Johan Cruyff.
Timnas
Belanda benar-benar menyihir para pecinta sepakbola sejagat, kala itu. Dunia
lebih mengenang dan mengidolakan Belanda sebagai “juara tanpa mahkota” dengan
total football-nya yang ciamik, daripada Jerman yang juara. Hampir
semua pengamat sepakbola di segenap penjuru dunia dibuat tertegun-tegun dengan
pola dan kualitas yang diperagakan oleh Timnas Belanda. Hampir semua koran di
dunia, pada waktu itu, menyebutnya sebagai sebuah revolusi dalam sejarah
permainan sepakbola. Total football
dianggap sebagai sistem permainan sepakbola yang paling menarik.
Rinus
Michels kembali dengan konsep dan sistem total
football-nya pada Piala Eropa 1988 di Jerman. Namun, kali ini, dia tidak
ingin tim sepakbola indahnya hanya diberi label tanpa gelar. Dia terus berinovasi.
Maka, dunia tak hanya dikejutkan oleh gol indah penyerang (striker) andal Marco van Basten ke gawang Renat Dassayev (Uni
Soviet, waktu itu) di final. Tapi, dunia juga diberi pertunjukan seni sepakbola
kelas tinggi pada nama van Basten, Ruud Gullit dan Frank Rijkaard. Belanda pun
pulang dengan dua gelar: juara dan citra.
Salah
satu elemen penting dalam menunjang kekuatan kerja dalam tim sepakbola model total football adalah komunikasi yang
baik dan efektif antar-lini. Komunikasi semacam itulah yang mampu membangun
kekuatan sebuah tim. Begitu pula sebaliknya, komunikasi yang buruk akan dapat
menghancurkan sebuah tim. Good
communication can build up a good team, bad one can break it. Seberapa saja
kehebatan dan kemampuan individu pemain, tiada guna apabila tidak dapat
berkomunikasi satu sama lain untuk tujuan bersama. Mereka hanya akan menjadi
sekumpulan individu-individu yang tidak tahu ke mana arah yang hendak dituju
bersama. Keahlian mereka akan sia-sia bilamana tidak dapat mengkomunikasikannya
dengan pemain lain. Sebagaimana pernah dikatakan oleh pujangga yang tak lekang
ditelan zaman William Shakespeare: “No
man is lord of anything, though in and of him there be much consisting, till he
communicate his part to other.”
Begitulah
nilai-nilai filosofis sepakbola yang membekas pada benak Johnny Sitohang yang
diwariskan ayah tercinta Jonathan Ompu Tording. Nilai-nilai filosofis yang
kemudian mewarnai Johnny Sitohang di masa-masa berkarir dan memimpin rakyat
Kabupaten Dairi.
Dalam
perjalanan hidupnya, langkah Johnny Sitohang tidak hanya diwarnai oleh
nilai-nilai yang diajarkan oleh ayah tercinta Jonathan Ompu Tording. Dia juga
meresapi nilai-nilai “Jangan Sombong” yang ditanamkan oleh ibu terkasih Mutiara
boru Tobing. Bahwa dalam hidup ini Jangan merasa paling pandai agar tidak salah
arah; Jangan suka berbuat curang agar tidak celaka; dan Jangan ragu-ragu agar
tidak merugi. Dengan berpegang kepada nilai-nilai “Jangan Sombong” tadi, ibu
terkasih menandaskan perjalanan hidup kita akan selamat, bahagia dan sejahtera.
Jauh dari sifat angkara murka, serakah dan tamak. Dengan demikian hidup kita
akan memberi manfaat bagi orang lain di sekitar kita. Semakin besar manfaat
yang bisa kita berikan tentu akan lebih baik. Tapi, sekecil apapun manfaat yang
dapat kita berikan, jangan sampai kita menjadi orang yang meresahkan
masyarakat.
D. Putera Si Pitu Ama
Johnny
Sitohang Adinagoro adalah putera Si Pitu Ama. Putera dari kebanggaan marga Si
Pitu Ama, baik yang berdomili di Kabupaten Dairi maupun di seluruh Indonesia.
Ditilik dari marga, Johnny sebagai bagian dari marga Raja Itubungna –anak nomor
enam Si Pitu Ama.
Dalam
silsilah Si Pitu Ama, dari marga Situmorang lahir tujuh anak keturuan,
masing-masing Lumbanpande, Lumbannahor, Suhutnihuta, Siringoringo, Dorimangambat,
Rajaitubungna, dan Ompubonanionan. Lumbanpande disebut juga Raja Pande,
Lumbannahor disebut Raja Nahor, Suhutnihuta disebut Tuan Suhut, Siringoringo
disebut Tuan Ringo, Dorimangambat disebut Sitohang Uruk, Raja Itubungna disebut
Sitohang Tonga-tonga, dan Ompubonanionan disebut Sitohang Toruan.
Menjelang
pesta Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Dairi tahun 2004, Perkumpulan Marga
Sitohang se-Kabupaten Dairi menyampaikan bulang-bulang dengan harapan dan doa agar
Johnny Sitohang menjadi pemimpin di Kabupaten yang terkenal berkat Kopi
Sidikalang itu. Acara pemberian bulang-bulang ini dihadiri sekitar 5.000 orang
dan Bonar Sitohang sebagai penggerak acara ini. ***
No comments:
Post a Comment