Dalam tataran ide dan peraturan perundangan, kehadiran
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) memberi harapan baru bagi
seluruh rakyat Indonesia. Maklum selama hampir 68 tahun merdeka,
pemerintah relatif tak terlalu memikirkan kesejahteraan dan perlindungan
sosial bagi rakyat. Bahkan, setelah UU Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN) disahkan tahun 2004, baru tujuh tahun kemudian atau pada 2011
lahir UU BPJS. Padahal, UU SJSN mengamanatkan UU BPJS disahkan paling
lambat pada 2009.
Secara garis besar, BPJS dibedakan menjadi dua lembaga, yakni BPJS
Kesehatan yang menangani jaminan kesehatan bagi rakyat dan BPJS
Ketenagakerjaan yang menyelenggarakan pemberian jaminan kecelakaan
kerja, jaminan pensiun, jaminan hari tua, dan jaminan kematian. BPJS
Kesehatan ditargetkan beroperasi pada 1 Januari 2014 dan BPJS
Ketenagakerjaan pada 1 Juli 2015.
Saat ini pemerintah dan PT Askes sedang sibuk menyiapkan penyelenggaraan program jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat dan diharapkan saat fajar menyingsing tahun depan, pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat bisa dilakukan dengan lebih baik. Sedangkan menyangkut BPJS Ketenagakerjaan, pemerintah, khususnya Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertras) dan PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) sedang menyiapkan draf rancangan peraturan pemerintah (RPP) sebagai aturan pelaksana UU BPJS.
Dari empat jaminan sosial yang akan ditangani BPJS Ketenagakerjaan, pemberian jaminan pensiun masih dipersoalkan. Penyebabnya, saat ini ada sejumlah lembaga yang mengelola dana pensiun karyawan, terdiri dari Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK). Mereka tergabung dalam Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI) dan Asosiasi Dana Pensiun Lembaga Keuangan (ADPLK). Dikhawatirkan, kehadiran BPJS Ketenagakerjaan akan “membunuh” lembaga sebelumnya.
Bagi kita, keberadaan BPJS Ketenagakerjaan jangan sampai membunuh lembaga dana pensiun. Setidaknya ada tiga alasan untuk premis tersebut. Pertama, keberadaan lembaga dana pensiun dijamin UU 11/1992 tentang Dana Pensiun. Dalam hierarki peraturan perundangan, kedudukan UU tersebut sejajar dengan UU BPJS. Artinya, segala produk yang lahir dari kedua UU tersebut sah dan tak bisa dieliminasi. Bahkan, bila mengacu pada doktrin hukum lex specialis derogat legi generali, UU Dana Pensiun tentu lebih spesifik dibanding UU BPJS.
Untuk itu, RPP tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun dan peraturan lain sebagai aturan pelaksana UU BPJS harus harmonis dengan UU lainnya yang mengatur jaminan pensiun.
Kedua, mengingat jauh sebelum BPJS lahir telah ada Dana Pensiun dan keduanya mengatur hal yang sama, sebaiknya sebagai “adik”, BPJS Ketenagakerjaan menghormati dan tetap membiarkan sang “kakak” hidup. Alasannya sederhana, sampai saat ini ADPI dan ADPLK baru sanggup melayani maksimal 30 persen pangsa pasar. Dengan demikian, masih ada 70 persen pangsa pasar yang bisa disasar BPJS Ketenagakerjaan. Apalagi, lembaga ini milik pemerintah, sehingga seharusnya lebih fokus memperhatikan jaminan pensiun dan jaminan hari tua bagi keluarga miskin, penganggur, pekerja sektor informal, serta petani dan nelayan, ditambah pegawai negeri sipil (PNS), pegawai BUMN, dan aparat TNI/Polri. Sedangkan program jaminan pensiun karyawan perusahaan swasta yang kini diselenggarakan ADPI dan ADPLK, tetap dibiarkan berjalan. Kalau ada perusahaan/karyawan yang belum masuk ADPI/ADPLK, hendaknya diberi kebebasan memilih ADPI/ADPLK atau BPJS Ketenagakerjaan.
Ketiga, akar persoalan tumpang-tindihnya penyelenggaraan jaminan pensiun sesungguhnya adalah konsep SJSN dan BPJS yang belum matang. Hal itu, antara lain tercermin dari pencantuman “jaminan pensiun” dan “jaminan hari tua” secara bersamaan. Padahal, kedua jaminan tersebut relatif identik. Kemudian, tidak ada aturan tentang keberlangsungan lembaga sejenis pasca-UU tersebut berlaku. Selain itu, saat menyusun RUU SJSN dan BPJS, DPR dan pemerintah tak berpikir panjang tentang konsekuensi penyelenggaraan lima program jaminan sosial terhadap beban fiskal dan juga beban perusahaan pemberi kerja.
Meski demikian, kita tak mungkin mundur lagi untuk memberikan jaminan sosial kepada seluruh rakyat. Dana Pensiun telanjur beroperasi dan BPJS Ketenagakerjaan pun tak lama lagi menyusul. Oleh karena itu, biarkanlah mereka hidup dan bersaing secara sehat untuk memberi pelayanan terbaik kepada publik.
www.beritasatu.com
Saat ini pemerintah dan PT Askes sedang sibuk menyiapkan penyelenggaraan program jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat dan diharapkan saat fajar menyingsing tahun depan, pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat bisa dilakukan dengan lebih baik. Sedangkan menyangkut BPJS Ketenagakerjaan, pemerintah, khususnya Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertras) dan PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) sedang menyiapkan draf rancangan peraturan pemerintah (RPP) sebagai aturan pelaksana UU BPJS.
Dari empat jaminan sosial yang akan ditangani BPJS Ketenagakerjaan, pemberian jaminan pensiun masih dipersoalkan. Penyebabnya, saat ini ada sejumlah lembaga yang mengelola dana pensiun karyawan, terdiri dari Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK). Mereka tergabung dalam Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI) dan Asosiasi Dana Pensiun Lembaga Keuangan (ADPLK). Dikhawatirkan, kehadiran BPJS Ketenagakerjaan akan “membunuh” lembaga sebelumnya.
Bagi kita, keberadaan BPJS Ketenagakerjaan jangan sampai membunuh lembaga dana pensiun. Setidaknya ada tiga alasan untuk premis tersebut. Pertama, keberadaan lembaga dana pensiun dijamin UU 11/1992 tentang Dana Pensiun. Dalam hierarki peraturan perundangan, kedudukan UU tersebut sejajar dengan UU BPJS. Artinya, segala produk yang lahir dari kedua UU tersebut sah dan tak bisa dieliminasi. Bahkan, bila mengacu pada doktrin hukum lex specialis derogat legi generali, UU Dana Pensiun tentu lebih spesifik dibanding UU BPJS.
Untuk itu, RPP tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun dan peraturan lain sebagai aturan pelaksana UU BPJS harus harmonis dengan UU lainnya yang mengatur jaminan pensiun.
Kedua, mengingat jauh sebelum BPJS lahir telah ada Dana Pensiun dan keduanya mengatur hal yang sama, sebaiknya sebagai “adik”, BPJS Ketenagakerjaan menghormati dan tetap membiarkan sang “kakak” hidup. Alasannya sederhana, sampai saat ini ADPI dan ADPLK baru sanggup melayani maksimal 30 persen pangsa pasar. Dengan demikian, masih ada 70 persen pangsa pasar yang bisa disasar BPJS Ketenagakerjaan. Apalagi, lembaga ini milik pemerintah, sehingga seharusnya lebih fokus memperhatikan jaminan pensiun dan jaminan hari tua bagi keluarga miskin, penganggur, pekerja sektor informal, serta petani dan nelayan, ditambah pegawai negeri sipil (PNS), pegawai BUMN, dan aparat TNI/Polri. Sedangkan program jaminan pensiun karyawan perusahaan swasta yang kini diselenggarakan ADPI dan ADPLK, tetap dibiarkan berjalan. Kalau ada perusahaan/karyawan yang belum masuk ADPI/ADPLK, hendaknya diberi kebebasan memilih ADPI/ADPLK atau BPJS Ketenagakerjaan.
Ketiga, akar persoalan tumpang-tindihnya penyelenggaraan jaminan pensiun sesungguhnya adalah konsep SJSN dan BPJS yang belum matang. Hal itu, antara lain tercermin dari pencantuman “jaminan pensiun” dan “jaminan hari tua” secara bersamaan. Padahal, kedua jaminan tersebut relatif identik. Kemudian, tidak ada aturan tentang keberlangsungan lembaga sejenis pasca-UU tersebut berlaku. Selain itu, saat menyusun RUU SJSN dan BPJS, DPR dan pemerintah tak berpikir panjang tentang konsekuensi penyelenggaraan lima program jaminan sosial terhadap beban fiskal dan juga beban perusahaan pemberi kerja.
Meski demikian, kita tak mungkin mundur lagi untuk memberikan jaminan sosial kepada seluruh rakyat. Dana Pensiun telanjur beroperasi dan BPJS Ketenagakerjaan pun tak lama lagi menyusul. Oleh karena itu, biarkanlah mereka hidup dan bersaing secara sehat untuk memberi pelayanan terbaik kepada publik.
www.beritasatu.com
No comments:
Post a Comment