Industri dana pensiun yang telah berkembang di
Indonesia merupakan aset bangsa yang sangat berharga. Selain memberikan jaminan
pensiun pekerja yang telah banyak berjasa, dananya terus berkembang dan ikut
memajukan sektor perbankan, pasar modal, hingga sektor riil.
Industri dana pensiun sukarela saat ini terdiri
atas 244 Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) dan 25 Dana Pensiun Lembaga Keuangan
(DPLK). Industri tersebut baru menjangkau 3 juta orang, sangat kecil dibanding
total pekerja Indonesia yang jumlahnya mencapai 118 juta tahun lalu. Namun
demikian, total aset dana pensiun mencapai Rp 157,6 triliun. Sedangkan peserta
PT Jamsostek (Persero) sebanyak 29 juta dan mengelola dana Rp 133 triliun.
Berdasarkan undang-undang (UU), semua perusahaan wajib mengikutkan pekerjanya
ke program Jamsostek.
Sama seperti industri lain, industri dana pensiun
berhak hidup dan berkembang di Bumi Pertiwi. Terkait dengan akan
diberlakukannya program jaminan pensiun oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS), industri ini tetap harus diberi kesempatan dan ruang untuk maju.
Program jaminan pensiun BPJS nantinya harus
bersifat komplementer atau saling melengkapi dengan program dana pensiun
sukarela. Program itu mulai dijalankan per 1 Juli 2015 oleh BPJS
Ketenagakerjaan, yang merupakan transformasi dari Jamsostek saat ini.
BPJS harus dipastikan tidak mematikan pengelola
dana pensiun sukarela. Untuk itu, iuran wajib BPJS tidak boleh terlalu besar,
karena hanya perlu untuk menjamin perlindungan dasar. Dengan demikian, BPJS
dapat menjangkau pekerja dengan jumlah lebih besar, yang selama ini belum ikut
dana pensiun sukarela. Perusahaan kecil juga tidak akan terbebani.
Sedangkan perusahaan yang lebih mampu dan telah
ikut program dana pensiun sukarela harus didorong tetap menjalankan programnya
agar pekerja tetap mendapat manfaat atau jaminan pensiun yang lebih besar.
Apalagi, dengan pengalaman selama ini, dana pensiun terbukti mampu
mengembangkan dana peserta dengan hasil investasi yang bagus.
Dengan demikian, tidak akan terjadi pengalihan dana
atau peserta secara besar-besaran dari pengelola dana pensiun sukarela ke BPJS.
Para pekerja mapan pun tidak mundur tingkat kesejahteraannya, demikian pula
pemberi kerja yang sudah baik ini tidak mendapat “hukuman” tambahan beban
berat.
Saat ini, pekerja yang pensiun usia 55 tahun dengan
masa kerja 30 tahun, mendapat manfaat program pesangon sebesar 32,2 kali upah,
sebagaimana diatur UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Sedangkan manfaat
jaminan hari tua (JHT) dengan iuran 5,7 persen upah bulanan yang diakumulasikan
selama 30 tahun mencapai 22,5 kali upah. Total pesangon dan JHT ini setara
tingkat penghasilan pensiun (TPP) sebesar 29,7 persen dari upah bulan terakhir,
sedangkan total biaya yang dibebankan kepada pemberi kerja dan pekerja berkisar
12,7-13,7 persen dari upah.
Manfaat itu masih jauh dari TPP yang dianggap
memadai, yakni sebesar 70-80 persen dari penghasilan terakhir seseorang setelah
bekerja 35-40 tahun. Oleh karenanya, pekerja masih sangat memerlukan adanya
tambahan manfaat pensiun dari DPPK-DPLK yang sekitar 20 persen TPP.
Besarnya kontribusi DPPK-DPLK dalam menjaga
kesejahteraan pegawai setelah pensiun ini harus diperhitungkan dalam rumusan
besaran iuran yang akan dibebankan kepada pemberi kerja, pekerja, dan
tanggungan pemerintah. Dengan pemahaman ini, iuran BPJS untuk perlindungan
pensiun dasar sebaiknya hanya dipatok pada kisaran 2-3 persen dari upah.
Besaran ini lebih kecil dari iuran dana pensiun yang dipatok DPPK sebanyak 5-10
persen dari gaji pokok pekerja.
BPJS juga harus dipastikan menyasar masyarakat yang
belum mengikuti program dana pensiun, karena untuk itulah lembaga ini
didirikan. Karena jumlah pegawai atau pekerja kecil ini luar biasa besar, lembaga
baru tersebut harus fokus menyelesaikan tanggung jawabnya yang berat, dengan
target kerja yang jelas dan terukur. BPJS juga harus memastikan pekerja ini
segera mendapatkan perlindungan dasar.
Untuk itu, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)
tentang Program Jaminan Pensiun yang sedang digodok pemerintah harus
diharmonisasikan dengan UU 11/1992 tentang Dana Pensiun. RPP ini merupakan
amanat UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Harmonisasi
juga harus dilakukan dengan UU 3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Jamsostek) dan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Agar menjadi solusi yang menguntungkan semua pihak,
penyusunan RPP wajib melibatkan semua pemangku kepentingan. PP Program Jaminan
Pensiun harus tambah menguntungkan, baik bagi pekerja, perusahaan, industri
dana pensiun sukarela, maupun efektivitas BPJS.
No comments:
Post a Comment