Perusahaan
asuransi TKI diimbau untuk meningkatkan kinerja agar pencairan klaim asuransi
dapat dipercepat.
Dirjen Binapenta Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Kemenakertrans), Reyna Usman, menyebut Kemenakertrans mendesak
konsorsium asuransi TKI agar menjalankan kewajibannya dengan cepat. Yaitu
menyelesaikan klaim berbagai kasus TKI yang belum selesai dan menjadi
tanggungan perusahaan asuransi. Seperti kasus pemutusan hubungan kerja (PHK),
kecelakaan kerja dan berbagai masalah lainnya yang dialami TKI agar segera
diinvetarisasi serta diselesaikan.
Sampai saat ini Kemenakertrans mencatat beragam
penyelesaian kasus pembayaran klaim asuransi TKI yang telah diinventarisasi.
Misalnya, klaim 24 TKI atas resiko
meninggal dunia dan 11 klaim resiko sakit. Ada juga 1 klaim resiko TKI yang
mendapat kekerasan fisik (pemerkosaan), 42 klaim resiko PHK sepihak dan 29 klaim
resiko pemulangan TKI yang bermasalah. Mengingat jumlah klaim yang tak sedikit,
Reyna meminta konsorsium TKI dan pelayanan khusus kantor cabang di daerah
meningkatkan kinerja.
Menurut Reyna layanan tersebut akan digunakan
sebagai bahan evaluasi terhadap keberlangsungan program asuransi TKI. “Kita
juga mengharapkan kemudahan dalam pelayanan konsorsium TKI ini lebih
meningkat,” kata dia dalam rilis yang diterima hukumonline, (01/03/2013).
Setelah melakukan evaluasi klaim tersebut, Reyna
melanjutkan, para TKI yang sudah selesai mengajukan proses klaim itu karena
sesuai dengan prosedur. Sementara, bagi yang bermasalah dalam proses itu,
menurut Reyna terjadi karena terdapat beberapa administrasi yang belum
dipenuhi. Misalnya, surat keterangan dari RS di negara tempat TKI bekerja. Oleh
karenanya, Reyna meminta agar konsorsium asuransi TKI segera menyelesaikan
masalah itu dengan mempermudah proses klaim tersebut.
Sebagai upaya mewujudkannya, Reyna mengatakan
Kemenakertrans selalu berkoordinasi dengan pihak asuransi karena hal itu
merupakan kewajiban perusahaan asuransi. Selain itu, Kemenakertrans juga
melakukan tekanan kepada perusahaan asuransi. Walau begitu Reyna mengakui
program tersebut tetap jalan dan terus disempurnakan, terutama menyangkut
adnimistrasi. “Keputusan menteri juga akan dievaluasi untuk mempermudah
bagaimana pelaksanaan klaim asuransi itu,” tuturnya.
Terpisah, menurut anggota Presidium Komite Aksi
Jaminan Sosial (KAJS), Timboel Siregar, perlindungan untuk TKI mestinya dicakup
dalam BPJS agar perlindungan terlaksana dengan komprehensif. Dia mengingatkan,
Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan (Perpres Jamkes) mengamanatkan
agar penyelenggaraan BPJS Kesehatan untuk TKI dituangkan dalam peraturan yang
mengelola TKI.
Mengingat saat ini DPR sedang merevisi UU
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
di LuarNegeri (PPTKLN), Timboel berpendapat kondisi itu tepat untuk memasukan
ketentuan program Jamkes untuk TKI. Timboel melihat hal itu
sebagai salah satu syarat utama agar TKI dapat dicakup dalam BPJS.
“Artinya, BPJS bisa berlaku untuk TKI kalau amandemen UU PPTKLN mengatur
tentang hak TKI atas Jaminan Sosial,” katanya kepada hukumonline lewat pesan
singkat, Jumat (01/3).
Senada, salah satu anggota koalisi Jaringan Revisi
UU PPTKLN (Jari PPTKLN) dari Aspek Indonesia, Nurus S Mufidah, menyebut
mekanisme perlindungan TKI dalam UU PPTKLN sangat minim. Pasalnya, perlindungan
itu cenderung diserahkan kepada pihak swasta. Pemerintah juga dinilai kurang
melakukan upaya perlindungan. Ujungnya, kekerasan dan eksploitasi terhadap TKI
kerap terjadi.
Wanita yang disapa Fida menjelaskan, data yang
diterbitkan KBRI Kuala Lumpur menunjukan pada tahun 2008 terdapat 513 TKI
meninggal. Dari jumlah itu, lebih dari 80 persen terdiri dari TKI yang
berdokumen atau sering disebut TKI legal. Mengacu hal itu, Fida menyimpulkan
TKI yang berangkat lewat jalur resmi sebagaimana diatur UU PPTKLN tak menjamin
keselamatan TKI.
Fida juga menemukan hal serupa dalam data yang
dihimpun oleh International Organisation of Migrant (IOM). Dari data itu
sepanjang tahun 2005–2009 menunjukkan 67,24 persen korban perdagangan manusia
di Indonesia bermodus penempatan TKI. Ironisnya, hal itu dilakukan oleh
Perusahaan Jasa TKI (PJTKI) resmi. Begitu pula data UNICEF yang mencatat jumlah
perdagangan perempuan dan anak Indonesia setiap tahun mencapai 100 ribu orang.
“Ini menunjukkan, sistem penempatan TKI membuka peluang bagi praktik
perdagangan orang,” kata dia kepada hukumonline lewat surat elektronik, Jumat
(01/3).
Atas dasar itu Fida berpendapat sistem asuransi TKI
mestinya diselaraskan dengan pelaksanaan sistem Jamsos, seperti BPJS. Dia
menekankan agar penyelenggaraan asuransi dilaksanakan oleh pemerintah dengan
sistem wali amanah dan adanya mekanisme klaim yang transaparan, mudah dan
cepat. Sedangkan, iuran asuransi itu harus ditanggung bersama oleh majikan dan
pemerintah. Serta program asuransi itu harus mencakup secara luas resiko yang
berpotensi menimpa TKI. Hal itu diselenggarakan dalam rangka memberi
perlindungan maksimal bagi TKI.
No comments:
Post a Comment