Plesiran ke
Kota Tangerang, pastikan Anda mampir ke Klenteng Tua Boen Tek Bio. Lokasinya
yang berada di pusat kota, persisnya di belakang pasar lama Kota Tangerang,
membuat tempatnya sangat gampang dijangkau.
Dari luar
memang tidak terlihat petunjuk apapun yang mengarahkan Anda ke klenteng
tersebut. Untuk itu pastikan saja anda menuju pasar lama, dan tanyakan orang
sekitar dimana lokasi klenteng Boen Tek Bio, pasti akan segera ditunjukkan.
Menuju ke
klenteng harus berjalan kaki terlebih dahulu sekitar 100 meter melewati pasar
tradisional yang menjual berbagai aneka macam barang yang barangkali keberadaan
barang-barang tersebut tidak akan kita temukan di pasar modern.
Setelah sampai
pasti Anda semua akan kaget, karena di antara kepadatan rumah penduduk dan para
pedagang pasar terdapat sebuah bangunan megah dengan warna khasnya, yaitu
merah. Agak disayangkan memang klenteng yang dibangun tahun1750 M ini tidak
terawat sepenuhnya, terutama sesaknya rumah penduduk sekitar. Menurut petugas
setempat, Boen Tek Bio sendiri mengandung arti Boen=Sastra, Tek=Kebajikan,
Bio=Tempat Ibadah.
Pada awalnya
Bio ini hanya berupa tiang bambu dan beratap rumbia, awal abad 19 barulah
menjadi kelenteng seperti sekarang ini. Kelenteng inilah yang sejak 1911
menggelar pesta Petjun, lomba balap perahu, di Sungai Cisadane.
Kemudian Orba
melarang pesta budaya itu. Boen Tek Bio juga punya tradisi mengarak Toapekong,
“Gotong Toapekong” dan menggelar wayang langka, Wayang Potehi. Dengan sejarah
panjang yang dimiliki, klenteng Boen Tek Bio bisa menjadi salah satu target
wisata Anda di Kota tangerang.
(AMGD,
mlancong.com)
Sejarah Keberadaan Cina Benteng
Satu versi
mengatakan, sebutan Cina Benteng tidak lepas dari kehadiran Benteng Makassar.
Benteng yang dibangun di pusat Kota Tangerang, tepatnya di tepi Sungai
Cisadane, pada zaman kolonial Belanda itu sekarang sudah rata dengan tanah.
Pada saat itu,
banyak orang Tionghoa Tangerang yang kurang mampu, harus tinggal di luar
Benteng Makassar. Mereka terkonsentrasi di daerah sebelah utara, yaitu di Sewan
dan Kampung Melayu. Mereka berdiam di sana sejak tahun 1700-an. Dari sanalah
muncul istilah "Cina Benteng".
“Versi lain
dari kitab Sejarah Sunda, Tina Layang Parahyang, yang artinya Catatan dari
Parahyangan, yang sudah menyebut daerah muara Sungai Cisadane yang sekarang
diberi nama Teluk Naga. Kitab itu menceritakan tentang mendaratnya rombongan
Tjen Tjie Lung (Halung) di muara Sungai Cisadane pada tahun 1407. Tujuan
awalnya Jayakarta,” lanjut Rinus, saat itu mereka menyebut wilayah Tangerang
dengan nama "Boen-Teng".
Berawal dari
sebutan itulah mereka kemudian dijuluki Cina Boen Teng. Julukan itu
lama-kelamaan berubah menjadi Cina Benteng yang mayoritas warganya menjalani
kehidupan sebagai pedagang kecil, petani, buruh informal, atau pencari ikan di
pinggir kali.
Di Tangerang,
masyarakat Tionghoa telah menyatu dengan penduduk setempat dan mengalami
pembauran lewat perkawinan sehingga warna kulit mereka terkadang lebih gelap
dari Tionghoa yang lain. Istilah buat mereka tak lain adalah “Cina Benteng”.
Keseniannya
yang masih ada disebut Cokek, sebuah tarian dengan iringan paduan musik
campuran Cina, Jawa, Sunda, dan Melayu.
Gelombang kedua
kedatangan orang Tionghoa ke Tangerang diperkirakan terjadi setelah peristiwa
pembantaian orang Tionghoa di Batavia tahun 1740.
Belanda, VOC,
yang berhasil memadamkan pemberontakan tersebut mengirimkan orang-orang
Tionghoa ke daerah Tangerang untuk bertani.
Pemukiman bagi
orang Tionghoa berupa pondok-pondok yang sampai sekarang masih dikenal dengan
nama Pondok Cabe, Pondok Jagung, Pondok Aren, dan sebagainya. Di sekitar Tegal
Pasir (Kali Pasir), Belanda mendirikan perkampungan Tionghoa yang dikenal
dengan nama Petak Sembilan.
Perkampungan
ini kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan dan telah menjadi bagian dari
Kota Tangerang. Daerah ini terletak di sebelah timur Sungai Cisadane, daerah
Pasar Lama sekarang.
Kemudian Orba
melarang pesta budaya itu. Boen Tek Bio juga punya tradisi mengarak Toapekong,
“Gotong Toapekong” dan menggelar wayang langka, Wayang Potehi
(Dikutip dari
berbagai sumber)
No comments:
Post a Comment