Saturday, April 13, 2013

Klenteng Tua Boen Tek Bio



Plesiran ke Kota Tangerang, pastikan Anda mampir ke Klenteng Tua Boen Tek Bio. Lokasinya yang berada di pusat kota, persisnya di belakang pasar lama Kota Tangerang, membuat tempatnya sangat gampang dijangkau.

Dari luar memang tidak terlihat petunjuk apapun yang mengarahkan Anda ke klenteng tersebut. Untuk itu pastikan saja anda menuju pasar lama, dan tanyakan orang sekitar dimana lokasi klenteng Boen Tek Bio, pasti akan segera ditunjukkan.

Menuju ke klenteng harus berjalan kaki terlebih dahulu sekitar 100 meter melewati pasar tradisional yang menjual berbagai aneka macam barang yang barangkali keberadaan barang-barang tersebut tidak akan kita temukan di pasar modern.

Setelah sampai pasti Anda semua akan kaget, karena di antara kepadatan rumah penduduk dan para pedagang pasar terdapat sebuah bangunan megah dengan warna khasnya, yaitu merah. Agak disayangkan memang klenteng yang dibangun tahun1750 M ini tidak terawat sepenuhnya, terutama sesaknya rumah penduduk sekitar. Menurut petugas setempat, Boen Tek Bio sendiri mengandung arti Boen=Sastra, Tek=Kebajikan, Bio=Tempat Ibadah.

Pada awalnya Bio ini hanya berupa tiang bambu dan beratap rumbia, awal abad 19 barulah menjadi kelenteng seperti sekarang ini. Kelenteng inilah yang sejak 1911 menggelar pesta Petjun, lomba balap perahu, di Sungai Cisadane.

Kemudian Orba melarang pesta budaya itu. Boen Tek Bio juga punya tradisi mengarak Toapekong, “Gotong Toapekong” dan menggelar wayang langka, Wayang Potehi. Dengan sejarah panjang yang dimiliki, klenteng Boen Tek Bio bisa menjadi salah satu target wisata Anda di Kota tangerang.

(AMGD, mlancong.com)



Sejarah Keberadaan Cina Benteng

Satu versi mengatakan, sebutan Cina Benteng tidak lepas dari kehadiran Benteng Makassar. Benteng yang dibangun di pusat Kota Tangerang, tepatnya di tepi Sungai Cisadane, pada zaman kolonial Belanda itu sekarang sudah rata dengan tanah.

Pada saat itu, banyak orang Tionghoa Tangerang yang kurang mampu, harus tinggal di luar Benteng Makassar. Mereka terkonsentrasi di daerah sebelah utara, yaitu di Sewan dan Kampung Melayu. Mereka berdiam di sana sejak tahun 1700-an. Dari sanalah muncul istilah "Cina Benteng".

“Versi lain dari kitab Sejarah Sunda, Tina Layang Parahyang, yang artinya Catatan dari Parahyangan, yang sudah menyebut daerah muara Sungai Cisadane yang sekarang diberi nama Teluk Naga. Kitab itu menceritakan tentang mendaratnya rombongan Tjen Tjie Lung (Halung) di muara Sungai Cisadane pada tahun 1407. Tujuan awalnya Jayakarta,” lanjut Rinus, saat itu mereka menyebut wilayah Tangerang dengan nama "Boen-Teng".

Berawal dari sebutan itulah mereka kemudian dijuluki Cina Boen Teng. Julukan itu lama-kelamaan berubah menjadi Cina Benteng yang mayoritas warganya menjalani kehidupan sebagai pedagang kecil, petani, buruh informal, atau pencari ikan di pinggir kali.

Di Tangerang, masyarakat Tionghoa telah menyatu dengan penduduk setempat dan mengalami pembauran lewat perkawinan sehingga warna kulit mereka terkadang lebih gelap dari Tionghoa yang lain. Istilah buat mereka tak lain adalah “Cina Benteng”.

Keseniannya yang masih ada disebut Cokek, sebuah tarian dengan iringan paduan musik campuran Cina, Jawa, Sunda, dan Melayu.

Gelombang kedua kedatangan orang Tionghoa ke Tangerang diperkirakan terjadi setelah peristiwa pembantaian orang Tionghoa di Batavia tahun 1740.

Belanda, VOC, yang berhasil memadamkan pemberontakan tersebut mengirimkan orang-orang Tionghoa ke daerah Tangerang untuk bertani.

Pemukiman bagi orang Tionghoa berupa pondok-pondok yang sampai sekarang masih dikenal dengan nama Pondok Cabe, Pondok Jagung, Pondok Aren, dan sebagainya. Di sekitar Tegal Pasir (Kali Pasir), Belanda mendirikan perkampungan Tionghoa yang dikenal dengan nama Petak Sembilan.

Perkampungan ini kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan dan telah menjadi bagian dari Kota Tangerang. Daerah ini terletak di sebelah timur Sungai Cisadane, daerah Pasar Lama sekarang.

Kemudian Orba melarang pesta budaya itu. Boen Tek Bio juga punya tradisi mengarak Toapekong, “Gotong Toapekong” dan menggelar wayang langka, Wayang Potehi

(Dikutip dari berbagai sumber)




No comments:

Post a Comment