Kadang hati kecil ini, sebagai seorang Muslim,
seperti tersayat-sayat, manakala pagi-pagi hari pintu rumahku sudah diketuk
seseorang yang menyorongkan sebuah kotak amal dari satu tempat nun jauh, entah
berantah. Nyaris saban pagi atau sedikit menjelang siang.
Kali lain, saat menumpang angkot atau bus
kota, benakku pun diliputi tanda tanya dan tanya. Seorang anak muda dengan kotak
amal menyambangi satu per satu penumpang.
Barangkali, aku tak mempersoalkan
kehadiran kotak amal berkeliling seperti ketika khutbah Jumat berlangsung itu.
Tapi, bagaimana perasaan dan pikiran yang berkecamuk dalam benak seorang penumpang
non-Muslim sewaktu disambangi kotak amal itu? Entahlah.
Lalu, tatkala kita membayar barang belanjaan
di kasir pada banyak minimarket, kotak amal itu hadir pula. Dengan beragam
label: mulai dari pembangunan masjid sampai santunan anak yatim.
Bukan maksud aku tak mau beramal lewat kotak
amal semacam itu. Bukan juga menolak mentah-mentah kehadiran kotak yang
menggugah rasa solidaritas sosial umat itu. Dalam benakku hanya bertanya
sederhana: adakah cara yang elegan untuk memantik rasa solidaritas dan kemauan
beramal agar potensi umat betul-betul tergali dengan manajemen yang pas?
Manajemen yang berangkat dari prinsip amanah, profesional, kreatif, inovatif,
transparan, dan akuntabel.
Ada satu cermin menarik dari sebuah kampung di
sentra bawah merah Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Desa yang dihuni sekitar 400
kepala keluarga (KK) itu berhasil membangun sebuah masjid bernilai Rp1 miliar
secara swadaya. Pembangunan masjid satu miliar itu memakan waktu selama empat
tahun. Artinya, warga desa yang sebagian besar penduduknya bekerja sebagai
petani bawah merah itu mampu menyisihkan sekitar Rp250 juta per tahun demi
terwujudnya sebuah masjid yang menjadi penanda desa. Satu hal menarik: warga
desa tersebut merasa tabu meminta bantuan dana pada desa lain dan pejabat
pemerintah.
Bagaimana kiat warga desa bawang memobilisasi
dana pembangunan masjid? Pak Kiai Lokal bercerita bahwa kiatnya amat simpel. Mula-mula
warga desa yang umumnya beragama Islam berkumpul dan memilih beberapa orang
untuk melakukan pendataan seputar seberapa banyak warga desa yang mampu,
setengah mampu dan miskin. Termasuk pula mendata apa saja pekerjaan mereka.
Setelah data komplit, melalui sebuah
musyawarah yang mufakat, mereka lantas memilih tiga orang untuk bertugas
mengoleksi infak dari warga yang mampu, antara lain petani bawang, pegawai
negeri, karyawan swasta, wirausahawan dan pedagang. Tiga orang kolektor itu
secara rutin menagih infak kepada orang-orang berpunya, tidak sembarang
mendatangi rumah warga desa. “Jelas dan mulia tugas
mereka,” ujar Pak Kiai Lokal. Karena, katanya, “mereka menjadi juru pengingat orang-orang yang di dalam hartanya
masih ada hak orang lain.” Bahkan, ketika musim panen
bawang merah, ketiga orang kolektor itu diamanahi membuka posko di sekitar lokasi
panen. Mereka langsung menarik infak dan zakat dalam bentuk barang (bawang
merah), tidak menunggu dulu sampai bawah merah laku jual.
Tiga bulan pertama, ketiga kolektor itu diupah
secara layak oleh pemrakarsa mobilisasi dana umat desa itu. Selanjutnya, dari
dana yang terus terkumpul, ketiga orang kolektor itu pun beroleh alokasi upah dari
hasil pengumpulan infak yang dalam perkembangannya meluas pada mobilisasi zakat
dan sedekah.
Sungguh langkah yang tidak mudah. Setelah
terkumpul, Pak Kiai Lokal mengingatkan, tentu mesti ada pertanggung-jawaban. Gaya
pertanggung-jawaban yang ditempuh pun relatif sederhana. Pengurus pengumpulan
infak, zakat dan sedekah itu mengundang para muzakki pada gelaran kegiatan
santunan anak yatim, pemberian bea sekolah siswa berprestasi, dan penyaluran
dana bergulir wirausaha kecil-kecilan di desa. Selain itu, juga menempelkan laporan
tertulis alur pemasukan-penyaluran infak di tempat-tempat yang mudah dibaca
warga desa.
Para muzakki pun mafhum bahwa para amil infak (sedekah
dan zakat) telah bekerja penuh amanah, profesional, transparan dan bertanggung-jawab.
Dan kreatif dengan membuka posko saat musim panen, tak lagi menunggu sampai
hasil panen laku jual. Sebuah langkah yang butuh terobosan dan keberanian. “Kalau nunggu-nunggu sampai hasil panen laku, biasanya petani
sudah habiskan buat kebutuhan lain, bahkan keinginan yang belum tentu dibutuhkan,” tutur Pak Kiai Lokal.
Dari sebuah desa bawang, mari kita belajar
manajemen koleksi dan penyaluran infak, zakat dan sedekah secara pas dan benar.
Potensi infak, zakat dan sedekah ada di tangan umat. Dan kita harus benar-benar mengelola penuh
amanah. Mari kita mulai dari lingkup terkecil di sekitar tempat tinggal. Kita
–sudah barang tentu—tak rela bila negeri yang mayoritas penduduknya beragama
Islam ini menjadi negeri rimba kotak amal. Rimba kotak amal yang kita tak tahu
lagi kapan dan di mana kotak itu dibuka, isinya disalurkan kepada siapa, serta berapa
banyak yang dipakai buat operasional si kolektor dan lembaganya. Rimba kotak
amal yang penuh gerutu dan keikhlasan palsu. (BN)
No comments:
Post a Comment