"Jaminan sosial malah lebih berorientasi pasar."
Transformasi
jaminan sosial penyelenggaraan pemerintah dari yang profit oriented sejak tahun
1981 ke basis bukan profit dinilai suatu keharusan. UU No. 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) telah menetapkan lima program
yang harus dijalankan untuk menghormati, melindungi, memenuhi, dan memajukan
hak konstitusional atas jaminan sosial.
Pandangan
bahwa pengelolaan jaminan sosial sebuah keniscayaan disampaikan Dosen Hukum
Tata Negara Universitas Khatolik Atmajaya, Max Boli Sabon dalam bedah buku
“Transformasi Setengah Hati Persero Askes, Jamsostek, Asabri, Taspen ke BPJS
Menurut UU BPJS” di kampus Unika Atmajaya Jakarta, Senin (20/05). “Memang sudah
keharusan penyelenggaraan jaminan sosial menjadi not profit oriented,” kata
Max.
UU No.
24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) baru disahkan
setelah tujuh tahun UU SJSN lahir. Peraturan Pemerintah (PP) No. 101 Tahun 2012
tentang Penerima Bantuan Iuran Kesehatan, diikuti Perpres No. 12 Tahun 2013
tentang Jaminan Kesehatan. Proses penerbitan aturan itu dalam rentang lama,
menurut Max, menunjukkan Pemerintah tidak sepenuhnya berniat melakukan
perlindungan hak konstitusional atas jaminan sosial.
Anggota
Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Ridwan Monoarfa mengatakan, ketidakseriusan
juga terlihat dari kekeliruan konsep yang tengah dijalankan oleh Pemerintah.
Jika konsep yang dikedepankan adalah not for profit oriented, maka sudah
seharusnya Pemerintah memiliki peran besar. Sayang, sejauh ini konsep yang
dijalankan masih menempatkan jaminan sosial sebagai pasar. “Yang dihitung masih
saja persoalan keuntungan dan kerugian,” kata Ridwan.
Pemerintah
selaku aktor penting dalam pelaksanaan BPJS, lanjutnya, sebaiknya memiliki
perspektif yang mengedepankan hak warga negara. Bahkan, UU BPJS pun dinilai
dualisme karena tak memberi kepastian apakah UU menempatkan BPJS sebagai
jaminan sosial yang atau sebagai komoditas dagang.
Jika
konsep yang dibangun Pemerintah adalah jaminan sosial yang bersifat sosial,
maka sudah seharusnya pemerintah mengambil peran lebih. Penetapan iuran BPJS
oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebesar Rp15.500, jauh dari angka ideal
yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan juga membuktikan pemerintah setengah
hati dalam melaksanakan BPJS.
Max
juga berpendapat aturan yang bertingkat-tingkat dan tak ada kepastian besaran
iuran dalam aturan turunan UU membuktikan pemerintah menggunaan konsep pasar,
bukan jaminan sosial. Aturan turunan yang terlalu banyak namun tak memberikan
kepastian dan bahkan memberikan pendelegasian penetapan iuran dalam aturan
kepada aturan di bawahnya membuktikan seolah-olah ada tawar-menawar. “Harusnya
PP saja sudah memberikan kepastian iuran berapa, tapi ini kan PP memberikan
wewenang kepada aturan di bawahnya,” tegasnya.
Anggota
DPR Komisi IX, Surya Chandra Surapaty, juga turut membenarkan ketidakseriusan
Pemerintah dalam menjalankan BPJS ini. Seja UU BPJS dibahas oleh DPR pada 2010
lalu, Pemerintah terkesan tarik ulur dan setengah hati. Pembahasan memakan
waktu dua tahun dan berjalan alot. “RUU awal, itu hanya ada satu BPJS. Tapi
pemerintah mintanya dua BPJS dan itu dibahas lama hingga dua tahun,”
pungkasnya.
No comments:
Post a Comment