Friday, August 23, 2013

Menjaring Asa dan Cita-cita



* DUA


Dewi keberuntungan senantiasa mengetuk pintu seseorang pada suatu kesempatan, namun dalam banyak kejadian seringkali orang tersebut tidak berada di tempat sehingga gagal mendengarnya.
Mark Twain, penulis populer

Cita-cita yang digapai anak manusia terkadang –bahkan kerapkali—tidak sinkron dengan apa yang diharapkan sedari mula. Itu pula yang dialami oleh anak manusia bernama Mangindar Simbolon.
Singkat cerita, tamat dari SMP Negeri Pangururan tahun 1973, Mangindar begitu ngotot pada cita-cita untuk melanjutkan sekolah ke STM (Sekolah Teknik Menengah). Padahal di Pangururan masa itu belum ada STM. Mereka yang ingin bersekolah ke STM harus merantau ke Siantar. Sebuah jarak yang tidak pendek ketika itu.
“Padahal, saat itu belum ada STM di Pangururan, Pulau Samosir. STM baru ada di Siantar. Di masa itu, untuk perjalanan ke Siantar harus dirancang matang. Bersama kawan se-SMP, saya sudah bertekad bulat melanjutkan ke STM di Siantar. Rupanya, orang tua teman saya tidak mengizinkannya bersekolah jauh-jauh ke Siantar. Orang tua saya pun tidak berani melepas saya ke Siantar,” Mangindar Simbolon berkisah.
Mangindar lalu mendaftarkan diri dan diterima di SMA Negeri Pangururan. Satu-satunya SMA yang ada di Pangururan pada tahun 1974 itu. Dengan membawa perasaan kecewa, dia menapaki hari-hari di SMA yang kini dikenal sebagai SMAN 1 Pangururan. Sampai-sampai banyak noktah merah di nilai rapornya. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Memasuki kelas dua dan kelas tiga, Mangindar menunjukkan prestasinya yang lumayan mengkilap.
Sampai kemudian, pada pertengahan 1976, dia mewakili sekolahnya di ajang pemilihan pelajar teladan tingkat Kabupaten Tapanuli Utara (waktu itu Samosir masih menjadi bagian dari Kabupaten Tapanuli Utara).  Dan dia terpilih sebagai juara dua. “Ya, waktu itu, saya terpilih menjadi Juara Pelajar Teladan II tingkat Kabupaten Tapanuli Utara,” kenang Mangindar yang kini menjadi Bupati Samosir.
  
A.   Memenuhi Undangan Institut Pertanian Bogor
Sebuah berkah dari rute cita-cita yang tidak sejalan dengan kata hati. Tahun 1975, ketika Mangindar berada di kelas dua SMA, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia mengeluarkan peraturan bahwa lulusan STM tidak boleh melanjutkan ke perguruan tinggi. Sebab itu, Mangindar berusaha optimal berlajar di SMA sehingga kemudian berbuah prestasi terpilih sebagai Pelajar Teladan II Kabupaten Tapanuli Utara.
Buah prestasi tidak hanya berhenti di predikat sebagai pelajar teladan. Belum juga mengantongi ijazah SMA, Mangindar menerima undangan Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) yang waktu itu dikenal sebagai Proyek Perintis II dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Tepatnya, ketika dia tengah berada di Tarutung, ibukota Kabupaten Tapanuli Utara mengikuti pemilihan pelajar teladan.
“Ketika saya sedang berada di Tarutung, saya sudah menerima panggilan dari IPB, melalui jalur PMDK, seleksi yang diperuntukkan siswa berprestasi dari SMA di seluruh Indonesia. Dan, panggilan PMDK yang ditujukan ke SMA Negeri Pangururan waktu itu merupakan yang pertama sekali,” tutur Mangindar mengenang.
Sebuah kebanggaan. Undangan itu datang di saat Mangindar sedang mengikuti sebuah upacara di sela-sela pemilihan pelajar teladan Kabupaten Tapanuli Utara. “Pada saat upacara, saya bergabung bersama mereka yang sudah menerima panggilan dari IPB. Mereka berasal dari SMAN 1 Tarutung. Sudah beberapa kali siswa SMAN 1 Tarutung menerima undangan PMDK. Karena kami waktu masih SMA di sebuah ibukota kecamatan, wajar saja jika undangan PMDK datang belakangan,” kata Mangindar.
Sepulang dari Tarutung, Mangindar melapor ke Kepala Sekolah SMAN Pangururan. Dia menyampaikan rasa kecewanya lantaran hanya memperoleh predikat Juara Pelajar Teladan II Kabupaten Tapanuli Utara. Bila saja panitia konsisten, ucapnya, bukan tidak mungkin Mangindar menempati juara pertama. Sang kepala sekolah berusaha membesarkan hatinya dengan kata-kata, “Wah ... itu sudah bagus buat kita. Kita ini cuma dari kampung, dapat juara dua lagi.”
Di tengah kekecewaannya pada hasil pemilihan pelajar teladan Kabupaten Tapanuli Utara 1976, kepala sekolah SMAN Pangururan membawa kabar baik. Kata kepala SMAN Pangururan secara spontan, “Ini nih Simbolon, bagus ini baru pertama, kita dapat panggilan dari Institut Pertanian Bogor. Kamu cocok, karena kamu juara umum di sini. Bahkan, dapat Juara Teladan II tingkat kabupaten lagi.”
Mangindar kurang merespon kabar baik dari kepala sekolah SMAN Pangururan. Dia merasa kurang tertarik pada perkuliahan di pertanian, karena tidak sejalan dengan cita-citanya. “Begitu dibilang dari Institut Pertanian Bogor, saya tidak tertarik sebenarnya. Kenapa? Karena saya merasa sudah jadi petani. Sejak dari SD, saya sudah biasa membantu orang tua bertani di Samosir. Jadi, bertani itu sudah hal biasa. Masa saya harus kuliah pertanian lagi?” ujar Mangindar.
Terlebih lagi, sejak SMP, Mangindar bercita-cita masuk ke bidang teknik. Tapi, karena ini panggilan IPB yang pertama ke SMAN Pangururan, Kepala Sekolah langsung mendorongnya untuk segera berangkat ke Bogor. Karena dia tidak berminat pada pertanian, Mangindar tidak menaruh perhatian pada panggilan IPB tersebut. Di benaknya hanya ada keinginan melanjutkan kuliah teknik di ITB atau UGM. Karena kepala sekolah terus-menerus mendorong, dengan sangat terpaksa akhirnya Mangindar berangkat ke Bogor.                      
Kendati terpaksa, Mangindar tetap bersyukur saat itu lulus dari SMA,  bukan STM. Terbuka peluang untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Panggilan dari Bogor, minimal, bisa menjadi pintu pembuka meneruskan ke perguruan tinggi yang dicita-citakan. “Bayangkan, tahun 1975, saya kelas dua SMA, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan aturan bahwa lulusa STM tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Wah, kalau saya paksakan ke STM dulu, tak terbayangkan lagi, menyesal belakangan. Tidak jadi ke Bogor saya, paling buka bengkel,” ujar Mangindar.

B.   Perjalanan Setengah Hati ke Bogor
Pendek cerita, Desember 1976, Mangindar Simbolon berangkat ke Bogor, Jawa Barat. Tentu sebuah pengalaman menarik bagi seorang Mangindar yang sampai lulus SMA ketika itu belum pernah melakukan perjalanan jauh menyeberangi laut menuju ke pulau lain. Dia memang benar-benar tipologi Batak Tembak Langsung (BTL).
Dari kampungnya  di Desa Rianiate, Kecamatan Pangururan, Kabupaten (waktu itu) Tapanuli Utara, Mangindar tidak ke Medan atau Pematangsiantar yang kala itu sudah cukup ramai dan menjadi titik keberangkatan banyak orang Sumatera Utara yang hendak merantau ke Tanah Jawa. Dia memilih berangkat dari Balige dan langsung naik bus PO Sibual-buali, yang ketika itu sedang merintis trayek angkutan umum langsung ke Pulau Jawa, tepatnya Jakarta. Sebuah perjalanan yang tak mudah di masa pertengahan 1970-an itu.
“Bekal ongkos dari orang tua saya yang hanya seorang guru dan pengurus gereja cukup terbatas. Mengingat waktu pendaftaran ke IPB terbatas, saya langsung berangkat ke Pulau Jawa naik bus Sibual-buali. Bekal yang ada tidak cukup buat naik pesawat dari Medan,” Mangindar berkisah.
Perjalanan dari Balige ke Jakarta memakan waktu sampai lima hari. Karena harus lewat Riau dan Jambi yang saat itu jalan-jalannya masih belum bagus. Bahkan, bus mesti naik rakit melintasi sungai lantaran belum ada jembatan. Mengingat jalan raya yang belum bagus pula, perjalanan bus kerap terguncang-guncang seakan mau terjerembab. Sampai-sampai Mangindar beberapa kali mabuk perjalanan. Meski begitu, Mangindar berusaha mengambil hikmah dari perjalanannya yang cukup menguras tenaga dan melelahkan itu.
Katanya, “Selama perjalanan itu, saya sembari belajar teknik dan etika membawa mobil pada sopir bus Sibual-buali itu. Bagi saya, banyak hal baru selama perjalanan, apalagi perjalanan non-stop siang-malam, masuk melewati hutan, perdesaan, masuk perkotaan, dan seterusnya, sampai saya mabuk dan muntah-muntah.”
Setelah menempuh perjalanan selama lima hari lima malam, bus Sibual-buali memasuki Terminal Cililitan, Jakarta, sekitar pukul 17.00 waktu setempat. Dari sini, Mangindar tidak langsung ke Bogor tapi terlebih dulu ke Bandung. Karena, dia merasa buta dan tidak mempunyai kerabat yang bisa memandu mencari kampus di Kota “Hujan” itu   
Sejak mula berangkat dari Pangururan, Mangindar memang menyadari dirinya tidak punya kerabat di Bogor. Dan sebab itu, setiba di Jakarta, dia berencana terlebih dulu mampir ke Bandung. Kebetulan di Kota Kembang itu ada  pamannya, Ir. Marham Simbolon, yang beralamat di Jalan Rangkasbitung Nomor 12. “Beliau sehari-hari berprofesi sebagai PNS, yakni Kepala Brigade Planalogi Kehutanan Propinsi Jawa Barat. Beliau lulus S1 dari Fakultas Kehutanan UI sebelum tahun 1963 menjadi cikal bakal dan bagian dari Institut Pertanian Bogor,” ujar Mangindar mengenang. 
Turun dari bus Sibual-buali, masih dalam keadaan letih dan menenteng koper, Mangindar berebut naik bus umum dengan tujuan Bandung. Ketika bus melintasi jalanan di kawasan puncak yang menanjak dan berkelok, Mangindar mabuk dan muntah-muntah lagi. “Waktu itu, saya belum tahu, IPB yang ada di Bogor itu justru kita lewati saat perjalanan ke Bandung,” tuturnya.
Tiba di Bandung, tepatnya di Terminal Kebon Kalapa, waktu sudah menunjukkan pukul 23.30 waktu setempat. Menjelang tengah malam. Suasana gelap dan sepi. Tentang Bandung pun, Mangindar mengaku buta kota. Maklum, dia memang baru sekali itu berjalan jauh meninggalkan desa kelahirannya menuju Jakarta, Bandung dan Bogor. Repotnya, saat tiba tengah malam di Bandung, dia tak tahu hendak bertanya kepada siapa.  
Mangindar hanya berbekal secarik kertas bertuliskan alamat dan nomor telepon rumah sang paman, Marham Simbolon, di Jalan Rangkasbitung Nomor 12. Sementara prasarana komunikasi seperti warung telepon (wartel), apalagi telepon seluler, kala itu masih amat terbatas. Serta merta, saat tiba di Terminal Kebon Kalapa, Bandung, dia dilanda kebingungan. Dia tidak dapat berkomunikasi langsung dengan sang paman, sekadar untuk bertanya mesti naik apa dari Terminal Kebon Kalapa ke kawasan Jalan Rangkasbitung.
Di tengah kebingungan itulah, Mangindar berpikir sederhana dan dirasa paling aman. Dia memutuskan naik becak saja. Tidak memilih naik angkutan perkotaan (angkot) lantaran tidak tahu arah mana yang akan dituju. Tutur Mangindar, “Kalau naik becak, pikir saya, ya khusus saya saja yang diantar ke alamat tujuan. Logis atau tidak, itu lain soal. Ternyata, perjalanan ke alamat cukup jauh dan memakan waktu. Saya baru tiba di rumah paman sekitar pukul 02.00 dinihari.”
Setiba di alamat, Mangindar langsung mengetuk pintu rumah paman Marham Simbolon. Tentu, sang paman sedikit terperajat bercampur bingung, siapa gerangan yang datang bertamu pada dinihari yang dingin membekap Kota Bandung. Terasa asing lagi.
Ngapain datang ke Bandung?” tanya Marham Simbolon, belum juga hilang rasa kagetnya.
“Saya dapat surat undangan dari IPB,” jawab Mangindar.
Paman Marham Simbolon dan keluarganya merasa kaget sekaligus senang. “Wah, syukurlah kamu dapat panggilan dari IPB. Bagus benar bisa dapat undangan dari IPB, jarang-jarang kan,” ujar sang paman.
“Iya,” ucap Mangindar.
Beberapa kerabat dan keluarga Mangindar yang berada di Bandung turut berkomentar, “Wah hebat, kamu terima panggilan atau undangan IPB.” Padahal, dalam hati kecil Mangindar masih kurang sreg. “Hebat apaan? Masuk kok di pertanian,” batin Mangindar.
Setamat SMA masa itu, Mangindar sebetulnya tidak ingin ke Bogor. Ujarnya, “Saya kemukakan ke keluarga paman, dari dulu saya tidak berniat ke pertanian. Dan saya tidak tahu kalau waktu itu ada Kehutanan di Institut Pertanian Bogor. Tahunya, IPB itu ya pertanian. Kemudian paman saya memberi gambaran bahwa tidak sembarang lulusan SMA bisa masuk ke IPB melalui jalur undangan. Artinya, itu pilihan lah.”
Sang paman tidak serta merta mendebat keinginan Mangindar yang tetap ngotot ingin ikut ujian masuk ke Institut Teknologi Bandung (ITB). “Saya salut pada paman, beliau tidak terlalu keras, didengarkan dulu penjelasan saya. Didengarkanlah saya cerita, segala macam. Saya ingat masih ada sedikit waktu sebelum hari terakhir pendaftaran tanggal 8 Desember 1976. Mereka bujuk-bujuk saya supaya mau masuk IPB. Saya waktu itu tetap condong ikut testing. Tapi berisiko, kalau kita ikut testing di SKALU maka panggilan IPB akan gugur,” papar Mangindar mengenang kisah perbincangan dengan sang paman di suatu pagi yang segar.
“Coba pikirkan dulu yang matang, saya mau kerja. Nanti sore kita lanjutkan lagi,” ucap sang paman sembari bergegas berangkat ke kantor.
Sepulang paman Marham Simbolon dari kantor, perbincangan dilanjutkan. Paman Marham menceritakan lah kehebatan IPB dari segala sudut pandang. Namun Mangindar tetap pada niatnya ikut tes masuk ITB. “Ok, sebenarnya sih almamater itu tidak menentukan kita mau jadi apa. Namun kita sendiri lah yang menentukan kita mau jadi apa. Almamater itu hanya buat modal meniti kehidupan masa depan,” tutur sang paman berusaha bijak.
Mangindar tetap mengincar ikut tes seleksi masuk ITB, sebuah perguruan tinggi teknik yang amat diimpikan setiap lulusan SMA. 
Tak cukup dengan kata-kata, paman Marham lalu memberikan gambaran yang lebih kongkrit. Nasihat sang paman, “Begini, ada pamanmu dari kampung kita namun berbeda marga. Dia tamat dari ITB, kemudian jadi pemborong besar, bahkan pemborong berskala internasional, sampai dapat proyek di Jepang, punya hotel dan berbagai properti lainnya. Cobalah bandingkan saya dengan pamanmu yang satu itu. Dari sisi materi, pamanmu yang satu itu jauh lebih hebat daripada saya, karena kontraktor internasional. Sedangkan saya, uang pas-pasan karena hanya pegawai negeri, meskipun jabatan hebat, Kepala Brigade Planologi Kehutanan Propinsi Jawa Barat. Namun, saya punya kelebihan. Walaupun dia punya uang banyak dan mobilnya juga banyak tapi dia tidak bisa pakai mobil plat merah. Itu sebuah gengsi, jip hardtop dan land rover plat merah jelas sebuah gengsi tersendiri. Saran saya, kita tidak boleh terlalu kaku, kalau alumni dari sini akan menjadi profesi tertentu dan itu yang terbaik. Bukan begitu pola pikirnya. Kita juga yang menentukan nanti, tergantung lingkungan.”
Singkat cerita, sang paman Marham Simbolon berpesan, “Hargailah dulu panggilan IPB ini. Kalau kau betah, teruskan. Kalau tidak betah, setelah tiga bulan nanti langsung hubungi nomor telepon rumah ini, paman akan jemput kamu di Bogor. Nanti paman daftarkan ikut bimbingan tes, tahun depan ujian seleksi ke ITB. Paman jamin kamu masuk, potensimu bagus. Kalau sekarang belum tentu, persaingan di sini juga ketat, yang diterima tidak terlalu banyak.”
Paman Marham Simbolon benar-benar bijak. Mangindar pun luluh hati. “Benar paman, undangan ini harus kita hargai. Besok sudah hari terakhir pendaftaran, baik esok saya ke Bogor,” ujar Mangindar dalam perbincangan dengan sang paman di malam menjelang hari terakhir pendaftaran masuk IPB jalur PMDK.  Dengan diantar keponakan, pagi-pagi buta 8 Desember, Mangindar berangkat ke Bogor.
Siang hari, Mangindar tiba di Kampus IPB Baranangsiang. Langsung menyelesaikan administrasi ke panitia pendaftaran. “Lho, kok saudara terlambat,” tanya salah seorang panitia.
“Saya harus menempuh perjalanan yang cukup jauh, beberapa kali naik kapal. Dari Pulau Samosir menyeberang dulu ke Pulau Sumatera, baru kemudian ke Pulau Jawa,” jawab Mangindar. Dan panitia dapat menerima alasan yang disampaikannya.
Saat mendaftar, panitia langsung menyodori jadwal responsi, matrikulasi dan berbagai aktivitas awal yang harus diikuti calon-calon mahasiswa dari jalur PMDK. Esok hari sudah langsung masuk. Cepat-cepat Mangindar mencari tempat kos di sekitar kampus Baranangsiang, gabung dengan teman-teman yang telah mendaftar telebih dulu.

C.   Mengikuti Matrikulasi dan Masuk Kehutanan
Tanggal 8 Desember 1976 menjadi hari baru seorang Mangindar menapak kehidupan di Kota Bogor. Kehidupan kampus dengan seabrek aktivitas. Sebagai mahasiswa baru yang diterima melalui jalur PMDK, dia langsung menjalani jadwal padat, mulai dari matrikulasi sampai responsi di malam hari. Terlebih lagi di masa itu, Guru Besar IPB Prof. Andi Hakim Nasution tengah mendorong program sarjana empat tahun. Waktu yang ada benar-benar dimanfaatkan untuk menuntaskan setiap tugas perkuliahan. Tidak ada waktu luang buat berleha-leha. Jauh dari kesan semula bahwa kehidupan (mahasiswa) kampus penuh dengan gaya santai. Mangindar melihat banyak mahasiswa di berbagai perguruan tinggi lain saat itu yang menghabiskan waktu kuliah lebih dari enam tahun. 
Di IPB, demikian kesan Mangindar, kesan santai dan merasa bangga semakin lama hidup di kampus langsung sirna. Kehidupan kampus IPB benar-benar dirancang sedemikian rupa sehingga mahasiswa harus selesai dalam tempo empat tahun. Kawah candradimuka pertama yang dimasuki Mangindar adalah program matrikulasi yang dikhususkan buat mahasiswa yang masuk lewat jalur undangan atau PMDK.
“Kami langsung mengikuti matrikulasi untuk penyetaraan. Tidak sekadar penyetaraan, kami yang lulus matrikulasi tidak perlu lagi mengikuti mata kuliah dalam matrikulasi bersama mahasiswa yang masuk lewat jalur tes. Ada 4 matakuliah, kalau kita dapat C ke atas, nanti tidak perlu ikut mata kuliah yang sama di semester resmi. Alhamdulillah, saya memperoleh nilai C pada semua mata kuliah dalam matrikulasi itu. Saya akui, walaupun sebagai pelajar teladan dan juara di sekolah, pencapaian pengetahuan saya masih jauh ketinggalan dibandingkan kawan-kawan dari Jawa. Waktu itu kami berdua dari satu sekolah yang sama. Teman saya Junimaha Sinaga tidak lulus matrikulasi,” papar Mangindar Simbolon.
Mangindar semakin ‘tenggelam’ dalam aktivitas kampus IPB. Apalagi, IPB jauh dari bayangannya sebagai kampus yang hanya berkutat pada dunia pertanian. Banyak warna-warni fakultas yang menarik di kampus Baranangsiang dan Dramaga. Di medio 1970-an itu IPB menaungi tujuh fakultas, masing-masing Pertanian, Teknologi dan Mekanisasi Pertanian, Perikanan, Peternakan, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), Kedokteran Hewan, dan Kehutanan. Dan studi-studi di setiap fakultas dirancang begitu menarik minat dan bakat mahasiswa. Di bawah kepemimpinan Rektor IPB (waktu itu) AM Satari, IPB menggulirkan program empat tahun dengan direktur program Prof. Andi Hakim Nasution.
Tak terasa waktu begitu laju. Tiga bulan sudah berlalu, Mangindar larut dalam aktivitas kampus IPB. Tidak ingat lagi tekad awalnya untuk mengikuti tes seleksi masuk Institut Teknologi Bandung (ITB). Sampai kemudian paman Marham Simbolon dari Bandung datang menjenguk di tempat kos. Sang paman pun bertanya, “Kok nggak kontak-kontak, sudah betah di Bogor?”
“Ternyata enak di sini. Ada demokrasi dan cara mengajar para dosen yang menarik,” jawab Mangindar. Sejak masuk bangku SD, SMP sampai SMA, Mangindar menikmati betul dunia sekolah. Dan dia ingin Kampus IPB menjadi pemuncak perjalanan pendidikannya.
Satu hal menarik di hati Mangindar ketika mengikuti matrikulasi. Aktivitas matrikulasi demikian terencana dan terjadwal. Mahasiswa langsung disibukkan aktivitas perkuliahan matrikulasi yang padat, dari pagi sampai sore-malam, kecuali hari Minggu. Tutur Mangindar, “Ada tugas rutin dan tiap pekan ada kuis. Kuis itu dihargai, ada nilainya. Jadi bukan hanya nilai ujian akhir. Sirna sudah bayangan saya sebelumnya, minimal waktu di Samosir, bahwa mahasiswa itu suasananya santai, bebas, seenaknya, mau berapa tahun tidak masalah. Di Bogor tidak demikian. Ada perencanaan bahwa empat tahun harus sudah tuntas, setiap semester harus menyelesaikan sekian banyak mata kuliah.”
Yang juga menarik di hati Mangindar, ada nuansa demokrasi dalam proses pendidikan (belajar-mengajar) di IPB. “Satu hal yang sampai sekarang melekat di benak saya, demokratisasi pendidikan di Bogor itu luar biasa. Karena, si mahasiswa diberi kebebasan koreksi. Usai ujian itu ada masa sanggah,  sungguh luar biasa. Siapa tahu ada dosen yang keliru menilai, ada klarifikasi. Kertas ujian itu dikembalikan ke mahasiswa, cek adakah yang salah nilai. Hal itu berada di luar bayangan kita. Sangat demokratis. Dan saya banyak belajar pada teman-teman. Banyak anak petinggi, anak dosen, diperlakukan sama di situ. Tidak ada perbedaan di situ, mau anak jenderal atau apa. Itu yang bagi saya sebagai nilai lebih dari Bogor,” papar Mangindar.
Usai mengikuti matrikulasi dengan nilai C pada semua mata kuliah, Mangindar memasuki perkuliahan semester awal bersama mahasiswa lain yang masuk lewat jalur ujian seleksi. Dia merasa sudah bisa menikmati perkuliahan di IPB. Dari proses matrikulasi, dia menjadi paham teknik belajar dan kiat agar lolos ujian. Dia pun mulai beradaptasi dan berkenalan dengan kawan-kawan baru dari berbagai kota di Indonesia. Waktunya buat bergaul sedikit agak longgar karena telah berhasil lulus matrikulasi.
Beberapa kawannya yang tidak lolos matrikulasi tampak keteteran mengikuti perkuliahan di semester reguler. “Kawan-kawan yang tidak lulus matrikulasi keteteran terus. Di Bogor itu, aslinya langsung kelihatan. Saya masih ingat ada kawan dari Aceh, anak seorang pejabat Kanwil Dikbud, tidak lulus matrikulasi. Saat mengikuti semester reguler juga tidak lulus, IP-nya di bawah 2,00. Memang, sampai di Bogor, mereka yang rapornya direkayasa langsung kelihatan, akan kesulitan mengikuti perkuliahan. Prof. Andi Hakim sudah wanti-wanti, kalian seperti apa dulunya akan ketahuan aslinya di sini, melalui kuis, ujian, dan proses belajar-mengajar,” Mangindar bercerita. 
Tibalah akhir semestar pertama. Setiap mahasiswa menerima amplop kecil berisikan daftar nilai mata kuliah yang diikutinya. Mangindar sedikit terpukul, di ujung semester pertama itu dia cuma mengantongi nilai 2,08. Hanya ada satu nilai B (Mata Kuliah Agama) dan satu nilai D. Katanya, “Saya agak terpukul, wah pelajar teladan kok begini. Ternyata, kawan-kawan dari Tarutung, Balige, ada yang lebih parah lagi, ada yang di bawah 1, ada 0,5. Dari dulu IPB itu dikenal pelit dalam memberikan nilai.”
Perkuliahan reguler memasuki semester kedua. Mangindar semakin adaptif pada lingkungan masyarakat Kota Bogor. Merasa enjoy. Di ujung perjalanan semester dua itu, Mangindar dan kawan-kawan diliputi rasa was-was saat hendak menerima dan membuka amplop daftar nilai. Takut kalau-kalau mendapati Indeks Prestasi (IP) kumulatif di bawah batas kelulusan. Mangindar pun tidak berani cepat-cepat membuka amplop. Dia tarik perlahan secarik kertas dari dalam. Dia sedikit bernafas lega, ketika secarik kertas itu memperlihatkan nilai B, A, dan C, serta tertulis “Anda lulus, naik ke tingkat dua dengan IPK 2,31”.
Pada semester dua, Mangindar mengantongi nilai agak lumayan, ada beberapa nilai B, bahkan ada nilai A namun kapasitas kreditnya kecil. “Kawan-kawan ada yang menangis karena tidak lulus, termasuk kawan saya satu SMA di Pangururan. Mereka belum drop out (DO), masih diberi kesempatan karena IPK-nya di atas 1,5,” ungkap Mangindar yang tidak pernah bercita-cita jadi bupati ini.
Sebagai wujud rasa syukur atas kesuksesannya naik tingkat, Mangindar kemudian menulis surat ke orang-tuanya di Pangururan. Dia menceritakan betapa susahnya belajar di Bogor namun berhasil lulus juga. Orang-tuanya pun berpesan agar senantiasa bersyukur. Repotnya, orang tua Mangindar tahu teman Mangindar semasa di kampung gagal naik kelas. Orang tua Mangindar seolah terpukul mengapa anak atasannya itu gagal naik tingkat. “Sampai terdengar bisik-bisik waktu itu, lho si anu bisa naik tingkat, kamu tidak naik tingkat. Makin tertekan kawan saya itu. Padahal, suasana belajar di Bogor jelas berbeda dibandingkan di Sumatera. Mereka tidak tahu bahwa belajar di Bogor itu begitu ketat, padat, dan sukar bagi yang tidak siap. Saya kasih semangat kawan ini,” kenang Mangindar. 
Memasuki semester tiga, Mangindar mulai percaya diri. Di ujung semester tiga itu, nilai yang direngkuhnya semakin bagus, IP-nya di atas 3,00. Banyak kawan tidak menyangka bila Mangindar mampu mencapai nilai sebesar itu. Bahkan kawannya semasa SMP di Pangururan yang kemudian melanjutkan SMA di Jakarta agak underestimate pada kemampuan akademik seorang Mangindar. Benar-benar tak disangka, pencapaian Mangindar bahkan berada di atas prestasi temannya semasa SMP yang menyelesaikan SMA di Jakarta.
Ibarat mesin disel yang susah panas, namun begitu panas langsung tancap gas. Begitulah tamsil perjalanan perkuliahan Mangindar di IPB. Di tahun kedua itu, dia merasa telah lolos dari masa krisis. Dan dia memiliki bekal IP yang relatif tinggi untuk memasuki tahapan pilihan fakultas yang akan dijalani sampai perkuliahan tuntas.
Tibalah saatnya memilih fakultas. Peraturan memilih fakultas di IPB sedikit berbeda dibandingkan perguruan tinggi yang lain. Bahwa setiap mahasiswa bebas membuat urutan pilihan, misalkan: 1. Perikanan; 2. Kehutanan; Pertanian; 3. MIPA; 4. Teknologi Pertanian; 5. Peternakan; 6. Perikanan; dan 7. Kedokteran Hewan. Kemudian pihak IPB akan menseleksi berdasarkan IPK masing-masing mahasiswa. Kalau tidak masuk pilihan pertama, maka tidak secara otomatis masuk ke pilihan kedua atau ketiga seperti urut jagung.
Mengenai fakultas pilihannya, Mangindar bercerita, “IPK lah yang akan mengarahkan ke fakultas yang paling kosong, yang tidak ada pemilihnya. Waktu saya kuliah, yang favorit Fakultas Teknologi dan Mekanisasi Pertanian (Fatemeta) dan Fakultas Kehutanan. Saya memiilih kehutanan, alasan saya bukan karena paman saya dari kehutanan, tapi lantaran saya tidak pernah tahu fakultas kehutanan itu. Di Samosir itu tahunya pertanian dan perikanan. Saya ingin sesuatu yang berbeda, yang belum pernah saya alami dan jumpai selama ini. Dan pilihan itu juga didukung IP lumayan. Saya satu-satunya orang Batak yang masuk ke Fakultas Kehutanan masa itu. Yang lainnya masuk Kedokteran Hewan yang biasanya merupakan pilihan terakhir. Kampus Fakultas Kehutanan juga berbeda lokasi, di Dramaga, dan dilengkapi asrama. Fakultas-fakultas yang lain ada di Baranangsiang. Betul-betul nyaman buat belajar di Fakultas Kehutanan.”
Dalam kenyamanan suasana perkuliahan, tak terasa Mangindar sudah berada di akhir masa kuliah, Desember 1980. Beberapa bulan sebelumnya dia telah menuntaskan materi perkuliahan sembari menulis tugas akhir skripsi. Semestinya, pada Desember 1980 itu dia sudah lulus dan segera diwisuda. Namun lantaran kesibukan dosen pembimbing skripsi, dia baru lulus tanggal 5 bulan Mei 1981 sebagai angkatan 14. “Saya satu angkatan dengan Rokhmin Dahuri, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan. Ada juga Benny Pasaribu. Mereka hebat-hebat, mereka masuk jalur kementerian. Saya berbeda nasib. karena setelah lulus, saya ke Sumatera Utara,” ujar Mangindar.  

D.   “Kurir” Surat Seorang Dosen
Mangindar sebetulnya tidak ingin pulang kampung ke Sumatera Utara. Dia ingin bekerja di Kalimantan yang pada masa itu cukup prospektif untuk bisnis kehutanan. Ditambah lagi dia acap diajak dosen-dosennya dalam penelitian kehutanan di Bumi Borneo itu. Namun, dewi keberuntungan tidak berada di Tanah Dayak tersebut. Dewi keberuntungan mengetuk pintu hatinya saat Mangindar hendak pulang kampung ke Samosir setelah lulus dari IPB.
Ceritanya, Bedyaman Tambunan –dosen IPB yang beristri wanita Jawa-- ketika itu pulang kampung ke Sumatera Utara, karena ada kerabatnya yang meninggal dunia. Bersamaan dengan itu ada pergantian Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara dari pejabat lama ke pejabat baru Hisar Purba –senior Bedyaman waktu kuliah di IPB. Sebelum bertugas di Medan, Hisar Purba adalah Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Irian Jaya. Usai masa perkabungan, Bedyaman bertemu Hisar Purba di Medan. Hisar Purba berpesan agar Bedyaman mencarikan orang Sumut yang pintar dan cerdas untuk mendampinginya sebagai Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumut.
Tuntas semua urusan di Sumut, Bedyaman kembali ke Bogor, menekuni aktivitas akademik di IPB. Bedyaman pun memanggil Mangindar untuk menemuinya. Dengan senang hati dia memenuhi panggilan. Minimal, dia bisa langsung mengucapkan belasungkawa. Selain itu, dia bisa memperoleh informasi lowongan magang di Kalimantan, terutama di perusahaan HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Beberapa dosen Fakultas Kehutanan IPB, salahnya satunya Bedyaman, biasa memperoleh proyek survai hutan Kalimantan dan Mangindar kerap diikutkan dalam pelaksanaan survai tersebut. Berkat pengalaman itu, dia bertekad bulat, sembari menunggu saat wisuda, ingin bekerja di Kalimantan.
Sebab itu, Mangindar telah membawa formulir dan sejumlah dokumen persyaratan untuk bekerja di perusahaan HPH. Tapi, Bedyaman tidak menanggapi serius formulir yang disodorkan Mangindar. Katanya, “Nggak usah cerita pekerjaan dulu. Ada yang lebih menarik. Saya baru saja bertemu salah seorang senior kita, orangnya pintar dan baru dua bulan menjadi Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara. Dia minta tenaga yang masih segar, saya pikir kamu yang cocok di situ.”
“Lho Pak, saya nggak ada niat bekerja di Sumut. Di sana kan tidak ada hutan lagi,” ucap Mangindar.
Bedyaman terus membujuk agar Mangindar bersedia menjadi pendamping Kepala Dinas Kehutanan Hisar Purba. “Ini lain Simbolon, dia orang hebat. Bantulah dia, supaya jadi bakal menteri,” ujar Bedyawan sebagaimana ditirukan oleh Mangindar kepada tim Indomedia. Demikian serius Bedyaman mendorong Mangindar Simbolon balik kampung ke Sumatera Utara. Sementara Mangindar tetap keukeuh tidak ada niat kembali ke Sumut.
Tak ada kata menyerah dalam diri Bedyaman. “Ok, kamu pulang dulu sekarang. Terserah, mau atau tidak, tolong bawa surat saya ini ke Pak Hisar Purba,” pinta Bedyaman.
Pendek cerita, Mangindar pulang kampung dengan niat menemui kedua orang-tuanya di Samosir untuk menceritakan kelulusannya dari IPB. Setiba di Medan, dia tidak langsung melanjutkan perjalanan ke Samosir. Dia langsung ke Kantor Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara buat menyampaikan surat dari Bedyaman Tambunan ke Hisar Purba. Tiba di sana, rupanya sudah ada beberapa seniornya semasa kuliah di IPB tengah menunggu giliran bertemu Kepala Dinas Kehutanan. Bahkan ada pula alumni dari UGM yang menunggu giliran masuk ke ruang kepala dinas.
Protokoler di Kantor Dinas Kehutanan waktu itu cukup ketat. Mangindar sabar menunggu di ruang tunggu bersama beberapa orang lain yang datang lebih awal. Setelah menemui staf protokoler perihal agendanya bertemu Kepala Dinas Kehutanan dengan membawa surat dari seorang dosen IPB, dia dipersilakan menunggu di ruang dalam yang lebih dekat dengan ruang kerja kepala dinas. Waktu menunggu itu, dia sempat sedikit tergetar saat mendengar Kepala Dinas Kehutanan Hisar Purba memarahi beberapa tamunya yang meminta ongkos.  “Kamu pulang sekarang, kamu pikir saya bendahara revolusi?” ujar Hisar Purba dengan nada tinggi sebagaimana dikenang kembali oleh Mangindar.
Tibalah giliran Mangindar masuk ruang kerja kepala dinas. “Pak, ini ada tamu dari Bogor, dia bawa sepucuk surat,” kata staf protokoler sembari mengantarkan Mangindar menghadap Hisar Purba.
“Orang Batak ya?” Kepala Dinas Kehutanan Hisar Purba langsung bertanya.
“Ya Pak, saya cuma mengantarkan surat ini,” jawab Mangindar.
“Dari siapa? Bedyaman Tambunan? Ooo ya ya, duduk, duduk sini,” kata Hisar Purba sambil menyalami tangan Mangindar dan berucap, “Selamat ya, selamat datang, mulai hari ini Anda saya anggap menjadi pegawai Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara.” Hisar Purba terus berbicara panjang-lebar ihwal rencana-rencananya membangun sektor kehutanan di wilayah Sumatera Utara. Sarat semangat.
Mangindar berusaha menyela. “Pak, boleh saya ngomong?” tanyanya.
“Oh, boleh-boleh, silakan,” jawab Hisar Purba.
“Mohon maaf, saya ke sini hanya mengantarkan surat ini ke Bapak. Saya tidak ada rencana kerja di sini,” Mangindar menegaskan niatnya.
“He kenapa, kalau bukan kita yang membangun daerah kita, siapa lagi. Kamu kan termasuk yang bagus, harus kembali ke kampung. Saya ini kurang apa di Irian Jaya, uang banyak, rumah di Jakarta banyak, saya ke sini mau membangun Sumatera Utara,” tutur Husar Purba berapi-api. Dan masih panjang lagi apa yang diomongkan Hisar Purba untuk membawa Mangindar tetap bersedia bekerja di Sumatera Utara.
Mangindar kembali menyela, “Pak, pakaian dan barang-barang saya masih di Bogor dan saya belum wisuda. Saya juga belum ketemu orang tua, rencana mau ketemu orang tua dulu di Samosir, marga Simbolon.”
“Oh, kalau begitu kamu tahu Marham Simbolon?” tanya Hisar Purba. Sekadar mengingatkan kembali, Marham Simbolon adalah paman Mangindar yang banyak memberi masukan saat dirinya mau memenuhi undangan PMDK IPB. Dan rumah Marham Simbolon yang waktu itu Kepala Brigade Planologi Kehutanan Propinsi Jawa Barat menjadi tujuan pertama saat Mangindar datang dari Samosir.
“Beliau kenal paman saya, Pak,” jawab Mangindar.  
“Oh itu masih famili, orangnya baik tapi kurang pintar. Dia lebih suka urusan surga, kamu gitu juga.”
“Kan nggak ada salahnya urusan surga,” Mangindar berusaha mendebat.
“Tapi, kita kan hidup di dunia,” katanya lebih lanjut, “Mau berapa lama kamu di Samosir?”
“Lihat situasi Pak, mohon maaf saya belum bisa memastikan yang Bapak perintahkan. Dari Samosir, saya harus pulang dulu ke Bogor,” ucap Mangindar.
“Oo, boleh-boleh, nggak apa-apa. Kamu sudah saya anggap masuk sini,” tandas Hisar Purba.
Singkat cerita, Mangindar pulang kampung ke Samosir. Orang tua dan beberapa saudaranya sedikit bingung, bertanya-tanya apakah kepulangan ke Samosir kali itu untuk berlibur. Dia sampaikan bahwa dirinya sudah selesai kuliah. Wajar saja kebingungan menyeruak di benak orang tua dan sudara-saudara Mangindar di Samosir. Di benak mereka, perkuliahan biasa memakan waktu cukup panjang, ada yang sampai tujuh tahun, belum ada lulus dalam tempo empat tahun. Dia pun menjelaskan perjalanan perkuliahan di IPB. Dan dia juga menerangkan dirinya baru saja lulus tapi belum diwisuda.
Berlama-lama di kampung, Mangindar tidak betah pula. Kepada kedua orang-tuanya, dia menyampaikan niat untuk segera balik ke Bogor. Spontan kedua orang-tuanya mau ikut karena ingin mendampinginya saat wisuda. Namun Mangindar teringat pesan Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Utara Hisar Purba. Pesannya, “Nanti dari Samosir, kamu ke sini dulu ya, saya kasih ongkos. Nanti kita bicara dulu.”  
Sebab itu, dia meminta kedua orang-tuanya tidak ikut dulu karena dirinya belum langsung ke Bogor. Dia jelaskan dirinya harus bertemu terlebih dulu dengan Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Utara. Kedua orang-tuanya justru bertanya-tanya apa kesarjanaannya sudah resmi karena belum diwisuda. “Saya katakan wisuda hanya formalitas, tapi ini belum pasti waktunya. Akhirnya orang tua tidak ikut,” kenang Mangindar.
Setelah pamitan pada kedua orang-tuanya, Mangindar bergegas balik ke Medan, menemui Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Utara. “Pak, saya sudah dari Samosir, mau pulang ke Bogor,” kata Mangindar begitu ketemu Hisar Purba.
“Tunggu dulu. Kamu boleh ke Bogor pakai perjalanan ke sana,” ujar Hisar Purba. Mangindar terbengong, tak memahami sepenuhnya maksud ucapan Kepala Dinas Kehutanan.
Rupanya selama Mangindar berada di Samosir, Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Utara telah mengirim surat pengajuan pegawai baru ke Direktorat Jenderal (Ditjen) Kehutanan Departemen Pertanian. Dan Surat Keputusan mengenai status kepegawaian Mangindar sudah jelas. Terhitung mulai tanggal 7 Juni 1981 dia bertatus pegawai harian pada Kantor Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara. Dari sinilah, Mangindar baru paham kata-kata “pakai perjalanan” mengandung pengertian perjalanan dinas.
Lanjut Hisar Purba, “Kamu nanti wisuda ke Bogor, ambil buku dan pakaian. Tapi sekarang kamu kerja dulu di sini. Soal pakaian gampang, nanti beli saja di sini.” Akhirnya, hari itu Mangindar mulai bekerja sebagai pegawai harian di Kantor Dinas Kehutanan Sumatera Utara.
Tak berapa lama kemudian, akhir Agustus 1981, Mangindar balik ke Bogor dengan mengajak ayahnya untuk mengikuti wisuda sebagai Sarjana Kehutanan. Selanjutnya, 1 Maret 1982, dia sudah berstatus Calon PNS sebagai staf Dinas Kehutanan Dati I Propinsi Sumatera Utara.
“Saya dianggap ajudan Pak Hisar. Beliau ini maniak kerja, hubungan dengan isterinya kurang harmonis. Kalau perlu habis jam kerja di kantor, dilanjutkan kerja di hotel. Modelnya begitu, kerja, makan, terus begitu. Saya ikuti, saya ambil sisi positifnya, menimba ilmu yang beliau tularkan,” tutur Mangindar Simbolon menguak memorinya di awal masa kerja di Dinas Kehutanan Dati I Propinsi Sumatera Utara sebagai sebuah harapan dan dia berada di saat yang tepat untuk mendengar bisikan keberuntungan itu. ***

No comments:

Post a Comment