Thursday, January 2, 2014

Detik-detik Khalifah Utsman bin Affan Kala Menjelang Ajal

Ketika itu, para pembesar sahabat berkumpul di rumah khalifah Utsman bin Affan. Mereka saling bekerja sama untuk melindungi khalifah dari para penyebar fitnah. Mereka pun bersiap-siap menjaga beliau dari orang-orang yang bersikap bodoh.
Sebagian dari mereka itu adalah Abdullah bin Umar, Hasan bin Ali, dan Abdullah bin Zubair. Para sahabat itu juga bersenjata lengkap. Sementara sebagian sahabat yang lain berjaga keluar-masuk rumah khalifah Utsman secara bergantian. Sahabat lain yang masih ada keluar dan tidak kembali karena terluka anak panah atau lemparan batu dari musuh.
Mengenai keadaan ini, Hasan al-Basri bercerita, “Hasan bin Ali adalah orang terakhir yang keluar demi melindungi khalifah Utsman.”[1]
Kinanah, budak Shafiyah, juga berkata, “Aku keluar dari rumah bersama empat pemuda Quraisy berurutan dan membawa perlengkapan masing-masing. Mereka semua tahu tentang keadaan khalifah Utsman bin Affan. Keempat pemuda tersebut adalah Hasan bin Ali, Abdullah bin Zubair, Muhamad bin Hatib dan Marwan bin al-Hakam.”[2]
Kinanah mengatakan lagi, “Aku adalah orang yang membawa Hasan bin Ali saat terluka dari rumah khalifah Utsman.”[3]
Seperti inilah gambaran mereka yang suka menyebar fitnah, mereka yang fasiq, serta mereka yang senang berbuat keburukan. Mereka semua ingin merebut kursi kekhalifahan dengan cara melukai para sahabat yang berada di sekitar khalifah Utsman. Sampai tidak tersisa di rumah itu kecuali beliau sendiri, istri, dan beberapa hamba sahayanya.
Semoga aku dapat mempercayai cerita tentang detik-detik terakhir yang mengerikan dalam kehidupan Amirul Mukminin yang bergelar Dzunnurain ini. Cerita ini diriwayatkan oleh Watsab, seorang hamba sahaya milik khalifah Utsman.
Hasan al-Basri bertutur, Watsab telah memberitahuku bahwa dirinya adalah orang yang tahu cara membebaskan Amirul Mukminin. Dia berkata, saat itu khalifah Utsman berada di hadapanku. Aku melihat dua bekas tusukan di leher beliau. Di mana tusukan itu didapatnya pada hari pengepungan di rumahnya.”
Watsab melanjutkan, “Khalifah Utsman kemudian mengutusku untuk memanggil Asytar. Maka datanglah dia ke hadapan beliau. Dan aku langsung memberikan tempat duduk kepada mereka berdua. Khalifah Utsman lalu bertanya pada Asytar, ‘Apa yang orang-orang itu inginkan wahai Asytar?’ Asytar menjawab, ‘Mereka menginginkan dua hal yang tidak bisa engkau lakukan wahai Amirul Mukminin.’ ‘Apa itu?’ tanya beliau. Asytar lalu menjawab, ‘Mereka memintamu supaya engkau melepaskan kursi kekhalifahan. Dan pastinya engkau akan berpikir bahwa kekhalifahan ini adalah tujuan mereka. Engkau juga akan berkata pada mereka supaya mereka memilih pemimpin di antara mereka sendiri. Yang kedua, mereka memintamu untuk memotong bagian tubuhmu sendiri. Jika engkau menolak kedua permintaan itu, maka mereka akan membunuhmu.’ Utsman berkata pada Watsab, Permintaan mana yang lebih dulu harus aku turuti? Ia menjawab, Tidak ada wahai Amirul Mukminin. Utsman berkata lagi, ‘Jika disuruh memilih, maka aku akan lebih memilih untuk melepaskan kursi kekhalifahanku.”
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa khalifah Utsman berkata, “Demi Allah, aku bersumpah! Aku akan tetap maju walau kalian akan menebas leherku. Aku lebih rela kalian menebas leherku daripada aku membiarkan umat Muhamad ini tercerai-berai. Jika aku harus memotong bagian tubuhku, sungguh aku sangat tahu bagaimana kedua sahabatku meninggal (Abu Bakar dan Umar). Mereka berdua dan para sahabat yang saleh lah yang menjadikanku sebagai khalifah. Mereka tidak pernah menerima perlakuan seperti ini sampai meninggal. Sedangkan permintaan kalian yang ingin membunuhku, sungguh bila kalian sampai membunuhku, maka di antara kalian tidak akan ada rasa saling mencintai selamanya. Kalian tidak akan pernah shalat lagi secara berjamaah selamanya. Dan, kalian tidak akan bersama lagi saat kalian bertempur melawan musuh.”
Watsab melanjutkan ceritanya, Khalifah Utsman kemudian berdiri dan beranjak meninggalkan tempatnya. Kami tinggal sejenak dan kami berdoa semoga musuh-musuh ini cepat pergi dengan membuka blokade. Lalu tiba-tiba datang seorang pemuda bermuka garang seperti serigala. Pemuda itu keluar-masuk rumah khalifah Utsman. Setelah itu, datanglah Muhamad bin Abu Bakar disertai dengan 13 prajurit menemui khalifah Utsman. Dengan kedatangan mereka, beliau tiba-tiba memegangi jenggotnya sendiri dan kemudian memotongnya. Karena kuatnya menahan emosi, terdengarlah suara gesekan gigi geraham beliau dan kemudian beliau berkata, ‘Bukankah cukup Mu’awiyah untuk kalian? Bukankah cukup Ibn Amir untuk kalian? Bukankah cukup kitab suci al-Qur’an untuk kalian?’ Beliau lalu melanjutkan, ‘peganglah jenggotku ini wahai puta saudaraku, peganglah jenggotku ini wahai putra saudaraku!’
Watsab berkata lagi, “Aku melihat khalifah Utsman meminta tolong kepada salah seorang dari 13 prajurit itu. Prajurit itu kemudian mendekatinya. Tetapi prajurit itu justru menancapkan anak panah ke kepala khalifah Utsman sehingga beliau merasa kesakitan. Setelah melukai bagian kepala khalifah, prajurit itu berkata, ‘Mau yang mana lagi?’ Khalifah Utsman pun berkata pada mereka, Berkumpullah kalian! Tolong-menolonglah kalian antar-sesama. Beliau terus mengucapkan kalimat itu hingga mereka membunuhnya.[4]
Abu Mu’tamar menceritakan kabar dari Hasan bahwa Muhamad bin Abu Bakar datang kepada Sayyidina Utsman  untuk memotong jenggot beliau. Lalu Utsman berkata kepada Muhamad, Engkau telah mengambil tempat dariku dan engkau juga telah duduk di tempat dudukku. Ketahuilah! Kedua tempat itu dulu pernah dipakai ayahmu, Abu Bakar.’ Setelah itu, tiba-tiba Muhamad keluar dan meninggalkan Utsman tanpa sepatah kata.
Abu Mu’tamar berkata lagi, “Ada seseorang yang datang menemui Utsman yang biasa disebut sebagai al-Maut al-Aswad. Orang itu tiba-tiba mencekik beliau dengan kuat. Setelah itu, ia keluar dan berkata, ‘Sungguh, aku tidak merasakan apapun yang lebih lembut dari lehernya. Aku telah mencekiknya. Saat itu aku seperti melihat ruhnya seakan-akan berada di antara hendak keluar atau tidak dari dalam tubuhnya’.”[5]
Pun Abu Sa’id, budak Abu Asyad, bertutur, “Ketika itu khalifah Utsman membuka pintu dengan meletakkan mushaf al-Qur’an di antara kedua tangannya. Tiba-tiba ada seseorang yang menerobos masuk ke dalam rumahnya. Beliau kemudian berkata pada orang asing itu, ‘Di antara kita terdapat mushaf al-Qur’an al-Karim’. Kemudian orang itu berlalu begitu saja meninggalkan Utsman. Setelah itu, datang seorang lagi. Beliau kemudian mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakannya kepada orang pertama. Akan tetapi, secara tiba-tiba saja orang itu langsung mengancungkan pedangnya ke khalifah Utsman. Beliau secara refleks menangkis dengan tangannya. Maka putuslah tangan beliau. Namun aku tidak tahu persisnya, apakah pedang itu mengenai tangan beliau hingga menyebabkan tangannya putus atau menebasnya saja.”
Abu Sa’id bercerita, “Sungguh tangan khalifah Utsman itu adalah tangan pertama yang digunakan untuk menuliskan ayat-ayat suci al-Qur’an.”[6]
Dalam riwayat lain, Abu Sa’id menuturkan, “Pada saat orang-orang Mesir datang pada Utsman, beliau sedang membawa mushaf al-Qur’an. Tak diduga-duga, mereka secara serentak langsung menebas tangan Utsman. Maka mengalirlah darah dari tangan beliau dan mengenai ayat al-Qur’an yang berbunyi: [7]
  
“Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah [2]:137).
Ibn Sihabuddin al-Zuhri juga bercerita, “Aku bertanya kepada Sa’id bin Musayyab, apakah dia tahu bagaimana khalifah Utsman terbunuh? Bagaimana keadaannya dan keadaan umat Islam saat itu? Mengapa para sahabat mengkhianatinya?”
Ibn al-Musayyab menjawab, “Utsman dibunuh secara dhalim. Pembunuhnya adalah benar-benar orang yang dhalim. Akan tetapi orang yang mengkhianatinya telah dimaafkan.”
Ibn Sihabuddin al-Zuhri menambahkan, “Telah sampai kepada kami suatu cerita panjang mengenai khalifah Utsman. Namun, cerita ini tidak berurutan kecuali bagian yang menceritakan tentang pembunuhan Sayyidina Utsman.”
Said bercerita, “Sayidina Ali bin Abi Thalib berkata kepada kedua anaknya, Hasan dan Husein, ‘Pergilah kalian berdua dan berdirilah di depan pintu rumah khalifah Utsman untuk berjaga-jaga. Janganlah sekali-kali kalian biarkan siapapun mendekatinya.’ Mendengar kedua cucu Rasulullah diutus ayahnya, Zubair dan Thalhah akhirnya juga mengutus anak-anak mereka. Setelah itu, tiba-tiba mereka yang berkhianat mulai menghujani rumah khalifah Utsman dengan anak panah. Hingga tubuh Hasan yang menjaga rumah sang khalifah berlumuran darah. Beberapa pelindung Utsman pun ikut terluka, seperti Marwan dan Muhamad bin Thalhah yang berlumuran darah terkena panah, dan salah seorang hamba sahaya milik Sayidina Ali ikut terkena senjata tajam hingga mengakibatkan luka di bagian kepalanya.
Melihat apa yang menimpa Hasan dan Husein, Muhamad bin Abu Bakar takut akan kemarahan keluarga Bani Hasyim. Ia khawatir fitnah akan menyebar ke mana-mana. Tanpa pikir panjang, Muhamad bin Abu Bakar akhirnya menarik kedua pengikutnya dan berkata pada mereka, Jika datang orang-orang Bani Hasyim dan melihat darah mengalir dari wajah Hasan, mereka akan membubarkan para pengkhianat itu dari rumah khalifah Utsman. Kalau ini sampai terjadi, akan gagal apa yang kita rencanakan.’ Mari kita pergi saja dari sini. Setelah itu, kita masuk rumah Utsman melalui atap sehingga kita dengan leluasa membunuhnya tanpa ada seorang pun yang tahu.’
Sebelum masuk ke dalam rumah khalifah Utsman, mereka terlebih dulu memanjat rumah salah seorang dari golongan Anshar. Setelah melewati beberapa rumah, barulah mereka sampai di rumah beliau. Tidak ada seorangpun yang tahu siapa saja yang sedang mengincar beliau. Sebab mereka berada di atas atap rumah. Dan tidak ada seorangpun yang menemani beliau selain hanya istrinya.
Muhamad bin Abu Bakar lalu bilang kepada pengikutnya, Tetaplah di tempat kalian, aku yang akan memulai masuk ke dalam rumah Utsman. Jika nanti aku sudah menangkapnya, masuklah kalian dan tebaslah lehernya. Lalu masuklah Muhamad dengan menangkap beliau lantas memotong jenggotnya. Ia berkata pada Sayyidina Utsman, Sungguh jika ayahmu melihatmu, ia akan merasa kasihan dengan keadaanmu sekarang ini.
Lalu Muhamad agak mengendurkan tangannya. Pengikutnya kemudian masuk ke dalam rumah khalifah Utsman dengan membawa pedang. Mereka langsung mengibaskan pedangnya ke tubuhnya hingga beliau terbunuh. Mereka lantas lari keluar rumah beliau tetapi kemudian mereka masuk lagi ke dalam rumah. Melihat peristiwa itu, istri Utsman teriak histeris. Akan tetapi teriakannya terhalang oleh suara gaduh  yang mengitari rumahnya.
Istri Utsman selanjutnya keluar rumah dan berteriak secara kencang, Amirul Mukminin telah terbunuh. Sesegera mungkin Hasan dan Husein masuk ke dalam beserta pengikutnya. Mereka mendapati beliau telah terbunuh. Mereka berkabung dan menangisi kematiannya. Merekapun akhirnya keluar. Di saat mereka keluar, datang lagi segerombolan orang yang ingin melihat tubuh khalifah Utsman yang sudah terbujur kaku.
Kabar ini akhirnya sampai kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqas dan beberapa sahabat yang ada di sekitar mereka di kota Madinah. Mereka keluar guna mendatangi asal-muasal berita itu. Mereka memasuki rumah beliau dan mendapati tubuhnya tanpa nyawa. Setelah menyaksikan sendiri, mereka akhirnya kembali ke rumah masing-masing.
Sesudah melihat tubuh khalifah Utsman yang sudah terbujur kaku, khalifah Ali bertanya pada kedua putranya, Bagaimana mungkin Amirul Mukminin terbunuh sedangkan kalian berada di depan pintu rumahnya? Ali mengangkat tangannya seraya menampar wajah Hasan dan kemudian memukul dada Husein. Beliau lalu keluar rumah dalam keadaan marah seraya mencaci-maki Muhamad bin Thalhah dan melaknat Abdullah bin Zubair.
Beliau kemudian bertemu dengan Thalhah. Dan Thalhah menegurnya, Apa yang terjadi wahai Ali? Kenapa engkau sampai tega menampar putra-putramu sendiri, Hasan dan Husein?
Sayyidina Ali menjawab, ‘Semoga engkau dan mereka berdua dilaknat oleh Allah SWT. Para pengkhianat itu telah membunuh Amirul Mukminin, salah satu sahabat Rasulullah yang ikut andil dalam perang Badar. Mereka tidak punya bukti yang jelas untuk membunuhnya.’
Setelah melihat gerak-gerik Thalhah, Sayyidina Ali tahu bahwa ia ikut andil dalam menggeser kedudukan khalifah Utsman. Thalhah berkata, ‘Jika Marwan itu melindungi khalifah Utsman, maka ia tidak akan terbunuh.’ Beliau menjawab, ‘Jika aku keluarkan dia dari kalian, pasti ia akan terbunuh sebelum ia diadili.’
Sayyidina Ali kemudian berbalik dan pulang ke rumahnya. Tiba-tiba ada sekumpulan orang datang kepada beliau dengan tangisan histeris. Mereka adalah para sahabat Rasulullah beserta pengikutnya. Mereka berkata kepada beliau, Wahai Amirul Mukminin. Mereka lalu masuk ke rumah Ali. Mereka melanjutkan, Kami akan membaitmu sebagai khalifah. Ulurkanlah tanganmu! Beliau menjawab, Bukan kalian yang menentukan perkara ini, tetapi mereka para sahabat yang ikut andil dalam perang Badar. Karena siapa saja yang diridhai oleh mereka yang ikut andil dalam perang Badar, maka ia akan terpilih sebagai khalifah.
Di tempat itu, tidak ada seorang pun di antara mereka yang ikut andil perang Badar kecuali Sayyidina Ali sendiri. Mereka lalu berkata, ‘Kami tidak melihat salah seorang pun yang lebih berhak dengan kekhalifahan ini selain engkau wahai Ali. Ulurkanlah tanganmu, kami akan membaitmu. Kemudian Ali bertanya, Di mana Thalhah dan Zubair?
Sebenarnya, sahabat yang pertama kali membaiat Ali adalah Thalhah yang kemudian disusul dengan Sa’ad. Dalam sebuah riwayat, ketika Sayyidina Ali melihat mereka berdua, beliau langsung keluar menuju masjid dan naik ke atas mimbar. Thalhah pun mengikutinya dari belakang. Ia lantas membaiat beliau dengan mengangkat tangannya yang kemudian diikuti Zubair dan Sa’ad serta para sahabat-sahabat yang lain. Beliau lalu turun dari mimbar dan berkhutbah di hadapan pendukungnya. Beliau memanggil Marwan, tetapi ia malah lari. Beliau juga memanggil salah seorang anak Marwan dan anak keturunan Abi Mu’id, namun mereka juga melarikan diri.
Selanjutnya, Ummul Mukminîn Aisyah r.a. keluar dari rumahnya dalam keadaan menangis seraya berkata, “Utsman telah terbunuh.. Utsman telah terbunuh.”
Sayyidina Ali lalu mendatangi istri Utsman dan bertanya, “Siapa yang telah membunuh Utsman?”
Ia menjawab, “Aku tidak tahu, yang pasti ada dua orang yang tidak aku kenali wajahnya. Mereka ditemani Muhamad bin Abu Bakar.” Ia kemudian menceritakan apa yang dilakukan Muhamad bin Abu Bakar di dalam rumahnya pada Sayyidina Ali dan para sahabat yang berada di tempat itu.
Sayyidina Ali kemudian memanggil putra Abu Bakar. Ia bertanya kepadanya perihal apa yang dikabarkan istri khalifah Utsman. Muhamad menjawab, “Dia tidak berbohong. Aku memang masuk ke dalam rumahnya dan ingin membunuhnya. Tiba-tiba saja aku teringat dengan alhmarhum ayahku. Aku pun lantas menjauh darinya dan bertaubat kepada Allah. Aku berani bersumpah bahwa aku tidak membunuhnya. Aku juga tidak sedikit pun menyentuhnya.”
Istri khlalifah Utsman tiba-tiba menimpali, “Memang benar apa yang dikatakannya, tapi setelah itu dia memasukkan dua orang untuk membunuh suamiku.”[8]
Jabir bin Abdullah juga berkisah tentang peristiwa pembunuhan khalifah Utsman. Ia mengatakan, “Ada sekolompok golongan yang datang mengelilingi beliau. Salah seorang dari kaum Habsyi mendatangi Utsman kemudian tiba-tiba menusukkan belati ke dada kanannya. Saat itu, beliau sedang membawa mushaf al-Qur’an. Beliau terlihat sudah renta saat itu. Beliau kemudian terjatuh dan wafat.[9]
Abu al-Jarrah, hamba sahaya Ummu Habibah, meriwayatkan pula, “Saat itu aku sedang bersama khalifah Utsman di rumahnya, aku tidak merasakan apa-apa. Tiba-tiba saja Muhamad bin Abu Bakar muncul. Dalam situasi itu kita sepakat untuk berdamai. Lalu masuklah beberapa orang setelah itu melalui langit-langit atap rumah. Mereka membawa tali yang biasa digunakan untuk pagar rumah dan sebilah pedang. Aku buang pedangku dan duduk bersama beliau. Aku dengar suara mereka. Tiba-tiba saja aku melihat Sayyidina Utsman membawa mushaf al-Qur’an yang sudah terkena percikan darah. Dan saat itu aku juga melihat Nailah binti al-Farafishah yang kelihatan rambutnya.” Sayyidina Utsman berkata padanya, Ambillah kerudungmu! Sungguh kehormatan rambutmu lebih tinggi dibandingkan keberadaan mereka di sini. Kemudian salah seorang di antara mereka mencoba mengancungkan pedang lagi ke muka khalifah Utsman. Beliau kemudian mencoba menghalanginya. Saat mencoba menghalangi, orang itu malah memotong kedua jari beliau. Mereka ramai-ramai membunuhnya dan keluar dengan perasaan sombong. Kemudian Muhamad bin Abu Bakar mendekatiku dan berkata, Kenapa kamu ini, wahai budak Ummu Habibah? Setelah itu, mereka berlalu dan pergi.
Kinanah, hamba sahaya Shafiyah binti Hayya, juga meriwayatkan, “Saat itu aku melihat peristiwa pembunuhan khalifah Utsman, aku keluar dari rumah beliau. Di depanku ada empat pemuda Quraisy dengan membawa pedang yang sudah berlumuran darah. Mereka adalah orang-orang yang melindungi Utsman. Di antaranya Hasan bin Ali, Abdullah bin Zubair, Muhamad bin Khatib dan Marwan bin al-Hakam.”
Muhamad bin Thalhah berkata, “Aku bertanya pada Kinanah, Apakah Muhamad bin Abu Bakar terkena percikan darah khalifah Utsman?”
Ia menjawab, “Aku berlindung kepada Allah SWT. Jika demikian, ia termasuk orang yang bersekongkol dalam pembunuhan khalifah Utsman.”
Kemudian khalifah Utsman berkata kepada Muhamad bin Abu Bakar, “Wahai anak saudaraku, engkau bukan temanku.” Lalu Utsman berbicara sebentar dengannya. Lantas Muhamad pun keluar dari rumahnya tanpa ada percikan darah yang mengenainya.
Aku tanya pada Kinanah, “Kalau begitu, siapa yang membunuhnya?” Ia menjawab, “Orang dari negeri Mesir bernama Jablah bin al-Aiham. Setelah membunuh khalifah Ustman ia kemudian mengelilingi kota Madinah sebanyak tiga kali dengan berteriak, ‘Aku telah membunuh Amîrul Mukminîn’.”
Kemudian aku bertanya lagi, “Ali di mana waktu itu?” Kinanah menjawab, “Ia berada di rumahnya.”[10]
Dalam riwayat lain yang lebih shahih sanadnya, Muhamad bin Thalhah bertutur, “Siapa yang membunuh khalifah Utsman?” Kinanah menjawab, “Orang yang berasal dari Mesir. Ia disebut dengan keledai (sebutan bagi orang yang mengerjakan pekerjaan dengan bodoh).”[11]
Pada kisah lain yang diceritakan oleh Kinanah, “Aku melihat pembunuh khalifah Utsman. Ia adalah seorang kulit hitam yang berasal dari Mesir. Saat itu, setelah ia membunuh khalifah Utsman di dalam rumahnya, ia mengangkat tangannya dan berkata, ‘Akulah pembunuh khalifah Utsman’.”
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Syaqiq dan Qatadah, mereka mengatakan, “Orang  yang membunuh Utsman adalah orang yang berdarah Romawi-Yaman. Ia berasal dari kabilah Bani Asad bin Khuzaimah.”[12]
Abdullah bin al-‘Abatsi juga bercerita, “Orang yang telah membunuhnya adalah Saudan bin Ruman al-Muradi.”[13]
Tidak ada keterangan yang tegas dalam hal konspirasi pembunuhan khalifah Utsman ini. Siapa pun itu mereka telah berani mengoyak kehormatan beliau, rumahnya dan keluarganya. Mereka ini seperti kaum Khawarij yang memberontak terhadap kekhalifahan umat Islam yang sudah mapan. Mereka ini termasuk golongan orang-orang fasiq yang gemar melakukan perbuatan-perbuatan buruk.
Hasan al-Basri berkata, “Jagalah barang-barang yang ditinggalkannya (Utsman bin Affan)!” Tetapi di antara mereka ada yang berkata, “Boleh membunuhnya, tapi tidak boleh mengambil hartanya.”
Semoga Allah melaknat mereka dan mempersiapkan adzab yang pedih buat mereka.
Dikisahkan Abu Sa’id, hamba sahaya Abi Asyad, ia berkata, “Ketika mereka selesai membunuh Utsman, mereka lantas pergi bersama-sama ke Tabuk dengan membawa buah-buahan dan madu. Di sana mereka berpesta ria tanpa merasa dosa.[14]
Hamid bin Hilal juga mengatakan, “Istri Utsman bin Affan betul-betul berkabung saat itu.” Di situasi demikian itu, di antara mereka ada yang berujar, “Betapa besar bokong istri Utsman itu?”[15] Beginilah sifat dan perbuatan buruk yang mereka lakukan. Mereka tak merasa malu menampakkan hawa nafsunya. Sangat terlihat aib mereka, terutama dalam perkataan. Mereka juga mengambil apa saja yang mereka lihat --termasuk harta, pakaian dan lain sebagainya.
Mughirah bin Syu’bah mengutarakan, “Seorang yang bernama Tajibi datang dengan mengacungkan pedangnya untuk merobek perut Utsman. Ketika bertemu Utsman, ia langsung menebas tangan beliau dan menancapkan sebilah pedang di dadanya.”
Beliau terbunuh menjelang shalat Maghrib. Salah seorang pengikutnya berkata, “Sungguh, darah beliau tidak dihalalkan untuk dibunuh. Begitu pula dengan hartanya tidak halal untuk diambil. Awas, jangan ada satu pun di antara kalian yang mengambil barang-barang milik khalifah Utsman.” Mereka lalu saling memberitahu dengan berteriak, “Ada harta… ada harta…”
Mereka kemudian berbondong-bondong menghampiri Baitul Mal. Karena didatangi banyak orang, kedua penjaga Baitul Mal itu tak berdaya menahannya dan akhirnya menyerahkan kunci Baitul Mal kepada mereka. Para penjaga itu teriak, “Lari…. Lari… harta ini yang diinginkan oleh mereka.”[16]

Besarnya Petaka Pembunuhan Khalifah Utsman
Saat situasi genting tengah menyelimuti pemerintahan khalifah Utsman, para sahabat sudah merasa akan timbul suatu petaka yang lebih besar. Mereka sadar bahaya teror dan ancaman yang dihembuskan oleh kaum munafik untuk menggoyahkan stabilitas pemerintahan. Terlebih teror itu telah berhasil merusak kehormatan sang khalifah. Sebagian sahabat pun terpengaruh oleh teror ini sampai-sampai mereka saling tuduh-menuduh satu sama lain.
Untuk mengatasi hal ini, Ibn Abbas kemudian berkhutbah di hadapan kaum Muslimin, “Kalau ada sekelompok orang berkonspirasi ingin membunuh Sayyidina Utsman, maka Allah akan melempari mereka dengan batu jahanam, seperti Allah melempari kaum Nabi Luth yang mengerikan itu.”[17]
Abu Ja’far al-Anshari menceritakan, “Ketika Sayyidina Ali masuk ke dalam rumah khalifah Utsman, aku berlari cepat menuju rumah khalifah. Aku lalu melewati masjid. Di situ aku melihat seorang lelaki yang sedang duduk di bawah bayang-bayang seseorang seperti bayangan perempuan. Ia memakai surban hitam dan di sekitarnya ada sepuluh wanita. Ternyata setelah aku amati secara seksama, orang tersebut tidak lain adalah Sayidina Ali bin Abi Thalib. Dia tiba-tiba mendatangiku dan bertanya padaku, Apa yang terjadi dengan khalifah Utsman? Aku menjawab, Beliau telah dibunuh. Maka ia pun berkata, Mereka yang membunuhnya akan celaka seumur hidup.”[18]
Abu Qilabah al-Jarmi meriwayatkan pula, “Ketika Tsamamah bin Adi sampai ke Madinah, khalifah Utsman telah terbunuh. Tsamamah merupakan Gubernur di kota San’a. Ia datang bersama para sahabat lain. Mendengar berita terbunuhnya sang khalifah, ia langsung menangis sejadi-jadinya. Ia kemudian berkata, Beginilah situasinya jika amanat kekhalifahan Rasulullah Saw dicabut dari umat Muhamad secara paksa. Mereka menjadi penguasa dan pemaksa. Ketika mereka merasa kuat, mereka akan mengambilnya dengan segala cara.”[19]
Menyikapi peristiwa ini, Abu Hamid al-Sa’idy, salah satu sahabat yang ikut andil dalam perang Badar, berdoa:
الَّلهُمَّ لَكَ عَلَيَّ أَفْعَلُ كَذَا, وَلَا أَفْعَلُ كَذَا, وَ أَنْ لَا أَضْحَكُ حَتَّي أَلْقَاكَ
“Ya Allah, jauhkanlah aku dari mengerjakan ini dan itu. Dan jangan Engkau buat aku ketawa sampai aku bertemu dengan-Mu.”[20]
Abdullah bin ‘Akim juga bertutur, “Seumur hidupku, aku tidak mau menyaksikan lagi pembunuhan terhadap sang khalifah setelah khalifah Utsman.” Lalu tiba-tiba ada salah seorang berkata padanya, “Wahai Abu Ma’bad, apakah kamu juga ikut andil dalam konspirasi pembunuhan khalifah Utsman?” Abu Ma’bad menjawab, “Sungguh, aku tidak sudi mengingat keburukan masa lalu yang menyebabkannya terbunuh.”[21]
Pun Sayyidina Ali r.a. berucap, “Aku berani bersumpah, sungguh aku tidak membunuh khalifah Utsman ataupun menyuruh salah seorang untuk membunuhnya. Tapi aku telah menyelidiki siapa yang membunuh beliau.”[22]
Abu Shalih berkata, “Abu Hurairah menangis ketika mengingat kembali tragedi yang menimpa khalifah Utsman.” Ia berkata, ‘Aku seperti mendengar beliau mengucapkan, ‘Haa.. Haa..’ Seperti suara orang menghirup nafasnya dengan kuat.”[23] Aku juga mendengar Abdullah bin Salam berkata pada hari wafatnya khalifah Utsman, Sungguh kalian sekali-kali tidak akan menumpahkan gelas berisi darah melainkan kalian hanya akan bertambah jauh dari Allah.”[24]
Ibn Laila menceritakan, “Aku melihat Sayyidina Ali duduk di atas bebatuan Zait seraya mengangkat tangan dan menengadahkan kepalanya sambil berdoa, Ya Allah, bebaskanlah aku dari perkara khalifah Utsman.”
Salim, ayahnya al-Ja’di, menuturkan, “Saat itu aku duduk bersama Muhamad bin Hanafiah beserta kelompoknya. Mereka mencoba mengingat-ingat kembali tragedi khalifah Utsman itu. Tetapi, setelah Muhamad tahu bahwa mereka membincangkan hal itu, ia langsung melarang mereka mengingat-ingat tragedi itu. Lalu ia berkata pada mereka, ‘Cukuplah kalian membicarakan kembali orang ini.’ Lalu kami berjumpa lagi di lain hari. Muhamad mendapati mereka lebih banyak membicarakan tragedi itu dibanding hari sebelumnya. Maka ia langsung menegur mereka dengan berkata, Bukankah aku telah melarang kalian membicarakan orang ini?
Pada perkumpulan selanjutnya, Ibn Abbas turut serta duduk bersama mereka. Muhamad berkata padanya, ’Wahai Ibn Abbas, apakah engkau ingat peristiwa Jamal di sore hari itu? Di mana saat itu aku berada di samping kanan Sayyidina Ali dengan membawa bendera. Sedangkan engkau berada di samping kirinya.  Saat bersama kami, Sayyidina Ali mendengar suara keras dari kandang unta. Beliau lalu mengirim utusan.’ Setelah melihat ke tempat kejadian, utusan itu kembali dan mengatakan, ‘Suara itu berasal dari suara Sayyidah Aisyah yang berteriak seraya melaknat pembunuhan khalifah Utsman. Maka Ali r.a. pun berkata, Aku juga melaknat pembunuhan yang terjadi pada khalifah Utsman di semenanjung dataran dan pegunungan Jazirah Arab. Salim lalu mengakhiri ceritanya, “Ibn Abbas pun kemudian mempercayai apa yang dikatakan Sayyidina Ali.”
Kemudian Ibn Hanafiah menemui Ibn Abbas dan kami, ia berkata, “Apakah aku dan Ibn Abbas bisa dijadikan sebagai saksi yang adil?” Kami menjawab, “Ya.” Setelah itu, ia berkata, “Sudah seharusnya seperti itu.”[25]
Jundub al-Khair juga mengatakan, Hudzaifah mendatangi kami saat ada beberapa orang Mesir yang menemui khalifah Utsman. Kami berkata, “Sungguh orang-orang ini akan bertemu dengan khalifah, apa pendapatmu?” Hudzaifah menjawab,  “Demi Allah, mereka akan membunuhnya.” Kami bertanya, “Setelah itu, di mana tempat beliau nantinya?” Ia menjawab,  “Di dalam surga.” Kami bertanya lagi, “Dan di mana tempat para pembunuhnya?” Ia menjawab, “Aku bersumpah mereka pasti akan dimasukkan ke dalam neraka.”
Abdurrahman bin Jabir menceritakan, Abdullah bin Salam pergi mendatangi rumah khalifah Utsman. Di depannya, ada dua orang laki-laki yang berjalan mendahuluinya. Salah satu di antara mereka berkata kepada yang lainnya, “Wahai Fulan, bagaimana pendapatmu tentang tragedi yang menimpa khalifah Utsman?”
Temannya itu menjawab,  “Sungguh, domba dan sapi sekalipun tidak akan mau dijadikan tumbal untuk membunuh khalifah  Utsman.”
Ibn Salam mendengar perbincangan mereka, lalu ia menimpali, “Oh ya? Sungguh kambing dan sapi itu secara naluri tidak akan menanduk saat dibunuh. Tapi orang-orang itu telah menanduk khalifah Utsman dengan senjata mereka. Aku bersumpah, mereka itu adalah kelompok yang telah membunuh beliau. Sungguh mereka itu merupakan keturunan dari ayah-ayah mereka dan suatu hari nanti mereka juga akan memiliki anak.”[26]

Beberapa Komentar Para Tabi’in Setelah Terbunuhnya Utsman r.a.
Tentang tragedi pembunuhan khalifah Utsman, Tawus bin Kisan berucap, “Ketika terjadi fitnah pada masa kekhalifahan Utsman, salah seorang keluarga beliau berkata, ‘Ikatlah aku! Supaya aku tidak menyakiti kalian. Aku ini gila.’ Maka kemudian ia pun diikat. Saat terjadi pembunuhan terhadap khalifah Utsman, ia bekata, ‘Lepaskan aku. Aku telah sadar. Segala puji bagi Allah yang telah menjagaku dari pembunuhan khalifah Utsman.”[27]
Mengenai tragedi ini, Ibn Syirin bertutur, “Tidak ada yang berselisih di antara keluarga Utsman kecuali selepas beliau terbunuh. Kami tidak pernah kehilangan kuda perang berjenis zebra saat perang kecuali setelah terbunuhnya khalifah Utsman.”
Ibrahim al-Nakha’i juga berkomentar dengan mengutip sebuah ayat al-Qur’an:
 

 Sesungguhnya kamu akan mati dan mereka juga akan dimatikan. Kemudian pada hari kiamat nanti kamu akan berbantah-bantahan di hadapan Tuhanmu.” (QS Az-Zumar [39]: 30-31).
Lebih lanjut, dia mengatakan, ini menunjukkan betapa gentingnya situasi umat Islam selepas terbunuhnya khalifah Utsman. Sampai-sampai sebagian sahabat berkata, “Apa yang menjadi sebab pertengkaran di antara kita ini? Bukankah kita ini saudara?” Sebagian sahabat yang lain juga berkata, “Inilah permusuhan yang sesungguhnya di antara kita (umat Islam).”[28]
Thalhah bin Masraf mengatakan, “Kalian lebih banyak mencintai Sayyidina Ali daripada khalifah Utsman. Tapi hatiku menolak mencintai seseorang kecuali khalifah Utsman.”[29]
Dari Ibn Syaudzab, ia menceritakan, dikatakan kepada Hasan al-Basri, “Wahai ayahnya Sa’id! Apakah mereka sanggup menahan khalifah Utsman?” Ia menjawab,  “Ya, kalau mereka menahannya dengan pakaian mereka, pasti ia akan tertahan.”
Hasan menambahkan dalam riwayat yang lain, “Saat peristiwa itu (pembunuhan Utsman), aku masih berusia 14 tahun.”[30]
Hasan berkata lagi, “Orang-orang munafik itu telah membuat makar. Jikalau  mereka mau menahan khalifah Utsman, maka mereka akan menggunakan setiap ujung pakaiannya untuk menahannya.”[31]
Ibn Syirin juga mengatakan, “Saat terjadi fitnah itu, ada lebih dari 10.000 sahabat di kota Madinah. Akan tetapi, tidak ada yang terkena dampak fitnah ini melainkan 30 orang sahabat saja.”[32]
Ibnu Syirin menambahkan orang-orang munafik itu berucap, “Katakanlah wahai kalian! Dia (Utsman) adalah orang terbaik di antara kita, maka jadikanlah dia sebagai pemimpin.” Namun, setelah itu mereka menyatakan, “Dia adalah orang terburuk di antara kita, maka bunuhlah dia.”[33]
Inilah beberapa komentar para tabi’in. Mereka tidak senang dengan mencaci dan mencela pembunuh khalifah Utsman. Mereka juga memperingatkan siapa saja yang mengkhianatinya. Sesungguhnya ketentuan Allah SWT telah ditentukan. Dan tak ada satupun yang dapat mengubah takdir-Nya.

Mengingat Hari Kematian, Usia, dan Persemayaman Khalifah Utsman r.a.
Para ulama bersepakat bahwa khalifah Utsman wafat secara syahid di tangan sekelompok kecil orang-orang bodoh. Adapun hari meninggal dan usia beliau masih menjadi perdebatan hingga sekarang.
al-Dzahabi, seorang sejarawan Islam klasik, berpendapat, “Khalifah Utsman terbunuh pada malam 19 Dzulhijjah yang bertepatan pada hari Jum’at selepas shalat Ashar tahun 36 Hijriah. Saat itu beliau dalam keadaan berpuasa. Usia beliau saat itu sekitar 82 tahun.”[34]
Beliau dikebumikan malam Sabtu di sela-sela waktu Maghrib dan Isya’ dengan berkafankan pakaian beliau yang masih berlumuran darah. Beliau tidak dimandikan layaknya para syuhada. Beliau dikebumikan di pemakaman Hasya Kaukab di Baqi’. Sekarang tempat itu lebih dikenal dengan pemakaman Bani Umayyah. Beliau memegang tampuk kekhalifahan sekitar 12 tahun kurang 12 hari.
Saat pemakamannya, ada beberapa keajaiban yang terjadi. Seperti yang diriwayatkan Malik bin Abi ‘Amir, “Ketika umat Islam berbondong-bondong mengawal pemakaman Utsman ke Hasya Kaukab, tiba-tiba saja jenazah Utsman berkata, Memang susah saat ada orang saleh yang mati dan dikebumikan di tempat itu. Secara spontan mereka semua terkejut.
Malik menambahkan, “Khalifah Utsman bin Affan adalah orang pertama yang dikebumikan di tempat itu.”[35]
Malik juga menceritakan kepada kami detik-detik terakhir menjelang beliau dikebumikan. Ia berkata, “Saat khalifah Utsman wafat, aku adalah salah satu orang yang mengangkat beliau menuju pintu pemakaman. Karena terlalu cepat membawanya, kepalanya sampai mengenai daun pintu pemakaman. Kami takut akan terjadi sesuatu lagi pada beliau. Setelah kami menguburkannya di pemakaman Hasya Kaukab, kami meninggalkannya.”[36]
Urwah bin Zubair berkisah, “Ketika mereka mampu menahan khalifah Utsman untuk menunaikan shalat, Abu Jahm bin Hudzaifah berkata, ‘Jika kalian mencegahnya untuk menunaikan shalat, maka ia akan merasa kehilangan Rasulullah dan para malaikat.”[37]
Semoga Allah selalu mencurahkan rahmat dan meridhai Hassan bin Tsabit yang menuliskan bait-bait syair ritsâ (puisi-puisi ratapan/kesedihan) untuk khalifah Utsman bin Affan. Ia juga menuliskan bait-bait hijâ (puisi-puisi ejekan/hinaan) untuk orang yang telah menyerang lalu membunuhnya. Ia berkata dalam bait-bait syairnya:
Apa yang kalian inginkan dari saudara seagamaku?
Tangan Allah telah memberkahi sebujur tubuh itu
Kalian telah bunuh wali Allah di dalam rumahnya
Kalian juga datang dengan keinginan yang tidak diridhai
Bukankah kalian telah mendapatkan jaminan dari Allah?
Kalian juga telah berjanji sesuai perjanjian Muhamad?
Apakah kalian tidak pernah diperingatkan akan datangnya bencana yang benar-benar nyata?
Sedangkan kalian berjalan di tempat yang akan menjadi saksi dengan perbuatan kalian
Kelompok kanan (pendukung Utsman) itu tidak merasa beruntung.
Maka janganlah kalian mau melakukan baiat setelah terbunuhnya Utsman, karena ia adalah sang penunjuk arah.”[38]


[1]Hadits shahih, HR Imam al-Hakim dalam ‘Al-Mustadrak ala al-Shahîhain’, Juz III, hlm. 106.
[2] Hadits Hasan, HR Ibn Abi Syaibah dalam ‘Mushannif’, Juz IV,  hlm. 1298-1299, dan Ibn Abd al-Barr dalam ‘al-Istî’âb’, Juz II, hlm. 498.
[3] Hadits shahih, HR Ibn Asakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’ hlm. 397.
[4]Hadits hasan, HR Ibn Sa’ad  dalam ‘Tabaqât Kubrâ’, Juz III, hlm. 72-73, Ibn Asakir dalam‘Târîkh Dimasyq’, hlm. 408-410, Ibn Abi Syaibah dalam ‘Musannif’ 687-689, Juz VIII. Al-Haitsami dalam ‘Majma’ al-Zawâid’ hlm. 232. Mengenai hadits ini, saya berpendapat, “Imam Bukhari telah menetapkan keshahihan Hadits yang didengar dari khalifah Utsman ini.”  Lihat juga, Imam al-Tabrani dalam ‘al-Mu’jam al-Kabîr’, Juz IV, hlm. 371-372.
[5]Hadits shahih, HR Imam Thabari dalam ‘Târîkh al-Thabari’, Juz IV, hlm. 384, dan Ibn Syabbah dalam ‘Târîkh’, Juz IV, hlm. 1285.
[6]Imam Thabari, ‘Târîkh al-Thabari’, Juz IV, hlm. 384, Ibn ‘Asyakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’, hlm. 416, Ibn Abi Syaibah dalam ‘Mushannif’, Juz VIII, hlm. 687-689,  dan Ibn Syabbah dalam ‘Târîkh al-Madînah’, Juz IV, hlm. 1286.
[7]Imam al-Thabari, ‘Târîkh al-Thabari’, Juz IV, hlm. 384,  dan Ibn Asyakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’ hlm. 41.
[8]Hadits hasan. HR Ibn Syabbah dalam ‘Târîkh al-Madînah’, Juz IV, hlm. 1303, Ibn ‘Asyakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’ hlm 421-423,  al-Dzahaby dalam ‘Târîkh Islâm’, Juz III, hlm.  459-460, Imam Suyuti dalam ‘Târîkh al-Khulafâ’ hlm. 157-161 dan Muhib al-Thabari dalam ‘Riyâdh al-Nadrah’, Juz V, hlm. 125.
[9]Hadits hasan. HR Ibn Syabbah dalam ‘Târîkh al-Madînah’, Juz IV, hlm. 1307.
[10]Hadits hasan, HR Ibn Syabbah dalam ‘Târîkh al-Madînah’, Juz IV, hlm. 1298, Ibn Abdil Bar dalam ‘al-Istî’âb’, Juz III, hlm. 1046 dan Ibn ‘Asakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’ hlm. 412.
[11]Hadits shahih, HR Khalifah bin Khiyat dalam ‘Târîkh’, Juz I, hlm. 175, Ibn Asyakir dalam ‘Târîkh’ hlm. 413.
[12] Hadits shahih, HR Khalifah dalam ‘Târîkh’, Juz IV, hlm. 175 dan Ibn Asyakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’ hlm. 418.
[13]Isnad hadits ini shahih. HR. Abu Zar’ah dalam ‘Târîkh Abî Zar’ah al-Dimasyqi’, Juz I, hlm. 187, dan Ibn Asyakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’ hlm. 417.
[14]Hadits shahih, HR. Ibn Syabbah dalam ‘Târîkh al-Madînah’, Juz IV, hlm.1231.
[15]Imam al-Thabari dalam ‘Târîkh al-Thabari’, Juz IV, hlm. 384.
[16]Imam al-Tabari dalam‘Târîkh al-Thabari’, Juz IV, hlm. 392-393, Ibnu Asakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’ hlm. 416 dan 446-447.
[17]Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât Kubrâ’, Juz III, hlm. 80. Ibn Asakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’ hlm. 457, Ibn Abi Syaibah dalam ‘Musannif’, Juz, VII, hlm. 488 dan Juz VIII, hlm. 585, dan Abu Na’im dalam ‘Tatsbît al-Imâmah’ hlm. 151, serta Imam Tabrani dalam  ‘al-Mujtama’, Juz IX. hlm. 97.
[18]Ibn Asyakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’ hlm. 460-461 dan Ibn Abi Syaibah dalam ‘Musannif’, Juz, VIII, hlm. 684.
[19] Ibn Abi Syaibah dalam ‘Musannif’, Juz VIII, hlm. 488, Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât Kubrâ’, Juz III, hlm. 80, Ibn Asyakir dalam ‘Târîkh Dimasyq hlm. 491 dan Ibn Syabbah dalam ‘Târîkh al-Madînah’, Juz IV, hlm. 1273.
[20]Hadits shahih, HR Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât Kubrâ’, Juz III. hlm. 81, dan Ibn Asyakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’ hlm. 491.
[21]Hadits Hasan. HR Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât Kubrâ’, Juz III, hlm. 80, dan Ibn Abi Syaibah dalam ‘Musannif’, Juz VII, hlm. 490.
[22] Hadits shahih, HR Abdul al-Raziq dalam ‘Mushannif’ no. 20972 dan Ibn Syabbah dalam ‘Târîkh al-Madînah’, Juz IV, hlm. 1267.
[23]Hadits shahih, HR Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât Kubrâ’, Juz III, hlm. 81 dan Ibn Abi Syaibah dalam ‘Musannif’, Juz VII. hlm. 491.
[24]Hadits shahih, HR Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât Kubrâ’, Juz III, hlm. 8 dan Ibn ‘Asyakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’ hlm. 490.
[25]Hadits shahih, HR Ibn Asyakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’ hlm. 466-467.
[26]Hadits hasan, HR Ibn Asyakir dalam ‘‘Târîkh Dimasyq’ hlm. 490.
[27]Hadits shahih, HR Abdul al-Raziq dalam ‘Mushannif’ no. 20973 dan Ibn Asyakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’ hlm. 501.
[28]Hadits shahih, HR Abdul Raziq dalam ‘Tafsîr Abdul Râziq’ hlm. 2629. Juga disebutkan oleh Abd bin Hamid, Ibn Jarir dan Ibn Asyakir seperti yang tertera dalam ‘al-Dur al-Mantsûr’, Juz V, hlm. 327, Ibn Syabbah dalam ‘Târîkh al-Madînah’ hlm. 1294 dan Ibn Asyakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’ hlm. 502.
[29]Hadits shahih, HR Al-Fasawi dalam ‘al-Ma’rifatu wa al-Târîkh’, Juz II, hlm. 557 dan Ibn Asyakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’ hlm. 510-511.
[30]Hadits shahih, HR Ibn Syabbah dalam ‘Târîkh al-Madînah’, Juz IV, hlm. 1270-1271.
[31]Ibid.
[32]Hadits shahih, HR Ibn Syabbah dalam ‘Târîkh al-Madînah’, Juz IV, hlm. 1271.
[33]Hadits hasan, HR Ibn Syabbah dalam ‘Târîkh al-Madînah’, Juz IV, hlm. 1270-1271.
[34]Imam Thabari,‘Târîkh al-Tabhari’, Juz IV, hlm. 416-417, Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqat Kubrâ’, Juz III, hlm. 77 dan ‘Târîkh al-Islâm’, Juz III, hlm. 481, Khalifah bin Khiyat dalam ‘Târîkh’ hlm. 177, Imam Ahmad dalam ‘Musnad Ahmad’ hlm. 4.
[35]Isnad hadits ini tidak dipermasalahkan. HR Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqat Kubrâ’, Juz III, hlm. 77 dan Ibn ‘Asyakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’ hlm. 543.
[36]Isnad hadits ini juga tidak bermasalah. HR Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqat Kubrâ’, Juz III, hlm. 79 dan Ibn Asyakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’ hlm.539 & 542.
[37]Hadits shahih, HR Ibn Asyakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’ hlm. 542, Ibn Syabbah dalam ‘Târîkh al-Madînah’, Juz IV, hlm. 1306.
[38]Lihat bait-bait syairnya dalam ‘Dîwân Hassan’, Juz I, hlm. 320 dan dalam ‘al-Istî’âb’, Juz III, hlm. 1050, serta Ibn Asyakir, ‘Târîkh Dimasyq’ hlm. 545.

No comments:

Post a Comment