Sebagian
dari mereka itu adalah Abdullah bin Umar, Hasan bin Ali, dan Abdullah
bin Zubair. Para sahabat itu juga bersenjata lengkap. Sementara sebagian sahabat
yang lain berjaga keluar-masuk rumah khalifah Utsman secara bergantian. Sahabat lain yang masih ada keluar dan tidak
kembali karena terluka anak panah atau lemparan batu dari musuh.
Mengenai
keadaan ini, Hasan al-Basri bercerita, “Hasan bin
Ali adalah orang terakhir yang keluar demi melindungi khalifah Utsman.”[1]
Kinanah, budak Shafiyah, juga berkata, “Aku keluar dari
rumah bersama empat pemuda Quraisy berurutan dan
membawa perlengkapan masing-masing. Mereka semua tahu tentang keadaan khalifah
Utsman bin Affan. Keempat pemuda tersebut adalah Hasan bin Ali, Abdullah bin
Zubair, Muhamad bin Hatib dan Marwan bin al-Hakam.”[2]
Kinanah
mengatakan lagi, “Aku adalah orang yang membawa Hasan bin Ali saat terluka dari
rumah khalifah Utsman.”[3]
Seperti
inilah gambaran mereka yang suka menyebar fitnah, mereka yang fasiq, serta mereka
yang senang berbuat keburukan. Mereka semua ingin merebut kursi kekhalifahan
dengan cara melukai para sahabat yang berada di sekitar khalifah Utsman. Sampai
tidak tersisa di rumah itu kecuali beliau sendiri, istri, dan beberapa hamba
sahayanya.
Semoga
aku dapat mempercayai cerita tentang detik-detik terakhir yang mengerikan dalam
kehidupan Amirul Mukminin yang bergelar Dzunnurain ini. Cerita ini diriwayatkan
oleh Watsab, seorang hamba sahaya milik khalifah Utsman.
Hasan
al-Basri bertutur, “Watsab
telah memberitahuku bahwa dirinya adalah orang yang tahu cara membebaskan Amirul
Mukminin. Dia berkata, saat itu khalifah Utsman berada di hadapanku. Aku
melihat dua bekas tusukan di leher beliau. Di mana tusukan itu didapatnya pada hari
pengepungan di rumahnya.”
Watsab
melanjutkan, “Khalifah Utsman kemudian mengutusku untuk memanggil Asytar. Maka
datanglah dia ke hadapan beliau. Dan aku langsung memberikan tempat duduk
kepada mereka berdua. Khalifah Utsman lalu bertanya pada Asytar, ‘Apa yang
orang-orang itu inginkan wahai Asytar?’ Asytar menjawab, ‘Mereka menginginkan dua
hal yang tidak bisa engkau lakukan wahai Amirul Mukminin.’ ‘Apa itu?’ tanya
beliau. Asytar lalu menjawab, ‘Mereka memintamu supaya engkau melepaskan kursi kekhalifahan.
Dan pastinya engkau akan berpikir bahwa kekhalifahan ini adalah tujuan
mereka. Engkau juga akan berkata pada mereka supaya mereka memilih pemimpin di antara mereka sendiri. Yang kedua, mereka memintamu untuk memotong
bagian tubuhmu sendiri. Jika engkau menolak kedua permintaan itu, maka mereka
akan membunuhmu.’ Utsman berkata pada Watsab, ‘Permintaan
mana yang lebih dulu harus aku turuti?’ Ia menjawab, ‘Tidak ada wahai Amirul Mukminin.’
Utsman berkata lagi, ‘Jika disuruh memilih, maka aku akan lebih memilih untuk melepaskan
kursi kekhalifahanku’.”
Dalam
riwayat lain disebutkan bahwa khalifah Utsman berkata, “Demi Allah, aku
bersumpah! Aku akan tetap maju walau kalian akan menebas leherku. Aku lebih
rela kalian menebas leherku daripada aku membiarkan umat Muhamad ini
tercerai-berai. Jika aku harus memotong bagian tubuhku, sungguh aku sangat tahu
bagaimana kedua sahabatku meninggal (Abu Bakar dan Umar). Mereka berdua dan
para sahabat yang saleh lah yang menjadikanku sebagai
khalifah. Mereka tidak pernah menerima perlakuan seperti ini sampai meninggal.
Sedangkan permintaan kalian yang ingin membunuhku, sungguh bila kalian sampai membunuhku, maka di antara kalian tidak akan ada rasa saling mencintai selamanya. Kalian
tidak akan pernah shalat lagi secara berjamaah selamanya. Dan, kalian tidak
akan bersama lagi saat kalian bertempur melawan musuh.”
Watsab
melanjutkan ceritanya, “Khalifah Utsman kemudian berdiri dan beranjak
meninggalkan tempatnya. Kami tinggal sejenak dan kami berdoa semoga musuh-musuh
ini cepat pergi dengan membuka blokade. Lalu tiba-tiba datang seorang pemuda
bermuka garang seperti serigala. Pemuda itu keluar-masuk rumah khalifah Utsman. Setelah itu, datanglah Muhamad bin Abu
Bakar disertai dengan 13 prajurit menemui khalifah Utsman. Dengan kedatangan
mereka, beliau tiba-tiba memegangi jenggotnya sendiri dan kemudian memotongnya.
Karena kuatnya menahan emosi, terdengarlah suara gesekan gigi geraham beliau
dan kemudian beliau berkata, ‘Bukankah cukup Mu’awiyah untuk kalian? Bukankah
cukup Ibn Amir untuk kalian? Bukankah cukup kitab suci al-Qur’an untuk kalian?’
Beliau lalu melanjutkan, ‘peganglah jenggotku ini wahai puta saudaraku, peganglah
jenggotku ini wahai putra saudaraku!’”
Watsab berkata lagi, “Aku melihat khalifah Utsman meminta tolong kepada salah
seorang dari 13 prajurit itu. Prajurit itu kemudian mendekatinya. Tetapi
prajurit itu justru menancapkan anak panah ke kepala khalifah Utsman sehingga
beliau merasa kesakitan. Setelah melukai bagian kepala khalifah, prajurit itu berkata, ‘Mau
yang mana lagi?’ Khalifah Utsman pun berkata pada mereka, ‘Berkumpullah kalian! Tolong-menolonglah kalian antar-sesama.’ Beliau terus mengucapkan kalimat itu
hingga mereka membunuhnya.”[4]
Abu
Mu’tamar menceritakan kabar dari Hasan bahwa Muhamad bin Abu Bakar datang
kepada Sayyidina Utsman untuk memotong
jenggot beliau. Lalu Utsman berkata kepada Muhamad, “Engkau telah mengambil tempat dariku dan engkau juga telah duduk di
tempat dudukku. Ketahuilah! Kedua tempat itu dulu pernah dipakai
ayahmu, Abu Bakar.’ Setelah itu, tiba-tiba Muhamad keluar dan meninggalkan
Utsman tanpa sepatah kata.”
Abu Mu’tamar berkata lagi, “Ada seseorang yang datang menemui Utsman yang
biasa disebut sebagai al-Maut al-Aswad. Orang itu tiba-tiba mencekik
beliau dengan kuat. Setelah itu, ia keluar dan berkata, ‘Sungguh, aku tidak merasakan
apapun yang lebih lembut dari lehernya. Aku telah mencekiknya. Saat itu aku seperti
melihat ruhnya seakan-akan berada di antara hendak keluar atau tidak dari dalam
tubuhnya’.”[5]
Pun Abu Sa’id, budak Abu Asyad, bertutur, “Ketika itu khalifah Utsman
membuka pintu dengan meletakkan mushaf al-Qur’an di antara kedua tangannya. Tiba-tiba
ada seseorang yang menerobos masuk ke dalam rumahnya. Beliau kemudian berkata
pada orang asing itu, ‘Di antara kita terdapat mushaf al-Qur’an
al-Karim’. Kemudian orang itu berlalu begitu saja meninggalkan Utsman. Setelah
itu, datang seorang lagi. Beliau kemudian mengatakan hal yang sama seperti
yang dikatakannya kepada orang pertama. Akan tetapi, secara tiba-tiba saja orang
itu langsung mengancungkan pedangnya ke khalifah Utsman. Beliau secara refleks menangkis
dengan tangannya. Maka putuslah tangan beliau. Namun aku tidak tahu persisnya,
apakah pedang itu mengenai tangan beliau hingga menyebabkan tangannya putus
atau menebasnya saja.”
Abu
Sa’id bercerita, “Sungguh tangan khalifah Utsman itu adalah tangan pertama yang digunakan
untuk menuliskan ayat-ayat suci al-Qur’an.”[6]
Dalam
riwayat lain, Abu Sa’id menuturkan, “Pada saat orang-orang
Mesir datang pada Utsman, beliau sedang membawa mushaf al-Qur’an. Tak
diduga-duga, mereka secara serentak langsung menebas tangan Utsman. Maka mengalirlah
darah dari tangan beliau dan mengenai ayat al-Qur’an yang berbunyi: [7]
“Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah [2]:137).
Ibn Sihabuddin al-Zuhri juga bercerita, “Aku
bertanya kepada Sa’id bin Musayyab, apakah dia tahu bagaimana khalifah Utsman
terbunuh? Bagaimana keadaannya dan keadaan umat Islam saat itu? Mengapa para
sahabat mengkhianatinya?”
Ibn al-Musayyab menjawab, “Utsman dibunuh secara
dhalim. Pembunuhnya adalah benar-benar orang yang dhalim. Akan tetapi orang
yang mengkhianatinya telah dimaafkan.”
Ibn Sihabuddin al-Zuhri menambahkan, “Telah sampai kepada kami suatu cerita
panjang mengenai khalifah Utsman. Namun, cerita ini tidak berurutan
kecuali bagian yang menceritakan tentang pembunuhan Sayyidina Utsman.”
Said bercerita, “Sayidina Ali bin Abi Thalib berkata kepada kedua anaknya,
Hasan dan Husein, ‘Pergilah kalian berdua dan berdirilah di depan pintu rumah khalifah
Utsman untuk berjaga-jaga. Janganlah sekali-kali kalian biarkan siapapun
mendekatinya.’ Mendengar kedua cucu Rasulullah diutus ayahnya, Zubair dan
Thalhah akhirnya juga mengutus anak-anak mereka. Setelah itu, tiba-tiba mereka
yang berkhianat mulai menghujani rumah khalifah Utsman dengan anak panah. Hingga
tubuh Hasan yang menjaga rumah sang khalifah berlumuran darah. Beberapa pelindung Utsman pun ikut terluka, seperti Marwan dan Muhamad
bin Thalhah yang berlumuran darah terkena panah, dan salah seorang hamba sahaya
milik Sayidina Ali ikut terkena senjata tajam hingga mengakibatkan luka di
bagian kepalanya.’
Melihat
apa yang menimpa Hasan dan Husein, Muhamad bin Abu Bakar takut akan kemarahan
keluarga Bani Hasyim. Ia khawatir fitnah akan menyebar ke mana-mana. Tanpa pikir panjang, Muhamad bin Abu Bakar akhirnya
menarik kedua pengikutnya dan berkata pada mereka, ‘Jika datang orang-orang Bani Hasyim dan melihat darah mengalir dari
wajah Hasan, mereka akan membubarkan para pengkhianat itu dari rumah khalifah Utsman.
Kalau ini sampai terjadi, akan gagal apa yang kita
rencanakan.’ Mari kita pergi saja dari sini. Setelah itu, kita masuk rumah
Utsman melalui atap sehingga kita dengan leluasa membunuhnya tanpa ada seorang
pun yang tahu.’
Sebelum masuk ke dalam rumah khalifah Utsman, mereka terlebih dulu memanjat
rumah salah seorang dari golongan Anshar. Setelah
melewati beberapa rumah, barulah mereka sampai di rumah beliau. Tidak ada seorangpun yang tahu siapa saja yang sedang mengincar
beliau. Sebab mereka berada di atas atap rumah. Dan tidak ada seorangpun yang
menemani beliau selain hanya istrinya.
Muhamad
bin Abu Bakar lalu bilang kepada pengikutnya, ‘Tetaplah
di tempat kalian, aku yang akan memulai masuk ke dalam rumah Utsman. Jika nanti
aku sudah menangkapnya, masuklah kalian dan tebaslah lehernya.’ Lalu masuklah Muhamad dengan menangkap beliau lantas memotong jenggotnya. Ia berkata pada Sayyidina Utsman, ‘Sungguh jika ayahmu melihatmu, ia
akan merasa kasihan dengan keadaanmu sekarang ini.’
Lalu
Muhamad agak mengendurkan tangannya. Pengikutnya kemudian masuk ke dalam rumah khalifah Utsman dengan membawa pedang. Mereka langsung
mengibaskan pedangnya ke tubuhnya hingga beliau terbunuh. Mereka lantas lari keluar rumah beliau tetapi kemudian mereka masuk lagi ke dalam
rumah. Melihat peristiwa itu, istri Utsman teriak histeris. Akan tetapi
teriakannya terhalang oleh suara gaduh
yang mengitari rumahnya.
Istri
Utsman selanjutnya keluar rumah dan berteriak secara kencang, ‘Amirul Mukminin telah terbunuh.’ Sesegera mungkin Hasan dan Husein masuk ke dalam beserta
pengikutnya. Mereka mendapati beliau telah terbunuh. Mereka berkabung dan
menangisi kematiannya. Merekapun akhirnya keluar. Di saat mereka keluar, datang
lagi segerombolan orang yang ingin melihat tubuh khalifah Utsman yang sudah terbujur
kaku.
Kabar
ini akhirnya sampai kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Thalhah,
Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqas dan beberapa sahabat yang ada di sekitar mereka di kota Madinah. Mereka keluar guna mendatangi
asal-muasal berita itu. Mereka memasuki rumah beliau dan mendapati tubuhnya
tanpa nyawa. Setelah menyaksikan sendiri, mereka akhirnya kembali ke rumah
masing-masing.
Sesudah
melihat tubuh khalifah Utsman yang sudah terbujur kaku, khalifah Ali bertanya
pada kedua putranya, ‘Bagaimana mungkin Amirul Mukminin
terbunuh sedangkan kalian berada di depan pintu rumahnya?’ Ali mengangkat tangannya seraya menampar wajah Hasan dan kemudian
memukul dada Husein. Beliau lalu keluar rumah dalam keadaan marah seraya mencaci-maki Muhamad bin Thalhah dan melaknat
Abdullah bin Zubair.
Beliau
kemudian bertemu dengan Thalhah. Dan Thalhah menegurnya, ‘Apa yang terjadi wahai Ali? Kenapa engkau
sampai tega menampar putra-putramu sendiri, Hasan dan Husein?’
Sayyidina Ali menjawab, ‘Semoga engkau dan mereka berdua dilaknat oleh Allah
SWT. Para pengkhianat itu telah membunuh Amirul Mukminin, salah satu sahabat
Rasulullah yang ikut andil dalam perang Badar. Mereka tidak punya bukti yang
jelas untuk membunuhnya.’
Setelah melihat gerak-gerik Thalhah, Sayyidina Ali tahu bahwa ia ikut
andil dalam menggeser kedudukan khalifah Utsman. Thalhah berkata, ‘Jika Marwan
itu melindungi khalifah Utsman, maka ia tidak akan terbunuh.’ Beliau menjawab, ‘Jika
aku keluarkan dia dari kalian, pasti ia akan terbunuh sebelum ia diadili.’
Sayyidina
Ali kemudian berbalik dan pulang ke rumahnya. Tiba-tiba ada sekumpulan orang datang
kepada beliau dengan tangisan histeris. Mereka adalah para sahabat Rasulullah
beserta pengikutnya. Mereka berkata kepada beliau, ‘Wahai Amirul Mukminin.’ Mereka lalu masuk ke rumah Ali.
Mereka melanjutkan, ‘Kami akan membaitmu sebagai
khalifah. Ulurkanlah tanganmu!’ Beliau menjawab, ‘Bukan kalian yang menentukan perkara ini, tetapi mereka para sahabat
yang ikut andil dalam perang Badar. Karena siapa saja yang diridhai oleh mereka
yang ikut andil dalam perang Badar, maka ia akan terpilih sebagai khalifah.’
Di tempat itu, tidak ada seorang pun di antara mereka yang ikut andil perang
Badar kecuali Sayyidina Ali sendiri. Mereka lalu berkata, ‘Kami tidak melihat
salah seorang pun yang lebih berhak dengan kekhalifahan ini selain engkau wahai
Ali. Ulurkanlah tanganmu, kami akan membaitmu.’ Kemudian Ali bertanya, ‘Di mana Thalhah dan Zubair?’
Sebenarnya, sahabat yang pertama kali membaiat Ali adalah Thalhah yang
kemudian disusul dengan Sa’ad. Dalam sebuah riwayat, ketika Sayyidina Ali
melihat mereka berdua, beliau langsung keluar menuju masjid dan naik ke atas
mimbar. Thalhah pun mengikutinya dari belakang. Ia lantas membaiat beliau
dengan mengangkat tangannya yang kemudian diikuti Zubair dan Sa’ad serta para
sahabat-sahabat yang lain. Beliau lalu turun dari mimbar dan berkhutbah di
hadapan pendukungnya. Beliau memanggil Marwan, tetapi ia malah lari. Beliau juga
memanggil salah seorang anak Marwan dan anak keturunan Abi Mu’id, namun mereka juga
melarikan diri.
Selanjutnya, Ummul Mukminîn Aisyah r.a. keluar dari rumahnya dalam keadaan
menangis seraya berkata, “Utsman telah terbunuh.. Utsman telah terbunuh.”
Sayyidina Ali lalu mendatangi istri Utsman dan bertanya, “Siapa yang telah
membunuh Utsman?”
Ia menjawab, “Aku tidak tahu, yang pasti ada dua orang yang tidak aku kenali
wajahnya. Mereka ditemani Muhamad bin Abu Bakar.” Ia kemudian menceritakan apa
yang dilakukan Muhamad bin Abu Bakar di dalam rumahnya pada Sayyidina Ali dan para
sahabat yang berada di tempat itu.
Sayyidina
Ali kemudian memanggil putra Abu Bakar. Ia bertanya kepadanya perihal apa yang
dikabarkan istri khalifah Utsman. Muhamad menjawab, “Dia tidak berbohong. Aku
memang masuk ke dalam rumahnya dan ingin membunuhnya. Tiba-tiba saja aku
teringat dengan alhmarhum ayahku. Aku pun
lantas menjauh darinya dan bertaubat kepada Allah. Aku berani bersumpah bahwa
aku tidak membunuhnya. Aku juga tidak sedikit pun menyentuhnya.”
Istri khlalifah Utsman tiba-tiba menimpali, “Memang benar apa yang dikatakannya,
tapi setelah itu dia memasukkan dua orang untuk membunuh suamiku.”[8]
Jabir
bin Abdullah juga berkisah tentang peristiwa pembunuhan khalifah Utsman. Ia mengatakan,
“Ada sekolompok golongan yang datang mengelilingi beliau. Salah seorang dari
kaum Habsyi mendatangi Utsman kemudian tiba-tiba menusukkan belati ke dada
kanannya. Saat itu, beliau sedang membawa mushaf al-Qur’an. Beliau terlihat sudah
renta saat itu. Beliau kemudian terjatuh dan wafat.”[9]
Abu
al-Jarrah, hamba sahaya Ummu Habibah, meriwayatkan pula, “Saat itu aku sedang bersama khalifah Utsman di rumahnya, aku
tidak merasakan apa-apa. Tiba-tiba saja Muhamad bin Abu Bakar muncul. Dalam
situasi itu kita sepakat untuk berdamai. Lalu masuklah
beberapa orang setelah itu melalui langit-langit atap rumah. Mereka
membawa tali yang biasa digunakan untuk pagar rumah dan sebilah pedang. Aku
buang pedangku dan duduk bersama beliau. Aku dengar suara mereka. Tiba-tiba
saja aku melihat Sayyidina Utsman membawa mushaf
al-Qur’an yang sudah terkena percikan darah. Dan saat itu aku juga melihat Nailah
binti al-Farafishah yang kelihatan rambutnya.” Sayyidina Utsman berkata padanya,
‘Ambillah kerudungmu! Sungguh kehormatan rambutmu lebih tinggi
dibandingkan keberadaan mereka di sini.’ Kemudian salah seorang di antara mereka mencoba mengancungkan pedang lagi ke muka khalifah
Utsman. Beliau kemudian mencoba menghalanginya. Saat mencoba menghalangi, orang
itu malah memotong kedua jari beliau. Mereka ramai-ramai membunuhnya dan keluar
dengan perasaan sombong. Kemudian Muhamad bin Abu Bakar mendekatiku dan berkata,
‘Kenapa kamu ini, wahai budak Ummu Habibah?’ Setelah itu, mereka berlalu dan pergi.”
Kinanah, hamba sahaya Shafiyah binti Hayya, juga meriwayatkan, “Saat itu
aku melihat peristiwa pembunuhan khalifah Utsman, aku keluar dari rumah beliau.
Di depanku ada empat pemuda Quraisy dengan membawa pedang yang sudah berlumuran
darah. Mereka adalah orang-orang yang melindungi Utsman. Di antaranya Hasan bin
Ali, Abdullah bin Zubair, Muhamad bin Khatib dan Marwan bin al-Hakam.”
Muhamad bin Thalhah berkata, “Aku bertanya pada Kinanah, Apakah Muhamad
bin Abu Bakar terkena percikan darah khalifah Utsman?”
Ia menjawab,
“Aku berlindung kepada Allah SWT. Jika demikian, ia termasuk orang
yang bersekongkol dalam pembunuhan khalifah Utsman.”
Kemudian khalifah Utsman berkata kepada Muhamad bin Abu Bakar, “Wahai anak
saudaraku, engkau bukan temanku.” Lalu Utsman berbicara sebentar dengannya. Lantas
Muhamad pun keluar dari rumahnya tanpa ada percikan darah yang mengenainya.
Aku tanya pada Kinanah, “Kalau begitu, siapa yang membunuhnya?” Ia menjawab,
“Orang dari negeri Mesir bernama Jablah bin al-Aiham. Setelah membunuh khalifah
Ustman ia kemudian mengelilingi kota Madinah sebanyak tiga kali dengan berteriak,
‘Aku telah membunuh Amîrul Mukminîn’.”
Kemudian aku bertanya lagi, “Ali di mana waktu itu?” Kinanah menjawab, “Ia berada
di rumahnya.”[10]
Dalam riwayat lain yang lebih shahih sanadnya, Muhamad bin Thalhah bertutur,
“Siapa yang membunuh khalifah Utsman?” Kinanah menjawab, “Orang yang berasal
dari Mesir. Ia disebut dengan keledai (sebutan bagi orang yang mengerjakan
pekerjaan dengan bodoh).”[11]
Pada kisah lain yang diceritakan oleh Kinanah, “Aku melihat pembunuh khalifah
Utsman. Ia adalah seorang kulit hitam yang berasal dari Mesir. Saat itu,
setelah ia membunuh khalifah Utsman di dalam rumahnya, ia mengangkat tangannya
dan berkata, ‘Akulah pembunuh khalifah Utsman’.”
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Syaqiq dan Qatadah, mereka mengatakan,
“Orang yang membunuh Utsman adalah orang
yang berdarah Romawi-Yaman. Ia berasal dari kabilah Bani Asad bin Khuzaimah.”[12]
Abdullah bin al-‘Abatsi juga bercerita, “Orang yang telah membunuhnya
adalah Saudan bin Ruman al-Muradi.”[13]
Tidak
ada keterangan yang tegas dalam hal konspirasi
pembunuhan khalifah Utsman ini. Siapa pun itu mereka telah berani mengoyak
kehormatan beliau, rumahnya dan keluarganya. Mereka ini seperti kaum Khawarij yang
memberontak terhadap kekhalifahan umat Islam yang sudah mapan. Mereka ini
termasuk golongan orang-orang fasiq yang gemar melakukan perbuatan-perbuatan
buruk.
Hasan
al-Basri berkata, “Jagalah barang-barang yang ditinggalkannya (Utsman bin
Affan)!” Tetapi di antara mereka ada yang berkata, “Boleh
membunuhnya, tapi tidak boleh mengambil hartanya.”
Semoga
Allah melaknat mereka dan mempersiapkan adzab yang pedih buat mereka.
Dikisahkan Abu Sa’id, hamba sahaya Abi Asyad, ia berkata, “Ketika mereka selesai
membunuh Utsman, mereka lantas pergi bersama-sama ke Tabuk dengan membawa
buah-buahan dan madu. Di sana mereka berpesta ria tanpa merasa dosa.”[14]
Hamid
bin Hilal juga mengatakan, “Istri Utsman bin Affan betul-betul berkabung saat
itu.” Di situasi demikian itu, di antara
mereka ada yang berujar, “Betapa besar
bokong istri Utsman itu?”[15]
Beginilah sifat dan perbuatan buruk yang mereka lakukan. Mereka tak merasa malu
menampakkan hawa nafsunya. Sangat terlihat aib mereka, terutama dalam perkataan.
Mereka juga mengambil apa saja yang mereka lihat --termasuk harta, pakaian dan lain sebagainya.
Mughirah
bin Syu’bah mengutarakan,
“Seorang yang bernama Tajibi datang dengan mengacungkan pedangnya untuk merobek
perut Utsman. Ketika bertemu Utsman, ia langsung menebas tangan beliau dan menancapkan
sebilah pedang di dadanya.”
Beliau
terbunuh menjelang shalat Maghrib. Salah seorang pengikutnya berkata,
“Sungguh, darah beliau tidak dihalalkan untuk dibunuh. Begitu pula dengan hartanya tidak halal untuk diambil. Awas, jangan ada satu pun di antara kalian yang mengambil barang-barang milik khalifah Utsman.” Mereka
lalu saling memberitahu dengan berteriak, “Ada harta… ada harta…”
Mereka
kemudian berbondong-bondong menghampiri Baitul Mal. Karena didatangi banyak
orang, kedua penjaga Baitul Mal itu tak berdaya menahannya dan akhirnya
menyerahkan kunci Baitul Mal kepada mereka. Para penjaga itu teriak, “Lari….
Lari… harta ini yang diinginkan oleh mereka.”[16]
Besarnya Petaka Pembunuhan Khalifah Utsman
Saat
situasi genting tengah menyelimuti pemerintahan khalifah Utsman, para sahabat sudah merasa akan
timbul suatu petaka yang lebih besar. Mereka sadar bahaya teror dan ancaman yang
dihembuskan oleh kaum munafik untuk menggoyahkan stabilitas pemerintahan.
Terlebih teror itu telah berhasil merusak kehormatan sang khalifah. Sebagian
sahabat pun terpengaruh oleh teror ini sampai-sampai
mereka saling tuduh-menuduh satu sama lain.
Untuk
mengatasi hal ini, Ibn Abbas kemudian berkhutbah di hadapan kaum Muslimin, “Kalau ada sekelompok orang berkonspirasi ingin membunuh Sayyidina Utsman, maka Allah akan melempari mereka dengan batu
jahanam, seperti Allah melempari kaum Nabi Luth yang mengerikan itu.”[17]
Abu
Ja’far al-Anshari menceritakan, “Ketika Sayyidina Ali masuk ke dalam rumah khalifah
Utsman, aku berlari cepat menuju rumah khalifah. Aku lalu melewati masjid. Di situ
aku melihat seorang lelaki yang sedang duduk di bawah bayang-bayang seseorang
seperti bayangan perempuan. Ia memakai surban hitam dan di sekitarnya ada
sepuluh wanita. Ternyata setelah aku amati secara seksama, orang tersebut tidak
lain adalah Sayidina Ali bin Abi Thalib. Dia tiba-tiba
mendatangiku dan bertanya padaku, ‘Apa yang terjadi dengan khalifah Utsman?’ Aku menjawab, ‘Beliau telah dibunuh.’ Maka ia pun berkata, ‘Mereka yang membunuhnya akan celaka
seumur hidup’.”[18]
Abu
Qilabah al-Jarmi meriwayatkan pula, “Ketika Tsamamah bin Adi sampai ke
Madinah, khalifah Utsman telah terbunuh. Tsamamah merupakan Gubernur di kota
San’a. Ia datang bersama para sahabat lain. Mendengar berita terbunuhnya sang
khalifah, ia langsung menangis sejadi-jadinya. Ia kemudian berkata, ‘Beginilah situasinya jika amanat kekhalifahan Rasulullah Saw dicabut
dari umat Muhamad secara paksa. Mereka menjadi penguasa dan pemaksa. Ketika mereka
merasa kuat, mereka akan mengambilnya dengan segala cara’.”[19]
Menyikapi
peristiwa ini, Abu Hamid al-Sa’idy, salah satu sahabat yang ikut andil dalam
perang Badar, berdoa:
الَّلهُمَّ لَكَ عَلَيَّ أَفْعَلُ كَذَا, وَلَا أَفْعَلُ كَذَا, وَ أَنْ لَا أَضْحَكُ
حَتَّي أَلْقَاكَ
“Ya Allah, jauhkanlah aku dari mengerjakan ini dan itu. Dan jangan Engkau
buat aku ketawa sampai aku bertemu dengan-Mu.”[20]
Abdullah bin ‘Akim juga bertutur, “Seumur
hidupku, aku tidak mau menyaksikan lagi pembunuhan terhadap sang khalifah
setelah khalifah Utsman.” Lalu tiba-tiba ada salah seorang berkata padanya, “Wahai
Abu Ma’bad, apakah kamu juga ikut andil dalam konspirasi pembunuhan khalifah
Utsman?” Abu Ma’bad menjawab, “Sungguh, aku tidak sudi mengingat keburukan masa lalu yang
menyebabkannya terbunuh.”[21]
Pun Sayyidina Ali r.a. berucap, “Aku berani bersumpah, sungguh aku tidak
membunuh khalifah Utsman ataupun menyuruh salah seorang untuk membunuhnya. Tapi
aku telah menyelidiki siapa yang membunuh beliau.”[22]
Abu Shalih berkata, “Abu Hurairah menangis ketika mengingat kembali tragedi
yang menimpa khalifah Utsman.” Ia berkata, ‘Aku seperti mendengar beliau
mengucapkan, ‘Haa.. Haa..’ Seperti suara orang menghirup nafasnya dengan kuat.”[23] Aku juga mendengar Abdullah bin Salam berkata pada hari wafatnya khalifah
Utsman, ‘Sungguh kalian sekali-kali tidak akan
menumpahkan gelas berisi darah melainkan kalian hanya akan bertambah jauh dari
Allah’.”[24]
Ibn Laila menceritakan, “Aku melihat Sayyidina Ali duduk di atas bebatuan Zait seraya
mengangkat tangan dan menengadahkan kepalanya sambil berdoa, ‘Ya Allah, bebaskanlah aku dari perkara khalifah
Utsman’.”
Salim, ayahnya al-Ja’di, menuturkan, “Saat itu aku duduk bersama Muhamad bin Hanafiah beserta kelompoknya. Mereka
mencoba mengingat-ingat kembali tragedi khalifah Utsman itu. Tetapi, setelah Muhamad
tahu bahwa mereka membincangkan hal itu, ia langsung melarang mereka mengingat-ingat
tragedi itu. Lalu ia berkata pada mereka, ‘Cukuplah kalian membicarakan kembali orang
ini.’ Lalu kami berjumpa lagi di lain hari. Muhamad mendapati mereka lebih
banyak membicarakan tragedi itu dibanding hari sebelumnya. Maka ia langsung
menegur mereka dengan berkata, ‘Bukankah aku telah melarang kalian
membicarakan orang ini?’”
Pada
perkumpulan selanjutnya, Ibn Abbas turut serta duduk bersama mereka. Muhamad berkata
padanya, ’Wahai Ibn Abbas, apakah engkau ingat peristiwa Jamal di sore hari itu?
Di mana saat itu aku berada di samping kanan Sayyidina
Ali dengan membawa bendera. Sedangkan engkau berada di samping kirinya. Saat bersama kami, Sayyidina Ali mendengar suara keras dari kandang unta. Beliau lalu mengirim
utusan.’ Setelah melihat ke tempat kejadian, utusan itu kembali dan mengatakan,
‘Suara itu berasal dari suara Sayyidah Aisyah yang berteriak seraya
melaknat pembunuhan khalifah Utsman. Maka Ali r.a. pun berkata, ‘Aku juga melaknat pembunuhan yang terjadi pada khalifah Utsman di semenanjung
dataran dan pegunungan Jazirah Arab.’ Salim lalu mengakhiri ceritanya, “Ibn Abbas pun
kemudian mempercayai apa yang dikatakan Sayyidina Ali.”
Kemudian Ibn Hanafiah menemui Ibn Abbas dan kami, ia berkata, “Apakah aku
dan Ibn Abbas bisa dijadikan sebagai saksi yang adil?” Kami menjawab, “Ya.”
Setelah itu, ia berkata, “Sudah seharusnya seperti itu.”[25]
Jundub al-Khair juga mengatakan, Hudzaifah mendatangi kami saat ada
beberapa orang Mesir yang menemui khalifah Utsman. Kami berkata, “Sungguh
orang-orang ini akan bertemu dengan khalifah, apa pendapatmu?” Hudzaifah menjawab,
“Demi Allah, mereka akan membunuhnya.”
Kami bertanya, “Setelah itu, di mana tempat beliau nantinya?” Ia menjawab, “Di dalam surga.” Kami bertanya lagi, “Dan di mana
tempat para pembunuhnya?” Ia menjawab, “Aku bersumpah mereka pasti akan dimasukkan ke dalam
neraka.”
Abdurrahman
bin Jabir menceritakan, Abdullah bin
Salam pergi mendatangi rumah khalifah Utsman. Di depannya, ada dua orang
laki-laki yang berjalan mendahuluinya. Salah satu di antara mereka berkata kepada yang lainnya, “Wahai Fulan, bagaimana
pendapatmu tentang tragedi yang menimpa khalifah Utsman?”
Temannya itu menjawab, “Sungguh,
domba dan sapi sekalipun tidak akan mau dijadikan tumbal untuk membunuh khalifah Utsman.”
Ibn Salam mendengar perbincangan mereka, lalu ia menimpali, “Oh ya? Sungguh
kambing dan sapi itu secara naluri tidak akan menanduk saat dibunuh. Tapi
orang-orang itu telah menanduk khalifah Utsman dengan senjata mereka. Aku
bersumpah, mereka itu adalah kelompok yang telah membunuh beliau. Sungguh
mereka itu merupakan keturunan dari ayah-ayah mereka dan suatu hari nanti mereka
juga akan memiliki anak.”[26]
Beberapa Komentar Para Tabi’in Setelah Terbunuhnya Utsman r.a.
Tentang
tragedi pembunuhan khalifah Utsman, Tawus bin Kisan berucap, “Ketika terjadi fitnah pada masa kekhalifahan Utsman, salah
seorang keluarga beliau berkata, ‘Ikatlah aku! Supaya aku tidak menyakiti
kalian. Aku ini gila.’ Maka kemudian ia pun diikat. Saat terjadi pembunuhan terhadap khalifah Utsman, ia bekata, ‘Lepaskan
aku. Aku telah sadar. Segala puji bagi Allah yang telah menjagaku dari
pembunuhan khalifah Utsman’.”[27]
Mengenai
tragedi ini, Ibn Syirin bertutur, “Tidak ada yang berselisih di antara keluarga Utsman kecuali selepas beliau terbunuh. Kami tidak pernah
kehilangan kuda perang berjenis zebra saat perang kecuali setelah terbunuhnya khalifah
Utsman.”
Ibrahim
al-Nakha’i juga berkomentar dengan mengutip sebuah ayat al-Qur’an:
“Sesungguhnya kamu akan mati dan mereka juga
akan dimatikan. Kemudian pada hari kiamat nanti kamu akan berbantah-bantahan di
hadapan Tuhanmu.” (QS Az-Zumar
[39]: 30-31).
Lebih lanjut, dia mengatakan, ini menunjukkan betapa
gentingnya situasi umat Islam selepas terbunuhnya khalifah Utsman. Sampai-sampai sebagian sahabat berkata,
“Apa yang menjadi sebab pertengkaran di antara kita ini? Bukankah kita ini
saudara?” Sebagian sahabat yang lain juga berkata, “Inilah permusuhan yang
sesungguhnya di antara kita (umat Islam).”[28]
Thalhah
bin Masraf mengatakan, “Kalian lebih banyak mencintai Sayyidina Ali daripada khalifah Utsman. Tapi hatiku menolak
mencintai seseorang kecuali khalifah Utsman.”[29]
Dari
Ibn Syaudzab, ia menceritakan, dikatakan
kepada Hasan al-Basri, “Wahai ayahnya Sa’id! Apakah mereka sanggup menahan khalifah
Utsman?” Ia menjawab, “Ya, kalau mereka
menahannya dengan pakaian mereka, pasti ia akan tertahan.”
Hasan
menambahkan dalam riwayat yang lain, “Saat peristiwa itu (pembunuhan Utsman),
aku masih berusia 14 tahun.”[30]
Hasan
berkata lagi, “Orang-orang munafik itu telah membuat makar. Jikalau mereka mau menahan khalifah Utsman, maka
mereka akan menggunakan setiap ujung pakaiannya untuk menahannya.”[31]
Ibn
Syirin juga mengatakan, “Saat terjadi fitnah itu, ada lebih dari 10.000 sahabat
di kota Madinah. Akan tetapi, tidak ada yang terkena dampak fitnah ini melainkan
30 orang sahabat saja.”[32]
Ibnu
Syirin menambahkan orang-orang munafik itu berucap, “Katakanlah wahai kalian! Dia (Utsman) adalah orang terbaik di antara kita, maka jadikanlah dia sebagai pemimpin.” Namun, setelah
itu mereka menyatakan, “Dia adalah orang terburuk di antara kita, maka bunuhlah dia.”[33]
Inilah beberapa komentar para tabi’in. Mereka tidak senang dengan mencaci
dan mencela pembunuh khalifah Utsman. Mereka juga memperingatkan siapa saja yang
mengkhianatinya. Sesungguhnya ketentuan Allah SWT telah ditentukan. Dan tak ada satupun yang dapat
mengubah takdir-Nya.
Mengingat Hari Kematian, Usia, dan Persemayaman Khalifah Utsman r.a.
Para
ulama bersepakat bahwa khalifah Utsman wafat secara syahid di tangan
sekelompok kecil orang-orang bodoh. Adapun hari meninggal dan usia beliau masih
menjadi perdebatan hingga sekarang.
al-Dzahabi,
seorang sejarawan Islam klasik, berpendapat, “Khalifah Utsman terbunuh pada
malam 19 Dzulhijjah yang bertepatan pada hari Jum’at selepas shalat Ashar tahun
36 Hijriah. Saat itu beliau dalam keadaan berpuasa. Usia beliau saat itu
sekitar 82 tahun.”[34]
Beliau
dikebumikan malam Sabtu di sela-sela waktu Maghrib dan Isya’ dengan berkafankan
pakaian beliau yang masih berlumuran darah. Beliau tidak dimandikan layaknya
para syuhada. Beliau dikebumikan di pemakaman Hasya Kaukab di Baqi’. Sekarang
tempat itu lebih dikenal dengan pemakaman Bani Umayyah. Beliau memegang tampuk
kekhalifahan sekitar 12 tahun kurang 12 hari.
Saat
pemakamannya, ada beberapa keajaiban yang terjadi. Seperti yang diriwayatkan
Malik bin Abi ‘Amir, “Ketika umat Islam berbondong-bondong mengawal pemakaman
Utsman ke Hasya Kaukab, tiba-tiba saja jenazah Utsman berkata, ‘Memang susah saat ada orang saleh yang mati dan dikebumikan di tempat
itu.’ Secara spontan mereka semua terkejut.”
Malik
menambahkan, “Khalifah Utsman bin Affan adalah orang pertama yang dikebumikan
di tempat itu.”[35]
Malik
juga menceritakan kepada kami detik-detik terakhir menjelang beliau dikebumikan.
Ia berkata, “Saat khalifah Utsman wafat, aku adalah salah satu orang yang mengangkat
beliau menuju pintu pemakaman. Karena terlalu cepat membawanya, kepalanya sampai
mengenai daun pintu pemakaman. Kami takut akan terjadi sesuatu lagi pada
beliau. Setelah kami menguburkannya di pemakaman Hasya Kaukab, kami
meninggalkannya.”[36]
Urwah bin Zubair berkisah, “Ketika
mereka mampu menahan khalifah Utsman untuk menunaikan shalat, Abu Jahm bin
Hudzaifah berkata, ‘Jika kalian mencegahnya untuk menunaikan shalat, maka ia
akan merasa kehilangan Rasulullah dan para malaikat’.”[37]
Semoga Allah selalu mencurahkan rahmat dan meridhai Hassan bin Tsabit yang
menuliskan bait-bait syair ritsâ (puisi-puisi ratapan/kesedihan) untuk
khalifah Utsman bin Affan. Ia juga menuliskan bait-bait hijâ (puisi-puisi
ejekan/hinaan) untuk orang yang telah menyerang lalu membunuhnya. Ia berkata
dalam bait-bait syairnya:
Apa yang kalian inginkan dari saudara seagamaku?
Tangan Allah telah memberkahi sebujur tubuh itu
Kalian
telah bunuh wali Allah di dalam rumahnya
Kalian
juga datang dengan keinginan yang tidak diridhai
Bukankah
kalian telah mendapatkan jaminan dari Allah?
Kalian
juga telah berjanji sesuai perjanjian Muhamad?
Apakah
kalian tidak pernah diperingatkan akan datangnya bencana yang benar-benar
nyata?
Sedangkan
kalian berjalan di tempat yang akan menjadi saksi dengan perbuatan kalian
Kelompok
kanan (pendukung Utsman) itu tidak merasa beruntung.
Maka
janganlah kalian mau melakukan baiat setelah terbunuhnya Utsman, karena ia
adalah sang penunjuk arah.”[38]
[2] Hadits Hasan, HR Ibn Abi Syaibah dalam ‘Mushannif’, Juz
IV, hlm. 1298-1299, dan Ibn Abd al-Barr
dalam ‘al-Istî’âb’, Juz II, hlm. 498.
[3] Hadits shahih, HR Ibn Asakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’
hlm. 397.
[4]Hadits hasan, HR Ibn Sa’ad
dalam ‘Tabaqât Kubrâ’, Juz III, hlm. 72-73, Ibn Asakir dalam‘Târîkh
Dimasyq’, hlm. 408-410, Ibn Abi Syaibah dalam ‘Musannif’ 687-689,
Juz VIII. Al-Haitsami dalam ‘Majma’ al-Zawâid’ hlm. 232. Mengenai hadits
ini, saya berpendapat, “Imam Bukhari telah menetapkan keshahihan
Hadits yang didengar dari khalifah Utsman ini.”
Lihat juga, Imam al-Tabrani dalam ‘al-Mu’jam al-Kabîr’, Juz IV,
hlm. 371-372.
[5]Hadits shahih, HR Imam Thabari dalam ‘Târîkh al-Thabari’,
Juz IV, hlm. 384, dan Ibn Syabbah dalam ‘Târîkh’, Juz IV, hlm. 1285.
[6]Imam Thabari, ‘Târîkh al-Thabari’, Juz IV, hlm. 384, Ibn ‘Asyakir
dalam ‘Târîkh Dimasyq’, hlm. 416, Ibn Abi Syaibah dalam ‘Mushannif’,
Juz VIII, hlm. 687-689, dan Ibn Syabbah
dalam ‘Târîkh al-Madînah’, Juz IV, hlm. 1286.
[7]Imam al-Thabari, ‘Târîkh al-Thabari’, Juz IV, hlm. 384, dan Ibn Asyakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’
hlm. 41.
[8]Hadits hasan. HR Ibn Syabbah dalam ‘Târîkh al-Madînah’, Juz IV, hlm.
1303, Ibn ‘Asyakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’ hlm 421-423, al-Dzahaby dalam ‘Târîkh Islâm’, Juz
III, hlm. 459-460, Imam Suyuti dalam ‘Târîkh
al-Khulafâ’ hlm. 157-161 dan Muhib al-Thabari dalam ‘Riyâdh al-Nadrah’,
Juz V, hlm. 125.
[9]Hadits hasan. HR Ibn Syabbah dalam ‘Târîkh al-Madînah’, Juz IV, hlm.
1307.
[10]Hadits hasan, HR Ibn Syabbah dalam ‘Târîkh al-Madînah’, Juz IV, hlm.
1298, Ibn Abdil Bar dalam ‘al-Istî’âb’, Juz III, hlm. 1046 dan Ibn
‘Asakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’ hlm. 412.
[11]Hadits shahih, HR Khalifah bin Khiyat dalam ‘Târîkh’,
Juz I, hlm. 175, Ibn Asyakir dalam ‘Târîkh’ hlm. 413.
[12] Hadits shahih, HR Khalifah dalam ‘Târîkh’, Juz IV, hlm. 175
dan Ibn Asyakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’ hlm. 418.
[13]Isnad hadits ini shahih. HR. Abu Zar’ah dalam ‘Târîkh Abî
Zar’ah al-Dimasyqi’, Juz I, hlm. 187, dan Ibn Asyakir dalam ‘Târîkh
Dimasyq’ hlm. 417.
[14]Hadits shahih, HR. Ibn Syabbah dalam ‘Târîkh al-Madînah’,
Juz IV, hlm.1231.
[16]Imam al-Tabari dalam‘Târîkh al-Thabari’, Juz IV, hlm. 392-393, Ibnu
Asakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’ hlm. 416 dan 446-447.
[17]Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât Kubrâ’, Juz III, hlm. 80. Ibn Asakir dalam ‘Târîkh
Dimasyq’ hlm. 457, Ibn Abi Syaibah dalam ‘Musannif’, Juz, VII, hlm.
488 dan Juz VIII, hlm. 585, dan Abu Na’im dalam ‘Tatsbît al-Imâmah’ hlm.
151, serta Imam Tabrani dalam ‘al-Mujtama’,
Juz IX. hlm. 97.
[18]Ibn Asyakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’ hlm. 460-461 dan Ibn Abi Syaibah
dalam ‘Musannif’, Juz, VIII, hlm. 684.
[19] Ibn Abi Syaibah dalam ‘Musannif’, Juz VIII, hlm. 488, Ibn Sa’ad
dalam ‘Tabaqât Kubrâ’, Juz III, hlm. 80, Ibn Asyakir dalam ‘Târîkh
Dimasyq hlm. 491 dan Ibn Syabbah dalam ‘Târîkh al-Madînah’, Juz IV,
hlm. 1273.
[20]Hadits shahih, HR Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât Kubrâ’, Juz
III. hlm. 81, dan Ibn Asyakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’ hlm. 491.
[21]Hadits Hasan. HR Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât Kubrâ’, Juz III,
hlm. 80, dan Ibn Abi Syaibah dalam ‘Musannif’, Juz VII, hlm. 490.
[22] Hadits shahih, HR Abdul al-Raziq dalam ‘Mushannif’
no. 20972 dan Ibn Syabbah dalam ‘Târîkh al-Madînah’, Juz IV, hlm. 1267.
[23]Hadits shahih, HR Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât Kubrâ’, Juz
III, hlm. 81 dan Ibn Abi Syaibah dalam ‘Musannif’, Juz VII. hlm. 491.
[24]Hadits shahih, HR Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât Kubrâ’, Juz
III, hlm. 8 dan Ibn ‘Asyakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’ hlm. 490.
[25]Hadits shahih, HR Ibn Asyakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’
hlm. 466-467.
[27]Hadits shahih, HR Abdul al-Raziq dalam ‘Mushannif’ no.
20973 dan Ibn Asyakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’ hlm. 501.
[28]Hadits shahih, HR Abdul Raziq dalam ‘Tafsîr Abdul Râziq’ hlm.
2629. Juga disebutkan oleh Abd bin Hamid, Ibn Jarir dan Ibn Asyakir seperti
yang tertera dalam ‘al-Dur al-Mantsûr’, Juz V, hlm. 327, Ibn Syabbah
dalam ‘Târîkh al-Madînah’ hlm. 1294 dan Ibn Asyakir dalam ‘Târîkh
Dimasyq’ hlm. 502.
[29]Hadits shahih, HR Al-Fasawi dalam ‘al-Ma’rifatu wa al-Târîkh’, Juz II, hlm. 557
dan Ibn Asyakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’ hlm. 510-511.
[30]Hadits shahih, HR Ibn Syabbah dalam ‘Târîkh al-Madînah’,
Juz IV, hlm. 1270-1271.
[31]Ibid.
[32]Hadits shahih, HR Ibn Syabbah dalam ‘Târîkh al-Madînah’,
Juz IV, hlm. 1271.
[33]Hadits hasan, HR Ibn Syabbah dalam ‘Târîkh al-Madînah’, Juz IV, hlm.
1270-1271.
[34]Imam Thabari,‘Târîkh al-Tabhari’, Juz IV, hlm. 416-417, Ibn Sa’ad
dalam ‘Tabaqat Kubrâ’, Juz III, hlm. 77 dan ‘Târîkh al-Islâm’,
Juz III, hlm. 481, Khalifah bin Khiyat dalam ‘Târîkh’ hlm. 177, Imam
Ahmad dalam ‘Musnad Ahmad’ hlm. 4.
[35]Isnad
hadits ini tidak dipermasalahkan. HR Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqat Kubrâ’,
Juz III, hlm. 77 dan Ibn ‘Asyakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’ hlm. 543.
[36]Isnad
hadits ini juga tidak bermasalah. HR Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqat Kubrâ’,
Juz III, hlm. 79 dan Ibn Asyakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’ hlm.539 &
542.
[37]Hadits shahih, HR Ibn Asyakir dalam ‘Târîkh Dimasyq’
hlm. 542, Ibn Syabbah dalam ‘Târîkh al-Madînah’, Juz IV, hlm. 1306.
[38]Lihat bait-bait syairnya dalam ‘Dîwân Hassan’, Juz I, hlm. 320 dan
dalam ‘al-Istî’âb’, Juz III, hlm. 1050, serta Ibn Asyakir, ‘Târîkh
Dimasyq’ hlm. 545.
No comments:
Post a Comment