Friday, September 6, 2013

Alangkah Baiknya Kami Diberi Kesempatan Mengawal BPJS Kesehatan




·         Drg. Moeryono Aladin SIP MM
Anggota DJSN


Moeryono menguasai betul hal-ihwal jaminan sosial. Karena, Laksamana Pertama (Purnawirawan) ini mengikuti betul pembahasan ketika dirinya menjadi Ketua Subkomisi Sosial Komisi VII (sekarang Komisi IX) DPR di periode 1999-2004. Ketika itu Moeryono dan kawan-kawan berpartnert dengan Menteri Sosial (saat itu) Bachtiar Chamsyah untuk membahas RUU SJSN. Melalui perjalanan cukup panjang RUU itu akhirnya disetujui oleh DPR dan diundangkan di akhir pamasa jabatan Presiden Megawati, Oktober 2004. Tapi dalam perjalanannya, UU itu seolah tak bisa dilaksanakan karena perangkat perturan turunannya dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) tidak kunjung terbentuk. Moeryono aktif mendorong pelaksanaan SJSN kendati DJSN belum jua ada. Baru di tahun 2008 DJSN terbentuk. Dia pun aktif di DJSN sampai terundangkannya UU Nomor 24 Tahun 2011 Tentang BPJS. Berikut beberapa pokok pikirannya tentang kiprah DJSN di tengah semakin mendesaknya operasional BPJS mulai Januari 2014 nanti yang disampaikan kepada jamsos.blogspot.com:



Barangkali Anda bisa cerita dari awal masuk DJSN?
Di DJSN tentu setelah UU Nomor 40/2004ini disahkan. Tapi saya mengikuti sejak pembahasan RUU. Ketika itu saya anggota DPR kebetulan ikut Pansus yang membahas RUU SJSN ini. Karena anggota Pansus, mengikuti persis perdebatan, suasana kebatianan antara pemerintah dan anggota dewan, ketika itu kami bertekad mewujudkan satu konsep SJSN bagi rakyat Indonesia sesuai dengan amanat UUD 1945, pasal 28E dan 34.
Atas dasar amanat UUD 1945 itu, kami dari DPR bertekad kasih dong hadiah buat rakyat kita. Reformasi sistem jaminan sosial di Indonesia. Ini barung baru, ada yang bisa terima ada yang tidak, ada yang tahu, dsb. Ada menyatakan kita belum siap, banyak kata seperti itu. Karena itu amanat UUD ya kami tetap laksanakan. Waktu itu diambil-alih sebagai hak inisiatif dari DPR dan membantu pemerintah, bukan karena pemerintah tidak mau. Tapi kita tahu pemerintah banyak usul yang lain. Untuk mendorong agar pemerintah giat memproses RUU ini maka kami ambil alih sebagai hak inisiatif anggota Dewan. Dari pembahasan itu, gencar sekali. Suasana ketika itu bagus. Dari pemerintah juga mendukung ingin membuat, terutama dari tim. Mereka ada tim yang dibentuk oleh Wakil Presiden Bu Mega, diketuai oleh Yaumil Agoes Achir. Saya gak tahu bagaimana, dari pemerintah yang memimpin selalu Menteri Sosial atau Menteri Kesehatan. Tapi lebih banyak Menteri Sosial, apakah karena jaminan sosial.
Berbeda dengan BPJS, Menteri Keuangan yang memimpin karena berbicara uang. Ketika mau diketok palu, kami masih bertanya apakah pemerintah siap mendukung dana PBI (Penerima Bantuan Iuran) itu. Di situ kan disebutkan bahwa mereka harus/wajib iur tapi buat mereka yang tidak mampu maka pemerintah yang iur. Kalau pemerintah bersedia, ada, ya kami akan ketok palu. Waktu tu dihadirkan Dirjen Anggaran, saya lupa namanya, bahwa pemerintah sanggup menyediakan anggaran, sekitar Rp3 triliun, dihitung cuma Rp5000 per orang. Akhirnya diketok.
Nah, ketika UU SJSN disahkan, uang itu kan sudah dianggarkan, karena belum ada BPJS maka dititipkanlah ke Kementerian Kesehatan sebagai Akeskin, pernah dengar kan? Dana itu dana PBI. Karena kalau disiapkan kami tidak mau ketok (sahkan). Karena baru ada UU, BPJS belum ada, jadi belum bisa dilaksanakan. Dari Askeskin berubah lagi menjadi Jamkesmas.
Kembali setelah disahkan UU oleh Menko Kesra, karena harus dilaksanakan, lalu kita buat tim penyiapan pelaksanaan jaminan sosial, dilanjutkan. Kami membuat konsep, merancang PP-nya, Perpres, Keputusan Presiden. Itu sejak 2004. Waktu itu Menko Kesra Pak Ical. Dalam perjalanannya, baru tahun 2008 muncul Kepres tentang DJSN, kemudian dilanjutkan dengan Kepres penunjukan sebagai anggota DJSN. Tapi selama 2004-2008, terus bekerja, memang orangnya berbeda, sebagian besar ikut sampai sekarang. Waktu itu banyak berusah berdasarkan keputusan Menko Kesra. Kami terus bekerja. Pasal UU yang perlu penjabarannya, kami membuat konsep. Jadi non-stop itu sebenarnya. Tahun 2004-2008 itu kan sepertinya tidak ada yang bertanggung-jawab. Saya terus bekerja dalam kapasitas sebagai unsur tokoh, setelah selesai dari wakil rakyat di DPR. Kan tidak boleh dari unsur pegawai negeri dan anggota dewan.
Nah, kami berjuang bagaimana BPJS dibentuk karena DJSN lah yang bisa melaksanakan UU SJSN. Dalam pasal 6, kalau ga salah, disebutkan bahwa jaminan sosial diselenggarakan dengan dibentuknya DJSN. Dalam arti kata bahwa yang menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional (SJSN) adalah Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Kalau itu gak dibentuk kan gak bisa. Ada dua poin kalau itu bisa jalan. Pertama, DJSN-nya. Dan kedua BPJS ini.
Itu saja, kalau keduanya tidak dibentuk maka SJSN tidak akan jalan. Yang lain2 itu kan hanya melengkapi. Perpres tentang iurannya bagaimana, jaminan kesehatan bagaimana pelaksanaannya,  itu teknis saja. Tapi poin penting adalah dua lembaga pokok: DJSN dan BPJS. Maka setelah DJSN dibentuk tahun 2008, karena kami usdah punya pengakuan, kami langsung bekerja keras, awal 2009 sekretariat diisi, kantor pun masih di Menko Kesra sana. Itu awalnya kami bekerja keras untuk meminta pemerintah segera terbitkan UU BPJS. Akhirnya baru tahun 2011 disahkan oleh pemerintah.
Sekarang ini tinggal penyiapan pelaksanaan teknis-teknis. Dan kami sudah mengawal membikin semua itu, walaupun hanya konsep. Tapi paling tidak sudah ada langkah awal daripada tidak ada sama sekali. Denga harapan, berakhirnya periode DJSN kami 2013 ini, sayangnya tidak bisa mengantar. Kalau saja UU BPJS selesai lebih awal, kami bisa mengantar jadi lebih baik, kami bisa mengawasi dan sebagainya. Karena tidak, ya kami mempersiapkan untuk estafet DJSN berikutnya. September ini kami kan habis. Ada kelakar DJSN insya Allah, gak digaji sama sekali. Itu perjuangan luar biasa.

Apa alasan pemerintah menjadikan DJSN seperti ini?
Pemerintah masih khawatir kalau BPJS itu disetujui akan mengganggu fiskal. Maka BPJS langsung Menkeu sebagai leadernya. Dan menterinya ada delapan atau berapa tepatnya. Dulu gak begitu, hanya sedikit, dianggap tidak penting. Begitu ada desakan terus dari masyarakat dan rakyat, mulailah serius. Sebenarnya itu tidak mengganggu fiskal. Kita kan hanya mengumpulkan dana dari rakyat, kalau sekitar 230 juta iur jaminan kesehatan saja maka dana yang terkumpul sudah berapa. Akan lebih murah daripada ia punya uang banyak tapi mahal untuk berobat. Habis juga uangnya.

Itu kan jangka panjang, pemerintah tampaknya masih berpikir dalam jangka pendek?
Itulah.  Karena kita tidak punya lagi GBHN seperti dulu. Itu kan satu dan terus berlanjut, pasti dilanjutkan. Sekarang gak tidak, gak ada GBHN yang diketok palu oleh MPR. Sekarang yang buat rancangan jangka menengah dan panjang masing-masing. Kalau mau berubah ya berubah. Maka ketika UU SJSN disahkan Bu Mega pada akhir masa jabatannya, Oktober 2004, memang Bu Mega yang gencar. Jadi kami terbantu juga waktu itu, karena pemerintah mendukung disahkannya UU SJSN.
Ketika kabinetnya sudah baru, lain prioritasnya. Yang jadi prioritas sudah berbeda. Dan ini seolah2 gak nyambung. Saya gak tahu persis faktornya, tapi tampak gak konek begitu. Seolah gak ada itu UU SJSN. Beberapa kali buat surat ke Menko Kesra, didiamkan saja kok. Gak ada reespon sama sekali. Gak tahu, siapa pun yang bisa menghadap atau pas ketemu Presiden, mengungkap pentingnya DJSN dibentuk untul melaksanakan SJSN dan BPJS, gak tembus2. Akhirnya, mungkin ya, salah satunya ada surat dari Pak Sulastomo, menyampaikan kepada Presiden juga. Saya hanya dapat bocoran dari Sekneg waktu ke sana, bahwa Pemerintah mulai tergerak ketika ada surat dari Pak Tom, di situ ada disposis agar diproses atau apa.. Artinya surat itu yang mengawali terbitnya Kepres DJSN. Kalau gak, mungkin sudah lupa.  

Per 1 Januari 2014 BPJS Kesehatan mulai jalan, beberapa peraturan teknis belum selesai, apa harapan DJSN?
Saya optimis selesai. Peraturan yang mendukung teknis pelaksanaan BPJS saya yakin selesai. Saya punya keyakinan, karena pertama, DJSN sudah membuat semua konsep yang diperlukan. Konsep itu ada, salah benar itu urusan nanti. Yang penting konsep awal sudah ada. Yang tahu soal ini kan DJSN. Di mata DJSN sudah selesai. Sedangkan di mata pemerintah mungkin ada kesalahan titik koma, redaksional, itu kan legal drafter yang memperbaiki. Tapi secara umum apa yang telah disampaikan DJSN tidak terlalu jauh bedanya. Dan kebetulan saya juga ikut anggota Pokja pembahasan peraturan BPJS Kesehatan itu. Itu jalan terus kok. Mereka punya rancangan kapan harus selesai. Rencana dari Kementerian Kesehatan, karena Ketua Tim Pokja Wamenkes, (BPJS Kesehatan). Kalau BPJS Ketenagakerjaan kan Sekjen Kemenakertrans. Yang di Kemenkes itu sudah membuat time table, paling tidak bulan Oktober 2013, semua sudah harus selesai. Oktober-November dianggai sebagai proses di Kemkumham. Dan semua proses ini ada persyaratan2, sperti amanat presiden atau apa, persetujuan untuk membuat PP atau Perpres, itu sudah ada semua. Ajukan saja walaupun belum ada konsepnya. Itu semua dibahas di DJSN. Kan presiden gak perlu lihat konsep. Yang penting menteri terkait sudah mengajukan, dan sepertinya semua sudah memperoleh lampu hijau dari presiden untuk dibahas. Ini sedang pembahasan, agustus ini sudah ada beberapa yang final. Kemudian nanti September-Oktober selesai, November dibahas di Kumham, bolanya sudah di pemerintah. Nanti Desember keluar semua.
Yang jadi masalah sekarang ini satu poin saja. yakni besaran iuran. Untuk PBI gak ada masalah, mau berapa saja sepanjang pemerintah sanggup mau apa lagi. Kemudian non-PBI, kita ajukan Rp23 ribu ada yang Rp27 ribu. Keputusan Rp19.200. ya kalua sudah seperti itu kita gak bisa apa2 lagi. Yang belum ada keputusan adalah dari pekerja, berapa persen mereka iur. Kan kita minta lima persen, mau 4-1 atau 3-2, mereka maunya 3-0. Itu belum ada kesepakatan mereka. Itu yang agak ribet. Berkembang wacana kita ikut model yang lalu saja. yang lalu itu besaran iuran dipisah di Perpres yang lain. Supaya BPJS Kesehatan bisa keluar tanpa besaran iuran karena besarnya bisa saja berubah. Supaya tidak mengubah BPJS Kesehatan, itu dipisah. Kemarin usulnya masih jadi satu. Saya bilang kalau bisa dipisah saja seperti yang dulu. Dulu kan karena tidak ada keputusan maka kita pisahkan.

Apakah BPJS bisa berjalan tanpa Perpres tentang iuran?
Gak bisa. Tapi kalau menunggu itu semua lama kan. Biarkan saja ini, supaya kita bosa sosialisasi kepada rakyat, kepada PNS. Bahwa kalian akan memperoleh benefit seperti ini, BPJS juga mengerti  saya harus memberikan benefit dan tata caranya seperti ini. Itu ada semua di peraturan teknis. Kan tidak cuma besaran iuran doang. Supaya mereka bisa mempersiapkan diri. Daripada nanti keluar Desember sementara mereka tidak tahu isinya seperti apa. Ini mempercepat tahapan saja. Soal iuran kan hanya untuk memngumpulkan uang.

Mendengar penjelasan Anda, proses ini kan cukup panjang...
Sebenarnya dari 2002 mereka sudah ancang2. Diajukan ke DPR terus dibahas oleh DPR. Tadi saya cerita lalu diambil sebagai inisiatif DPR. Jadilah UU Nomor 40/2004. Setelah 7 tahun baru ada UU BPJS.

Pembahasan UU BPJS juga relatif panjang...
Pasti alot karena kalau ditetapkan oleh kabinet yang sama mungkin gak masalah. Karena tim masih ada, pemerintah yang lama tahu prosesnya. Sehingga ketika muncul RUU BPJS sudah tahu. Ini kan gak, belajar lagi ada itu SJSN, lama lagi. Kita gak mau kecolongan. Tapi kekhawatiran pemerintah amat sangat gitu.

Seberapa besar daya dorong DJSN untuk pelaksanaan BPJS?
Besar sekali, sangat besar. Namun seolah2 kami tidak diberi satu kewenangan. Kami tak peduli. Karena di dalam UU BPJS itu kan ada cantuman Kementerian itu terlibat. Yang ada DJSN. Di UU BPJS itu terlihat DJSN itu punya kewenangan yang cukup bagus. Juga di pasal 6 UU 40/2004. Untuk menyelenggarakan SJSN maka dibentuklah DJSN. Itu kan menujukkan bahwa yang menyelenggarakan ini DJSN. Jadi yang menyiapkan segala sesuatunya. Ini kan hanya karena situasi politik kita menganggap bahwa SJSN belum perlu, masih ada yang lebih prioritas, jadinya DJSN itu apa banyak yang gak mengerti. Kami banyak di belakang layar mendorong konsep ini. Kami gak pernah berkoar kami yang bikin, kami terus bekerja. Selesai juga akhirnya perintah UU. Termasuk UU 40/2004 yang harus didukung 10 atau 11 PP.

Apa yang paling berkesan selama di DJSN?
Saya merasakan kepuasan batin, karena dari nol cita2, lalu amanat UUD, saya masih terngiang2 perjuangan kami bahwa ini harus masuk dalam Prolegnas, bahwa ini harus dibahas tahun 2004. Ini adalah satu lompatan baru kalau UU SJSN bisa disahkan. Bagi negara pun kemajuan bahwa kita bisa melaksanakan suatu sistem jaminan sosial nasional. Banyak yang bertanya2 apakah kita sanggup. Kalu nunggu sanggup ya kita tidak akan sanggup. Kita coba2 dari gak bisa berdiri lalu berdiri dan melangkah pelan2. Akhirnya malah berlari. Untuk meyakinkan orang2 ini gak gampang. Saya merasakan sekali. Karena saya merasakan perjuangan membuat UU SJSN dan UU BPJS, mendirikan DJSN lalu lembaga BPJS.
Sekarang kan teknis. Kalau kami bisa mengawal yang teknis ini tentu lebih bergembira lagi, lebih bahagia rasanya. Kami bisa mengantar dan mengawali ini bisa terlaksana. Itu saja harapan saya. Kalau kemarin UU BPJS cepat selesai kami masih sempat mengawal. Ini sudah 2013, gak sempat, kecuali kalau diperpanjang. Kalau DJSN baru lagi, harus belajar, repot kita kan. Kan tinggal beberapa bulan, sambil jalan kita mempersiapkan pengganti. Jadi tahun depan baru penggantian.

Apakah masih ada kendala?
Teknis2 saja, seperti besaran iuran tadi. Kendala2 terkait pihak pemerintah dan lainnya sudah tak ada lagi. Barangkali dari daerah, karena mereka memiliki Jamkesda, tapi Jamkesda kan tidak diatur dalam UU. Otomatis dia harus ikut UU, tidak perlu lagi membuat sistem sendiri. Mereka bikin sistem propinsi atau kabupaten kan jadi rugi sendiri, aspek atau prinsip portabilitas tidak ada. Kalau seseorang pindah ke propinsi atau kabupaten lain harus bayar. Sedangkan di SJSN kan single identity number, di mana pun dia sebagai peserta BPJS Kesehatan secara nasional. Kan bagus sekali.
Barangkali ada pemimpin daerah yang merasa keberatan. Ini kan komoditas politik laku banget, buat bahan kampanye. Gratis2, gak gak gratis, tetap bayar, iur yang bayar pemerintah. Orang miskisn, pemda sebenarnya gak perlu bayar. Orang miskin kalau sudah masuk daftar miskin nasional kan dibayar oleh pemerintah pusat. Daerah itu sebaiknya memperbaiki infrastruktur yang pelayanan kesehatan di sana, tempatnya diberpaiki, peralatan dipengkapi, atau bayar gaji dokter supaya banyak dokter di sana. Kalau kita nunggu dokter saja bisa gak jalan2, terutama di daerah2 yang sulit dijangkau. Kan kami juga sempat ke bebera[a daerah waktu membuat UU SJSN. Kebutuhan akan muncul sendiri.  ***                                                      

No comments:

Post a Comment