·
Drg.
Moeryono Aladin SIP MM
Anggota
DJSN
Moeryono menguasai betul hal-ihwal
jaminan sosial. Karena, Laksamana Pertama (Purnawirawan) ini mengikuti betul
pembahasan ketika dirinya menjadi Ketua Subkomisi Sosial Komisi VII (sekarang
Komisi IX) DPR di periode 1999-2004. Ketika itu Moeryono dan kawan-kawan berpartnert
dengan Menteri Sosial (saat itu) Bachtiar Chamsyah untuk membahas RUU SJSN.
Melalui perjalanan cukup panjang RUU itu akhirnya disetujui oleh DPR dan
diundangkan di akhir pamasa jabatan Presiden Megawati, Oktober 2004. Tapi dalam
perjalanannya, UU itu seolah tak bisa dilaksanakan karena perangkat perturan
turunannya dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) tidak kunjung terbentuk.
Moeryono aktif mendorong pelaksanaan SJSN kendati DJSN belum jua ada. Baru di
tahun 2008 DJSN terbentuk. Dia pun aktif di DJSN sampai terundangkannya UU Nomor
24 Tahun 2011 Tentang BPJS. Berikut beberapa pokok pikirannya tentang kiprah
DJSN di tengah semakin mendesaknya operasional BPJS mulai Januari 2014 nanti
yang disampaikan kepada jamsos.blogspot.com:
Barangkali Anda bisa cerita dari
awal masuk DJSN?
Di DJSN
tentu setelah UU Nomor 40/2004ini disahkan. Tapi saya mengikuti sejak
pembahasan RUU. Ketika itu saya anggota DPR kebetulan ikut Pansus yang membahas
RUU SJSN ini. Karena anggota Pansus, mengikuti persis perdebatan, suasana
kebatianan antara pemerintah dan anggota dewan, ketika itu kami bertekad
mewujudkan satu konsep SJSN bagi rakyat Indonesia sesuai dengan amanat UUD 1945,
pasal 28E dan 34.
Atas
dasar amanat UUD 1945 itu, kami dari DPR bertekad kasih dong hadiah buat rakyat
kita. Reformasi sistem jaminan sosial di Indonesia. Ini barung baru, ada yang
bisa terima ada yang tidak, ada yang tahu, dsb. Ada menyatakan kita belum siap,
banyak kata seperti itu. Karena itu amanat UUD ya kami tetap laksanakan. Waktu
itu diambil-alih sebagai hak inisiatif dari DPR dan membantu pemerintah, bukan
karena pemerintah tidak mau. Tapi kita tahu pemerintah banyak usul yang lain. Untuk
mendorong agar pemerintah giat memproses RUU ini maka kami ambil alih sebagai
hak inisiatif anggota Dewan. Dari pembahasan itu, gencar sekali. Suasana ketika
itu bagus. Dari pemerintah juga mendukung ingin membuat, terutama dari tim. Mereka
ada tim yang dibentuk oleh Wakil Presiden Bu Mega, diketuai oleh Yaumil Agoes
Achir. Saya gak tahu bagaimana, dari pemerintah yang memimpin selalu Menteri
Sosial atau Menteri Kesehatan. Tapi lebih banyak Menteri Sosial, apakah karena
jaminan sosial.
Berbeda
dengan BPJS, Menteri Keuangan yang memimpin karena berbicara uang. Ketika mau
diketok palu, kami masih bertanya apakah pemerintah siap mendukung dana PBI (Penerima
Bantuan Iuran) itu. Di situ kan disebutkan bahwa mereka harus/wajib iur tapi buat
mereka yang tidak mampu maka pemerintah yang iur. Kalau pemerintah bersedia,
ada, ya kami akan ketok palu. Waktu tu dihadirkan Dirjen Anggaran, saya lupa
namanya, bahwa pemerintah sanggup menyediakan anggaran, sekitar Rp3 triliun,
dihitung cuma Rp5000 per orang. Akhirnya diketok.
Nah,
ketika UU SJSN disahkan, uang itu kan sudah dianggarkan, karena belum ada BPJS
maka dititipkanlah ke Kementerian Kesehatan sebagai Akeskin, pernah dengar kan?
Dana itu dana PBI. Karena kalau disiapkan kami tidak mau ketok (sahkan). Karena
baru ada UU, BPJS belum ada, jadi belum bisa dilaksanakan. Dari Askeskin
berubah lagi menjadi Jamkesmas.
Kembali
setelah disahkan UU oleh Menko Kesra, karena harus dilaksanakan, lalu kita buat
tim penyiapan pelaksanaan jaminan sosial, dilanjutkan. Kami membuat konsep,
merancang PP-nya, Perpres, Keputusan Presiden. Itu sejak 2004. Waktu itu Menko
Kesra Pak Ical. Dalam perjalanannya, baru tahun 2008 muncul Kepres tentang DJSN,
kemudian dilanjutkan dengan Kepres penunjukan sebagai anggota DJSN. Tapi selama
2004-2008, terus bekerja, memang orangnya berbeda, sebagian besar ikut sampai
sekarang. Waktu itu banyak berusah berdasarkan keputusan Menko Kesra. Kami
terus bekerja. Pasal UU yang perlu penjabarannya, kami membuat konsep. Jadi
non-stop itu sebenarnya. Tahun 2004-2008 itu kan sepertinya tidak ada yang
bertanggung-jawab. Saya terus bekerja dalam kapasitas sebagai unsur tokoh,
setelah selesai dari wakil rakyat di DPR. Kan tidak boleh dari unsur pegawai
negeri dan anggota dewan.
Nah,
kami berjuang bagaimana BPJS dibentuk karena DJSN lah yang bisa melaksanakan UU
SJSN. Dalam pasal 6, kalau ga salah, disebutkan bahwa jaminan sosial
diselenggarakan dengan dibentuknya DJSN. Dalam arti kata bahwa yang
menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional (SJSN) adalah Dewan Jaminan
Sosial Nasional (DJSN). Kalau itu gak dibentuk kan gak bisa. Ada dua poin kalau
itu bisa jalan. Pertama, DJSN-nya. Dan kedua BPJS ini.
Itu
saja, kalau keduanya tidak dibentuk maka SJSN tidak akan jalan. Yang lain2 itu
kan hanya melengkapi. Perpres tentang iurannya bagaimana, jaminan kesehatan
bagaimana pelaksanaannya, itu teknis
saja. Tapi poin penting adalah dua lembaga pokok: DJSN dan BPJS. Maka setelah
DJSN dibentuk tahun 2008, karena kami usdah punya pengakuan, kami langsung
bekerja keras, awal 2009 sekretariat diisi, kantor pun masih di Menko Kesra
sana. Itu awalnya kami bekerja keras untuk meminta pemerintah segera terbitkan
UU BPJS. Akhirnya baru tahun 2011 disahkan oleh pemerintah.
Sekarang
ini tinggal penyiapan pelaksanaan teknis-teknis. Dan kami sudah mengawal
membikin semua itu, walaupun hanya konsep. Tapi paling tidak sudah ada langkah
awal daripada tidak ada sama sekali. Denga harapan, berakhirnya periode DJSN
kami 2013 ini, sayangnya tidak bisa mengantar. Kalau saja UU BPJS selesai lebih
awal, kami bisa mengantar jadi lebih baik, kami bisa mengawasi dan sebagainya. Karena
tidak, ya kami mempersiapkan untuk estafet DJSN berikutnya. September ini kami
kan habis. Ada kelakar DJSN insya Allah, gak digaji sama sekali. Itu perjuangan
luar biasa.
Apa alasan pemerintah menjadikan
DJSN seperti ini?
Pemerintah
masih khawatir kalau BPJS itu disetujui akan mengganggu fiskal. Maka BPJS
langsung Menkeu sebagai leadernya. Dan menterinya ada delapan atau berapa
tepatnya. Dulu gak begitu, hanya sedikit, dianggap tidak penting. Begitu ada
desakan terus dari masyarakat dan rakyat, mulailah serius. Sebenarnya itu tidak
mengganggu fiskal. Kita kan hanya mengumpulkan dana dari rakyat, kalau sekitar
230 juta iur jaminan kesehatan saja maka dana yang terkumpul sudah berapa. Akan
lebih murah daripada ia punya uang banyak tapi mahal untuk berobat. Habis juga
uangnya.
Itu kan jangka panjang, pemerintah tampaknya
masih berpikir dalam jangka pendek?
Itulah. Karena kita tidak punya lagi GBHN seperti
dulu. Itu kan satu dan terus berlanjut, pasti dilanjutkan. Sekarang gak tidak,
gak ada GBHN yang diketok palu oleh MPR. Sekarang yang buat rancangan jangka
menengah dan panjang masing-masing. Kalau mau berubah ya berubah. Maka ketika
UU SJSN disahkan Bu Mega pada akhir masa jabatannya, Oktober 2004, memang Bu
Mega yang gencar. Jadi kami terbantu juga waktu itu, karena pemerintah
mendukung disahkannya UU SJSN.
Ketika
kabinetnya sudah baru, lain prioritasnya. Yang jadi prioritas sudah berbeda. Dan
ini seolah2 gak nyambung. Saya gak tahu persis faktornya, tapi tampak gak konek
begitu. Seolah gak ada itu UU SJSN. Beberapa kali buat surat ke Menko Kesra,
didiamkan saja kok. Gak ada reespon sama sekali. Gak tahu, siapa pun yang bisa
menghadap atau pas ketemu Presiden, mengungkap pentingnya DJSN dibentuk untul
melaksanakan SJSN dan BPJS, gak tembus2. Akhirnya, mungkin ya, salah satunya
ada surat dari Pak Sulastomo, menyampaikan kepada Presiden juga. Saya hanya
dapat bocoran dari Sekneg waktu ke sana, bahwa Pemerintah mulai tergerak ketika
ada surat dari Pak Tom, di situ ada disposis agar diproses atau apa.. Artinya
surat itu yang mengawali terbitnya Kepres DJSN. Kalau gak, mungkin sudah lupa.
Per 1 Januari 2014 BPJS Kesehatan
mulai jalan, beberapa peraturan teknis belum selesai, apa harapan DJSN?
Saya
optimis selesai. Peraturan yang mendukung teknis pelaksanaan BPJS saya yakin
selesai. Saya punya keyakinan, karena pertama, DJSN sudah membuat semua konsep
yang diperlukan. Konsep itu ada, salah benar itu urusan nanti. Yang penting
konsep awal sudah ada. Yang tahu soal ini kan DJSN. Di mata DJSN sudah selesai.
Sedangkan di mata pemerintah mungkin ada kesalahan titik koma, redaksional, itu
kan legal drafter yang memperbaiki. Tapi secara umum apa yang telah disampaikan
DJSN tidak terlalu jauh bedanya. Dan kebetulan saya juga ikut anggota Pokja
pembahasan peraturan BPJS Kesehatan itu. Itu jalan terus kok. Mereka punya
rancangan kapan harus selesai. Rencana dari Kementerian Kesehatan, karena Ketua
Tim Pokja Wamenkes, (BPJS Kesehatan). Kalau BPJS Ketenagakerjaan kan Sekjen
Kemenakertrans. Yang di Kemenkes itu sudah membuat time table, paling tidak bulan Oktober 2013, semua sudah harus
selesai. Oktober-November dianggai sebagai proses di Kemkumham. Dan semua
proses ini ada persyaratan2, sperti amanat presiden atau apa, persetujuan untuk
membuat PP atau Perpres, itu sudah ada semua. Ajukan saja walaupun belum ada
konsepnya. Itu semua dibahas di DJSN. Kan presiden gak perlu lihat konsep. Yang
penting menteri terkait sudah mengajukan, dan sepertinya semua sudah memperoleh
lampu hijau dari presiden untuk dibahas. Ini sedang pembahasan, agustus ini
sudah ada beberapa yang final. Kemudian nanti September-Oktober selesai,
November dibahas di Kumham, bolanya sudah di pemerintah. Nanti Desember keluar
semua.
Yang
jadi masalah sekarang ini satu poin saja. yakni besaran iuran. Untuk PBI gak
ada masalah, mau berapa saja sepanjang pemerintah sanggup mau apa lagi. Kemudian
non-PBI, kita ajukan Rp23 ribu ada yang Rp27 ribu. Keputusan Rp19.200. ya kalua
sudah seperti itu kita gak bisa apa2 lagi. Yang belum ada keputusan adalah dari
pekerja, berapa persen mereka iur. Kan kita minta lima persen, mau 4-1 atau
3-2, mereka maunya 3-0. Itu belum ada kesepakatan mereka. Itu yang agak ribet.
Berkembang wacana kita ikut model yang lalu saja. yang lalu itu besaran iuran
dipisah di Perpres yang lain. Supaya BPJS Kesehatan bisa keluar tanpa besaran
iuran karena besarnya bisa saja berubah. Supaya tidak mengubah BPJS Kesehatan,
itu dipisah. Kemarin usulnya masih jadi satu. Saya bilang kalau bisa dipisah
saja seperti yang dulu. Dulu kan karena tidak ada keputusan maka kita pisahkan.
Apakah BPJS bisa berjalan tanpa
Perpres tentang iuran?
Gak
bisa. Tapi kalau menunggu itu semua lama kan. Biarkan saja ini, supaya kita
bosa sosialisasi kepada rakyat, kepada PNS. Bahwa kalian akan memperoleh
benefit seperti ini, BPJS juga mengerti saya
harus memberikan benefit dan tata caranya seperti ini. Itu ada semua di
peraturan teknis. Kan tidak cuma besaran iuran doang. Supaya mereka bisa
mempersiapkan diri. Daripada nanti keluar Desember sementara mereka tidak tahu
isinya seperti apa. Ini mempercepat tahapan saja. Soal iuran kan hanya untuk
memngumpulkan uang.
Mendengar penjelasan Anda, proses
ini kan cukup panjang...
Sebenarnya
dari 2002 mereka sudah ancang2. Diajukan ke DPR terus dibahas oleh DPR. Tadi
saya cerita lalu diambil sebagai inisiatif DPR. Jadilah UU Nomor 40/2004. Setelah
7 tahun baru ada UU BPJS.
Pembahasan UU BPJS juga relatif
panjang...
Pasti
alot karena kalau ditetapkan oleh kabinet yang sama mungkin gak masalah. Karena
tim masih ada, pemerintah yang lama tahu prosesnya. Sehingga ketika muncul RUU
BPJS sudah tahu. Ini kan gak, belajar lagi ada itu SJSN, lama lagi. Kita gak
mau kecolongan. Tapi kekhawatiran pemerintah amat sangat gitu.
Seberapa besar daya dorong DJSN
untuk pelaksanaan BPJS?
Besar
sekali, sangat besar. Namun seolah2 kami tidak diberi satu kewenangan. Kami tak
peduli. Karena di dalam UU BPJS itu kan ada cantuman Kementerian itu terlibat. Yang
ada DJSN. Di UU BPJS itu terlihat DJSN itu punya kewenangan yang cukup bagus. Juga
di pasal 6 UU 40/2004. Untuk menyelenggarakan SJSN maka dibentuklah DJSN. Itu
kan menujukkan bahwa yang menyelenggarakan ini DJSN. Jadi yang menyiapkan
segala sesuatunya. Ini kan hanya karena situasi politik kita menganggap bahwa SJSN
belum perlu, masih ada yang lebih prioritas, jadinya DJSN itu apa banyak yang
gak mengerti. Kami banyak di belakang layar mendorong konsep ini. Kami gak
pernah berkoar kami yang bikin, kami terus bekerja. Selesai juga akhirnya
perintah UU. Termasuk UU 40/2004 yang harus didukung 10 atau 11 PP.
Apa yang paling berkesan selama di
DJSN?
Saya
merasakan kepuasan batin, karena dari nol cita2, lalu amanat UUD, saya masih
terngiang2 perjuangan kami bahwa ini harus masuk dalam Prolegnas, bahwa ini
harus dibahas tahun 2004. Ini adalah satu lompatan baru kalau UU SJSN bisa
disahkan. Bagi negara pun kemajuan bahwa kita bisa melaksanakan suatu sistem
jaminan sosial nasional. Banyak yang bertanya2 apakah kita sanggup. Kalu nunggu
sanggup ya kita tidak akan sanggup. Kita coba2 dari gak bisa berdiri lalu
berdiri dan melangkah pelan2. Akhirnya malah berlari. Untuk meyakinkan orang2
ini gak gampang. Saya merasakan sekali. Karena saya merasakan perjuangan
membuat UU SJSN dan UU BPJS, mendirikan DJSN lalu lembaga BPJS.
Sekarang
kan teknis. Kalau kami bisa mengawal yang teknis ini tentu lebih bergembira
lagi, lebih bahagia rasanya. Kami bisa mengantar dan mengawali ini bisa
terlaksana. Itu saja harapan saya. Kalau kemarin UU BPJS cepat selesai kami
masih sempat mengawal. Ini sudah 2013, gak sempat, kecuali kalau diperpanjang. Kalau
DJSN baru lagi, harus belajar, repot kita kan. Kan tinggal beberapa bulan,
sambil jalan kita mempersiapkan pengganti. Jadi tahun depan baru penggantian.
Apakah masih ada kendala?
Teknis2
saja, seperti besaran iuran tadi. Kendala2 terkait pihak pemerintah dan lainnya
sudah tak ada lagi. Barangkali dari daerah, karena mereka memiliki Jamkesda,
tapi Jamkesda kan tidak diatur dalam UU. Otomatis dia harus ikut UU, tidak
perlu lagi membuat sistem sendiri. Mereka bikin sistem propinsi atau kabupaten
kan jadi rugi sendiri, aspek atau prinsip portabilitas tidak ada. Kalau
seseorang pindah ke propinsi atau kabupaten lain harus bayar. Sedangkan di SJSN
kan single identity number, di mana
pun dia sebagai peserta BPJS Kesehatan secara nasional. Kan bagus sekali.
Barangkali
ada pemimpin daerah yang merasa keberatan. Ini kan komoditas politik laku
banget, buat bahan kampanye. Gratis2, gak gak gratis, tetap bayar, iur yang
bayar pemerintah. Orang miskisn, pemda sebenarnya gak perlu bayar. Orang miskin
kalau sudah masuk daftar miskin nasional kan dibayar oleh pemerintah pusat. Daerah
itu sebaiknya memperbaiki infrastruktur yang pelayanan kesehatan di sana,
tempatnya diberpaiki, peralatan dipengkapi, atau bayar gaji dokter supaya
banyak dokter di sana. Kalau kita nunggu dokter saja bisa gak jalan2, terutama
di daerah2 yang sulit dijangkau. Kan kami juga sempat ke bebera[a daerah waktu
membuat UU SJSN. Kebutuhan akan muncul sendiri. ***
No comments:
Post a Comment