Inilah
kebiasaan masyarakat Indonesia yang sulit dihapus. Lemah “membaca” atau ingin
instan dalam memahami sesuatu. Kasus penolakan klaim asuransi anak musisi Ahmad
Dhani, Abdul Qadir Jaelani (AQJ), adalah contoh nyata. Seharusnya, ketika calon
nasabah ingin berasuransi, maka harus paham lebih dahulu klausul-klausul dalam
polis asuransi.
Pengamat
asuransi, Herris Simandjuntak mengatakan, sebenarnya ini bukan masalah calon
nasabah asuransi membaca atau tidak ketentuan yang ada di polis. "Jadi
jangan salahkan nasabah, misalnya dalam kasusnya AQJ, ini termasuk yang melawan
norma dan melanggar hukum. Sederhana saja. Itu jelas tidak bisa diklaim
asuransinya," tegas dia kepada Neraca, Senin (30/9).
Herris juga
menjelaskan, calon nasabah seharusnya mengerti konsep risiko, definisi risiko
serta jenis-jenis risiko. Kemudian, lanjut dia, setelah paham barulah masuk ke
tahap berikutnya. Karena dalam ketentuan atau polis tidak semua hal bisa
diasuransikan. “Saya kasih contoh tanaman ganja. Itu tidak bisa diasuransikan
karena sangat jelas melanggar hukum," terang dia.
Namun
pendapat berbeda diungkapkan Anggota Divisi Pengaduan YLKI, Sularsih. Dia
mengatakan, penolakan klaim nasabah oleh perusahaan asuransi yang kerap terjadi
ditengarai kurang terbukanya perusahaan asuransi terkait pertanggungan yang
akan diterima nasabah.
“Sebenarnya
asuransi ada polisnya, yaitu mengenai dokumen mengenai hak dan kewajiban kedua
pihak. Dan biasanya dalam polis ada pengecualian-pengeculian. Pihak asuransi
seharusnya menyampaikan apa yang di-cover dan apa yang tidak di-cover. Meskipun
tidak diminta oleh konsumen.” jelasnya.
Tidak hanya
itu, jika pihak asuransi terkesan menyembunyikan atau tidak menjelaskan secara
rinci dalam polis asuransi yang ditawarkan, itu artinya mereka juga telah
mempertaruhkan kredibilitas perusahaannya. “Ditolaknya klaim nasabah ada
beberapa sebab, bisa jadi karena belum memenuhi dokumennya atau memang tidak
sesuai dengan apa yang ada dalam polis. Dan termasuk dalam hal yang
dikecualikan,” papar Sularsih.
Meski
demikian, kata dia, nasabah juga harus jeli dan mengetahui benar isi dalam
polis tersebut karena pastinya ada hal-hal penting yang dipertanyakan. Dalam
kasus AQJ misalnya, di dalam kecelakaannya terdapat pelanggaran hukum yang
dikecualikan di dalam polis asuransi yang dipegangnya. “Kedua pihak harus
terbuka dan fair karena asuransi berkaitan dengan kepercayaan, dan juga
berkaitan dengan risiko.” ujarnya.
Ketua Dewan
Asuransi Indonesia, Kornelius Simanjuntak, mengungkapkan perjanjian polis
asuransi memiliki beragam kesepakatan antara perusahaan penyedia jasa asuransi
dan pesertanya. "Perjanjian mengalihkan risiko dalam kehidupan ini sangat
beragam, meski nyaman di ruangan ini risiko pasti terjadi, risiko pasti terjadi
karena perbuatan dari manusia, ada tindakan positif ada yang tidak, yang sesuai
dengan hukun bahkan melanggar," kata dia.
Kornelius
menegaskan, tidak semua risiko yang dialami peserta asuransi ditanggung oleh
perusahaan penyedia jasa asuransi. Dalam setiap polis asuransi, terdapat kalim
yang tidak dijamin oleh perusahaan.
OJK Lepas Tangan
Sementara
Staf Ahli Deputi Komisioner Industri Keuangan Non Bank OJK, R Monang, mengaku
bahwa regulator tidak mau ikut campur urusan yang terjadi dalam kasus AQJ.
“Secara umum kita menghindari kasus-kasus seperti ini. Karena sebenarnya
masalah ini merupakan persoalan antara nasabah dan perusahaan jasa asuransi.
Sedangkan OJK secara legal tidak berurusan dengan hal itu,” aku Monang.
Lebih
lanjut dia mengatakan, secara legalitas peran OJK tidak diwajibkan untuk
mengurusi hal-hal yang berbau kontrak antara nasabah dan perusahaan. Karena
dalam kontrak itu sendiri terdapat klausul khusus yang diterapkan perusahaan
jasa asuransi kepada calon nasabah. Sehingga ia menilai seharusnya setiap
nasabah mengetahui klausul-klausul itu sendiri saat akan ikut asuransi.
“Sebetulnya
itu hal umum loh tertera dalam klausul waktu akan ikut asuransi. Bahwa pihak
perusahaan tidak akan menanggung klaim yang melibatkan pelanggaran hukum.
Semestinya setiap nasabah sudah tahu itu,” terang dia.
Kemudian
Monang menegaskan secara umum setiap perusahaan asuransi memang tidak akan
membayar polish nasabah yang dalam klaimnya terkait kasus hukum. Dia
mencontohkan jika ada pabrik narkoba yang asetnya diasurasnsikan maka ketika
terjadi kebakaran pihak asuransi tentu tidak akan membayarnya. Sebab secara
etika hal itu dapat merusak citra perusahaan.
“Kasus AQJ
kan kontennya ada pelanggaran hukum. Kebut-kebutan, tidak punya SIM, juga
pengemudinya masih di bawah umur,” tambahnya. Meski begitu Monang mengaku pihak
OJK tetap mungkin terlibat dalam untuk mengurusi hal seperti itu.
Pasalnya
OJK sendiri tetap bisa melakukan intervensi kepada industri keuangan di
Indonesia. Tapi hal tersebut baru akan dilakukan jika memang dianggap perlu.
“Bisa saja sih OJK ikut terlibat dalam kasus-kasus seperti itu. Tapi sifatnya
common sense (kesadaran) bukan wajib. Jadi jika memang dianggap perlu saja baru
kita ikut berperan,” terang Monang. (www.neraca.co.id)
No comments:
Post a Comment