Wednesday, October 16, 2013

Peningkatan Keselamatan Kerja di Indonesia 'Harus Serius'



Insiden runtuhnya bangunan pabrik garmen Rana Plaza di Bangladesh bisa memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk berkaca: sudahkan industri garmen di Indonesia memperketat standar keselamatan dan kesehatan pekerja?

Klik Runtuhnya Rana Plaza menjadi salah satu kecelakaan pabrik paling buruk yang mengejutkan dunia. Dalam insiden yang terjadi enam bulan lalu itu, lebih dari 1.000 pekerja garmen tewas dan ribuan lainnya luka.
Ribuan orang lantas turun ke jalan menuntut perbaikan kelayakan tempat kerja. Produsen asal Eropa dan AS yang menjadi klien utama pabrik di Rana Plaza juga dikecam karena tidak menunjukan komitmennya dalam memastikan kesejahteraan buruh.

Lalu bagaimana dengan Indonesia, yang mayoritas hasil garmennya juga di ekspor ke luar negeri? Apakah target pemerintah untuk menciptakan tertib berbudaya keselamatan dan kesehatan kerja (K3) pada 2015 bisa terwujud?

Walau tak sepilu Bangladesh, penerapan keselamatan dan kesehatan kerja di Indonesia nyatanya masih sering diabaikan baik oleh pengusaha, pemerintah, bahkan pekerja itu sendiri.

Yaman Suyaman, 54, bekerja lebih dari 30 tahun sebagai buruh di PT Triyudia Busana Mas, Bandung.

Dengan upah sekitar Rp1,5 juta per bulan, Yaman bekerja sebagai operator jahit untuk memenuhi kebutuhan istri dan enam anaknya.

Yaman mengaku keselamatan kerja di pabrik garmen bukan menjadi persoalan yang cukup penting. Dari hal kecil, seperti memakai masker misalnya, pekerja kadang mengabaikan walau fasilitas sudah diberikan oleh perusahaan.

"Kalau banyak debu kain ya dipakai, tapi kalau lagi ngerjain blue jeans yang debunya sedikit, ya tidak dipakai," akunya kepada BBC.

"Kalau saya, kadang pakai kadang tidak. Soalnya suka pengap, bicara tidak bebas. Tapi kita memang menyadari risikonya, teman banyak yang sudah kena [penyakit] paru-paru. Untungnya saya tidak, paru-paru bagus cuma suka darah tinggi saja," sambung Yaman sambil disela tawa.

Kurangnya perhatian terhadap keselamatan kerja ini diakui oleh Bayu Murniyanto, pegiat Federasi Serikat Buruh Indonesia (FSBI).

Dia mengatakan risiko kerja pada buruh pabrik garmen memang relatif lebih rendah dibandingkan dengan buruh yang bekerja di sektor lain, tetapi tidak berarti mereka bebas risiko.

"Kasus yang banyak terjadi adalah masalah kesehatan terkait infeksi saluran nafas (ISPA). Ini karena abu kain yang dihirup selama bekerja, dampaknya memang tidak langsung, tetapi setelah berpuluh-puluh tahun baru terasa."

FSBI menaksir, separuh dari pekerja di bagian penjahitan dan pemotongan kain berpotensi besar terkena ISPA. Dalam beberapa kasus, mereka juga menduga abu tekstil ini berdampak pada kurang produktifnya air susu ibu (ASI) buruh perempuan.

Sayang, seperti Yaman, banyak pekerja yang kurang menyadari dampak negatif itu dan cenderung mengabaikan kesehatan mereka.

Sebagian pekerja masih mengabaikan aturan pemakaian masker di pabrik garmen.
Masih rendah

Namun, menurut Wakil Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Kota Bandung, M Sidharta, masalah keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan hal yang kompleks.

    "Kebijakan otonomi daerah yang diterapkan saat ini membuat sistem pengawasan ketenagakerjaan jadi komoditas politik saja. Kita jadi seperti main bola tanpa wasit."

Pasalnya, tanggung jawab untuk memberikan kesadaran akan keselamatan kerja ada di pundak pengusaha dan pemerintah, yang sampai saat ini sayangnya malah cenderung mengabaikannya.

"Untuk pabrik menengah dan besar biasanya memang sudah menerapkan standar yang baik, karena mereka mengerti kalau K3 ini penting untuk meningkatkan produktivitas," katanya.

"Tetapi secara umum, penerapan K3 masih rendah. Banyak kasus yang kami temui, pekerja yang menuntut fasilitas K3 pada akhirnya dipecat karena dianggap terlalu vokal."

"Di sisi lain, pemerintah daerah kurang mengawasi pengusaha-pengusaha yang lalai. Kebijakan otonomi daerah yang diterapkan saat ini membuat sistem pengawasan ketenagakerjaan jadi komoditas politik saja. Kita jadi seperti main bola tanpa wasit."

"Jadi ini adalah persoalan yang kompleks. Peran aktif pemerintah sangat penting untuk menanamkan pentingnya K3 bagi perusahaan dan pekerja," sambungnya.
Soal komitmen

Lalit mengatakan penerapan K3 yang baik harus diawali dengan kesadaran bahwa keselamatan adalah hal uang paling utama.

Direktur perusahaan di sektor garmen PT Trisula International Tbk, Lalit Matai, mengatakan penerapan K3 sebetulnya bisa dimulai dari komitmen perusahaan untuk mensejahterakan pekerjanya. "Tidak ada kompromi tentang keselamatan pekerja. Kita berinvestasi di sini dengan komitmen untuk menjaga pekerja dan kualitas produk," katanya.

Dia mengatakan salah jika ada perusahaan yang mengorbankan anggaran keselamatan pekerja untuk berhemat dan memperbesar keuntungan.
Pasalnya, anggaran tersebut secara total tidak berpengaruh signifikan terhadap laba. Anggaran K3, katanya, tidak lebih dari 5% dari keseluruhan biaya produksi. Kuncinya adalah pengusaha harus menantang diri mereka sendiri untuk melakukan efisiensi.

"Investasi di awal depan mungkin besar karena harus menyediakan bangunan yang layak, sistem yang baik, tetapi untuk selebihnya, tidak terlalu besar, mungkin di bawah lima persen," jelasnya.

Selain itu, Lalit mengatakan tiap pihak perlu mengubah pandangan dan perilaku. "Sangat penting untuk menekankan pada semua orang bahwa keselamatan adalah nomor satu, dan yang lain bisa mengikuti di belakangnya."

AD Mustikawati Direktur Trisula Garmindo Manufacturing (TGM - anak usaha Trisula International) merinci bagaimana perusahaannya menerapkan standar keselamatan.

"Siapkan metal glove, needle guard, eye guard, sesuai kebutuhan masing-masing. Bangunan dan prasarana harus digunakan sesuai peruntukan. Pelatihan juga dilakukan. Jika terjadi risiko, kami sosialisasikan rencana evakuasi yang berkelanjutan dan cara-cara antisipasi masalah."

"Intinya adalah komitmen perusahaan. Percuma kalau disiapkan tapi tidak dilakukan dan didisiplinkan. Manajemen perusahaan juga harus tegas kepada pekerja agar mereka patuh terhadap standar yang diterapkan," kata Kevin Oen, Direktur TGM.

Namun sayang, BBC Indonesia tidak diperkenankan untuk mewawancarai buruh pabrik garmen TGM ketika BBC berkunjung awal Oktober 2013 kemarin.

TGM sendiri merupakan pabrik garmen yang 95% produknya ditujukan untuk pasar ekspor ke AS, Eropa, dan Asia Pasifik dengan merek-merek pesanan seperti Hugo Boss, Debenhams, H&M, Esprit, Zara, dan GAP. Adapun per bulannya, TGM dapat memproduksi hingga 210.000 potong pakaian.

Ambruknya Rana Plaza menjadi salah satu tragedi industri garmen terburuk di dunia.

Belajar dari Rana Plaza

Sementara itu, Direktur Jenderal Bina Pengawas Tenaga Kerja Kemenakertrans, T Saut Siahaan, mengatakan sistem pengawasan yang dilakukan pemerintah saat ini sebetulnya sudah dibangun dengan landasan yang baik. Ada Undang-Undang 170 yang mengatur tentang keselamatan pekerja, Peraturan Presiden No.21 tentang pengawasan ketenagakerjaan dan PP 50 tahun 2012 tentang sistem manajemen K3.

    "Khusus untuk industri garmen kita lakukan pemantauan, belajar, dan menelaah atas apa yang terjadi di Bangladesh."

Namun dari sisi pengawasan, Saut mengakui bahwa Kemenakertrans kesulitan karena jumlah tenaga pengawas tidak mampu mengikuti pertumbuhan jumlah perusahaan baru.

"Saat ini masih tenaga pengawas kita berjumlah 1.258 sedangkan jumlah perusahaan yang terdaftar saat ini sekitar 200.000. Pada 2016 kita memprediksi kebutuhan tenaga pengawas bisa mencapai 3.300 orang," katanya.

"Jika mau efektif satu pengawas idealnya melakukan inspeksi ke lima perusahaan dalam satu bulan sehingga mampu memeriksa 60 perusahaan dalam satu tahun."

Untuk mengatasi hal ini, Kemenakertrans sedang mewacanakan sistem pengawasan berbasis teknologi informasi sehingga pengawasan bisa lebih efektif.

Sementara itu, khusus untuk pabrik garmen, Saut mengaku pihaknya saat ini tengah melakukan perbaikan, terutama setelah insiden runtuhnya bangunan pabrik Rana Plaza di Bangladesh.

"Untuk garmen kita lakukan pemantauan, belajar, dan menelaah atas apa yang terjadi di Bangladesh. Sejak tiga tahun terakhir kita juga melakukan bekerja sama dengan International Labour Organization (ILO) dalam program Better Work bagi pabrik garmen di Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah untuk melakukan pembenahan agar perusahaan bisa cepat menerapkan standar K3."

"Sebagian besar pabrik garmen sudah menerapkan K3 sesuai standar, tetapi banyak juga yang belum."

Walau kesulitan menghimpun data karena keterbatasan jumlah pengawas, Saut mengatakan tingkat kecelakaan kerja di Indonesia saat ini cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah perusahaan. Indonesia sendiri menargetkan seluruh industri sudah harus berbudaya K3 pada 2013 mendatang.
Perubahan perilaku

Sebanyak 1.200 orang meninggal dalam runruhnya Rana Plaza di Bangladesh.

Tak terasa, enam bulan telah berlalu sejak peristiwa runtuhnya gedung Rana Plaza.

Bagi Direktur Trisula International, Lalit Matai, yang juga berasal dari Asia Selatan, India, peristiwa itu cukup membuatnya terkejut.

Dia mengatakan insiden yang sangat hebat ini bisa menjadi refleksi bersama dan pemerintah Bangladesh harus bisa melakukan perubahan besar untuk menjamin keselamatan pekerja.

"Saya pikir, mereka harus betul-betul berfikir sejauh mana mereka harus bertindak untuk menghargai nyawa-nyawa yang hilang. Karena, bagi saya, ini bukan hanya masalah industri, tetapi karakter bangsa-bangsa di Asia Selatan yang cenderung kurang menghargai nyawa mereka sendiri."

"Saya berasal dari India, dan saya merasakan sendiri bagaimana karakter kami berbeda dengan negara-negara barat yang sangat menghargai kehidupan. Asia selatan, cenderung hidup dengan keras, karena kita percaya yang kuat adalah yang menang, survival of the fittest."

Namun di sisi lain, Lalit juga ingin menantang negara-negara barat, khususnya para pembeli (produsen) produk dari negara-negara barat.

"Di satu sisi mereka ingin menjunjung tinggi rasa kemanusiaan dengan memastikan pabrik garmen memiliki standar keselamatan kerja yang baik."

"Tetapi di sisi lain mereka ingin harga produksi ditekan serendah mungkin."

"Saya rasa harus ada keseimbangan untuk mencari solusinya. Perubahan perilaku. Keuntungan tentu penting bagi perusahaan, tetapi mereka harus lebih menghargai pabrik-pabrik yang sudah memiliki standar yang bagus dengan tidak menurunkan harga serendah mungkin." (www.bbc.co.uk)

No comments:

Post a Comment