Pertanyaan
yang muncul dari judul di atas adalah, apakah program jaminan sosial
membutuhkan pemanis? Bukankah program jaminan sosial itu sendiri sudah
"manis" sehingga siapapun, termasuk pekerja pasti datang seperti
semut mengerubuti atau sangat ingin menjadi peserta jaminan sosial.
Kenyataannya
tidak demikian, khususnya pada program jaminan sosial kematian, kecelakaan
kerja, hari tua dan pensiun yang diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
Jika pada
program jaminan kesehatan nasional yang dimulai pada 1 Januari 2014, secara
sederhananya terdapat dua pilihan bagi warga Indonesia untuk jadi peserta,
yakni membayar atau dibayar.
Bagi
pekerja dan profesional yang mampu secara pendapatan diwajibkan untuk membayar
dengan komposisi tertentu, pekerja dan pemberi kerja (pengusaha) berbagi
kewajiban, sementara bagi warga negara yang miskin dan tidak mampu, maka
pemerintah akan membayarkan iuran mereka.
Pemerintah
mempersiapkan anggaran sebesar Rp19,3 triliun dengan index Rp19.225 per orang
per bulan di 2014 selama untuk 86,4 juta penduduk. Permasalahannya, bagaimana
mengategorikan penduduk miskin dan tidak mampu sehingga layak mendapatkan
bantuan iuran.
Namun,
bukan itu fokus tulisan ini. Fokusnya, kepesertaan pada program jaminan
kesehatan nasional atau JKN akan terjadi otomatis karena pilihannya, membayar
atau dibayar. Sementara program jaminan sosial yang diselenggarakan BPJS
Ketenagakerjaan tidak akan otomatis karena pekerja wajib membayar, jika tidak
mau atau tidak mampu maka pemerintah tidak akan membayar.
Artinya,
pekerja dan pengusaha harus mandiri. Pekerja dan pengusaha harus mencari
kesepakatan untuk menemukan proporsi berapa persen yang dibayar pekerja dan
berapa persen yang dibayarkan pengusaha. Jika mengacu pada program jaminan
sosial tenaga kerja (jamsostek) maka pengusaha yang membayar jauh lebih besar.
Lalu
bagaimana jika pengusaha enggan atau tidak mau mendaftarkan pekerjanya dalam
program jaminan sosial? Data di lapangan menunjukkan masih sangat banyak
pengusaha yang nakal tersebut, bahkan sejumlah 34 BUMN tidak mengikutsertakan
pekerjanya dalam program jaminan sosial dengan benar.
Data di PT
Jamsostek sekitar 12 juta lebih pekerja yang menjadi peserta aktif. Sekitar
11,8 juta merupakan peserta di sektor formal yang bekerja di 182.879 perusahaan
dan sisanya pekerja di sektor informal. Sementara angkatan kerja Indonesia di
tahun ini sekitar 117 juta jiwa.
Artinya,
terdapat 115 juta potensi pekerja yang belum menikmati program jaminan sosial.
Jumlah yang sangat, sangat besar!
Pertanyaan
yang muncul, mengapa tingkat kepesertaan sangat rendah? Jawabannya sangat
kompleks karena terkait dengan kemampuan dan kesadaran pengusaha, pekerja dan
penegakan hukum.
Harus
diakui bahwa kesadaran pengusaha sangat rendah, bahkan PT Jamsostek harus
menyurati 34 BUMN yang note bene milik negara agar memenuhi hak-hak pekerja,
memegang teguh peraturan perundangan dan menjalankan prinsip-prinsip tata
kelola perusahaan yang baik.
Hasilnya,
belum memuaskan. Bahkan, ada serikat pekerja BUMN yang menolak atau
menghalang-halangin manajemen untuk mendaftarkan anggotanya dalam progam
jaminan sosial. Alasan mereka beragam, termasuk sikap ingin untuk mengelola
sendiri dana jaminan sosial.
Secara
peraturan perundangan, menjadi peserta jaminan sosial adalah hak normatif
pekerja dan pengusaha dikenakan sanksi jika tidak melaksanakannya.
Kenyataannya, penegakan hukum bagi pengusaha dan BUMN nakal masih lemah.
Melempem
Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta dinas-dinas tenaga kerja di daerah yang
memiliki wewenang membuat berita acara pemeriksaan (BAP) dan menyeret pengusaha
ke pengadilan seperti melempem. Sangat sedikit pengusaha dan manajemen BUMN
yang diseret ke pengadilan dan tidak ada tindakan hukum yang memiliki efek jera
dan jerih bagi pengusaha.
PT
Jamsostek tidak memiliki wewenang untuk melakukan penegakan hukum, bahkan
setelah menjadi BPJS Ketenagakerjaan mulai 1 Januari 2014 nanti, kondisinya
akan tetap sama. BPJS Ketenagakerjaan hanya memiliki hak melakukan investigasi,
tetapi tidak memiliki wewenang membuat BAP apa lagi menyeret ke pengadilan
seperti Employees Provident Fund (EPF) di Malaysia.
Tidak hanya
itu, perusahaan di Malaysia jika dalam tujuh hari tidak melaporkan perubahan
upah pekerjanya ke EPF maka pada hari kedelapan akan mendapat panggilan dari
pengadilan.
Itu
menunjukkan betapa tingginya komitmen Kerajaan Malaysia pada pelindungan dari
risiko pada pekerja.
BPJS
Ketenagakerjaan nanti hanya bisa mengandalkan peningkatan kualitas pelayanan
dan penambahan manfaat bagi pekerja.
Selama ini
PT Jamsostek memperkenalkan sejumlah program tambahan seperti beasiswa, uang
muka perumahan, pelayanan kesehatan gratis, pengadaan ambulance, bantuan alat
K3, bantuan PHK dan bantuan dana bagi koperasi karyawan yang dananya berasal
dari deviden yang semula disetorkan pada pemerintah. Total DPKP yang sudah
disalurkan kepada pekerja Rp1,77 triliun.
Adalah
Ketua Umum Serikat Pekerja Nasional Bambang Wirahyoso yang menyatakan bahwa
program yang dibiayakan oleh DPKP ini sebagai pemanis (sweetener) bagi pekerja,
khususnya pengusaha bersenang hati menjadi peserta jaminan sosial.
Sialnya, di
kala pembahasan rancangan peraturan pelaksana (RPP) UU BPJS masih ada wakil
dari pemerintah yang justru memunculkan wacana untuk menghapus program DPKP
tersebut. Apa jadinya program jaminan sosial ketenagakerjaan minus penegakan
hukum itu nanti?
Mereka yang
menolak agaknya tidak paham bahwa pemanis itu adalah konsekwensi logis dari
lemahnya sistem dan penegakan hukum. Pengusaha masih menganggap iuran jaminan
sosial sebagai beban, bukan perlindungan dan hak pekerja, dan bukan pula
program yang membantu perusahaan memenuhi hak dan kesejahteraan pekerja.
Seharusnya,
pengusaha memandang program jaminan sosial sebagai pengalihan risiko kerja agar
mereka tidak perlu mengeluarkan biaya kesehatan jika pekerjanya sakit, atau
mengeluarkan uang duka jika terjadi kemalangan atau kecelakaan kerja.
Semua
risiko itu dialihkan dan menjadi tanggung jawab BPJS Ketenagakerjaan dan
Kesehatan. Kesadaraan akan hal ini yang masih rendah. Dan agaknya, jika
menimbang perjalanan program jaminan sosial ketenagakerjaan sejak 1978 maka
kecil kemungkinan pengusaha sadar akan hak pekerja, karena manajemen 34 BUMN
sekali pun masih tidak menyadarinya.
Diperlukan
penegakan hukum yang lebih tegas. Pemberdayaan yang lebih konkrit. Aparat
Kemenakertrans, dinas ketenagakerjaan, kejaksaan dan kepolisian yang bergigi
agar pengusaha nakal menjadi jera dan jerih. (www.antaranews.com)
No comments:
Post a Comment