Program
Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) sudah dipastikan akan menyatu ke dalam
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan per 1 Januari 2014.
Sebanyak
107 kabupaten/kota menandatangani nota kesepakatan untuk mengintegrasikan
Jamkesda ke BPJS Kesehatan.
Penandatanganan
kesepakatan ini dilakukan di sela-sela acara Rakernas Forum Sekretaris Daerah
Seluruh Indonesia (Forsesda), di Bandung, Rabu (13/11) tadi malam, yang
disaksikan Sekjen Kementerian Dalam Negeri Diah Anggraeni, Dirjen Keuangan
Daerah Kemendagri, Wakil Meneri PAN dan Direktur Utama PT Askes Fahmi Idris.
Fahmi
mengungkapkan, dari 165 kabupaten/kota yang menyelenggarakan Jamkesda selama
ini, 107 di antaranya memutuskan untuk bergabung dengan BPJS Kesehatan.
Mereka
sepakat skema iurannya sama dengan Penerima Bantuan Iuran (PBI) yaitu Rp19.225
per orang per bulan, sehingga asas portabilitas dalam BPJS Kesehatan terpenuhi.
Sisanya
atau 85 kabupaten/kota lainnya diharapkan segera menyusul. Pemerintah pusat
memberikan tenggak waktu tiga tahun kepada Jamkesda untuk menyatu dengan BPJS
Kesehatan, sejak badan ini mulai menjalankan fungsinya pada 1 Januari 2014.
“Jamkesda
akan unifikasi, disatukan dengan BPJS Kesehatan paling lama tiga tahun, yaitu
dari 2014 sampai 2016, dan 2017 Jamkesda sudah harus terintegrasi,” kata Fahmi.
Fahmi
menambahkan, dari 45,59 juta penduduk yang dikaver Jamkesda selama ini, 10,3
juta di antaranya adalah penduduk sangat miskin yang tidak masuk dalam PBI yang
bejumlah 86,4 juta jiwa.
Mereka yang
tidak masuk dalam PBI ini, iurannya akan ditanggung oleh pemda melalui APBD
yang lansung disetorkan kepada BPJS Kesehatan.
Dari 45,59
juta jiwa itu, kata Fahmi, sekitar 15 juta diantaranya sebetulnya dikelola oleh
Askes dengan dana dari APBD.
Oleh karena
itu, diharapkan mereka tidak menjadi asing lagi ketika integrasi itu dilakukan,
dan sebaliknya bisa menjadi motor penggerak untuk peserta Jamkesda lain bisa
segera bergabung.
Menurut
Fahmi, ada beberapa daerah yang mewacanakan untuk memiliki jaminan kesehatan
sendiri, misalnya Nanggroe Aceh Darusalam yang sudah memberlakukan pelayanan
gratis untuk seluruh penduduk.
Kepada
daerah ini, Fahmi menjelaskan, berbeda dengan Jamkesda, keuntungan yang
diperoleh dari BPJS Kesehatan jauh lebih besar kendati iurannya kecil.
Menurutnya,
BPJS bersifat gotong royong, di mana semakin banyak kepesertaan semakin besar
pula subsidi silang.
Biaya
pengobatan akan ditanggung secara gotong royong, sehingga orang sakit tidak
harus jatuh miskin lantaran biaya mahal. Ia mencontohkan, biaya operasi jantung
terbuka bisa mencapai Rp160 juta, maka sebetulnya biaya ini akan ditanggung
oleh sekitar 4.000 PNS yang menjadi peserta Askes.
Selain itu,
BPJS Kesehatan ini sifatnya nirlaba, artinya dana yang terkumpul dan tidak
terpakai tetap disimpan menjadi dana sosial badan. Dengan begitu, dana sosial
yang terkumpul semakin besar, dan manfaat yang diperoleh pun terus meningkat.
Anggota
BPJS Wacth Timboel Siregar mengatakan, keikutsertaan Jamkesda dalam BPJS
Kesehatan seharusnya wajib. Namun, dalam Peraturan Presiden (Perpres) 12/2013
tentang Jaminan Kesehatan yang sedang direvisi hanya bersifat mendorong.
Perpres
tersebut intinya menyebutkan bahwa pemda dapat mengikutsertakan rakyat miskin
menjadi peserta BPJS Kesehatan dengan tanggungjawab APBD.
“Kata dapat
ini artinya ya suka-suka pemdanya. Kami minta Dewan Jaminan Sosial Nasional
(DJSN) untuk menyurati Menteri Dalam Negeri agar integrasi itu diwajibkan dalam
peraturan. Sebab, kekhawatiran kita kalau tidak wajib, banyak rakyat miskin
bakal tercecer dari JKN,” kata Timboel.
BPJS Wacth
sendiri berharap, 45,59 juta peserta Jamkesda seluruhnya dimasukan ke dalam
BPJS Kesehatan, tidak hanya yang 10,3 juta.
Sebab, kata
dia, sebagian besar peserta Jamkesda adalah warga miskin dan hampir miskin atau
rentan miskin. Mereka ini bisa terancam jatuh miskin ketika sakit.
Kalau pun
ada daerah yang mengkaver seluruh rakyat, hanya sebagian kecil orang kaya yang
masuk di dalamnya.
Dari
seluruh daerah yang memberlakukan Jamkesda, hanya Aceh yang mengkaver seluruh
warganya baik miskin maupun kaya.
Tetapi,
orang kaya di Aceh sendiri diperkirakan hanya sekitar 10%. Sedangkan di Jakarta
saja, Kartu Jakarta Sehat (KJS) hanya mengkaver 4,5 juta warga miskin dari
sekitar 9 juta penduduk keseluruhan. (www.beritasatu.com)
No comments:
Post a Comment