Eddi Santosa
Penulis adalah koresponden detikcom
di Belanda. Tulisan ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan redaksi.
Skenario
finansial mengerikan ada di Senayan. Seperti sel kanker, mereka terus
membiakkan sel- sel perusak kesehatan keuangan. Duduk sebagai anggota DPR
selama 5 tahun, seterusnya menikmati pensiun sampai ajal menjemput. Mereka
tidak berpikir bahwa hal itu akan membebani generasi mendatang, karena pada
saatnya nanti akan terjadi akumulasi yang sangat menyulitkan.
Pensioen moet je opbouwen, kata orang Belanda. Pensiun itu
harus kamu bangun. Tidak cuma-cuma. Dibangun bertahun-tahun melalui premi yang
dipotong setiap bulan. PNS menikmati pensiun, bukan karena mereka
ongkang-ongkang kaki dan dimanjakan oleh negara, tetapi itu adalah uang mereka
sendiri, yang dipotong setiap bulan sebagai premi pensiun untuk tabungan dan
jaminan kesejahteraan hidup di hari tua. Dengan kata lain itu investasi mereka.
Konstruksi serupa bisa ditempuh swasta, kalau mau.
Melihat PNS
terima pensiun, politikus-politikus di Senayan kesannya iri, tanpa mau melihat
fakta bahwa itu uang jerih payah PNS yang 'dipaksa' disisihkan setiap bulan.
Jika uang diibaratkan darah, sesungguhnya politikus-politikus itu sudah terlalu
banyak menyedotnya melalui fasilitas-fasilitas dan tunjangan-tunjangan (di luar
gaji), yang hingga hari ini membuat anggota parlemen di Uni Eropa pun
tercengang dibuatnya. Politikus-politikus Indonesia makmur sejahtera 'mewakili
kesejahteraan rakyatnya', demikian ironi yang sudah beredar luas.
Di Eropa,
ambil contoh Belanda, anggota parlemen hanya ditanggung premi pensiunnya
sebesar 2% gaji. Berapa gaji mereka? Euro 7.311,56 bruto (belum dipotong pajak
52%). Setelah tidak terpilih lagi sebagai anggota parlemen, mereka harus
membangun pensiunnya sendiri dengan premi dari sumber penghasilan barunya.
Rezim keuangan untuk anggota parlemen di Belanda memang kurang menarik. Bahkan
di tingkat Dewan Kotapraja (DPRD) lebih 'kering' dari itu: tidak ada gaji,
hanya tunjangan, besarnya antara Euro 202 s/d Euro 2.094 (maksimal), tergantung
jumlah warga. Jadi, kedudukan sebagai anggota parlemen betul-betul hanya untuk
mereka yang memang bukan untuk mencari uang, tapi pengabdian pada negara atau
warganya.
Kalau
rakyat mau sejahtera, memang sudah seharusnya politikus itu demikian, berwatak
negarawan, mengutamakan kepentingan negara dan rakyatnya. Untuk negara dan
rakyatnya mereka berpikir siang malam, mencari rumusan-rumusan UU yang dapat
dijadikan dasar hukum oleh pemerintah menuju pencapaian kesejahteraan dan
kemakmuran sesuai diamanatkan oleh konstitusi. Sebaliknya UU menyangkut
parlemen sendiri, menyangkut gaji, fasilitas dan tunjangan, dibuat sangat
hemat, bersahaja. UU parlemen yang telah usang, yang memberi kemewahan dan
tidak sesuai dengan tantangan zaman, dihapuskan. Seyogyanya Senayan begitu,
untuk Indonesia. Hanya dengan begitu Indonesia Merdeka bisa betul-betul
bermakna.
La Mana
Maestra, 08 November 2013
(news.detik.com)
No comments:
Post a Comment