Oleh Tulus Budi
Kepala Puskesmas I Wangon, Dokter
Teladan Kabupaten Banyumas 2013
Selain
pileg dan pilpres, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah salah satu isu seksi
menjelang
2014 bagi kalangan medis maupun nonmedis. Per 1 Januari mendatang pemerintah akan mengimplementasikan jaminan
itu secara bertahap secara nasional, termasuk di Jateng.
Jaminan itu
adalah wujud sistem perlindungan sosial dalam bidang kesehatan yang
diselenggarakan melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial, dan bersifat
wajib (mandatory). Kebijakan itu juga merupakan perwujudan komitmen konstitusi.
Sila ke-5
Pancasila mengakui hak asasi warga atas kesehatan, dan juga termaktub dalam
Pasal 28 H Ayat 1 dan Pasal 34 UUD 1945. Payung hukum lain adalah UU Nomor.
36/2009 tentang Kesehatan, yang mengamanatkan tiap orang punya hak sama
memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.
Pelaksanaan
jaminan itu diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) yang akan mengelola. Institusi BPJS terdiri atas BPJS
Kesehatan yang merupakan transformasi PT Askes dan BPJS Ketenagakerjaan, yakni
transformasi PT Jamsostek.
Sistem
asuransi sosial itu mengurangi risiko masyarakat menanggung biaya kesehatan
dari kantong sendiri dalam jumlah yang tak bisa diprediksi, bahkan adakalanya
memerlukan biaya sangat besar. Padahal sakit bisa saja datang ketika seseorang
sudah tak lagi produktif, penghasilan mulai menurun, atau bahkan tidak
berpenghasilan karena sakit.
Dengan
jaminan itu, pembiayaan kesehatan ditanggung secara gotong royong oleh seluruh
peserta. Tiap peserta harus membayar iuran tertentu tiap bulan atau premi.
Premi itu berbeda dari premi asuransi komersial yang relatif tinggi. Selain
terjangkau, premi asuransi sosial JKN memberikan manfaat komprehensif dengan
kendali biaya dan mutu.
Bagi
penderita cacat, fakir miskin, dan orang tidak mampu maka premi atau iuran akan
dibayarkan oleh pemerintah, dan mereka disebut Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Kriteria PBI ditentukan pemerintah, bukan mendaftar sebagai PBI. Pegawai
negeri/swasta serta orang mampu lain sebagai peserta non-PBI, harus membayar
iuran/premi secara mandiri melalui potongan penghasilan tiap bulan atau mekanisme
lain.
Tepat
Sasaran
Sejauh ini,
besaran premi untuk PBI yang disetujui pemerintah Rp 19.225/bulan. Melihat
kemampuan daya beli masyarakat, jumlah ini tergolong murah dan terjangkau bagi
sebagian besar masyarakat. Karena itu, dalam menentukan kriteria PBI pemerintah
harus benar-benar selektif. Belajar dari program Jamkesmas yang banyak
tidak tepat sasaran, mengingat warga yang mampu faktanya mendapatkan,
sementara yang benar-benar tidak mampu justru tidak terdaftar hingga muncul
program Jamkesda atau Kartu Sehat.
Mengapa
murah dan terjangkau? Kita ambil contoh kehidupan perokok yang banyak mencakup
segmen menengah ke bawah masyarakat. Jika dalam sehari hanya habis 1 batang
rokok dengan harga per batang Rp 1.000 maka dalam sebulan dia menghabiskan Rp
30.000, masih lebih besar dari premi PBI.
Padahal
bagi pecandu, tidak mungkin hanya merokok sebatang per hari. Di antara mereka
bahkan ada yang ’’rela’’ tidak makan daripada tidak merokok. Di sisi lain, gaya
hidup terkini menempatkan ponsel sebagai ’’kebutuhan pokok’’ bagi sebagian
besar masyarakat. Konsekuensinya, kebutuhan pulsa adalah biaya pasti yang
dikeluarkan pengguna tiap bulannya.
Jika biaya
pulsa per bulan lebih dari Rp 20 ribu dan mampu secara ekonomi, layakkah ia
jadi peserta PBI? Belum lagi jika melihat jenis ponselnya. Tidak sedikit
pemegang Jamkesmas menggunakan ponsel canggih saat berobat.
Sudah
selayaknya pemerintah memperhitungkan rokok dan pulsa sebagai bagian dari
kriteria menentukan peserta PBI JKN.
Dengan demikian,
pemerintah dapat menghemat anggaran, yang bisa dialihkan untuk memperluas
cakupan peserta yang benar-benar tidak mampu, memperbaiki kualitas pelayanan
kesehatan melalui perbaikan sarana prasarana, jenis obat, kualitas SDM
kesehatan dan kesejahteraannya. (www.suaramerdeka.com)
No comments:
Post a Comment