Monday, November 18, 2013

Pulsa dan Kriteria Miskin

Oleh Tulus Budi
Kepala Puskesmas I Wangon, Dokter Teladan Kabupaten Banyumas 2013

Selain pileg dan pilpres, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah salah satu isu seksi
menjelang 2014 bagi kalangan medis maupun nonmedis. Per 1 Januari mendatang  pemerintah akan mengimplementasikan jaminan itu secara bertahap secara nasional, termasuk di Jateng.
Jaminan itu adalah wujud sistem perlindungan sosial dalam bidang kesehatan yang diselenggarakan melalui me­kanisme asuransi kesehatan sosial, dan bersifat wajib (mandatory). Kebijakan itu juga merupakan perwujudan komitmen konstitusi.
Sila ke-5 Pancasila mengakui hak asasi warga atas kesehatan, dan juga termaktub dalam Pasal 28 H Ayat 1 dan Pasal 34 UUD 1945. Payung hukum lain adalah UU Nomor. 36/2009 tentang Kesehatan, yang mengamanatkan tiap orang punya hak sama memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.
Pelaksanaan jaminan itu diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penye­lenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang akan me­ngelola. Institusi BPJS terdiri atas BPJS Kesehatan yang merupakan transformasi PT Askes dan BPJS Ketenagakerjaan, yakni transformasi PT Jamsostek.
Sistem asuransi sosial itu mengurangi risiko masyarakat menanggung biaya kesehatan dari kantong sendiri dalam jumlah yang tak bisa diprediksi, bahkan adakalanya memerlukan biaya sangat besar. Padahal sakit bisa saja datang ketika seseorang sudah tak lagi produktif, penghasilan mulai menurun, atau bahkan tidak berpenghasilan karena sakit.
Dengan jaminan itu, pembiayaan kesehatan ditanggung secara gotong royong oleh seluruh peserta. Tiap peserta harus membayar iuran tertentu tiap bulan atau premi. Premi itu berbeda dari premi asuransi komersial yang relatif tinggi. Selain terjangkau, premi asuransi sosial JKN memberikan manfaat komprehensif dengan kendali biaya dan mutu.
Bagi penderita cacat, fakir miskin, dan orang tidak mampu maka premi atau iuran akan dibayarkan oleh pemerintah, dan mereka disebut Penerima Bantuan Iuran (PBI). Kriteria PBI ditentukan pemerintah, bukan mendaftar sebagai PBI. Pegawai negeri/swasta serta orang mampu lain sebagai peserta non-PBI, harus membayar iuran/premi secara mandiri melalui potongan penghasilan tiap bulan atau mekanisme lain.
Tepat Sasaran
Sejauh ini, besaran premi untuk PBI yang di­setujui pemerintah Rp 19.225/bulan. Melihat kemampuan daya beli masyarakat, jumlah ini tergolong murah dan terjangkau bagi sebagian besar masyarakat. Karena itu, dalam menentukan kriteria PBI pemerintah ha­rus benar-benar se­lek­tif. Belajar dari program Jam­­kes­mas yang ba­­nyak tidak te­­pat sa­saran, me­ngingat warga yang mam­pu faktanya mendapatkan, se­men­tara yang benar-benar ti­dak mam­pu justru tidak ter­daftar hingga muncul program Jam­kes­­da atau Kartu Se­hat.
Mengapa murah dan terjangkau? Kita ambil contoh kehidupan perokok yang banyak mencakup segmen menengah ke bawah masyarakat. Jika dalam sehari hanya habis 1 batang rokok dengan harga per batang Rp 1.000 maka dalam sebulan dia menghabiskan Rp 30.000, masih lebih besar dari premi PBI.
Padahal bagi pecandu, tidak mungkin hanya merokok sebatang per hari. Di antara mereka bahkan ada yang ’’rela’’ tidak makan daripada tidak merokok. Di sisi lain, gaya hidup terkini menempatkan ponsel sebagai ’’kebutuhan pokok’’ bagi sebagian besar masyarakat. Konsekuensinya, kebutuhan pulsa adalah biaya pasti yang dikeluarkan pengguna tiap bulannya.
Jika biaya pulsa per bulan lebih dari Rp 20 ribu dan mampu secara ekonomi, layakkah ia jadi peserta PBI? Belum lagi jika melihat jenis ponselnya. Tidak sedikit peme­gang Jamkesmas menggunakan ponsel canggih saat berobat.
Sudah selayak­nya pe­merintah mem­per­hi­tung­kan rokok dan pulsa sebagai bagian dari kriteria menentukan peserta PBI JKN.
Dengan demikian, pe­me­rintah dapat menghemat anggaran, yang bisa dialihkan untuk memperluas cakupan peserta yang benar-benar tidak mampu, memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan melalui perbaikan sarana prasarana, jenis obat, kualitas SDM kesehatan dan kesejahteraannya. (www.suaramerdeka.com)


No comments:

Post a Comment