Allah Swt. berfirman:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS: Al-Dzariyat [51]: 56).
Segala bentuk aktifitas ibadah yang
dilakukan manusia dan jin yang
ditujukan kepada Tuhannya,
sama sekali tidak akan
memiliki manfaat
apapun, bila
dinisbatkan
kepada eksistensi Tuhan itu sendiri. Karena Allah Swt. adalah Dzat Yang Maha
Kaya, ketaatan para hamba-Nya tidak akan pernah bisa untuk mengagungkan-Nya, dan
kemaksiatannya tidak akan pernah mampu untuk menghancurkan-Nya. Allah Swt.
menciptakan mereka
lalu
memerintahkan untuk menyembah-Nya, semata-mata demi kebaikan dan kesempurnaan para
hamba-Nya
sendiri. Melalui metode
ibadah, seorang hamba akan dapat berkomunikasi dan bertemu dengan Tuhannya, jika
mereka mampu menghiasi diri dengan pancaran cahaya kesucian-Nya.
Allah Swt. telah menciptakan
bermacam-macam bentuk ibadah. Ini membuktikan, ibadah bisa dilakukan dengan pelbagai
macam cara, dan tidak hanya terpaku oleh satu cara. Ibadah juga mampu menghiasi
pada segala aspek kehidupan manusia. Ia juga memiliki fungsi positif yang dapat
ditanamkan pada nilai-nilai kemanusiaan, meskipun pada kenyataannya manusia itu
majmuk dan berbeda.
Bagi mereka yang mampu memahami
maksud dan tujuan Allah Swt, serta mampu menyingkap rahasia-rahasia di balik
penciptaan alam ini, dengan menyatakan bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha
Sempurna, sementara manusia tidak, maka segala bentuk kegiatan yang mereka
lakukan adalah jalan untuk bisa bertemu dengan-Nya kelak. Karena kebahagiaan
hanya bisa dicapai jika manusia berjalan menggunakan neraca keikhlasan sembari mengikuti
panji-panji Ilahi. Sehingga mereka akan menemukan apa yang disebut dengan “muara kasih
sayang Tuhan.” Mereka akan mampu memaknai perjalanan hidup ini seperti mereka
memahami fungsi
ibadah kepada-Nya. Mereka menjadikan profesi, pola hidup,
lingkungan, bahkan pola bersikap, sebagai sesuatu yang memiliki nilai positif. Sebagaimana fungsi positif dalam ibadah itu sendiri. Pada
akhirnya, kapanpun
dan di manapun kehidupan merupakan bentuk rangkaian peribadatan kepada-Nya.
Sejarah membuktikan bahwa proses
menjadikan segala sesuatu dalam kehidupan ini sebagai bentuk ibadah kepada-Nya bukanlah
hisapan jempol belaka, atau bahkan terkesan mengada-ada. Dalam hal ini, tentu Rasulullah
Saw. adalah insan
yang sangat
tepat untuk kita teladani. Hal ini juga dapat kita lihat dalam al-Qur’an ketika Allah memerintahkan rasul-Nya untuk
menyatakan bahwa semua ibadah dan kehidupan kita hanyalah milik-Nya semata.
"Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan
matiku hanyalah untuk Allah Swt., Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan
demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang
pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (QS:
Al-An’am [6]: 162-163).
Shalat merupakan pilar agama. Barang siapa yang
mendirikannya, maka ia akan mengokohkan agama. Sebaliknya, barang siapa
yang meninggalkannya, maka ia akan
menghancurkan agama. Pernyataan ini akan senantiasa berlaku dengan catatan bahwa shalat
ditegakkan dengan benar, diniati dengan sungguh-sungguh murni mencari ridha Allah
Swt. dan rasul-Nya. Sehingga pada tataran fungsinya, shalat dapat mencegah
segala bentuk perbuatan keji dan kemunkaran, baik antara manusia dengan
Tuhannya, manusia dengan manusia, maupun manusia dengan lingkungan alamnya.
Bila kita kaitkan dalam konteks kekinian, akan kita dapati bahwa barang siapa yang
berhasil menegakkan shalat dengan benar, maka ia akan terhindar dari perilaku-perilaku radikal dan anarkis; suatu tindakan yang dapat merusak
dan merugikan dirinya sendiri dan orang lain.
Adapun kata shalat (الصلاة) berasal dari bentuk kata tunggal al-shilah (الصلة) yang memiliki
beberapa makna. Pertama, ia bermakna menghubungkan seorang hamba dengan
Tuhannya. Kedua, ia menuntun seorang hamba untuk sampai kepada keridhaan Tuhannya. Dan ketiga, ia mengantarkan seorang hamba
kepada pertolongan Tuhan Yang Maha Esa.
Berdasarkan ketiga makna di atas, shalat menjadi pilar
penting dalam agama. Oleh karena itu, shalat harus tetap didirikan meskipun
dalam situasi genting. Misalnya, ketika berada dalam medan pertempuran
sekalipun. Sebagaimana disabdakan Rasulullah Saw., “Beristiqamahlah kalian semua dalam mendirikan shalat dan jangan sekali-kali berpaling untuk meninggalkannya. Serta tetaplah senantiasa beramal kebaikan. Ketahuilah bahwa sebaik-baik amal umatku adalah shalat.
Dan tidak ada umat lain yang lebih bisa menjaga kesucian (jiwa dan raganya)
kecuali umat Islam.”
Sebagai umat Islam masa kini, kita tidak akan pernah bisa
lepas dari sejarah umat Islam masa lampau. Mengenai betapa pentingnya shalat, kita bisa melihat kembali rekaman peristiwa kala sahabat Umar bin Khattab senantiasa mendirikan shalat meskipun dalam keadaan terluka.
Diriwayatkan oleh Imam Malik r.a. dari Hisyam bin ‘Urwah r.a. dari ayahnya, dia berkata “Pada suatu malam al-Musawar bin Mukhramah r.a. mendatangi sahabat Umar bin Khattab yang sedang
menderita luka tusuk. Ia bertujuan untuk membangunkan beliau agar mendirikan shalat
shubuh. Dengan seketika sahabat Umar bin Khattab bangun dan berkata, “Seseorang yang meninggalkan shalat tidak akan pernah bisa meraih
kemenangan.” Sesaat setelah itu, sahabat Umar bin Khattab langsung mendirikan shalat, dan pada akhirnya lukanya pun
mengeluarkan darah.
Oleh karena itu, terdapat dua hadits yang selayaknya harus selalu diingat oleh setiap muslim. Dua hadits ini memegang
peranan penting sekaligus sebagai pilar paling asasi dalam setiap aspek keagamaan. Dua hadits tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim dari Sahabat Jabir r.a. yang menyatakan bahwa sahabat Jabir
r.a. pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda, “Pembeda antara orang muslim,
orang musyrik dan orang kafir adalah yang meninggalkan shalat.” Hadits ini
dengan sangat sederhana memberikan informasi kepada kita bahwa yang membedakan
antara umat Islam dan umat yang lainnya adalah ibadah shalat. Maka barang siapa
yang mendirikan shalat, ia akan mengokohkan pilar agama. Dan barang siapa yang
meninggalkannya, maka ia akan keluar dari barisan umat Islam.
Kedua, hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Tirmidzi dari sahabat Buraidah r.a. bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Periode
yang membedakan antara kita (umat Islam) dengan mereka (umat selain Islam)
adalah perintah mendirikan shalat. Barang siapa yang meninggalkan shalat, maka
sesungguhnya ia telah kafir (tidak termasuk sebagai umat Islam).”
Dalam riwayat lain, diceritakan oleh Syafiq bin Abdillah r.a.
ketika ia sedang berdialog tentang peringatan bagi mereka yang meninggalkan atau
yang meremehkan perintah shalat, ia berkata, “Tak satupun dari para sahabat Rasulullah
Saw. yang berbeda pendapat bahwa tidak ada amalan apapun yang jika ditinggalkan
akan menyebabkan seseorang menjadi kafir, kecuali meninggakan shalat.”
No comments:
Post a Comment