Pada 1 Oktober 1948 pesawat terbang Dakota RI 002 hilang dalam penerbangan antara Tanjung Karang dan Bengkulu. Salah satu penumpangnya adalah Wakil Residen Banten Samaun Bakry. Baru sekitar 30 tahun kemudian ada kabar di mana lokasi jatuhnya pesawat yang sangat bersejarah itu...
RIWAYAT Dakota RI 002 adalah cerita
kepahlawanan, keberanian serta semangat mengatasi segala macam kesulitan yang
muncul dalam suatu keadaan yang serba terbatas, bahkan kekurangan. Juga cerita
kecintaan pada dunia terbang dan mengenai persahabatan antarbangsa. Bahkan, Dakota
RI 002 punya peran penting bagi sejarah perjalanan Angkatan Udara Republik
Indonesia (AURI). Pesawat yang juga disebut Dakota DC-3 atau Dakota Douglas
C-47 tersebut merupakan pesawat AURI pertama yang sesuai untuk operasi militer
dan transportasi. Istilah Dakota Douglas C-47 biasa dipakai untuk pesawat
militer sedangkan istilah Dakota DC-3 digunakan untuk pesawat sipil. Ya, Dakota
RI 002 memberi warna tersendiri bagi sejarah penerbangan di Indonesia. Sejarah
penerbangan pada fase perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Sejarah
penerbangan di Indonesia mengenal tiga fase. Pertama, fase penerbangan kolonial. Kedua, fase penerbangan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dan ketiga, fase penerbangan nasional.
Penerbangan
yang pertama-tama dilakukan oleh orang di Indonesia terjadi pada tanggal 19
Februari 1913 di Surabaya, Jawa Timur. Pada hari itu seorang penerbang Belanda
bernama J.W.E.R. Hilgers melakukan penerbangan yang pertama di Indonesia dengan sebuah pesawat terbang jenis
Fokker. Hilgers tidak hanya melakukan penerbangan yang pertama, tapi mengalami
kecelakaan udara yang pertama pula di Indonesia. Hari itu juga Hilgers jatuh
bersama pesawatnya di Kampung Baliwerti. Bersyukur, dia berhasil menyelamatkan
diri.
Setahun
berselang Angkatan Udara Hindia Belanda mendirikan lembaga yang dinamakan P.V.A
atau Proef Vlieg Afdeling (Bagian
Penerbangan Percobaan). Letnan Hilter Poorten ditunjuk untuk memimpin lembaga
ini. Pesawat-pesawat yang dipergunakan adalah Glenn Martin Hydroplanes. Terlalu
jauh bila buku biografi sejarah Samaun Bakry ini menuliskan panjang-lebar
sejarah perkembangan penerbangan di Indonesia. Sebab itu, untuk melengkapi
kisah Dakota RI 002, cukuplah kita ikuti peristiwa-peristiwa penting yang
sempat menghiasi perjalanan sejarah penerbangan di Indonesia.
Dimulai
tanggal 1 November 1928 berdiri perseroan lalu-lintas udara K.N.I.L.M dengan
modal awal f5.000.000. Perseroan ini terbentuk berkat kerja sama antara
Deli-Maatschappy, Nederlandse Handel Maatschappy, K.L.M, badan-badan perdagangan
lain yang mempunyai kepentingan di Indonesia, dan Pemerintah Hindia Belanda. Dengan
pesawat-pesawat penumpang jenis Fokker F-7, pada hari itu juga dibuka transportasi
udara dari Jakarta ke Semarang (1x sehari) dan dari Jakarta ke Bandung dengan
frekuensi yang sama. Kedua rute tersebut cukup diminati ketika itu.
Lalu pada
tanggal 8 Desember 1941 pecahlah Perang Pasifik, yang memasukkan Hindia Belanda
ke dalam kancah peperangan. Segera terasa kekurangan-kekurangan dari
penerbangan kolonial tersebut. Salah satu kekurangannya adalah Pemerintah
Kolonial tidak pernah memikirkan untuk membangun industri pesawat terbang di
Hindia Belanda. Padahal, banyak pelaku usaha yang menjadikan Hindia Belanda
sebagai “pasar” bagi industri penerbangan Belanda.
Setelah
penyerbuan Jerman ke Negeri Belanda pada 15 Mei 1940, penerbangan Hindia
Belanda pun menggantungkan nasibnya kepada impor pesawat terbang dari Amerika
Serikat –yang pada masa itu juga sibuk sendiri. Pesawat-pesawat pemburu
Brewster “Buffalo” yang semula dipesan Finlandia kemudian dioperkan ke Inggris,
akhirnya diekspor ke Hindia Belanda dan Malaya, tentu saja dengan reklame yang
seperlunya. Pesawat Buffalo ini merupakan pesawat yang kurang modern. Padahal, waktu
itu, Jepang datang menyerang dengan pesawat-pesawat terbang terbaik yang dapat
dihasilkan industri nasional Negeri Matahari Terbit itu.
Jelas,
pesawat impor itu kalah sigap dibandingkan pesawat-pesawat berbendera Jepang.
Tak pelak, dalam tempo tiga bulan peperangan, pesawat-pesawat Hindia Belanda impor
Amerika habis terpakai. Sementara itu upaya impor tidak memungkinkan lagi. Dari
sini dapat ditarik pelajaran bahwa kita harus memprioritaskan kemandirian pembangunan
industri pesawat terbang dalam negeri.
Kemudian, di
masa pendudukan Jepang, penerbangan relatif tidak berkembang. Tidak ada putra-putra
Indonesia yang dididik menjadi penerbang atau anak buah pesawat lainnya. Penerbangan
militer Jepang terbagi ke dalam penerbangan angkatan darat (Rikugun Butai) dan penerbangan angkatan
laut (Kaigun Koku Butai). Sedangkan
penerbangan lalu-lintas di Indonesia diselenggarakan oleh Nampo Koku Kabushiki Kaisha (perseroan lalu-lintas udara daerah
selatan).
Perjuangan Mempertahankan
Kemerdekaan
Pada
tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Secara
serentak bangkitlah segenap rakyat Indonesia untuk merebut kekuasaan dari
pemerintah balatentara Nippon. Termasuk merebut lapangan terbang yang ada.
Setelah melalui pertempuran yang memakan waktu relatif singkat, tentara pendudukan
Nippon bertekuk-lutut. Demikianlah Republik Indonesia memperoleh kekuasaan atas
sejumlah besar lapangan terbang yang pada mulanya dijaga oleh pasukan-pasukan
bersenjata atau orang angkatan darat.
Tidak lama berselang,
beberapa bulan setelah proklamasi, terjadi perubahan oleh karena di Yogyakarta
didirikan Markas Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Jawatan Penerbangan yang
bertugas membangun dan menyusun peta jalan (road
map) penerbangan militer. Sekaligus pula mengemban tugas merintis jalan
penerbangan sipil. Sebagai kepala staf diangkatlah Komodor Udara R. Soerjadi
Soerjadarma yang pernah memperoleh pendidikan opsir pada Koninklijke Militaire Academie di Breda (Nederland) dan kemudian
meninggalkan dinasnya dalam infanteri untuk berpindah ke Militaire Luchtvaart (penerbangan angkatan darat). Setelah itu dia
dijadikan instruktur waarnemersschool
(sekolah navigator) di Kalijati, Subang, Jawa Barat. Tatkala balatentara Nippon
menyerbu Indonesia, dia ikut bertempur di udara, antara lain pemboman atas Miri
dan Selat Makasar. Segera setelah proklamasi kemerdekaan, dia terjun di
kalangan pimpinan organisasi pemuda daerah Pasundan hingga kemudian dipanggil
ke ibukota untuk diserahi tampuk pimpinan angkatan udara.
Pasca
terbentuknya TKR Jawatan Penerbangan segera dimulailah pembangunan penerbangan
nasional Indonesia. Sebagai pusat dipilih kota Yogyakarta dengan Pangkalan
Udara Maguwo. Lapangan-lapangan terbang yang lain diserahkan satu per satu
kepada instansi baru ini. Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan karena
hanya satu-dua lapangan terbang yang dalam keadaan baik. Sebagian besar praktis
dalam keadaan rusak, kosong atau tak terawat sama sekali. Banyak pula yang
telah dijadikan kebun sayur sehingga yang tersisa tinggal landasannya. Sungguh
tidak mudah membangun dinas penerbangan yang lengkap di masa politik yang tidak
stabil dan blokade ekonomi. Dinas teknik, dinas minyak dan bahan bakar, dinas
pelaporan cuaca, dan dinas radio harus ada dalam manajemen setiap lapangan
terbang sebelum penerbangan dimulai.
Pesawat
terbang buatan Nippon yang ada sungguh mengecewakan. Pengetahuan personil
bangsa Indonesia tentang pesawat-pesawat buatan Nippon relatif sedikit, tidak
ada buku penuntun (kalaupun ada sulit dibaca karena ditulis dalam huruf kanji),
dan suku cadang tidak tersedia. Dengan fakta semacam ini, keuletan para juru
teknik bangsa Indonesia hingga kemudian berhasil menjadikan pesawat-pesawat
tersebut bisa dipakai sampai Agresi Militer II pantaslah kita hargai.
Pada
tanggal 28 Oktober 1945, beberapa orang juru teknik Indonesia berhasil
menyiapkan sebuah pesawat terbang dua sayap “Tjureng” di Pangkalan Udara
Maguwo. Seorang penerbang bangsa Indonesia yang sebelum pecah perang mendapat
pendidikan di Militaire Luchtvaart namun
selama 3,5 tahun masa pendudukan Jepang tak pernah terbang naik ke dalam
pesawat dan langsung menerbangkannya. Dia berhasil terbang kendati pesawat
buatan Nippon tersebut sama sekali asing baginya. Penerbang itu adalah mendiang
Agustinus Adisutjipto yang pada hari itu membubung ke angkasa dengan pesawat
terbang Merah-Putih untuk pertama kali. Dan nama Adisutjipto kini diabadikan
menjadi nama Pangkalan Udara Maguwo, Yogyakarta.
Lalu, pada
awal Desember 1945 dimulai pendidikan juru terbang di Yogyakarta di bawah
pimpinan mendiang Adisutjipto. Beberapa puluh orang murid penerbang –baik yang
berasal dari penerbangan Belanda (ML, MLD dan VVC) maupun pemuda-pemuda yang
baru masuk—memperoleh pendidikan terbang dengan instruktur mendiang
Adisutjipto. Sebab itu, mendiang Adisutjipto layak disebut sebagai bapak para
penerbang Indonesia.
Pesawat-pesawat
terbang yang dipergunakan buat pelatihan adalah pesawat dua sayap “Tjureng” buatan
Nippon tahun 1933. Walaupun dimaksudkan buat pesawat pelatihan tingkat lanjut,
pesawat-pesawat “Tjureng” itu dimanfaatkan pula sebagai pesawat pelatihan
permulaan dengan hasil yang baik.
Penerbang-penerbang
RAF yang terkadang datang di Pangkalan Udara Maguwo dan melihat pesawat-pesawat
pelatihan itu merasa kagum dengan keberanian para penerbang Indonesia untuk terbang
dengan pesawat-pesawat “Tjureng”. Salah seorang di antara mereka dengan
ragu-ragu memeriksa kawat-kawat pemegang sayap. Sesunggungnya pesawat-pesawat
“Tjureng” itu sudah lama harus diganti dengan pesawat yang baru.
Memasuki
tahun 1946 mulai tampak hasil dari pekerjaan yang telah dilakukan sampai masa
itu. Dengan penetapan Presiden Republik Indonesia tertanggal 9 April 1946
berdirilah sesuatu Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) yang merdeka,
sederajat dengan Angkatan Laut dan Angkatan Darat.
Kemudian
AURI melakukan pelbagai penerbangan yang secara umum dilakukan oleh beberapa
buah pesawat di dalam berbagai formasi. Berkaitan dengan proses
perundingan-perundingan tentang penyingkiran tawanan perang dan kaum interiran Serikat, prajurit-prajurit
AURI mengadakan penerbangan ke Jakarta. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 23
April 1946 dengan tiga buah pesawat Tjatjikawa 98 “Tjukiu” yang dengan langsung
terbang dari Yogyakarta ke Jakarta memakan waktu 1 ¾ jam. Sayang, waktu
mendarat, pesawat yang ditumpangi almarhum Komodor Udara Halim Perdanakusuma
itu mengalami kerusakan pada alat pendarat namun penerbang dan penumpangnya
selamat.
Keesokan
harinya Komodor Udara Soerjadarma terus terbang ke Banten dan melintasi Selat
Sunda lalu ke Sumatera Selatan. Karena cuaca buruk, dari Lapangan Terbang
Branti (Tanjung Karang) dia terpaksa kembali lagi ke Banten.
Beberapa hari
setelah itu sebuah formasi yang terdiri dari enam buah pesawat dua sayap
bertolak ke Banten dan Sumatera Selatan. Sayangnya waktu dalam perjalanan
pulang mengalami kecelakaan. Sebuah pesawat “Tjureng” yang dipiloti mendiang
Komodor Udara Agustinus Adisutjipto mengalami kerusakan motor dan terpaksa
melakukan pendaratan darurat di pantai selatan Jawa Barat. Malang benar,
pesawat tersebut menabrak sebatang pohon kelapa dan terjungkir di pantai. Penerbangnya
dapat menyelamatkan diri namun penumpangnya, Tarsono Rudjito, jatuh
terpelanting dan patah tulang belakangnya. Dia meninggal pada 6 Juli 1946
setelah dirawat di sebuah rumah sakit di Tasikmalaya dan menjadi korban pertama
pembangunan penerbangan nasional Indonesia.
Penerbangan-penerbangan
AURI tidak hanya dilakukan ke arah wilayah barat Indonesia melainkan juga ke
wilayah lain Indonesia. Malahan bila pada masa itu sudah ada pesawat-pesawat
terbang jarak jauh, tentulah AURI lebih jauh melebarkan sayapnya. Yang menarik
perhatian, salah satunya, adalah penerbangan pertama ke Pulau Madura oleh Opsir
Udara I Sujono dan Komodor Udara Halim. Karena belum disiapkan lapangan terbang
di Madura, mereka terpaksa mendarat di sebuah lapangan tempat pembuatan garam.
Penerbangan
nasional Indonesia tidak lepas pula dari pengorbanan di masa perjuangan. Pada
akhir September 1946 misalkan, sebuah pesawat pengintai bermotor satu
Tjatjikawa 98 “Tjukiu” jatuh terbakar di Kampung Gowongan, Yogyakarta. Dua
penumpangnya –Opsir Husen Sastranegara dan juru teknik Sersan Rukidi—gugur. Peristiwa
ini menjadi pukulan berat bagi AURI karena Opsir Husen Sastranegara dikenal
sebagai penerbang yang berpengalaman.
Sekadar
pengetahuan bahwa pesawat yang jatuh itu semula direncanakan untuk menerbangkan
Perdana Menteri Sutan Sjahrir ke Malang, Jawa Timur. Karena sesuatu hal rencana
itu diurungkan.
Tepat
sepekan setelah itu sebuah pesawat Tjutjikawa 98 “Tjukiu” yang lain jatuh dan
terbakar di Ambarawa, Jawa Tengah. Kedua penumpangnya, Opsir Penerbang Wim
Prajitno dan Kadet Udara Sunharto, gugur. Kedua orang itu merupakan
tenaga-tenaga muda yang sesungguhnya memberi harapan di kemudian hari.
Di masa
perjuangan fisik pasca proklamasi kemerdekaan, perhubungan udara antara Jawa
dan Sumatera sangatlah vital. Kendati begitu baru tahun 1947 dapat dilakukan
penerbangan Jawa-Sumatera. Pangkalnya, pesawat bermotor tunggal buatan Nippon sudah
berusia tua dan tidak cocok dengan medan alam yang masih berupa rimba raya,
jarak yang relatif jauh, penduduk masih relatif sedikit dan perhubungan jalan
darat yang buruk.
Melihat
kondisi tersebut, Pemerintah menyewa pesawat Dakota dari luar negeri karena
Bukittinggi (ibukota Sumatera saat itu) sangat membutuhkan perhubungan langsung
dengan pemerintah pusat. Namun, lapangan terbang di kota itu ternyata belum
disiapkan. Untuk menghemat waktu, opsir tentara payung Sudjono dan Sukotjo
turun dengan payung di lapangan terbang Bukittinggi. Keduanya disambut gembira
penduduk setempat. Segera setelah itu, bersama penduduk setempat dan pemerintah
lokal, mereka bergotong-royong membersihkan lapangan terbang. Tepat pada waktu
yang telah direncanakan mendaratlah pesawat Dakota yang pertama di Bukittinggi.
Namun lantaran suasana politik yang tidak stabil waktu itu penerbangan ke
Bukittinggi tidak bisa berjalan rutin.
AURI terus
berada di ranah perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Tanggal 21 Juli 1947
Belanda mulai melakukan aksi militer terhadap Republik Indonesia. Tentara
Kerajaan Belanda pagi itu mulai dengan pemboman dan penyerangan dari udara
serentak terhadap seluruh pangkalan atau lapangan terbang Republik. Hanya
Pangkalan Udara Maguwo yang tidak diserang karena saat itu diselimuti kabut
tebal. Pesawat Dakota dari Thailand yang membawa bekas Perdana Menteri Sutan
Sjahrir ke luar negeri baru saja meninggalkan Maguwo sekitar 15 menit tatkala
pesawat-pesawat pemburu Kittyhawk muncul di atas langit Yogyakarta untuk
mencari sasarannya. Untung mereka tidak berhasil lantaran kabut yang tebal
tadi.
Lapangan
terbang Bugis di dekat kota Malang mengalami kerusakan paling parah. Sejumlah
besar pesawat terbang, antara lain pesawat pemburu Hayabusha (Oscar), pesawat
pengintai strategis Shinsitei (Dinah) dan pesawat pembom Diponegoro (Lily)
dihancurkan di tanah oleh pesawat tempur Fairey Firefly. Tidak saja pangkalan
udara di Kota Malang tapi seluruh rangkaian pangkalan udara yang memanjang dari
Jawa Barat sampai Jawa Timur mendapat giliran penghancuran. Lapangan terbang Gorda
di dekat Serang, Kalijati di dekat Sumedang, Tjibeureum dekat Tasikmalaya,
Maguwo (Yogyakarta), Panasan (Solo), Maospati (Madiun) dan Jatiwangi (Lumajang)
praktis mendapat serangan udara yang brutal. Serangan itu umumnya dilakukan
oleh pesawat-pesawat pemburu yang menjatuhkan bom-bom ringan dan bom roket,
selain pula menggunakan senapan mesin dan meriam mesin.
Kendati
dalam keadaan serba terbatas, penerbang pejuang AURI tidak tinggal diam. Pada
29 Juli 1947 pagi hari, sebuah pesawat pembom penyelundup yang dipiloti salah
seorang pejuang menjatuhkan bom di kota Semarang yang dijadikan markas Belanda.
Prestasi itu patut dihargai karena penerbangnya baru sekali itu menerbangkan
pesawat pembom penyelundup dan langsung melakukan penyerangan. Tiga buah
pesawat Kittyhawk naik kemudian mengejar namun salah satunya lalu jatuh
gara-gara motor belum cukup panas.
Serangan
serentak, pesawat-pesawat dua sayap “Church” mengebom Ambarawa dan Salatiga.
Pesawat latih itu membawa dua buah bom peledak di bawah sayapnya. Bom-bom yang
dijatuhkan di Ambarawa tepat mengenai sasaran militer sedangkan yang di
Salatiga agak meleset dari titik sasaran. Lantaran kerusakan alat pelemparnya,
bom jatuh sebelum waktunya dan jatuh di halaman rumah warga namun tidak sampai
meledak.
Pesawat-pesawat
pemburu lawan segera naik pula untuk mengejar pesawat pejuang kemerdekaan.
Secara serentak mereka menyerang segenap pangkalan udara Republik di seluruh
Jawa Tengah sekali lagi namun tidak berhasil menemukan pesawat para pejuang
yang 10 menit sebelumnya telah tiba selamat di pangkalannya.
Bila pada pagi
harinya pejuang kita membanggakan, maka di sore hari perjuangan diliputi
suasana kesedihan yang tiada tara. Di petang hari itu terjadi penembakan
pesawat Dakota India VT-CLA yang berangkat dari Singapura ke Yogyakarta dengan
muatan obat-obatan. Obat-obatan sumbangan Palang Merah Malaya untuk Palang Merah
Indonesia. Sebagaimana dikutip harian The
Malayan Times edisi 29 Juli 1947 bahwa telah ada persetujuan pengiriman
obat-obatan itu antara Pemerintah Inggris dan Pemerintah Kerajaan Belanda.
Pada petang
hari pesawat Dakota VT-CLA tiba di langit Yogya dan bersiap mendarat.
Roda-rodanya telah dikeluarkan. Tapi tiba-tiba muncul dua pesawat pemburu
Kittyhawk yang segera memburu pesawat Dakota tak bersenjata tersebut. Tak lama
kemudian salah satu motor Dakota terbakar sehingga pesawat oleng dan gagal
mendarat. Pesawat miring ke satu sisi dan sayap kirinya menabrak sebatang pohon
lalu jatuh ke sebuah tanggul. Pesawat pecah menjadi dua bagian lantas terbakar
di sebuah sawah di dekat Desa Wojo, tiga kilometer dari Yogya. Hampir semua
awak dan penumpangnya tewas. Satu-satunya penumpang selamat adalah Abdulgani,
seorang pengurus Barisan Tani Indonesia dari Comal, Kendal, Jawa Tengah.
Tercatat
penumpang Dakota VT-CLA ini antara lain kapten pilot Alexander Noel
Constantine, kopilot Ray Hazelhurst, juru radio Adisumarmo Wirjokusumo dan juru
teknik berkebangsaan India Bhida Ram, Komodor Udara Agustinus Adisutjipto,
Komodor Udara Abdurrahman Saleh dan Zainul Arifin (wakil perdagangan Republik
Indonesia).
Penerbangan
lain yang telah dilakukan oleh AURI patut disebutkan setelah cease-fire di bulan September 1947
adalah pengiriman obat-obatan ke wilayah Banten. Namun lantaran belum ada
stasiun pengisian bahan bakar di radius Yogya-Banten yang memadai, penerbangan
sedikit ditunda. Setelah berunding, pengiriman obat-obatan ke Banten dilakukan
dengan dua pesawat. Pada suatu hari berangkat pesawat latih dua sayap “Tjureng”
yang bertanda Palang Merah Indonesia dari Yogya ke Banten yang diawaki oleh
opsir Sunario dan Muljono. Di Pamengpeuk mereka mendarat untuk mengantarkan
surat-surat dinas. Kemudian mereka terus ke Banten dan di sana mengisi penuh
bahan bakar dari tangki pesawat lain yang dikosongkan sama sekali. Demikianlah
mereka kembali ke Yogya hanya dengan satu pesawat dan pesawat yang satu lagi
ditinggalkan di Banten.
Pada
pertengahan 1947, penerbangan nasional Indonesia ditimpa musibah yang meminta
korban dua orang opsir tinggi. Sebuah pesawat pengangkut ringan Avro “Anson”
yang dipiloti oleh Opsir Udara Iswahjudi dan Komodor Udara Halim Perdanakusuma
jatuh hancur di dekat Tanjung Hantu (Malaka) dalam penerbangan dari Thailand ke
Singapura. Kecelakaan itu sangat boleh jadi gara-gara kabut tebal dan terbang
rendah.
Jelas
kecelakaan itu merupakan pukulan berat bagi penerbangan nasional Indonesia
karena Komodor Udara Halim merupakan salah satu dari sejumlah sedikit warga
bangsa yang menjadi perwira RAF pada Perang Dunia II. Dia telah melakukan 44
pemboman (mission) terhadap Jerman
dengan pesawat-pesawat Liberator dan Lancaster. Kemudian dia pernah berpangkalan
di Colombo. Sungguh sayang bahwa penerbangan nasional Indonesia yang masih amat
membutuhkan kecakapan dan pengalamannya harus ditinggal olehnya demikian cepat.
Peristiwa
yang juga menarik adalah upaya Presiden Soekarno berkeliling Sumatera pada pertengahan
Juni 1948 dengan pesawat terbang Dakota RI 002 milik Robert Earl Freeberg yang
berkebangsaan Amerika Serikat. Pesawat tersebut telah didaftarkan pada
Direktorat Penerbangan Sipil Republik Indonesia. Selama perjalanan sekitar satu
bulan, Presiden Soekarno mendapat sambutan meriah. Bahkan ketika di Aceh,
Soekarno menerima dana yang berhasil dikumpulkan rakyat Aceh yang cukup buat
membeli sebuah pesawat Dakota lengkap dengan suku cadang pengganti. Pesawat itu
kemudian diregister dengan RI 002 Seulawah.
Kemudian
pada 7 Juli 1948 hilang pula sebuah pesawat penghubung Stinson L-5B “Sentinel”
di antara Jambi dan Bengkulu. Sejak itu pesawat tersebut raib. Penerbangnya
adalah opsir Sunario yang telah memiloti pesawat Dakota Presiden sebagai
penerbang kedua. Sebagai penumpang ikut juga Salim Nahdi, seorang juru teknik
berkebangsaan Arab-Indonesia.
Penerbangan Terakhir Dakota RI 002
Pada tahun
1947, pelabuhan di wilayah Republik Indonesia diblokade oleh Belanda. Tidak ada
makanan, obat-obatan, pakaian, transportasi atau barang apapun yang bisa masuk
dan warga masyarakat Indonesia sangat menderita. Dalam bukunya yang berjudul The Most Unforgettable Character,
Charlton Ogdon mengisahkan tentang sebuah perjalanan yang dia lakukan di
wilayah Republik bersama dengan Coert DuBois –seorang Amerika yang ketika itu
merupakan pemimpin delegasi Amerika di Komisi Jasa Baik:
“Tidak
pernah sebelumnya saya merasa seperti melihat sejarah secara telanjang. Di mata
kami yang sangat terguncang, laki-laki, perempuan dan anak-anak yang kami lihat
di ladang-ladang dan sepanjang jalan seperti orang-orang yang kapalnya karam
–kurus, kelaparan, compang-camping ... Yang lebih memberikan dampak besar
daripada kemiskinan adalah antusiasme terhadap Soekarno –atau idealisme
kemerdekaan dan harga diri kebangsaan yang dicerminkan olehnya (Soekarno). Di
kota-kota kecil dan besar, jalan-jalan dipenuhi warga masyarakat yang
bersorak-sorai. Apabila rombongan berhenti, laki-laki dan perempuan dengan
wajah yang menunjukkan ketidak-berdayaan dan kelaparan, berjuang untuk
menyentuh sang Presiden, yang berdiri di atas papan mobil, demi memberikan
sedikit singkong atau sejumput tembakau kepada (sang Presiden) ...”
Sebelum
Perjanjian Linggarjati, ketika Petit Muharto Kartodirdjo (ajudan Kepala Staf
Angkatan Udara Marsekal Udara Soerjadarma) masih bertugas di Angkatan Udara
Republik Indonesia, dia mencoba mencari jalan untuk membantu Indonesia menembus
blokade Belanda dan menyelundupkan barang-barang yang dibutuhkan ke Indonesia. Dengan
persetujuan Marsekal Udara Soerjadarma, dia menyamarkan dirinya dan secara
rahasia pergi ke Singapura dengan kapal (dan kemudian juga ke Manila), di mana
dia menemui para pejuang kemerdekaan Indonesia yang terlibat dalam barter,
penyelundupan blokade, upaya-upaya humas, dan usaha-usaha lainnya demi
kemerdekaan Republik. Di sana dia menghubungi beberapa maskapai penerbangan
asing dan berusaha membuka sebuah jalur penerbangan sipil tetap antara
Singapura dan Indonesia, terutama ibukota Republik di Yogyakarta. Dia berhasil
membujuk beberapa maskapai penerbangan untuk terbang ke Indonesia, termasuk CALI (Filipina), Cathay Pacific (Hongkong), South
Eastern Airways, Orient, Pacific Overseas Airlines (Pakistan), dan Kalinga. Namun, Pemerintah Indonesia
tidak berhasil menanda-tangani perjanjian untuk membuka jalur tetap dengan
satupun maskapai tersebut. Upaya Petit merupakan usaha perintis mencari
terobosan agar dapat menembus blokade Belanda melalui udara. Menembus blokade
Belanda akan membantu Indonesia dalam memberi-tahukan kepada dunia ihwal apa
yang sebenarnya terjadi. Melalui CALI lah saat pertama Petit bertemu dengan Robert
“Bobby” Freeberg, yang bekerja sebagai pilot carter pada CALI, dan kemudian
menerbangkan pesawat CALI ketiga ke Yogyakarta.
Dua pesawat
CALI yang pertama terbang tanpa masalah, dan merupakan penerbangan komersial
biasa, bahkan lengkap dengan pramugari di dalamnya. Pada awal Maret 1947,
pesawat CALI ketiga dengan kapten pilot Bobby diperintahkan untuk mendarat di
sebuah landasan kecil sekitar 40 kilometer barat-laut Palembang. Itulah kali
pertama sebuah pesawat Dakota mendarat di landasan tersebut. Setelah itu, pesawat
harus menjatuhkan dua orang penerjun, Sudjono dan Sukotjo, di sebuah landasan
kecil yang sudah tidak terpakai lagi dan dalam keadaan terbengkalai di
Bukittinggi. Landasan tersebut akan diperbaiki oleh mereka. Bobby tidak
keberatan melakukan hal ini dan melakukannya secara profesional. Petit selalu
menemani para pilot di pesawat CALI untuk membantu mereka mengorientasikan apa
yang ada di peta mereka dengan kontur bumi dan pemandangan yang terlihat di
depan mata mereka.
Tidak
mungkin penerbangan Bobby bisa disebut sebagai sebuah operasi penerbangan
penumpang komersial biasa dan melalui inilah barangkali Bobby menyadari bahwa
yang sebetulnya dibutuhkan oleh Republik ketika itu adalah bantuan untuk
kegiatan angkutan udara dan militer. Menurut Petit, mula-mula Bobby justru
merasa senang dengan operasi non-standar yang diminta untuk dilakukan dan
kelihatan dia juga menyukai kehangatan dan keramahan orang-orang Indonesia.
Tampaknya Bobby ikut pula merasakan perjuangan kemerdekaan Indonesia benar dan
patut didukung. Bobby ingin memberi kontribusi perjuangan kemerdekaan dengan
menyewakan pesawat C-47 Skytrain miliknya.
Dalam buku Sejarah Operasi Penerbangan Indonesia
periode 1945-1950 yang diterbitkan oleh Dinas Sejarah TNI AU, bersama
sekelompok kecil penerbang Amerika, veteran penerbang Amerika Serikat Robert
(Bobby) Earl Freeberg membeli pesawat C-47 Skytrain bekas 'war-surplus'
dari Pangkalan Udara Clark di Filipina, seharga US$10 ribu. Berkat jasa Bob,
pesawat ini kemudian bisa diterbangkan ke Indonesia buat sarana pengangkutan
barang dan jasa.
Dua tahun
paska kemerdekaan, sekitar tahun 1947, Pemerintah RI memang membutuhkan
penerbang asing yang sanggup menerobos blokade Belanda. Dengan perantara
seorang warga Birma bernama Savage, Bob Freeberg berkomunikasi dengan Opsir
Udara III Petit Muharto Kartodirdjo dan Dick Tamimi. Kesimpulannya Indonesia
membutuhkan kegiatan angkutan udara dan Bob menjadi pilot pesawat perintis
pertama di Indonesia.
Bob
menerbangkan pesawat CALI ketiga dari Pangkalan Udara Maguwo, Yogyakarta, pada Maret
1947 dengan rute tujuan pertama ke Singapura, melalui Bukittinggi. Dari
Singapura dia kembali ke Manila, Filipina, untuk mengambil pesawat miliknya,
C-47 Skytrain, yang telah disetujui akan disewa Pemerintah RI. Pesawat itu
diambil secara diam-diam.
Semula
kawan-kawan Bob tidak setuju, sehingga pesawat disembunyikan. Bob kebingungan,
berusaha mencari, sampai akhirnya ketemu. Dia lantas membawa dua orang 'flight-engineer' berkebangsaan Filipina
terbang ke Indonesia pada malam hari dengan dalih mengadakan uji terbang (test-flight). Ternyata itu sebuah tipu
muslihat saja.
Maka, pada
malam itu juga, Bob membawa pesawat C-47 Skytrain plus dua orang engineer ke Pangkalan Udara Maguwo,
Yogyakarta. Pesawat Bobby kemudian dicarter oleh Angkatan Udara Republik Indonesia,
dan atas saran Petit, diberi nomor registrasi RI 002. Tujuan pertama pesawat
ini adalah membawa muatan kina dan vanili ke Manila, di mana Konsul Belanda
langsung meminta pesawat dan isinya disita oleh pihak kepolisian. Setelah perdebatan
dalam ruang sidang selama berminggu-minggu, dengan dukungan dari banyak sekali
lembaga swadaya di Filipina pada Indonesia, Kapten Freeberg dan krunya yang
orang Jawa jadi terkenal. Kemudian muatannya bisa dibebaskan dan dijual. Bobby
mendapatkan cek pembayarannya yang pertama, dan menurut Petit sangat menyentuh
hati semua orang Indonesia.
Dakota RI 002
selanjutnya melakukan banyak misi Angkatan Udara Indonesia. Misalkan pada 17
Oktober 1947, Dakota RI 002 mengangkut 13 orang prajurit Angkatan Udara
melakukan misi penerjunan di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Mereka
adalah Harry Aryadi Sumantri, Iskandar, Sersan Mayor Kosasih, F. M. Suyoto,
Bahrie, J. Bitak, C. Williem, Imanuel, Mika Amirudin, Ali Akbar, M. Dahlan, J.
H. Darius, dan Marawi. Misi ini dipimpin langsung oleh Mayor (AU) Tjilik Riwut,
orang asli Kalimantan. Dia yang menentukan zona atau lokasi pendaratan pasukan.
Ketika itu Mayor
Tjilik Riwut mendapat misi khusus, Operasi Penerjunan Pasukan Payung Pertama,
dari Kepala Staf Angkatan Udara saat itu, Komodor (AU) Soerjadi Soerjadarma,
untuk segera melakukan penerjunan di Kalimantan Tengah. Dengan menumpang
pesawat RI-002 berpilot Bobby Freeberg, ketiga belas prajurit tersebut terjun
payung dan melakukan pendaratan di Desa Sambi, Kotawaringin Barat. Mereka
ditugaskan untuk membantu pejuang kemerdekaan di Kalimantan Tengah.
Setelah
perang usai, Tjilik Riwut kemudian aktif di pemerintahan. Tokoh asli Kalimantan
ini menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Tengah yang pertama. Berkat jasanya,
pada 1998, beliau ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Kemudian guna mengenang
peristiwa bersejarah Operasi Penerjunan Pasukan Payung Pertama, pihak Angkatan
Udara menetapkan 17 Oktober 1947 sebagai hari lahir pasukan elit
Kopasgat/Paskhas. Selain itu, kini di Desa Sambi telah didirikan monumen
Palagan Sambi. Monumen tersebut sebagai bukti perjuangan dan kegigihan
putra-putra terbaik bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.
Dakota RI
002 pernah pula mengemban misi menerobos blokade Belanda, menyelundupkan hasil
produksi Indonesia dan menerjunkan senjata di wilayah Indonesia. Pesawat ini
pun pernah menerbangkan pejabat pemerintah Indonesia ke berbagai tempat –baik
di dalam negeri maupun di luar negeri. Delegasi Indonesia ke konferensi ECAFE
–termasuk Perdana Menteri Sjafruddin Prawiranegara—diterbangkan dengan Dakota
RI 002. Pernah pula membawa orang-orang Indonesia pertama yang akan dilatih
sebagai pilot di India dan Rangoon (Myanmar), di antaranya Marsekal Muda
Agustinus Adisutjipto yang kemudian tewas dalam serangan Belanda terhadap Dakota
VT-CLA.
Kisah
tragis Adisutjipto bermula saat Dakota VT-CLA pada 29 Juli 1947 pagi berangkat
dari Singapura ke Yogyakarta dengan muatan obat-obatan yang merupakan sumbangan
Palang Merah Malaka kepada Palang Merah Indonesia. Pada senja hari pesawat
tersebut tiba di atas kota Yogya dan segera berkeliling-keliling untuk
mendarat. Roda-rodanya pun dikeluarkan dan membuat lingkaran terakhir untuk
mendarat di Pangkalan Udara Maguwo. Tiba-tiba muncul dua pesawat pemburu
Kittyhawk yang segera menyergap Dakota VT-CLA. Semua orang Yogya yang saat itu
berada di luar rumah menyaksikan peristiwa penembakan Kittyhawk terhadap Dakota
VT-CLA yang tak bersenjata itu. Beberapa kali Kittyhawk melepaskan tembakan
yang tepat mengenai pesawat pengangkut obat-obatan tersebut.
Tak lama
berselang, salah satu motor Dakota VT-CLA terbakar dan pesawat terpaksa terbang
rendah. Upaya pilot untuk mengarahkan pendaratan ke Pangkalan Udara Maguwo jadi
sia-sia. Pesawat miring ke kiri dan
sayapnya menerjang sebuah puncak pohon. Lalu pesawat jatuh ke sebuah tanggul,
pecah menjadi dua dan kemudian terbakar di sebuah sawah di dekat Desa Wojo,
sekitar tiga kilometer dari Kota Yogya. Seluruh penumpang pesawat yang dipiloti
oleh Alexander Noel Constantine (berkebangsaan
Australia) itu tewas. Selain Adisutjipto, tercatat sebagai penumpang pesawat
itu antara lain Komodor Udara Abdurrahman Saleh, Adisumarmo Wirjokusumo, juru
teknik berkebangsaan India Bhida Ram, dan Zainul Arifin (seorang wakil
perdagangan Republik Indonesia).
Kembali ke
Dakota RI 002, Presiden Soekarno juga pernah diterbangkan pesawat yang biasa
dipiloti Robert “Bobby” Freeberg itu ke seluruh wilayah Sumatera untuk
menggalang dana buat pembelian pesawat terbang Angkatan Udara. Selama bulan
Juni 1946, Presiden Soekarno berkeliling Sumatera dengan misi propaganda untuk
memperbanyak dana “Dakota”. Di setiap tempat yang dikunjungi, Soekarno
senantisa memperoleh sambutan meriah. Sewaktu di Aceh, rakyat setempat
mengumpulkan uang selama dua hari yang cukup buat membeli sebuah pesawat
Dakota lengkap dengan suku cadang
pengganti. Pesawat Dakota ini kemudian diregistrasi menjadi RI 001 Seulawah.
Dalam bahasa Aceh, Seulawah berarti gunung emas.
Sayangnya
Dakota RI 002 tidak berumur panjang. Ceritanya, di pagi buta, tanggal 30
September 1948, kapten pilot Bobby Freeberg memulai penerbangan
Maguwo-Bukittinggi pesawat dengan lima awak dan satu penumpang. Selain kapten
pilot Bobby Freeberg tercatat awak kopilot Bambang Saptoadji, ahli teknik
Sumadi, operator radio Suryatman, dan kopilot kedua Santoso. Sedangkan
satu-satunya penumpang adalah Wakil Residen Banten Samaun Bakry. Pesawat
tersebut sukses tinggal landas dari Pangkalan Udara Maguwo. Sebagaimana biasa,
pesawat RI-002 kerap melakukan black
flight. Yaitu, penerbangan gelap, seakan-akan main kucing-kucingan guna
menghindari pesawat-pesawat pemburu milik Belanda yang banyak berpangkalan di
Pulau Sumatera dan di Jawa.
Buku
“Laporan Perdjalanan” (Vluchrapport),
semacam buku manifest, mencatat jumlah kargo muatan barang seberat 2.500 kg –di
antaranya 20 kilogram emas dari pertambangan emas Cikotok. Emas tersebut akan
digunakan buat membeli pesawat kepresidenan Republik Indonesia.
Sekadar
pengetahuan, sebagaimana pernah dilaporkan oleh Pimpinan Tambang Mas Cikotok
kepada Pimpinan Pusat Perusahaan-perusahaan Tambang Mas R.I. di Sukabumi, pada
tanggal 21 Juli 1947 bulion emas sudah siap dikirim ke Yogyakarta dengan
angkutan truk. Namun lantaran Kota Sukabumi sudah keburu diduduki oleh tentara
Belanda, jelas S. Adihatmodjo (ex Pimpinan Pusat Perusahaan Tambang Mas R.I.
Sukabumi), maka emas yang jermulah ratusan kilogram tersebut diteruskan ke
Tambang Mas Cikotok, Banten Selatan.
Masih
menurut Adihatmodjo, Pemerintah Pusat di Yogya menugaskan Samaun Bakry untuk
menyelamatkan bulion emas yang ada di Unit Tambang Mas Cikotok. Namun, kata
Adihatmodjo, pihak perusahaan tidak mengetahui jumlah pasti emas tersebut
karena tidak diberitahukan. “Karena waktu itu kami tidak mendapat kabar lagi
dari Yogya maupun Cikotok mengenai pengiriman bulion emas dengan kapal terbang
RI 002, kami beranggapan bahwa kapal terbang telah ditembak jatuh oleh Belanda
dan muatan bulion emas disita oleh mereka,” tulisa Adihatmodjo pada surat
pembaca Koran Kompas, 12 Juli 1981.
Kembali ke
penerbangan Dakota RI 002. Dari Maguwo, rencananya, pesawat menempuh rute
menuju Lanud Gorda Serang dan Lanud Tanjung Karang selanjutnya menuju
Bukittinggi. Di Gorda, telah menunggu Samaun Bakry yang diperintahkan Presiden
Soekarno untuk membawa 20 kilogram emas dari
pertambangan emas Cikotok.
Sehari
sebelum keberangkatan Dakota RI 002 dari Pangkalan Udara Maguwo, kata Nursima
(istri Samaun Bakry), Samaun mendapat perintah dari Pemerintah Pusat (waktu itu
di Yogyakarta) agar mempersiapkan keberangkatan ke suatu daerah yang tidak
disebutkan dengan membawa emas hasil tambang Cikotok yang sudah disimpan ke
dalam peti-peti. “Saya melihat dengan mata kepala sendiri peti-peti yang
berisikan emas itu dibawa oleh para pegawai dan diangkut ke lapangan darurat
Gorda, sekitar 22 kilometer dari Serang. Di sana sudah akan menunggu pesawat
dari Yogyakarta untuk membawa emas itu,” ungkap Nursima sebagaimana dilansir
Koran Pikiran Rakyat, akhir Juli
1978. Nursima sendiri mengaku tidak diberi tahu ihwal rencana keberangkatan
Samaun Bakry membawa misi mengantarkan emas ke sebuah daerah.
Fuad Bakri
menambahkan bahwa emas-emas tersebut dibungkus dalam peti sebesar sekitarkardis
mie instan. “Saya lihat sendiri, kira-kira seperti kotak kardus mie instan.
Jadi emasnya belum emas murni, masih bercampur dengan logam lain,” ungkap Fuad
suatu kali.
Namun 20
kilogram emas yang dibawa pada penerbangan terakhir Dakota RI-002 itu tidak
pernah jelas keberadaannya sampai kini. Isu yang beredar menyatakan bahwa emas
batangan tersebut disita militer Belanda sewaktu pesawat dipaksa mendarat di
Landasan Udara Tanjung Karang, Lampung. Setelah itu, pesawat RI 002
diperbolehkan terbang tanpa membawa emas menuju Bukittinggi. Dan, kemudian Pangkalan
Udara Maguwo kehilangan kontak RI 002 pada 1 Oktober 1948.
Dakota RI
002 hilang tanpa kabar. Padahal, sudah menjadi kebiasaan internasional bahwa
bila ada sebuah pesawat terbang hilang maka semua pesawat terbang yang ada di
daerah sekitarnya –baik pesawat kawan maupun pesawat lawan—harus ikut
mencarinya. Rupanya kebiasaan itu tidak berlaku tatkala Dakota RI 002 raib
setelah lepas landas dari Tanjung Karang.
Sebagai
istri yang menunggu-nunggu kepulangan suami dari bertugas, Nursima baru memperoleh
kabar hilangnya pesawat Dakota RI 002 yang ditumpangi suaminya (Samaun Bakry)
lewat sebuah telegram dari Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Soerjadarma
beberapa waktu kemudian. Telegram itu menyebutkan bahwa pesawat Dakota RI 002
dikabarkan hilang di daerah Palembang karena dipaksa mendarat di Lanu
Palembang. “Berita duka itu membuat keluarga saya jadi merana,” ujar Nursima
yang sempat memperoleh tunjangan pensiun sampai tahun 1953.
Kejelasan Kabar 30 Tahun Berselang
Kalender
menunjuk tanggal 6 April 1978. Alip bin Dulahir dan Tamirsan bin Muhar --dua
orang penduduk Lesungbatu, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan—ingin memperluas
tanah garapannya untuk perkebunan. Kedua orang itu telah memperoleh amanah dari
warga desa tersebut guna melihat masih adanya kemungkinan lahan (hutan) kosong
di sekitar Bukit Punggur.
Keduanya
memenuhi amanat warga desa. Dan ketika tengah mencari sumber air di satu tebing
yang curam, mereka melihat belahan-belahan pesawat terbang yang telah tertutup
kekayuan, kedua sayapnya terpisah, bagian awak menembus bukit, sedangkan
ekornya membalik ke atas.
“Kedua
orang tersebut sama sekali tidak menjamah reruntuhan pesawat itu,” jelas Letnan
Satu Udara Sulaeman sembari menambahkan, “Anehnya kedua orang tersebut tidak
segera melapor ke pihak yang berwajib di daerah Kasui, malahan mereka kembali
ke Lahat.”
Di Lahat,
Alip dan Tamirsan hanya melapor kepada salah seorang anggota Angkatan Laut bernama
Saemuni. Lalu Saemuni melaporkan penemuan reruntuhan pesawat itu kepada
Pangkalan Udara Talang Betutu, Palembang.
Kemudian,
sebuah tim yang terdiri dari unsur Angkatan Udara, Angkatan Darat, Kepolisian
dan tokoh masyarakat –tak ketinggalan dua orang yang awal menemukan—menuju
Bukit Panggur. Tim ini dipimpin oleh Letnan Satu Udara Sulaeman.
Setelah
menaiki bukit-bukit menuruni tebing-tebing curam serta menebangi kekayuan untuk
petunjuk jalan, dalam waktu hampir enam jam, tim tiba di lokasi reruntuhan
pesawat terbang. “Kami hanya menemukan dua buah pistol dan beberapa instrumen
pesawat,” ungkat Lettu Sulaeman.
Hari
pertama pencarian, tim tidak banyak membawa hasil karena daerah sekitarnya
tidak memungkinkan untuk bisa tetap tinggal lama. Kabut tebal selamanya
menglimuti daerah pegunungan tersebut.
Dengan
menambah anggota baru, pada kedua-kalinya tim berangkat ke lokasi ditemukan
reruntuhan pesawat. Sebab, banyak anggota lama yang menyatakan kapok mendaki
bukit yang amat curam itu. Keberangkatan kedua kali ini tim membawa misi tugas
dari Komandan Pangkalan Udara Talang Betutu untuk mencari kemungkinan masih
adanya kerangka-kerangka awak pesawat.
Rupanya tim
mengalami kesulitan mencari kerangka-kerangka awak pesawat lantaran bagian
depan (kokpit) pesawat terpendam dalam tanah. Padahal, biasanya awak pesawat
berada di bagian depan.
Setelah
berusaha sekuat tenaga, tim menemukan gigi yang relatif panjang. “Yang pertama
kali ditemukan dari kerangka-kerangka para awak pesawat itu adalah sebuah gigi
panjang,” ungkap Lettu Sulaeman sembari menambahkan, “Kemungkinan besar gigi
tersebut bukan gigi orang Indonesia tapi orang asing atau orang bule.” Baru
kemudian tim menemukan kerangka bagian kepala, tulang rusuk, kaki dan tangan.
Sementara
itu beberapa instrumen dari pesawat yang berhasil ditemukan antara lain dinamo
dan transmeter. Dari pemeriksaan, jelas Lettu Sulaeman, dalam dinamo yang
ditemukan tersebut terdapat sebuah peluru jenis 7,62 mm yang menancap. “Apakah
pesawat ini ditembak oleh pesawat lain atau oleh crew lapangan,” Lettu Sulaeman
belum bisa memberikan penjelasan rinci.
Setelah
pihak Pangkalan Udara Talang Betutu melaporkan kepada Markas Besar Angkatan
Udara di Jakarta diidentifikasi bahwa pesawat itu adalah milik AURI dengan
register Dakota RI 002 (pesawat kedua yang dimiliki AURI sebagai perintis).
Lalu, usaha
menghubungi keluarga dan ahli waris para awak pun dilakukan melalui pemberitaan
dan pembertahuan lewat media massa pada tanggal 29 Juni 1978. Alasannya, pihak
AURI tidak mengetahui lagi alamat keluarga dan ahli waris para awak pesawat
tersebut.
Selain itu,
tim berusaha pula memisah-misahkan kerangka menjadi enam sosok karena diketahui
salah seorang di antaranya merupakan warga negara asing. Dia adalah kapten
pilot Robert “Bob” Freeberg yang berkebangsaan Amerika Serikat.
Kerangka-kerangka itu lalu dimasukkan ke dalam peti-peti jenazah ukuran pendek dan
disemayamkan di Aula Pangkalan Udara Talang Betutu sejak April sampai 28 Juli
1978.
Pangkalan
Udara Talang Betutu lantas memberikan penghargaan kepada dua orang petani dari
Lesungbatu yang menemukan reruntuhan pesawat di Bukit Punggur, Lampung Utara.
Untuk memakamkan
enam rangka awak dan penumpang Dakota RI 002, Kepala Staf TNI Angkatan Udara
(masa itu) Marsekal Ashadi Tjahjadi mengambil kebijakan menguburkan enam
kerangka jenazah tersebut di Taman Makam Pahlawan Tanjung Karang pada tanggal
29 Juli 1978. Berdasarkan Keputusan MENHANKAM/PANGAB Nomor KEP/B/44/XII/1973
tanggal 10 Desember 1973 tentang Petunjuk Sementara Pemakaman Jenazah di Taman
Makam Pahlawan, demikian pertimbangan keputusan Kepala Staf TNI AU, para korban
dapat dikategorikan gugur/tewas karena menjalankan tugas Negara. Dan karena itu
jasad mereka layak dikuburkan di Taman Makam Pahlawan.
Tepat
tanggal 29 Juli 1978, lima kerangka jenazah awak dan penumpang Dakota RI 002
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Tanjung Karang, Lampung. Kelima kerangka
tersebut masing-masing kerangka kopilot Bambang Saptoadji, ahli teknik Sumadi,
operator radio Suryatman, kopilot kedua Santoso dan Wakil Residen Banten Samaun
Bakry. Bertindak sebagai inspektur upacara Panglima Komando Daerah Udara I
Marsekal Pertama TNI Pribadi.
Pemakaman
kelima kerangka jenazah tersebut dihadiri antara lain Gubernur Lampung Yasir
Hadibroto, Muspida Tingkat I Propinsi Lampung dan Wakil Asisten KASAU Urusan
Personil Mabes TNI AU Marsekal Pertama TNI Soewarto yang mewakili TNI AU. Acara
pemakaman tersebut diikuti pula oleh sekitar 30 orang keluarga dan ahli waris
korban, termasuk salah satunya Nursima, istri almarhum Samaun Bakry, yang datang
langsung dari Serang (Banten).
Melihat
penghargaan yang diberikan oleh Kepala Staf TNI AU bahwa korban Dakota RI 002
termasuk gugur dalam tugas Negara, pada tanggal 1 Juli 1979 Nursima mengajukan
permohonan pemberian tunjangan pernghargaan ke Departemen Sosial Republik
Indonesia. Permohonan tersebut baru memperoleh jawaban dari Menteri Sosial pada
tanggal 19 Januari 1981. Melalui Keputusan Menteri Sosial Nomor Pol 7/I/1931/PK/Jd,
Menteri Sosial memberikan tunjangan kepada Ny. Nursima (janda almarhum Samaun
Bakry) sebesar Rp30.000 per bulan terhitung mulai tanggal 1 September 1979. Dengan
keterangan bahwa tunjangan pokok sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28
tahun 1978 dan Sdr. Samaun Bakry adalah seorang Perintis Kemerdekaan Anumerta
dengan SK Menteri Sosial Nomor Pol 7/I/1931/PK/Jd tanggal 19 Januari 1981.
Selain itu,
pada tanggal 1 Juli 1979 pula, Fuad Bakry (atas nama Keluarga Samaun Bakry)
mengajukan permohonan penghargaan perintis kemerdekaan kepada Badan Perintis
Pergerakan Kebangsaan/Kemerdekaan. Pengajuan itu diketahui oleh Wakil Presiden Adam
Malik dan Ibu Negara RI yang pertama Fatmawati.
Dalam
perkembangannya, selain penemuan bagian depan pesawat dan kerangka jasad
awak/penumpang, pada 24 Mei 1981, seorang pencari rotan bernama Nursuwito dan
tiga orang temannya menemukan badan pesawat DC-3 berada di jurang Bukit
Punggur, tidak terlalu jauh dari lokasi penemuan bagian depan pada tanggal 6
April 1978. Sebuah tim dari Lapangan
Udara Astraksetra dan Korem 43 Garuda Hitam yang dipimpin Kapten Udara Djoko
Waluyo menuju ke lokasi dan tiba pada 11 Juni 1981 sekitar pukul 10.15 WIB.
Setelah
dilakukan penelitian oleh anggota tim Peltu Ilyas dapat dipastikan bahwa reruntuhan
tersebut adalah bekas pesawat DC-3 RI 002 yang diketemukan pada 6 April 1978.
Perbedaannya, lokasinya telah bergeser dari atas lereng kemudian turun ke
jurang sedalam sekitar 50 meter dari tepat semula. Hasil penelitian di lokasi
oleh tim dari Lapangan Udara Astraksetra tersebut kemudian dilaporkan ke Korem
43 Garuda Hitam di Tanjung Karang dan Mabes TNI AU di Jakarta. Turut dalam tim
ke lokasi penemutan rentuhan badan pesawat di antaranya Hantoro Surendra dari
Harian Tamtama.
Pada tahun
1978, bagian depan pesawat diketemukan di
menancap di lereng Bukit Punggur, sementara saat diketemukan Nursuwito
dan rekannya di jurang lengkap dengan badan yang masih dikenal jenis DC-3,
namun tanpa tanda pengenal, baling-baling dan roda pendarat. Pergeseran lokasi itu
diperkirakan disebabkan oleh erosi dan longsor. (Harian Kompas, 29 Juni 1981)
Kembali ke
permohonan perintis kemerdekaan yang diajukan oleh ahli waris keluarga Samaun
Bakry. Seperti menunggu kepastian kabar ketika Dakota RI 002 yang memakan waktu
30 tahun, Ny Nursima dan Fuad Bakry pun mesti bersabar untuk memperoleh jawaban
permohonannya. Baru tahun 2002 keduanya mendapatkan kabar dari Istana Negara. Saat
mana Fuad Bakry menerima undangan dari Sekretaris Presiden untuk hadir pada
acara Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Republik
Indonesia pada tanggal 8 November 2002 pukul 14.00 di Istana Negara Jakarta.
Dan salah satu penerima Gelar Pahlawan Nasional itu adalah almarhum Samaun
Bakry. Benar, tanggal 8 Nopember 2002 pukul 14.00, Fuad Bakry memenuhi undangan
dari Sekretaris Presiden. Dia (mewakili ayahnya Samaun Bakry) menerima
penyematan tanpa penghargaan sebagai “Pahlawan Nasional” dengan Tanda
Kehormatan Bintang Mahaputera Utama dari Presiden (saat itu) Megawati
Soekarnoputri. Penghargaan itu dikukuhkan dengan Keputusan Presiden (Keppres)
Nomor 073-076/TK/2002.
Fuad Bakry
sedikit menyesalkan mengapa baru setelah lebih dari 50 tahun berlalu ayahnya
menerima pernghargaan tersebut. Lebih disesalkan lagi tidak ada partisipasi
Gubernur Sumatera Barat untuk mendapatkan tanda penghargaan bagi Samaun Bakry
tersebut (Koran Haluan, Nopember
2002). Upaya untuk memperoleh apresiasi dari Pemerintah Republik Indonesia itu
sepenuhnya dilakukan oleh Fuad Bakry (anak dari Samaun Bakry) dan Ny. Nursima
sebagai janda almarhum Samaun Bakry. ***
No comments:
Post a Comment