Friday, December 27, 2013

Dakota RI 002 dalam Pigura Perjuangan Kemerdekaan


Pada 1 Oktober 1948 pesawat terbang Dakota RI 002 hilang dalam penerbangan antara Tanjung Karang dan Bengkulu. Salah satu penumpangnya adalah Wakil Residen Banten Samaun Bakry. Baru sekitar 30 tahun kemudian ada kabar di mana lokasi jatuhnya pesawat yang sangat bersejarah itu...


RIWAYAT Dakota RI 002 adalah cerita kepahlawanan, keberanian serta semangat mengatasi segala macam kesulitan yang muncul dalam suatu keadaan yang serba terbatas, bahkan kekurangan. Juga cerita kecintaan pada dunia terbang dan mengenai persahabatan antarbangsa. Bahkan, Dakota RI 002 punya peran penting bagi sejarah perjalanan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Pesawat yang juga disebut Dakota DC-3 atau Dakota Douglas C-47 tersebut merupakan pesawat AURI pertama yang sesuai untuk operasi militer dan transportasi. Istilah Dakota Douglas C-47 biasa dipakai untuk pesawat militer sedangkan istilah Dakota DC-3 digunakan untuk pesawat sipil. Ya, Dakota RI 002 memberi warna tersendiri bagi sejarah penerbangan di Indonesia. Sejarah penerbangan pada fase perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Sejarah penerbangan di Indonesia mengenal tiga fase. Pertama, fase penerbangan kolonial. Kedua, fase penerbangan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dan ketiga, fase penerbangan nasional.
Penerbangan yang pertama-tama dilakukan oleh orang di Indonesia terjadi pada tanggal 19 Februari 1913 di Surabaya, Jawa Timur. Pada hari itu seorang penerbang Belanda bernama J.W.E.R. Hilgers melakukan penerbangan yang pertama di  Indonesia dengan sebuah pesawat terbang jenis Fokker. Hilgers tidak hanya melakukan penerbangan yang pertama, tapi mengalami kecelakaan udara yang pertama pula di Indonesia. Hari itu juga Hilgers jatuh bersama pesawatnya di Kampung Baliwerti. Bersyukur, dia berhasil menyelamatkan diri.
Setahun berselang Angkatan Udara Hindia Belanda mendirikan lembaga yang dinamakan P.V.A atau Proef Vlieg Afdeling (Bagian Penerbangan Percobaan). Letnan Hilter Poorten ditunjuk untuk memimpin lembaga ini. Pesawat-pesawat yang dipergunakan adalah Glenn Martin Hydroplanes. Terlalu jauh bila buku biografi sejarah Samaun Bakry ini menuliskan panjang-lebar sejarah perkembangan penerbangan di Indonesia. Sebab itu, untuk melengkapi kisah Dakota RI 002, cukuplah kita ikuti peristiwa-peristiwa penting yang sempat menghiasi perjalanan sejarah penerbangan di Indonesia.
Dimulai tanggal 1 November 1928 berdiri perseroan lalu-lintas udara K.N.I.L.M dengan modal awal f5.000.000. Perseroan ini terbentuk berkat kerja sama antara Deli-Maatschappy, Nederlandse Handel Maatschappy, K.L.M, badan-badan perdagangan lain yang mempunyai kepentingan di Indonesia, dan Pemerintah Hindia Belanda. Dengan pesawat-pesawat penumpang jenis Fokker F-7, pada hari itu juga dibuka transportasi udara dari Jakarta ke Semarang (1x sehari) dan dari Jakarta ke Bandung dengan frekuensi yang sama. Kedua rute tersebut cukup diminati ketika itu.
Lalu pada tanggal 8 Desember 1941 pecahlah Perang Pasifik, yang memasukkan Hindia Belanda ke dalam kancah peperangan. Segera terasa kekurangan-kekurangan dari penerbangan kolonial tersebut. Salah satu kekurangannya adalah Pemerintah Kolonial tidak pernah memikirkan untuk membangun industri pesawat terbang di Hindia Belanda. Padahal, banyak pelaku usaha yang menjadikan Hindia Belanda sebagai “pasar” bagi industri penerbangan Belanda.
Setelah penyerbuan Jerman ke Negeri Belanda pada 15 Mei 1940, penerbangan Hindia Belanda pun menggantungkan nasibnya kepada impor pesawat terbang dari Amerika Serikat –yang pada masa itu juga sibuk sendiri. Pesawat-pesawat pemburu Brewster “Buffalo” yang semula dipesan Finlandia kemudian dioperkan ke Inggris, akhirnya diekspor ke Hindia Belanda dan Malaya, tentu saja dengan reklame yang seperlunya. Pesawat Buffalo ini merupakan pesawat yang kurang modern. Padahal, waktu itu, Jepang datang menyerang dengan pesawat-pesawat terbang terbaik yang dapat dihasilkan industri nasional Negeri Matahari Terbit itu.
Jelas, pesawat impor itu kalah sigap dibandingkan pesawat-pesawat berbendera Jepang. Tak pelak, dalam tempo tiga bulan peperangan, pesawat-pesawat Hindia Belanda impor Amerika habis terpakai. Sementara itu upaya impor tidak memungkinkan lagi. Dari sini dapat ditarik pelajaran bahwa kita harus memprioritaskan kemandirian pembangunan industri pesawat terbang dalam negeri.
Kemudian, di masa pendudukan Jepang, penerbangan relatif tidak berkembang. Tidak ada putra-putra Indonesia yang dididik menjadi penerbang atau anak buah pesawat lainnya. Penerbangan militer Jepang terbagi ke dalam penerbangan angkatan darat (Rikugun Butai) dan penerbangan angkatan laut (Kaigun Koku Butai). Sedangkan penerbangan lalu-lintas di Indonesia diselenggarakan oleh Nampo Koku Kabushiki Kaisha (perseroan lalu-lintas udara daerah selatan).

Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan
Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Secara serentak bangkitlah segenap rakyat Indonesia untuk merebut kekuasaan dari pemerintah balatentara Nippon. Termasuk merebut lapangan terbang yang ada. Setelah melalui pertempuran yang memakan waktu relatif singkat, tentara pendudukan Nippon bertekuk-lutut. Demikianlah Republik Indonesia memperoleh kekuasaan atas sejumlah besar lapangan terbang yang pada mulanya dijaga oleh pasukan-pasukan bersenjata atau orang angkatan darat.
Tidak lama berselang, beberapa bulan setelah proklamasi, terjadi perubahan oleh karena di Yogyakarta didirikan Markas Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Jawatan Penerbangan yang bertugas membangun dan menyusun peta jalan (road map) penerbangan militer. Sekaligus pula mengemban tugas merintis jalan penerbangan sipil. Sebagai kepala staf diangkatlah Komodor Udara R. Soerjadi Soerjadarma yang pernah memperoleh pendidikan opsir pada Koninklijke Militaire Academie di Breda (Nederland) dan kemudian meninggalkan dinasnya dalam infanteri untuk berpindah ke Militaire Luchtvaart (penerbangan angkatan darat). Setelah itu dia dijadikan instruktur waarnemersschool (sekolah navigator) di Kalijati, Subang, Jawa Barat. Tatkala balatentara Nippon menyerbu Indonesia, dia ikut bertempur di udara, antara lain pemboman atas Miri dan Selat Makasar. Segera setelah proklamasi kemerdekaan, dia terjun di kalangan pimpinan organisasi pemuda daerah Pasundan hingga kemudian dipanggil ke ibukota untuk diserahi tampuk pimpinan angkatan udara.
Pasca terbentuknya TKR Jawatan Penerbangan segera dimulailah pembangunan penerbangan nasional Indonesia. Sebagai pusat dipilih kota Yogyakarta dengan Pangkalan Udara Maguwo. Lapangan-lapangan terbang yang lain diserahkan satu per satu kepada instansi baru ini. Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan karena hanya satu-dua lapangan terbang yang dalam keadaan baik. Sebagian besar praktis dalam keadaan rusak, kosong atau tak terawat sama sekali. Banyak pula yang telah dijadikan kebun sayur sehingga yang tersisa tinggal landasannya. Sungguh tidak mudah membangun dinas penerbangan yang lengkap di masa politik yang tidak stabil dan blokade ekonomi. Dinas teknik, dinas minyak dan bahan bakar, dinas pelaporan cuaca, dan dinas radio harus ada dalam manajemen setiap lapangan terbang sebelum penerbangan dimulai.
Pesawat terbang buatan Nippon yang ada sungguh mengecewakan. Pengetahuan personil bangsa Indonesia tentang pesawat-pesawat buatan Nippon relatif sedikit, tidak ada buku penuntun (kalaupun ada sulit dibaca karena ditulis dalam huruf kanji), dan suku cadang tidak tersedia. Dengan fakta semacam ini, keuletan para juru teknik bangsa Indonesia hingga kemudian berhasil menjadikan pesawat-pesawat tersebut bisa dipakai sampai Agresi Militer II pantaslah kita hargai.
Pada tanggal 28 Oktober 1945, beberapa orang juru teknik Indonesia berhasil menyiapkan sebuah pesawat terbang dua sayap “Tjureng” di Pangkalan Udara Maguwo. Seorang penerbang bangsa Indonesia yang sebelum pecah perang mendapat pendidikan di Militaire Luchtvaart namun selama 3,5 tahun masa pendudukan Jepang tak pernah terbang naik ke dalam pesawat dan langsung menerbangkannya. Dia berhasil terbang kendati pesawat buatan Nippon tersebut sama sekali asing baginya. Penerbang itu adalah mendiang Agustinus Adisutjipto yang pada hari itu membubung ke angkasa dengan pesawat terbang Merah-Putih untuk pertama kali. Dan nama Adisutjipto kini diabadikan menjadi nama Pangkalan Udara Maguwo, Yogyakarta.
Lalu, pada awal Desember 1945 dimulai pendidikan juru terbang di Yogyakarta di bawah pimpinan mendiang Adisutjipto. Beberapa puluh orang murid penerbang –baik yang berasal dari penerbangan Belanda (ML, MLD dan VVC) maupun pemuda-pemuda yang baru masuk—memperoleh pendidikan terbang dengan instruktur mendiang Adisutjipto. Sebab itu, mendiang Adisutjipto layak disebut sebagai bapak para penerbang Indonesia.
Pesawat-pesawat terbang yang dipergunakan buat pelatihan adalah pesawat dua sayap “Tjureng” buatan Nippon tahun 1933. Walaupun dimaksudkan buat pesawat pelatihan tingkat lanjut, pesawat-pesawat “Tjureng” itu dimanfaatkan pula sebagai pesawat pelatihan permulaan dengan hasil yang baik.
Penerbang-penerbang RAF yang terkadang datang di Pangkalan Udara Maguwo dan melihat pesawat-pesawat pelatihan itu merasa kagum dengan keberanian para penerbang Indonesia untuk terbang dengan pesawat-pesawat “Tjureng”. Salah seorang di antara mereka dengan ragu-ragu memeriksa kawat-kawat pemegang sayap. Sesunggungnya pesawat-pesawat “Tjureng” itu sudah lama harus diganti dengan pesawat yang baru.
Memasuki tahun 1946 mulai tampak hasil dari pekerjaan yang telah dilakukan sampai masa itu. Dengan penetapan Presiden Republik Indonesia tertanggal 9 April 1946 berdirilah sesuatu Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) yang merdeka, sederajat dengan Angkatan Laut dan Angkatan Darat.
Kemudian AURI melakukan pelbagai penerbangan yang secara umum dilakukan oleh beberapa buah pesawat di dalam berbagai formasi. Berkaitan dengan proses perundingan-perundingan tentang penyingkiran tawanan perang dan kaum interiran Serikat, prajurit-prajurit AURI mengadakan penerbangan ke Jakarta. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 23 April 1946 dengan tiga buah pesawat Tjatjikawa 98 “Tjukiu” yang dengan langsung terbang dari Yogyakarta ke Jakarta memakan waktu 1 ¾ jam. Sayang, waktu mendarat, pesawat yang ditumpangi almarhum Komodor Udara Halim Perdanakusuma itu mengalami kerusakan pada alat pendarat namun penerbang dan penumpangnya selamat.
Keesokan harinya Komodor Udara Soerjadarma terus terbang ke Banten dan melintasi Selat Sunda lalu ke Sumatera Selatan. Karena cuaca buruk, dari Lapangan Terbang Branti (Tanjung Karang) dia terpaksa kembali lagi ke Banten.
Beberapa hari setelah itu sebuah formasi yang terdiri dari enam buah pesawat dua sayap bertolak ke Banten dan Sumatera Selatan. Sayangnya waktu dalam perjalanan pulang mengalami kecelakaan. Sebuah pesawat “Tjureng” yang dipiloti mendiang Komodor Udara Agustinus Adisutjipto mengalami kerusakan motor dan terpaksa melakukan pendaratan darurat di pantai selatan Jawa Barat. Malang benar, pesawat tersebut menabrak sebatang pohon kelapa dan terjungkir di pantai. Penerbangnya dapat menyelamatkan diri namun penumpangnya, Tarsono Rudjito, jatuh terpelanting dan patah tulang belakangnya. Dia meninggal pada 6 Juli 1946 setelah dirawat di sebuah rumah sakit di Tasikmalaya dan menjadi korban pertama pembangunan penerbangan nasional Indonesia.
Penerbangan-penerbangan AURI tidak hanya dilakukan ke arah wilayah barat Indonesia melainkan juga ke wilayah lain Indonesia. Malahan bila pada masa itu sudah ada pesawat-pesawat terbang jarak jauh, tentulah AURI lebih jauh melebarkan sayapnya. Yang menarik perhatian, salah satunya, adalah penerbangan pertama ke Pulau Madura oleh Opsir Udara I Sujono dan Komodor Udara Halim. Karena belum disiapkan lapangan terbang di Madura, mereka terpaksa mendarat di sebuah lapangan tempat pembuatan garam.
Penerbangan nasional Indonesia tidak lepas pula dari pengorbanan di masa perjuangan. Pada akhir September 1946 misalkan, sebuah pesawat pengintai bermotor satu Tjatjikawa 98 “Tjukiu” jatuh terbakar di Kampung Gowongan, Yogyakarta. Dua penumpangnya –Opsir Husen Sastranegara dan juru teknik Sersan Rukidi—gugur. Peristiwa ini menjadi pukulan berat bagi AURI karena Opsir Husen Sastranegara dikenal sebagai penerbang yang berpengalaman.
Sekadar pengetahuan bahwa pesawat yang jatuh itu semula direncanakan untuk menerbangkan Perdana Menteri Sutan Sjahrir ke Malang, Jawa Timur. Karena sesuatu hal rencana itu diurungkan.
Tepat sepekan setelah itu sebuah pesawat Tjutjikawa 98 “Tjukiu” yang lain jatuh dan terbakar di Ambarawa, Jawa Tengah. Kedua penumpangnya, Opsir Penerbang Wim Prajitno dan Kadet Udara Sunharto, gugur. Kedua orang itu merupakan tenaga-tenaga muda yang sesungguhnya memberi harapan di kemudian hari.
Di masa perjuangan fisik pasca proklamasi kemerdekaan, perhubungan udara antara Jawa dan Sumatera sangatlah vital. Kendati begitu baru tahun 1947 dapat dilakukan penerbangan Jawa-Sumatera. Pangkalnya, pesawat bermotor tunggal buatan Nippon sudah berusia tua dan tidak cocok dengan medan alam yang masih berupa rimba raya, jarak yang relatif jauh, penduduk masih relatif sedikit dan perhubungan jalan darat yang buruk.
Melihat kondisi tersebut, Pemerintah menyewa pesawat Dakota dari luar negeri karena Bukittinggi (ibukota Sumatera saat itu) sangat membutuhkan perhubungan langsung dengan pemerintah pusat. Namun, lapangan terbang di kota itu ternyata belum disiapkan. Untuk menghemat waktu, opsir tentara payung Sudjono dan Sukotjo turun dengan payung di lapangan terbang Bukittinggi. Keduanya disambut gembira penduduk setempat. Segera setelah itu, bersama penduduk setempat dan pemerintah lokal, mereka bergotong-royong membersihkan lapangan terbang. Tepat pada waktu yang telah direncanakan mendaratlah pesawat Dakota yang pertama di Bukittinggi. Namun lantaran suasana politik yang tidak stabil waktu itu penerbangan ke Bukittinggi tidak bisa berjalan rutin.
AURI terus berada di ranah perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Tanggal 21 Juli 1947 Belanda mulai melakukan aksi militer terhadap Republik Indonesia. Tentara Kerajaan Belanda pagi itu mulai dengan pemboman dan penyerangan dari udara serentak terhadap seluruh pangkalan atau lapangan terbang Republik. Hanya Pangkalan Udara Maguwo yang tidak diserang karena saat itu diselimuti kabut tebal. Pesawat Dakota dari Thailand yang membawa bekas Perdana Menteri Sutan Sjahrir ke luar negeri baru saja meninggalkan Maguwo sekitar 15 menit tatkala pesawat-pesawat pemburu Kittyhawk muncul di atas langit Yogyakarta untuk mencari sasarannya. Untung mereka tidak berhasil lantaran kabut yang tebal tadi.
Lapangan terbang Bugis di dekat kota Malang mengalami kerusakan paling parah. Sejumlah besar pesawat terbang, antara lain pesawat pemburu Hayabusha (Oscar), pesawat pengintai strategis Shinsitei (Dinah) dan pesawat pembom Diponegoro (Lily) dihancurkan di tanah oleh pesawat tempur Fairey Firefly. Tidak saja pangkalan udara di Kota Malang tapi seluruh rangkaian pangkalan udara yang memanjang dari Jawa Barat sampai Jawa Timur mendapat giliran penghancuran. Lapangan terbang Gorda di dekat Serang, Kalijati di dekat Sumedang, Tjibeureum dekat Tasikmalaya, Maguwo (Yogyakarta), Panasan (Solo), Maospati (Madiun) dan Jatiwangi (Lumajang) praktis mendapat serangan udara yang brutal. Serangan itu umumnya dilakukan oleh pesawat-pesawat pemburu yang menjatuhkan bom-bom ringan dan bom roket, selain pula menggunakan senapan mesin dan meriam mesin.
Kendati dalam keadaan serba terbatas, penerbang pejuang AURI tidak tinggal diam. Pada 29 Juli 1947 pagi hari, sebuah pesawat pembom penyelundup yang dipiloti salah seorang pejuang menjatuhkan bom di kota Semarang yang dijadikan markas Belanda. Prestasi itu patut dihargai karena penerbangnya baru sekali itu menerbangkan pesawat pembom penyelundup dan langsung melakukan penyerangan. Tiga buah pesawat Kittyhawk naik kemudian mengejar namun salah satunya lalu jatuh gara-gara motor belum cukup panas.
Serangan serentak, pesawat-pesawat dua sayap “Church” mengebom Ambarawa dan Salatiga. Pesawat latih itu membawa dua buah bom peledak di bawah sayapnya. Bom-bom yang dijatuhkan di Ambarawa tepat mengenai sasaran militer sedangkan yang di Salatiga agak meleset dari titik sasaran. Lantaran kerusakan alat pelemparnya, bom jatuh sebelum waktunya dan jatuh di halaman rumah warga namun tidak sampai meledak.
Pesawat-pesawat pemburu lawan segera naik pula untuk mengejar pesawat pejuang kemerdekaan. Secara serentak mereka menyerang segenap pangkalan udara Republik di seluruh Jawa Tengah sekali lagi namun tidak berhasil menemukan pesawat para pejuang yang 10 menit sebelumnya telah tiba selamat di pangkalannya.
Bila pada pagi harinya pejuang kita membanggakan, maka di sore hari perjuangan diliputi suasana kesedihan yang tiada tara. Di petang hari itu terjadi penembakan pesawat Dakota India VT-CLA yang berangkat dari Singapura ke Yogyakarta dengan muatan obat-obatan. Obat-obatan sumbangan Palang Merah Malaya untuk Palang Merah Indonesia. Sebagaimana dikutip harian The Malayan Times edisi 29 Juli 1947 bahwa telah ada persetujuan pengiriman obat-obatan itu antara Pemerintah Inggris dan Pemerintah Kerajaan Belanda.
Pada petang hari pesawat Dakota VT-CLA tiba di langit Yogya dan bersiap mendarat. Roda-rodanya telah dikeluarkan. Tapi tiba-tiba muncul dua pesawat pemburu Kittyhawk yang segera memburu pesawat Dakota tak bersenjata tersebut. Tak lama kemudian salah satu motor Dakota terbakar sehingga pesawat oleng dan gagal mendarat. Pesawat miring ke satu sisi dan sayap kirinya menabrak sebatang pohon lalu jatuh ke sebuah tanggul. Pesawat pecah menjadi dua bagian lantas terbakar di sebuah sawah di dekat Desa Wojo, tiga kilometer dari Yogya. Hampir semua awak dan penumpangnya tewas. Satu-satunya penumpang selamat adalah Abdulgani, seorang pengurus Barisan Tani Indonesia dari Comal, Kendal, Jawa Tengah.
Tercatat penumpang Dakota VT-CLA ini antara lain kapten pilot Alexander Noel Constantine, kopilot Ray Hazelhurst, juru radio Adisumarmo Wirjokusumo dan juru teknik berkebangsaan India Bhida Ram, Komodor Udara Agustinus Adisutjipto, Komodor Udara Abdurrahman Saleh dan Zainul Arifin (wakil perdagangan Republik Indonesia).
Penerbangan lain yang telah dilakukan oleh AURI patut disebutkan setelah cease-fire di bulan September 1947 adalah pengiriman obat-obatan ke wilayah Banten. Namun lantaran belum ada stasiun pengisian bahan bakar di radius Yogya-Banten yang memadai, penerbangan sedikit ditunda. Setelah berunding, pengiriman obat-obatan ke Banten dilakukan dengan dua pesawat. Pada suatu hari berangkat pesawat latih dua sayap “Tjureng” yang bertanda Palang Merah Indonesia dari Yogya ke Banten yang diawaki oleh opsir Sunario dan Muljono. Di Pamengpeuk mereka mendarat untuk mengantarkan surat-surat dinas. Kemudian mereka terus ke Banten dan di sana mengisi penuh bahan bakar dari tangki pesawat lain yang dikosongkan sama sekali. Demikianlah mereka kembali ke Yogya hanya dengan satu pesawat dan pesawat yang satu lagi ditinggalkan di Banten.
Pada pertengahan 1947, penerbangan nasional Indonesia ditimpa musibah yang meminta korban dua orang opsir tinggi. Sebuah pesawat pengangkut ringan Avro “Anson” yang dipiloti oleh Opsir Udara Iswahjudi dan Komodor Udara Halim Perdanakusuma jatuh hancur di dekat Tanjung Hantu (Malaka) dalam penerbangan dari Thailand ke Singapura. Kecelakaan itu sangat boleh jadi gara-gara kabut tebal dan terbang rendah.
Jelas kecelakaan itu merupakan pukulan berat bagi penerbangan nasional Indonesia karena Komodor Udara Halim merupakan salah satu dari sejumlah sedikit warga bangsa yang menjadi perwira RAF pada Perang Dunia II. Dia telah melakukan 44 pemboman (mission) terhadap Jerman dengan pesawat-pesawat Liberator dan Lancaster. Kemudian dia pernah berpangkalan di Colombo. Sungguh sayang bahwa penerbangan nasional Indonesia yang masih amat membutuhkan kecakapan dan pengalamannya harus ditinggal olehnya demikian cepat.
Peristiwa yang juga menarik adalah upaya Presiden Soekarno berkeliling Sumatera pada pertengahan Juni 1948 dengan pesawat terbang Dakota RI 002 milik Robert Earl Freeberg yang berkebangsaan Amerika Serikat. Pesawat tersebut telah didaftarkan pada Direktorat Penerbangan Sipil Republik Indonesia. Selama perjalanan sekitar satu bulan, Presiden Soekarno mendapat sambutan meriah. Bahkan ketika di Aceh, Soekarno menerima dana yang berhasil dikumpulkan rakyat Aceh yang cukup buat membeli sebuah pesawat Dakota lengkap dengan suku cadang pengganti. Pesawat itu kemudian diregister dengan RI 002 Seulawah.
Kemudian pada 7 Juli 1948 hilang pula sebuah pesawat penghubung Stinson L-5B “Sentinel” di antara Jambi dan Bengkulu. Sejak itu pesawat tersebut raib. Penerbangnya adalah opsir Sunario yang telah memiloti pesawat Dakota Presiden sebagai penerbang kedua. Sebagai penumpang ikut juga Salim Nahdi, seorang juru teknik berkebangsaan Arab-Indonesia.     
      
Penerbangan Terakhir Dakota RI 002  
Pada tahun 1947, pelabuhan di wilayah Republik Indonesia diblokade oleh Belanda. Tidak ada makanan, obat-obatan, pakaian, transportasi atau barang apapun yang bisa masuk dan warga masyarakat Indonesia sangat menderita. Dalam bukunya yang berjudul The Most Unforgettable Character, Charlton Ogdon mengisahkan tentang sebuah perjalanan yang dia lakukan di wilayah Republik bersama dengan Coert DuBois –seorang Amerika yang ketika itu merupakan pemimpin delegasi Amerika di Komisi Jasa Baik:
“Tidak pernah sebelumnya saya merasa seperti melihat sejarah secara telanjang. Di mata kami yang sangat terguncang, laki-laki, perempuan dan anak-anak yang kami lihat di ladang-ladang dan sepanjang jalan seperti orang-orang yang kapalnya karam –kurus, kelaparan, compang-camping ... Yang lebih memberikan dampak besar daripada kemiskinan adalah antusiasme terhadap Soekarno –atau idealisme kemerdekaan dan harga diri kebangsaan yang dicerminkan olehnya (Soekarno). Di kota-kota kecil dan besar, jalan-jalan dipenuhi warga masyarakat yang bersorak-sorai. Apabila rombongan berhenti, laki-laki dan perempuan dengan wajah yang menunjukkan ketidak-berdayaan dan kelaparan, berjuang untuk menyentuh sang Presiden, yang berdiri di atas papan mobil, demi memberikan sedikit singkong atau sejumput tembakau kepada (sang Presiden) ...”

Sebelum Perjanjian Linggarjati, ketika Petit Muharto Kartodirdjo (ajudan Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Udara Soerjadarma) masih bertugas di Angkatan Udara Republik Indonesia, dia mencoba mencari jalan untuk membantu Indonesia menembus blokade Belanda dan menyelundupkan barang-barang yang dibutuhkan ke Indonesia. Dengan persetujuan Marsekal Udara Soerjadarma, dia menyamarkan dirinya dan secara rahasia pergi ke Singapura dengan kapal (dan kemudian juga ke Manila), di mana dia menemui para pejuang kemerdekaan Indonesia yang terlibat dalam barter, penyelundupan blokade, upaya-upaya humas, dan usaha-usaha lainnya demi kemerdekaan Republik. Di sana dia menghubungi beberapa maskapai penerbangan asing dan berusaha membuka sebuah jalur penerbangan sipil tetap antara Singapura dan Indonesia, terutama ibukota Republik di Yogyakarta. Dia berhasil membujuk beberapa maskapai penerbangan untuk terbang ke Indonesia, termasuk CALI (Filipina), Cathay Pacific (Hongkong), South Eastern Airways, Orient, Pacific Overseas Airlines (Pakistan), dan Kalinga. Namun, Pemerintah Indonesia tidak berhasil menanda-tangani perjanjian untuk membuka jalur tetap dengan satupun maskapai tersebut. Upaya Petit merupakan usaha perintis mencari terobosan agar dapat menembus blokade Belanda melalui udara. Menembus blokade Belanda akan membantu Indonesia dalam memberi-tahukan kepada dunia ihwal apa yang sebenarnya terjadi. Melalui CALI lah saat pertama Petit bertemu dengan Robert “Bobby” Freeberg, yang bekerja sebagai pilot carter pada CALI, dan kemudian menerbangkan pesawat CALI ketiga ke Yogyakarta.
Dua pesawat CALI yang pertama terbang tanpa masalah, dan merupakan penerbangan komersial biasa, bahkan lengkap dengan pramugari di dalamnya. Pada awal Maret 1947, pesawat CALI ketiga dengan kapten pilot Bobby diperintahkan untuk mendarat di sebuah landasan kecil sekitar 40 kilometer barat-laut Palembang. Itulah kali pertama sebuah pesawat Dakota mendarat di landasan tersebut. Setelah itu, pesawat harus menjatuhkan dua orang penerjun, Sudjono dan Sukotjo, di sebuah landasan kecil yang sudah tidak terpakai lagi dan dalam keadaan terbengkalai di Bukittinggi. Landasan tersebut akan diperbaiki oleh mereka. Bobby tidak keberatan melakukan hal ini dan melakukannya secara profesional. Petit selalu menemani para pilot di pesawat CALI untuk membantu mereka mengorientasikan apa yang ada di peta mereka dengan kontur bumi dan pemandangan yang terlihat di depan mata mereka.
Tidak mungkin penerbangan Bobby bisa disebut sebagai sebuah operasi penerbangan penumpang komersial biasa dan melalui inilah barangkali Bobby menyadari bahwa yang sebetulnya dibutuhkan oleh Republik ketika itu adalah bantuan untuk kegiatan angkutan udara dan militer. Menurut Petit, mula-mula Bobby justru merasa senang dengan operasi non-standar yang diminta untuk dilakukan dan kelihatan dia juga menyukai kehangatan dan keramahan orang-orang Indonesia. Tampaknya Bobby ikut pula merasakan perjuangan kemerdekaan Indonesia benar dan patut didukung. Bobby ingin memberi kontribusi perjuangan kemerdekaan dengan menyewakan pesawat C-47 Skytrain miliknya.
Dalam buku Sejarah Operasi Penerbangan Indonesia periode 1945-1950 yang diterbitkan oleh Dinas Sejarah TNI AU, bersama sekelompok kecil penerbang Amerika, veteran penerbang Amerika Serikat Robert (Bobby) Earl Freeberg membeli pesawat C-47 Skytrain  bekas 'war-surplus' dari Pangkalan Udara Clark di Filipina, seharga US$10 ribu. Berkat jasa Bob, pesawat ini kemudian bisa diterbangkan ke Indonesia buat sarana pengangkutan barang dan jasa.
Dua tahun paska kemerdekaan, sekitar tahun 1947, Pemerintah RI memang membutuhkan penerbang asing yang sanggup menerobos blokade Belanda. Dengan perantara seorang warga Birma bernama Savage, Bob Freeberg berkomunikasi dengan Opsir Udara III Petit Muharto Kartodirdjo dan Dick Tamimi. Kesimpulannya Indonesia membutuhkan kegiatan angkutan udara dan Bob menjadi pilot pesawat perintis pertama di Indonesia.
Bob menerbangkan pesawat CALI ketiga dari Pangkalan Udara Maguwo, Yogyakarta, pada Maret 1947 dengan rute tujuan pertama ke Singapura, melalui Bukittinggi. Dari Singapura dia kembali ke Manila, Filipina, untuk mengambil pesawat miliknya, C-47 Skytrain, yang telah disetujui akan disewa Pemerintah RI. Pesawat itu diambil secara diam-diam.
Semula kawan-kawan Bob tidak setuju, sehingga pesawat disembunyikan. Bob kebingungan, berusaha mencari, sampai akhirnya ketemu. Dia lantas membawa dua orang 'flight-engineer' berkebangsaan Filipina terbang ke Indonesia pada malam hari dengan dalih mengadakan uji terbang (test-flight). Ternyata itu sebuah tipu muslihat saja.
Maka, pada malam itu juga, Bob membawa pesawat C-47 Skytrain plus dua orang engineer ke Pangkalan Udara Maguwo, Yogyakarta. Pesawat Bobby kemudian dicarter oleh Angkatan Udara Republik Indonesia, dan atas saran Petit, diberi nomor registrasi RI 002. Tujuan pertama pesawat ini adalah membawa muatan kina dan vanili ke Manila, di mana Konsul Belanda langsung meminta pesawat dan isinya disita oleh pihak kepolisian. Setelah perdebatan dalam ruang sidang selama berminggu-minggu, dengan dukungan dari banyak sekali lembaga swadaya di Filipina pada Indonesia, Kapten Freeberg dan krunya yang orang Jawa jadi terkenal. Kemudian muatannya bisa dibebaskan dan dijual. Bobby mendapatkan cek pembayarannya yang pertama, dan menurut Petit sangat menyentuh hati semua orang Indonesia.
Dakota RI 002 selanjutnya melakukan banyak misi Angkatan Udara Indonesia. Misalkan pada 17 Oktober 1947, Dakota RI 002 mengangkut 13 orang prajurit Angkatan Udara melakukan misi penerjunan di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Mereka adalah Harry Aryadi Sumantri, Iskandar, Sersan Mayor Kosasih, F. M. Suyoto, Bahrie, J. Bitak, C. Williem, Imanuel, Mika Amirudin, Ali Akbar, M. Dahlan, J. H. Darius, dan Marawi. Misi ini dipimpin langsung oleh Mayor (AU) Tjilik Riwut, orang asli Kalimantan. Dia yang menentukan zona atau lokasi pendaratan pasukan.
Ketika itu Mayor Tjilik Riwut mendapat misi khusus, Operasi Penerjunan Pasukan Payung Pertama, dari Kepala Staf Angkatan Udara saat itu, Komodor (AU) Soerjadi Soerjadarma, untuk segera melakukan penerjunan di Kalimantan Tengah. Dengan menumpang pesawat RI-002 berpilot Bobby Freeberg, ketiga belas prajurit tersebut terjun payung dan melakukan pendaratan di Desa Sambi, Kotawaringin Barat. Mereka ditugaskan untuk membantu pejuang kemerdekaan di Kalimantan Tengah.
Setelah perang usai, Tjilik Riwut kemudian aktif di pemerintahan. Tokoh asli Kalimantan ini menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Tengah yang pertama. Berkat jasanya, pada 1998, beliau ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Kemudian guna mengenang peristiwa bersejarah Operasi Penerjunan Pasukan Payung Pertama, pihak Angkatan Udara menetapkan 17 Oktober 1947 sebagai hari lahir pasukan elit Kopasgat/Paskhas. Selain itu, kini di Desa Sambi telah didirikan monumen Palagan Sambi. Monumen tersebut sebagai bukti perjuangan dan kegigihan putra-putra terbaik bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.
Dakota RI 002 pernah pula mengemban misi menerobos blokade Belanda, menyelundupkan hasil produksi Indonesia dan menerjunkan senjata di wilayah Indonesia. Pesawat ini pun pernah menerbangkan pejabat pemerintah Indonesia ke berbagai tempat –baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Delegasi Indonesia ke konferensi ECAFE –termasuk Perdana Menteri Sjafruddin Prawiranegara—diterbangkan dengan Dakota RI 002. Pernah pula membawa orang-orang Indonesia pertama yang akan dilatih sebagai pilot di India dan Rangoon (Myanmar), di antaranya Marsekal Muda Agustinus Adisutjipto yang kemudian tewas dalam serangan Belanda terhadap Dakota VT-CLA.
Kisah tragis Adisutjipto bermula saat Dakota VT-CLA pada 29 Juli 1947 pagi berangkat dari Singapura ke Yogyakarta dengan muatan obat-obatan yang merupakan sumbangan Palang Merah Malaka kepada Palang Merah Indonesia. Pada senja hari pesawat tersebut tiba di atas kota Yogya dan segera berkeliling-keliling untuk mendarat. Roda-rodanya pun dikeluarkan dan membuat lingkaran terakhir untuk mendarat di Pangkalan Udara Maguwo. Tiba-tiba muncul dua pesawat pemburu Kittyhawk yang segera menyergap Dakota VT-CLA. Semua orang Yogya yang saat itu berada di luar rumah menyaksikan peristiwa penembakan Kittyhawk terhadap Dakota VT-CLA yang tak bersenjata itu. Beberapa kali Kittyhawk melepaskan tembakan yang tepat mengenai pesawat pengangkut obat-obatan tersebut.
Tak lama berselang, salah satu motor Dakota VT-CLA terbakar dan pesawat terpaksa terbang rendah. Upaya pilot untuk mengarahkan pendaratan ke Pangkalan Udara Maguwo jadi sia-sia. Pesawat miring ke kiri  dan sayapnya menerjang sebuah puncak pohon. Lalu pesawat jatuh ke sebuah tanggul, pecah menjadi dua dan kemudian terbakar di sebuah sawah di dekat Desa Wojo, sekitar tiga kilometer dari Kota Yogya. Seluruh penumpang pesawat yang dipiloti oleh Alexander Noel Constantine  (berkebangsaan Australia) itu tewas. Selain Adisutjipto, tercatat sebagai penumpang pesawat itu antara lain Komodor Udara Abdurrahman Saleh, Adisumarmo Wirjokusumo, juru teknik berkebangsaan India Bhida Ram, dan Zainul Arifin (seorang wakil perdagangan Republik Indonesia).
Kembali ke Dakota RI 002, Presiden Soekarno juga pernah diterbangkan pesawat yang biasa dipiloti Robert “Bobby” Freeberg itu ke seluruh wilayah Sumatera untuk menggalang dana buat pembelian pesawat terbang Angkatan Udara. Selama bulan Juni 1946, Presiden Soekarno berkeliling Sumatera dengan misi propaganda untuk memperbanyak dana “Dakota”. Di setiap tempat yang dikunjungi, Soekarno senantisa memperoleh sambutan meriah. Sewaktu di Aceh, rakyat setempat mengumpulkan uang selama dua hari yang cukup buat membeli sebuah pesawat Dakota  lengkap dengan suku cadang pengganti. Pesawat Dakota ini kemudian diregistrasi menjadi RI 001 Seulawah. Dalam bahasa Aceh, Seulawah berarti gunung emas.   
Sayangnya Dakota RI 002 tidak berumur panjang. Ceritanya, di pagi buta, tanggal 30 September 1948, kapten pilot Bobby Freeberg memulai penerbangan Maguwo-Bukittinggi pesawat dengan lima awak dan satu penumpang. Selain kapten pilot Bobby Freeberg tercatat awak kopilot Bambang Saptoadji, ahli teknik Sumadi, operator radio Suryatman, dan kopilot kedua Santoso. Sedangkan satu-satunya penumpang adalah Wakil Residen Banten Samaun Bakry. Pesawat tersebut sukses tinggal landas dari Pangkalan Udara Maguwo. Sebagaimana biasa, pesawat RI-002 kerap melakukan black flight. Yaitu, penerbangan gelap, seakan-akan main kucing-kucingan guna menghindari pesawat-pesawat pemburu milik Belanda yang banyak berpangkalan di Pulau Sumatera dan di Jawa.
Buku “Laporan Perdjalanan” (Vluchrapport), semacam buku manifest, mencatat jumlah kargo muatan barang seberat 2.500 kg –di antaranya 20 kilogram emas dari pertambangan emas Cikotok. Emas tersebut akan digunakan buat membeli pesawat kepresidenan Republik Indonesia.
Sekadar pengetahuan, sebagaimana pernah dilaporkan oleh Pimpinan Tambang Mas Cikotok kepada Pimpinan Pusat Perusahaan-perusahaan Tambang Mas R.I. di Sukabumi, pada tanggal 21 Juli 1947 bulion emas sudah siap dikirim ke Yogyakarta dengan angkutan truk. Namun lantaran Kota Sukabumi sudah keburu diduduki oleh tentara Belanda, jelas S. Adihatmodjo (ex Pimpinan Pusat Perusahaan Tambang Mas R.I. Sukabumi), maka emas yang jermulah ratusan kilogram tersebut diteruskan ke Tambang Mas Cikotok, Banten Selatan.
Masih menurut Adihatmodjo, Pemerintah Pusat di Yogya menugaskan Samaun Bakry untuk menyelamatkan bulion emas yang ada di Unit Tambang Mas Cikotok. Namun, kata Adihatmodjo, pihak perusahaan tidak mengetahui jumlah pasti emas tersebut karena tidak diberitahukan. “Karena waktu itu kami tidak mendapat kabar lagi dari Yogya maupun Cikotok mengenai pengiriman bulion emas dengan kapal terbang RI 002, kami beranggapan bahwa kapal terbang telah ditembak jatuh oleh Belanda dan muatan bulion emas disita oleh mereka,” tulisa Adihatmodjo pada surat pembaca Koran Kompas, 12 Juli 1981.
Kembali ke penerbangan Dakota RI 002. Dari Maguwo, rencananya, pesawat menempuh rute menuju Lanud Gorda Serang dan Lanud Tanjung Karang selanjutnya menuju Bukittinggi. Di Gorda, telah menunggu Samaun Bakry yang diperintahkan Presiden Soekarno untuk membawa 20 kilogram emas dari  pertambangan emas Cikotok.
Sehari sebelum keberangkatan Dakota RI 002 dari Pangkalan Udara Maguwo, kata Nursima (istri Samaun Bakry), Samaun mendapat perintah dari Pemerintah Pusat (waktu itu di Yogyakarta) agar mempersiapkan keberangkatan ke suatu daerah yang tidak disebutkan dengan membawa emas hasil tambang Cikotok yang sudah disimpan ke dalam peti-peti. “Saya melihat dengan mata kepala sendiri peti-peti yang berisikan emas itu dibawa oleh para pegawai dan diangkut ke lapangan darurat Gorda, sekitar 22 kilometer dari Serang. Di sana sudah akan menunggu pesawat dari Yogyakarta untuk membawa emas itu,” ungkap Nursima sebagaimana dilansir Koran Pikiran Rakyat, akhir Juli 1978. Nursima sendiri mengaku tidak diberi tahu ihwal rencana keberangkatan Samaun Bakry membawa misi mengantarkan emas ke sebuah daerah.
Fuad Bakri menambahkan bahwa emas-emas tersebut dibungkus dalam peti sebesar sekitarkardis mie instan. “Saya lihat sendiri, kira-kira seperti kotak kardus mie instan. Jadi emasnya belum emas murni, masih bercampur dengan logam lain,” ungkap Fuad suatu kali.  
Namun 20 kilogram emas yang dibawa pada penerbangan terakhir Dakota RI-002 itu tidak pernah jelas keberadaannya sampai kini. Isu yang beredar menyatakan bahwa emas batangan tersebut disita militer Belanda sewaktu pesawat dipaksa mendarat di Landasan Udara Tanjung Karang, Lampung. Setelah itu, pesawat RI 002 diperbolehkan terbang tanpa membawa emas menuju Bukittinggi. Dan, kemudian Pangkalan Udara Maguwo kehilangan kontak RI 002 pada 1 Oktober 1948.
Dakota RI 002 hilang tanpa kabar. Padahal, sudah menjadi kebiasaan internasional bahwa bila ada sebuah pesawat terbang hilang maka semua pesawat terbang yang ada di daerah sekitarnya –baik pesawat kawan maupun pesawat lawan—harus ikut mencarinya. Rupanya kebiasaan itu tidak berlaku tatkala Dakota RI 002 raib setelah lepas landas dari Tanjung Karang.
Sebagai istri yang menunggu-nunggu kepulangan suami dari bertugas, Nursima baru memperoleh kabar hilangnya pesawat Dakota RI 002 yang ditumpangi suaminya (Samaun Bakry) lewat sebuah telegram dari Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Soerjadarma beberapa waktu kemudian. Telegram itu menyebutkan bahwa pesawat Dakota RI 002 dikabarkan hilang di daerah Palembang karena dipaksa mendarat di Lanu Palembang. “Berita duka itu membuat keluarga saya jadi merana,” ujar Nursima yang sempat memperoleh tunjangan pensiun sampai tahun 1953.

Kejelasan Kabar 30 Tahun Berselang
Kalender menunjuk tanggal 6 April 1978. Alip bin Dulahir dan Tamirsan bin Muhar --dua orang penduduk Lesungbatu, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan—ingin memperluas tanah garapannya untuk perkebunan. Kedua orang itu telah memperoleh amanah dari warga desa tersebut guna melihat masih adanya kemungkinan lahan (hutan) kosong di sekitar Bukit Punggur.
Keduanya memenuhi amanat warga desa. Dan ketika tengah mencari sumber air di satu tebing yang curam, mereka melihat belahan-belahan pesawat terbang yang telah tertutup kekayuan, kedua sayapnya terpisah, bagian awak menembus bukit, sedangkan ekornya membalik ke atas.
“Kedua orang tersebut sama sekali tidak menjamah reruntuhan pesawat itu,” jelas Letnan Satu Udara Sulaeman sembari menambahkan, “Anehnya kedua orang tersebut tidak segera melapor ke pihak yang berwajib di daerah Kasui, malahan mereka kembali ke Lahat.”
Di Lahat, Alip dan Tamirsan hanya melapor kepada salah seorang anggota Angkatan Laut bernama Saemuni. Lalu Saemuni melaporkan penemuan reruntuhan pesawat itu kepada Pangkalan Udara Talang Betutu, Palembang.
Kemudian, sebuah tim yang terdiri dari unsur Angkatan Udara, Angkatan Darat, Kepolisian dan tokoh masyarakat –tak ketinggalan dua orang yang awal menemukan—menuju Bukit Panggur. Tim ini dipimpin oleh Letnan Satu Udara Sulaeman.
Setelah menaiki bukit-bukit menuruni tebing-tebing curam serta menebangi kekayuan untuk petunjuk jalan, dalam waktu hampir enam jam, tim tiba di lokasi reruntuhan pesawat terbang. “Kami hanya menemukan dua buah pistol dan beberapa instrumen pesawat,” ungkat Lettu Sulaeman.
Hari pertama pencarian, tim tidak banyak membawa hasil karena daerah sekitarnya tidak memungkinkan untuk bisa tetap tinggal lama. Kabut tebal selamanya menglimuti daerah pegunungan tersebut.
Dengan menambah anggota baru, pada kedua-kalinya tim berangkat ke lokasi ditemukan reruntuhan pesawat. Sebab, banyak anggota lama yang menyatakan kapok mendaki bukit yang amat curam itu. Keberangkatan kedua kali ini tim membawa misi tugas dari Komandan Pangkalan Udara Talang Betutu untuk mencari kemungkinan masih adanya kerangka-kerangka awak pesawat.
Rupanya tim mengalami kesulitan mencari kerangka-kerangka awak pesawat lantaran bagian depan (kokpit) pesawat terpendam dalam tanah. Padahal, biasanya awak pesawat berada di bagian depan.
Setelah berusaha sekuat tenaga, tim menemukan gigi yang relatif panjang. “Yang pertama kali ditemukan dari kerangka-kerangka para awak pesawat itu adalah sebuah gigi panjang,” ungkap Lettu Sulaeman sembari menambahkan, “Kemungkinan besar gigi tersebut bukan gigi orang Indonesia tapi orang asing atau orang bule.” Baru kemudian tim menemukan kerangka bagian kepala, tulang rusuk, kaki dan tangan.
Sementara itu beberapa instrumen dari pesawat yang berhasil ditemukan antara lain dinamo dan transmeter. Dari pemeriksaan, jelas Lettu Sulaeman, dalam dinamo yang ditemukan tersebut terdapat sebuah peluru jenis 7,62 mm yang menancap. “Apakah pesawat ini ditembak oleh pesawat lain atau oleh crew lapangan,” Lettu Sulaeman belum bisa memberikan penjelasan rinci.
Setelah pihak Pangkalan Udara Talang Betutu melaporkan kepada Markas Besar Angkatan Udara di Jakarta diidentifikasi bahwa pesawat itu adalah milik AURI dengan register Dakota RI 002 (pesawat kedua yang dimiliki AURI sebagai perintis).
Lalu, usaha menghubungi keluarga dan ahli waris para awak pun dilakukan melalui pemberitaan dan pembertahuan lewat media massa pada tanggal 29 Juni 1978. Alasannya, pihak AURI tidak mengetahui lagi alamat keluarga dan ahli waris para awak pesawat tersebut.
Selain itu, tim berusaha pula memisah-misahkan kerangka menjadi enam sosok karena diketahui salah seorang di antaranya merupakan warga negara asing. Dia adalah kapten pilot Robert “Bob” Freeberg yang berkebangsaan Amerika Serikat. Kerangka-kerangka itu lalu dimasukkan ke dalam peti-peti jenazah ukuran pendek dan disemayamkan di Aula Pangkalan Udara Talang Betutu sejak April sampai 28 Juli 1978.
Pangkalan Udara Talang Betutu lantas memberikan penghargaan kepada dua orang petani dari Lesungbatu yang menemukan reruntuhan pesawat di Bukit Punggur, Lampung Utara.
Untuk memakamkan enam rangka awak dan penumpang Dakota RI 002, Kepala Staf TNI Angkatan Udara (masa itu) Marsekal Ashadi Tjahjadi mengambil kebijakan menguburkan enam kerangka jenazah tersebut di Taman Makam Pahlawan Tanjung Karang pada tanggal 29 Juli 1978. Berdasarkan Keputusan MENHANKAM/PANGAB Nomor KEP/B/44/XII/1973 tanggal 10 Desember 1973 tentang Petunjuk Sementara Pemakaman Jenazah di Taman Makam Pahlawan, demikian pertimbangan keputusan Kepala Staf TNI AU, para korban dapat dikategorikan gugur/tewas karena menjalankan tugas Negara. Dan karena itu jasad mereka layak dikuburkan di Taman Makam Pahlawan.
Tepat tanggal 29 Juli 1978, lima kerangka jenazah awak dan penumpang Dakota RI 002 dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Tanjung Karang, Lampung. Kelima kerangka tersebut masing-masing kerangka kopilot Bambang Saptoadji, ahli teknik Sumadi, operator radio Suryatman, kopilot kedua Santoso dan Wakil Residen Banten Samaun Bakry. Bertindak sebagai inspektur upacara Panglima Komando Daerah Udara I Marsekal Pertama TNI Pribadi.
Pemakaman kelima kerangka jenazah tersebut dihadiri antara lain Gubernur Lampung Yasir Hadibroto, Muspida Tingkat I Propinsi Lampung dan Wakil Asisten KASAU Urusan Personil Mabes TNI AU Marsekal Pertama TNI Soewarto yang mewakili TNI AU. Acara pemakaman tersebut diikuti pula oleh sekitar 30 orang keluarga dan ahli waris korban, termasuk salah satunya Nursima, istri almarhum Samaun Bakry, yang datang langsung dari Serang (Banten).
Melihat penghargaan yang diberikan oleh Kepala Staf TNI AU bahwa korban Dakota RI 002 termasuk gugur dalam tugas Negara, pada tanggal 1 Juli 1979 Nursima mengajukan permohonan pemberian tunjangan pernghargaan ke Departemen Sosial Republik Indonesia. Permohonan tersebut baru memperoleh jawaban dari Menteri Sosial pada tanggal 19 Januari 1981. Melalui Keputusan Menteri Sosial Nomor Pol 7/I/1931/PK/Jd, Menteri Sosial memberikan tunjangan kepada Ny. Nursima (janda almarhum Samaun Bakry) sebesar Rp30.000 per bulan terhitung mulai tanggal 1 September 1979. Dengan keterangan bahwa tunjangan pokok sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1978 dan Sdr. Samaun Bakry adalah seorang Perintis Kemerdekaan Anumerta dengan SK Menteri Sosial Nomor Pol 7/I/1931/PK/Jd tanggal 19 Januari 1981.
Selain itu, pada tanggal 1 Juli 1979 pula, Fuad Bakry (atas nama Keluarga Samaun Bakry) mengajukan permohonan penghargaan perintis kemerdekaan kepada Badan Perintis Pergerakan Kebangsaan/Kemerdekaan. Pengajuan itu diketahui oleh Wakil Presiden Adam Malik dan Ibu Negara RI yang pertama Fatmawati.
Dalam perkembangannya, selain penemuan bagian depan pesawat dan kerangka jasad awak/penumpang, pada 24 Mei 1981, seorang pencari rotan bernama Nursuwito dan tiga orang temannya menemukan badan pesawat DC-3 berada di jurang Bukit Punggur, tidak terlalu jauh dari lokasi penemuan bagian depan pada tanggal 6 April 1978.  Sebuah tim dari Lapangan Udara Astraksetra dan Korem 43 Garuda Hitam yang dipimpin Kapten Udara Djoko Waluyo menuju ke lokasi dan tiba pada 11 Juni 1981 sekitar pukul 10.15 WIB.
Setelah dilakukan penelitian oleh anggota tim Peltu Ilyas dapat dipastikan bahwa reruntuhan tersebut adalah bekas pesawat DC-3 RI 002 yang diketemukan pada 6 April 1978. Perbedaannya, lokasinya telah bergeser dari atas lereng kemudian turun ke jurang sedalam sekitar 50 meter dari tepat semula. Hasil penelitian di lokasi oleh tim dari Lapangan Udara Astraksetra tersebut kemudian dilaporkan ke Korem 43 Garuda Hitam di Tanjung Karang dan Mabes TNI AU di Jakarta. Turut dalam tim ke lokasi penemutan rentuhan badan pesawat di antaranya Hantoro Surendra dari Harian Tamtama.
Pada tahun 1978, bagian depan pesawat diketemukan di  menancap di lereng Bukit Punggur, sementara saat diketemukan Nursuwito dan rekannya di jurang lengkap dengan badan yang masih dikenal jenis DC-3, namun tanpa tanda pengenal, baling-baling dan roda pendarat. Pergeseran lokasi itu diperkirakan disebabkan oleh erosi dan longsor. (Harian Kompas, 29 Juni 1981)
Kembali ke permohonan perintis kemerdekaan yang diajukan oleh ahli waris keluarga Samaun Bakry. Seperti menunggu kepastian kabar ketika Dakota RI 002 yang memakan waktu 30 tahun, Ny Nursima dan Fuad Bakry pun mesti bersabar untuk memperoleh jawaban permohonannya. Baru tahun 2002 keduanya mendapatkan kabar dari Istana Negara. Saat mana Fuad Bakry menerima undangan dari Sekretaris Presiden untuk hadir pada acara Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Republik Indonesia pada tanggal 8 November 2002 pukul 14.00 di Istana Negara Jakarta. Dan salah satu penerima Gelar Pahlawan Nasional itu adalah almarhum Samaun Bakry. Benar, tanggal 8 Nopember 2002 pukul 14.00, Fuad Bakry memenuhi undangan dari Sekretaris Presiden. Dia (mewakili ayahnya Samaun Bakry) menerima penyematan tanpa penghargaan sebagai “Pahlawan Nasional” dengan Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Utama dari Presiden (saat itu) Megawati Soekarnoputri. Penghargaan itu dikukuhkan dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 073-076/TK/2002.
Fuad Bakry sedikit menyesalkan mengapa baru setelah lebih dari 50 tahun berlalu ayahnya menerima pernghargaan tersebut. Lebih disesalkan lagi tidak ada partisipasi Gubernur Sumatera Barat untuk mendapatkan tanda penghargaan bagi Samaun Bakry tersebut (Koran Haluan, Nopember 2002). Upaya untuk memperoleh apresiasi dari Pemerintah Republik Indonesia itu sepenuhnya dilakukan oleh Fuad Bakry (anak dari Samaun Bakry) dan Ny. Nursima sebagai janda almarhum Samaun Bakry. ***      

No comments:

Post a Comment