Semenjak
agama Islam diturunkan, Islam telah melarang setiap pemeluknya untuk berharap
agar kematian segera datang menghampiri diri mereka. Hal ini karena manusia pasti
tidak akan tahan dengan rasa sakit saat nyawa tersebut dicabut dari batang
jasmaninya. Kematian juga akan memutus seluruh amalan-amalan yang mereka kerjakan
di dunia. Hikmah di balik ini adalah bahwa kehidupan di dunia ini merupakan kesempatan
berharga bagi manusia supaya kita memanfaatkannya dan berlomba-lomba untuk menempa
amalan baik sebanyak mungkin. Dengan amalan-amalan yang baik, pahala kita akan
terus bertambah dan kian sempurna. Jadi sebaik-baik orang beriman adalah mereka
yang memiliki umur panjang dan selalu beramal baik sehingga dapat menghasilkan balasan
pahala yang banyak pula.
Mengenai
hal ini, terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah bersabda, “Janganlah sekali-kali
di antara kalian mengharapkan datangnya
kematian. Karena rasa sakit yang ditimbulkannya tidak dapat ditahan oleh manusia.
Jika pun kalian harus berharap, katakanlah, ‘Ya
Allah, panjangkanlah umurku jika hidup itu lebih baik bagiku. Dan matikanlah
aku jika kematian itu lebih baik bagiku’.”[1]
Dalam riwayat lain dikatakan, “Janganlah sekali-kali di antara kalian berharap
akan datangnya kematian. Dan janganlah kalian berdoa memohon supaya didatangkan kematian
sebelum ia datang sendiri pada kalian. Karena jika di antara kalian ada yang mati, akan terputuslah semua amalannya. Seorang
mukmin tidak akan menjadi baik walaupun bertambah umurnya kecuali jika umurnya
digunakan untuk amal kebaikan.”[2]
Jadi,
tidak diperbolehkan bagi seorang Muslim yang masih hidup mengharapkan
datangnya kematian kepadanya. Walaupun dengan dalih, terkena musibah atau
terserang penyakit. Karena sikap semacam ini merupakan sifat ketidak-ridhaannya terhadap ketetapan Allah SWT.
Tujuan
Allah menetapkan larangan ini adalah supaya mereka yang saleh senantiasa menambah
amal kebaikannya di mana pun dan kapan pun. Sedangkan mereka yang buruk amalnya,
hendaknya ia bersikap ridha kepada Tuhannya dengan mengharamkan dirinya berbuat
dosa. Tentu sikap pengharaman diri terhadap dosa ini dapat diiringi dengan banyak mengucap istighfar. Terlebih akan
lebih baik bila ia bertaubat dengan menyesali
dosa-dosa yang telah berlalu.
Dalam
hal ini, sahabat Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah
bersabda, “Tidak akan ada salah seorang pun di antara kita yang akan masuk surga
dengan amalannya. Para sahabat kemudian serentak bertanya, ‘Termasuk engkau wahai Rasul?’ Beliau menjawab, ‘Ya, termasuk aku. Kecuali jika Allah menaungiku dengan keutamaan
dan rahmat-Nya. Maka dari itu, eratkanlah tali persaudaraan kalian dan dekatkanlah
diri kalian satu sama lain’.”
Pada kisah lain, Rasulullah bersabda, “Janganlah di antara kalian berharap akan datangnya kematian. Jika kalian
termasuk orang-orang saleh, hendaklah kalian terus menambah amal shaleh. Tetapi
bila sebaliknya, hendaklah kalian minta untuk ditegur (oleh Allah).”[3]
Minta
ditegur berarti minta untuk diperingatkan. Dengan kata lain, memohon kepada
Allah agar dihilangkan celaan yang akan datang dari amal
buruknya. Hadits ini sebenarnya merupakan seruan kepada orang-orang saleh supaya mereka sama sekali tidak mengharapkan kematian. Juga agar mereka terus-menerus menambah kebaikan yang selama ini telah dikerjakan.
Karena kehidupan semacam ini sangat bermanfaat buat mereka.
Adapun
mereka yang buruk amalannya, hadits ini ditujukan untuk menyeru kepada mereka supaya
melepaskan amal kemaksiatannya. Dan diharapkan amal kemaksiatannya itu tidak
menemaninya saat ia mati nanti. Sebab, jika demikian, mereka akan hidup dalam keadaan bahaya di akhirat.
Dalam
kesehariannya, mereka yang saleh selalu memohon kepada Allah SWT supaya Dia berkenan melimpahkan taufik dengan amal-amal saleh. Tidak semestinya orang-orang seperti mereka ini mengharapkan datangnya
kematian.
Lantas,
apa yang seharusnya dimohon dari mereka yang beramal buruk? Hendaknya mereka tidak
berputus asa dari rahmat Allah SWT dan tidak memutus harapan ampunan dari-Nya.
Sehingga harapan pada kematian tidak selayaknya mereka lantunkan.
Ketika
seorang hamba telah tiba masa ajalnya, ia dihadapkan dalam dua keadaan: Pertama,
sukacita, kedua, berduka. Keadaan pertama dimiliki oleh mereka yang
saleh. Mereka akan bersukacita sewaktu berpisah
dengan amalan saleh yang pernah dikerjakannya (karena akan menerima balasan dari
amal salehnya). Sedangkan keadaan yang kedua adalah milik mereka yang senang
melakukan maksiat. Mereka akan terjebak dalam jurang kesedihan dan kerugian atas
penderitaan yang bertubi-tubi (di dalam neraka).
Thalhah
bin Ubaidillah r.a. menceritakan, “Ada dua orang yang berjalan menghampiri
Rasulullah Saw. Mereka kemudian bersama-sama mengikrarkan dua kalimat syahadat.
Tetapi mereka berdua berbeda dalam mengamalkan ajaran syahadat tersebut. Salah
satunya lebih semangat dalam berjihad dan akhirnya ia mati syahid. Sedangkan
yang kedua hidup seperti biasa, layaknya seorang Muslim lainnya. Setelah setahun, orang yang kedua tersebut kemudian meninggal.”
Selanjutnya
Thalhah juga berkisah, “Saat aku tidur, aku bermimpi
sesuatu yang seolah aku melihatnya secara jelas, dan membuatku
takjub. Di dalam mimpiku itu, aku berdiri di salah satu
pintu surga. Lalu ada seseorang yang keluar dari pintu itu. Ternyata ia adalah orang
yang pernah kusaksikan di dunia saat memeluk Islam kemudian berjihad dan akhirnya
mati syahid. Setelah itu, ia mempersilakan keluar kepada temannya yang wafat
setelahnya. Dan kemudian muncul seorang lagi dari pintu surga tersebut. Tidak
disangka, tiba-tiba saja mereka berbalik menghampiriku dan berkata, ‘Pulanglah!
Giliranmu masih nanti di sini’.”
Mengalami
mimpi yang tidak disangka-sangkanya, Thalhah kemudian menceritakan apa yang
dialaminya itu kepada khalayak ramai. Mereka pun terkejut mendengar cerita Thalhah. Semakin lama
cerita ini semakin menyebar dan akhirnya cerita ini sampai ke telinga baginda Rasulullah.
Beliau kemudian bertanya pada para
sahabat, “Siapa di antara keduanya yang kalian kagumi?”
Mereka menjawab, “Tentu saja yang lebih gigih dalam berjihad lalu mati
syahid di jalan-Nya dan akhirnya masuk surga dahulu.”
Mendengar jawaban para sahabat, Rasulullah menjawab mereka dengan bertanya
lagi, “Bukankah yang kedua itu masih hidup setelahnya selama setahun?”
Mereka menjawab serentak, “Ya, Rasulullah”
Beliau melanjutkan, “Bukankah ia juga berjumpa dengan bulan Ramadhan
kemudian melaksanakan puasa?”
Mereka menjawab, “Betul, Rasulullah.”
Beliau menambahkan lagi, “Bukankah ia juga menjalankan pelbagai shalat dan
bersujud selama setahun?”
Mereka menjawab, “Ya, itu juga betul wahai Rasulullah.”
Rasulullah akhirnya menutup cerita mimpi Thalhah dengan bersabda, “Jadi,
pemisalan mereka berdua itu lebih jauh ketimbang jarak yang membentang antara langit
dan bumi.”[4]
[1]Hadits
shahih, HR Imam Bukhari, dalam ‘Shahîh Bukhâri’
no. 5671, Imam Muslim dalam ‘Shahîh Muslim’ no. 2680, Imam
Abu Daud dalam ‘Sunan Abi Dâwud’ no. 3108, Imam Ahmad dalam‘Musnad
Ahmad,’ Juz III, no. 101 dan 195, Imam Tirmidzi dalam ‘Sunan
al-Tirmîdzî’ no. 970, Imam Nasa’i dalam‘Sunan al-Nasâ’i’ no. 3, Juz
IV, dan Imam Ibnu Majah dalam ‘Sunan Ibn Mâjah’ no. 4265.
[2]Hadits shahih, HR Imam Muslim dalam‘Shahîh
Muslim’ no. 2682, Imam Ahmad dalam ‘Musnad Ahmadm Juz III,’
no. 216, Ibnu Hibban dalam‘Shahîh Ibn Hibbân’ no. 8, Juz
V, dan Imam Abdul Raziq dalam ‘Musannif’ no. 2636.
[3]Hadits
shahih, HR Imam Bukhari dalam‘Shahîh Bukhâri’
no. 7235, Imam Ahmad dalam‘Musnad Ahmad’ no. 309. Juz II, Imam Nasa’i
dalam ‘Sunan al-Nasâi’ no. 2, Juz IV, dan Imam Darimi dalam ‘Sunan al-Dârimi’ no. 313, Juz,
II.
[4]Hadits
shahih, HR Imam Ahmad dalam‘Musnad Ahmad,’ Juz I, no.
1403, hlm. 163. Imam Ibnu Majah dalam ‘Sunan
Ibn Mâjah’ no. 3925.
No comments:
Post a Comment