Saturday, December 28, 2013

Janganlah Kalian Berharap pada Kematian



Semenjak agama Islam diturunkan, Islam telah melarang setiap pemeluknya untuk berharap agar kematian segera datang menghampiri diri mereka. Hal ini karena manusia pasti tidak akan tahan dengan rasa sakit saat nyawa tersebut dicabut dari batang jasmaninya. Kematian juga akan memutus seluruh amalan-amalan yang mereka kerjakan di dunia. Hikmah di balik ini adalah bahwa kehidupan di dunia ini merupakan kesempatan berharga bagi manusia supaya kita memanfaatkannya dan berlomba-lomba untuk menempa amalan baik sebanyak mungkin. Dengan amalan-amalan yang baik, pahala kita akan terus bertambah dan kian sempurna. Jadi sebaik-baik orang beriman adalah mereka yang memiliki umur panjang dan selalu beramal baik sehingga dapat menghasilkan balasan pahala yang banyak pula.
Mengenai hal ini, terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah bersabda, “Janganlah sekali-kali di antara kalian mengharapkan datangnya kematian. Karena rasa sakit yang ditimbulkannya tidak dapat ditahan oleh manusia. Jika pun kalian harus berharap, katakanlah, Ya Allah, panjangkanlah umurku jika hidup itu lebih baik bagiku. Dan matikanlah aku jika kematian itu lebih baik bagiku’.”[1]
Dalam riwayat lain dikatakan, “Janganlah sekali-kali di antara kalian berharap akan datangnya kematian. Dan janganlah kalian berdoa memohon supaya didatangkan kematian sebelum ia datang sendiri pada kalian. Karena jika di antara kalian ada yang mati, akan terputuslah semua amalannya. Seorang mukmin tidak akan menjadi baik walaupun bertambah umurnya kecuali jika umurnya digunakan untuk amal kebaikan.[2]
Jadi, tidak diperbolehkan bagi seorang Muslim yang masih hidup mengharapkan datangnya kematian kepadanya. Walaupun dengan dalih, terkena musibah atau terserang penyakit. Karena sikap semacam ini merupakan sifat ketidak-ridhaannya terhadap ketetapan Allah SWT.
Tujuan Allah menetapkan larangan ini adalah supaya mereka yang saleh senantiasa menambah amal kebaikannya di mana pun dan kapan pun. Sedangkan mereka yang buruk amalnya, hendaknya ia bersikap ridha kepada Tuhannya dengan mengharamkan dirinya berbuat dosa. Tentu sikap pengharaman diri terhadap dosa ini dapat diiringi dengan banyak mengucap istighfar. Terlebih akan lebih baik bila ia bertaubat dengan menyesali dosa-dosa yang telah berlalu.
Dalam hal ini, sahabat Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Tidak akan ada salah seorang pun di antara kita yang akan masuk surga dengan amalannya. Para sahabat kemudian serentak bertanya, Termasuk engkau wahai Rasul? Beliau menjawab, Ya, termasuk aku. Kecuali jika Allah menaungiku dengan keutamaan dan rahmat-Nya. Maka dari itu, eratkanlah tali persaudaraan kalian dan dekatkanlah diri kalian satu sama lain.”
Pada kisah lain, Rasulullah bersabda, “Janganlah di antara kalian berharap akan datangnya kematian. Jika kalian termasuk orang-orang saleh, hendaklah kalian terus menambah amal shaleh. Tetapi bila sebaliknya, hendaklah kalian minta untuk ditegur (oleh Allah).”[3]
Minta ditegur berarti minta untuk diperingatkan. Dengan kata lain, memohon kepada Allah agar dihilangkan celaan yang akan datang dari amal buruknya. Hadits ini sebenarnya merupakan seruan kepada orang-orang saleh supaya mereka sama sekali tidak mengharapkan kematian. Juga agar mereka terus-menerus menambah kebaikan yang selama ini telah dikerjakan. Karena kehidupan semacam ini sangat bermanfaat buat mereka.
Adapun mereka yang buruk amalannya, hadits ini ditujukan untuk menyeru kepada mereka supaya melepaskan amal kemaksiatannya. Dan diharapkan amal kemaksiatannya itu tidak menemaninya saat ia mati nanti. Sebab, jika demikian, mereka akan hidup dalam keadaan bahaya di akhirat.
Dalam kesehariannya, mereka yang saleh selalu memohon kepada Allah SWT supaya Dia berkenan melimpahkan taufik dengan amal-amal saleh. Tidak semestinya orang-orang seperti mereka ini mengharapkan datangnya kematian.
Lantas, apa yang seharusnya dimohon dari mereka yang beramal buruk? Hendaknya mereka tidak berputus asa dari rahmat Allah SWT dan tidak memutus harapan ampunan dari-Nya. Sehingga harapan pada kematian tidak selayaknya mereka lantunkan.
Ketika seorang hamba telah tiba masa ajalnya, ia dihadapkan dalam dua keadaan: Pertama, sukacita, kedua, berduka. Keadaan pertama dimiliki oleh mereka yang saleh. Mereka akan bersukacita sewaktu berpisah dengan amalan saleh yang pernah dikerjakannya (karena akan menerima balasan dari amal salehnya). Sedangkan keadaan yang kedua adalah milik mereka yang senang melakukan maksiat. Mereka akan terjebak dalam jurang kesedihan dan kerugian atas penderitaan yang bertubi-tubi (di dalam neraka).
Thalhah bin Ubaidillah r.a. menceritakan, “Ada dua orang yang berjalan menghampiri Rasulullah Saw. Mereka kemudian bersama-sama mengikrarkan dua kalimat syahadat. Tetapi mereka berdua berbeda dalam mengamalkan ajaran syahadat tersebut. Salah satunya lebih semangat dalam berjihad dan akhirnya ia mati syahid. Sedangkan yang kedua hidup seperti biasa, layaknya seorang Muslim lainnya. Setelah setahun, orang yang kedua tersebut kemudian meninggal.”
Selanjutnya Thalhah juga berkisah, “Saat aku tidur, aku bermimpi sesuatu yang seolah aku melihatnya secara jelas, dan membuatku takjub. Di dalam mimpiku itu, aku berdiri di salah satu pintu surga. Lalu ada seseorang yang keluar dari pintu itu. Ternyata ia adalah orang yang pernah kusaksikan di dunia saat memeluk Islam kemudian berjihad dan akhirnya mati syahid. Setelah itu, ia mempersilakan keluar kepada temannya yang wafat setelahnya. Dan kemudian muncul seorang lagi dari pintu surga tersebut. Tidak disangka, tiba-tiba saja mereka berbalik menghampiriku dan berkata, ‘Pulanglah! Giliranmu masih nanti di sini’.”
Mengalami mimpi yang tidak disangka-sangkanya, Thalhah kemudian menceritakan apa yang dialaminya itu kepada khalayak ramai. Mereka pun terkejut mendengar cerita Thalhah. Semakin lama cerita ini semakin menyebar dan akhirnya cerita ini sampai ke telinga baginda Rasulullah.  Beliau kemudian bertanya pada para sahabat, “Siapa di antara keduanya yang kalian kagumi?”
Mereka menjawab, “Tentu saja yang lebih gigih dalam berjihad lalu mati syahid di jalan-Nya dan akhirnya masuk surga dahulu.”
Mendengar jawaban para sahabat, Rasulullah menjawab mereka dengan bertanya lagi, “Bukankah yang kedua itu masih hidup setelahnya selama setahun?”
Mereka menjawab serentak, “Ya, Rasulullah”
Beliau melanjutkan, “Bukankah ia juga berjumpa dengan bulan Ramadhan kemudian melaksanakan puasa?”
Mereka menjawab, “Betul, Rasulullah.”
Beliau menambahkan lagi, “Bukankah ia juga menjalankan pelbagai shalat dan bersujud selama setahun?”
Mereka menjawab, “Ya, itu juga betul wahai Rasulullah.”
Rasulullah akhirnya menutup cerita mimpi Thalhah dengan bersabda, “Jadi, pemisalan mereka berdua itu lebih jauh ketimbang jarak yang membentang antara langit dan bumi.”[4]


[1]Hadits shahih, HR Imam Bukhari, dalam ‘Shahîh Bukhâri’ no. 5671, Imam Muslim dalam ‘Shahîh Muslim’ no. 2680, Imam Abu Daud dalam ‘Sunan Abi Dâwud’ no. 3108, Imam Ahmad dalam‘Musnad Ahmad,’ Juz III, no. 101 dan 195, Imam Tirmidzi dalam ‘Sunan al-Tirmîdzî’ no. 970, Imam Nasa’i dalam‘Sunan al-Nasâ’i’ no. 3, Juz IV, dan Imam Ibnu Majah dalam ‘Sunan Ibn Mâjah’ no. 4265.
[2]Hadits shahih, HR Imam Muslim dalam‘Shahîh Muslim’ no. 2682, Imam Ahmad dalam ‘Musnad Ahmadm Juz III, no. 216, Ibnu Hibban dalam‘Shahîh Ibn Hibbân’ no. 8, Juz V, dan Imam Abdul Raziq dalam ‘Musannif’ no. 2636.
[3]Hadits shahih, HR Imam Bukhari dalam‘Shahîh Bukhâri’ no. 7235, Imam Ahmad dalam‘Musnad Ahmad’ no. 309. Juz II, Imam Nasa’i dalam ‘Sunan al-Nasâi’ no. 2, Juz IV, dan Imam Darimi dalam ‘Sunan al-Dârimi’ no. 313, Juz, II.
[4]Hadits shahih, HR Imam Ahmad dalam‘Musnad Ahmad,’ Juz I, no. 1403, hlm. 163.  Imam Ibnu Majah dalam ‘Sunan Ibn Mâjah’ no. 3925.

No comments:

Post a Comment