Wednesday, December 25, 2013

Samaun Bakry dan “Bandung Lautan Api”



Sjoekoer, dapat dikeloerkan boekoe memperingati perdjoeangan terseboet di sekitar Bandoeng. Moengkin tiada semoea berita tepat, akan tetapi di dalam garis besarnja sesoeai dengan apa jang telah dialami, dan dengan demikian tergambarlah djalannya perdjoeangan kita yang soetji. Dari Bandoeng kita menderita pengeboman oedara dan meriam, mitraljoer, pentjoelikan, penggedoran, perkosaan, penggeledahan, dan penghinaan bangsa dan Repoeblik jang kita tjintai.
Djenderal Major A.H. Nasoetion, Panglima Divisi I saat pecah “Peristiwa Bandoeng”

Kemerdekaan yang diperoleh bangsa Indonesia baru seumur jagung. Pasukan Sekutu melalui pasukan Inggris dan juga pasukan Belanda tidak ingin bangsa Indonesia begitu mudah merayakan kemerdekaannya. Tercatat dalam sejarah, pasukan Inggris bagian dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada 12 Oktober 1945. Sejak semula hubungan mereka dengan Pemerintah RI sudah tegang. Pasukan Inggris menuntut agar semua senjata api yang ada di tangan penduduk, kecuali TRI (Tentara Republik Indonesia) dan polisi, diserahkan kepada mereka. Orang-orang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp tawanan pun mulai melakukan tindakan-tindakan yang mulai mengganggu keamanan. Akibatnya, bentrokan bersenjata antara tentara Inggris dan TRI tak terelakkan.
Malam tanggal 21 November 1945, TRI dan badan-badan perjuangan melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Homann dan Hotel Preanger yang mereka gunakan sebagai markas. Tiga hari berselang, MacDonald menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar Bandung Utara dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata.
Ultimatum Tentara Sekutu agar Tentara Republik Indonesia (TRI, sebutan bagi TNI pada saat itu) meninggalkan kota Bandung mendorong TRI melakukan operasi "bumi hangus". Para pejuang pihak Republik Indonesia tidak rela bila Kota Bandung dimanfaatkan oleh pihak Sekutu dan Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Keputusan untuk membumi-hanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, pada tanggal 23 Maret 1946.
Sekadar pengetahuan MP3 merupakan gabungan dari 61 organisasi di seluruh Priangan, dari berbagai golongan. Namun berkenaan daerah Priangan terletak di garis terdepan, maka usaha yang diutamakan –dengan tidak mengurangi usaha yang lain—adalah membaca medan pertempuran. Untuk itu dapatlah menyatukan komando pertempuran dari segenap badan-badan perjuangan, dengan melupakan hal-hal kecil yang barangkali dapat membawa perpecahan. Dengan satu ketetapan bahwa segenap pertempurandi bawah “Satoe Kommando” dengan tidak membedakan satu dengan yang lainnya. Baik apa juapun barisaannya,  bahkan dia tentara, tetap satu kehormatannya, sama derajat dan harkatnya, dengan satu komando di segenap front. Siapa yang tidak mau, tidak ada tempat di lapangan pertempuran garis depan.
Dan, Samaun Bakry aktif menjadi anggota MP3 ketika berada di Bandung. Pasca kedatangan tentara Inggris yang diboncengi NICA, Samaun dan keluarganya harus meninggalkan tempatnya tinggalnya di Jalan Maluku Nomor 5 Menteng Jakarta yang telah didiami sejak masa pendudukan Jepang atau tepatnya sesaat setelah menjadi anggota Jawa Hokokai.
Dengan bantuan Pelaksana Tugas Residen Tasikmalaya, Tentara dan MP3 berjasa besar dalam usahanya menggugurkan setiap usaha Sekutu dan Belanda yang ingin kembali menjajah. Di masa itu, Tentara, MP3 dan sipil Bestuur bersatu sebulat-bulat arti kata dan mampu menjaga persatuan hingga teguh-tegap menghadapi segenap usaha musuh kemerdekaan.    
Kolonel Abdoel Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III TRI mengumumkan hasil musyawarah Tentara dan MP3 tersebut dan memerintahkan evakuasi Kota Bandung. Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan kota Bandung dan malam itu pembakaran kota berlangsung.
Samaun Bakry menjadi salah satu pengurus Madjelis Persatoean Perdjoeangan Priangan (MP3) merangkap petugas Sekretariat Gubernur Jawa Barat. Bersama-sama dengan dengan Chairul Saleh dan tokoh-tokoh nasional yang lain berjuang menghadapi agreasi Belanda di Jawa Barat, terutama di Kota Bandung. 
Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat setempat dengan maksud agar Sekutu tidak dapat menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Di mana-mana asap hitam mengepul membubung tinggi di udara dan listrik padam. Tentara Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling besar terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat gudang amunisi besar milik Tentara Sekutu. Dalam pertempuran ini Muhammad Toha dan Ramdan, dua anggota milisi Barisan Rakjat Indonesia terjun dalam misi untuk menghancurkan gudang amunisi tersebut. Muhammad Toha berhasil meledakkan gudang tersebut dengan dinamit. Gudang besar itu meledak dan terbakar bersama kedua milisi tersebut di dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di dalam kota, tapi demi keselamatan mereka, pada pukul 21.00 itu juga ikut dalam rombongan yang mengevakuasi dari Bandung. Sejak saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota. Dan Bandung pun menjadi lautan api.
Pembumi-hangusan Bandung tersebut dianggap merupakan strategi yang tepat dalam Perang Kemerdekaan Indonesia karena kekuatan TRI dan milisi rakyat tidak sebanding dengan kekuatan pihak Sekutu dan NICA yang berjumlah besar. Setelah peristiwa tersebut, TRI bersama milisi rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini mengilhami lagu Halo-Halo Bandung yang nama penciptanya masih menjadi bahan perdebatan sampai sekarang.
Beberapa tahun kemudian, lagu Halo-Halo Bandung secara resmi ditulis, menjadi kenangan akan emosi yang para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia alami saat itu, menunggu untuk kembali ke kota tercinta mereka yang telah menjadi lautan api. Sementara setahun berselang, Samaun Bakry menuliskan sebuah buku berjudul Setahoen Peristiwa Bandoeng sebagai wujud sumbangsih untuk memperkaya khazanah sejarah perjuangan rakyat di masa-masa 1945-1950.
Samaun Bakry menuliskan peristiwa Bandung Lautan Api ke dalam lima bagian yang dilengkapi dengan Pandahuluan dan cuplikan berita surat kabar Soeara Merdeka yang terbit pada bulan Maret 1946. Ditambah pula kata pengantara sejumlah pejabat masa itu, antara lain Panglima Divisi I Djenderal Major A.H. Nasoetion, Wakil Goebernoer Djawa Barat Sewaka, Residen Priangan M. Ardiwinangoen, Kepala Penerangan/Pendidikan Tentara Brig IV/Div I Moch. Hidajat, dan MP3 Bagian Pembelaan Soetoko. Sekilas isi buku Setahun Bandoeng Peristiwa Bandoeng:
Sekarang Tibalah Gilirannya Para Pemuda
Di segenap tempat bangunlah pemuda-pemuda laki-laki bangsa. Setiap tempat di dalam kota dikerek pemuda Sang Merah-Putih dengan jayanya. Di beberapa tempatmengibar bendera yang besar-besar, di gedung-gedung besar-kecil, tegak menjulang angkasa. Tinggal di beberapa gedungpembesar-pembesar bangka pemerintah Jepang masih berdri bendera Hino-Maru yang selama ini menguasai angkasa tanah air. Pihak Jepang denganmata terbelalak menghalangi gerak revolusi bangsa Indonesia yang telah dimulai, dan di setiap kantor terbit pertentangan dan perkelahian antara pegawan Jepang dan bangsa Indonesia. Di setiap kantor, di setiap gedung, di setiap rumah dan rumah-rumah makan, tembullah pertentangan antara bangsa Indonesia dan bangsa Jepang.
Pertentang itu mudah difahami, karena “bangkai”  Jepang yang masih hendak berkuasa atas bangsa Indonesia, bermaksud dengan sebaik-baiknya menyerahkan bangsa Indonesia dengan tanah airnya kepada Tentara pendudukan, ialah pihak Sarikat, secara “benda” mati terhadap pihak yang menundukannya.
Bangsa Indonesia adalah manusia yang hidup, yang tidak dapat begitu saja diperlakukan sebagai “benda” yang mati yang tidak dapat bergerak, bahkan bangsa Indonesia telah hidup dan bangun, dengan serempak digerakkan oleh proklamasi Kemerdekaan yang dinyatakan pada seluruh rakyat Indonesia dengan perantaraan “lidah” pemimpin besarnya Bung Karno – Hatta.
Sudah barang tentu segala itu menimbulkan pertentangan-pertentangan yang tidak kecil dan segenap kekuatan tentara Jepang telah dikerahkan untuk menindas segenap gerak dan sepak terjang bangsa Indonesia dan setiap lembarasn Sang Merah-Putih yang dikibarkan di tempat-tempat yang penting, setiap gedung besar, di mana para pemuda menjadi umpan peluru Jepang dan menjadi peluru kaki tangan Belanda yang mengadakan provokasi. Dibasahi oleh darah pemuda yang memperjuangkannya.
Tetapi, setiap pemuda yang gugur dalam menegakkan Sang Merah-Putih di segenap tempat, mempercepat bergolaknya semangat revolusi yang keras mengguntur, dan setiap tetes darah yang mengalir dalam memperjuangkan kehormatan negaranya yang telah Merdeka, menambah dalamnya api kemarahan terhadap kaum reaksioner. Dengan tidak ragu dan gugup lagi, bergolaklah roda revolusi sehari demi sehari, bahkan sejam demi sejam, dan akhirnya berputar secepat kilat, hingga setiap menit dan detik baktu yang dilalui revolusi berputar dengan secapat-cepatnya.
Demikianlah roda Nasionale Revolusi bangsa Indonesia mulai bergolak, beraksi, membadai, mengguntur di segenap persada tanah ait, hingga jiwa dan raga yang dipertaruhkan untuk kemenangan menjadi jalan yang utama dan suci di segenap dana rakyat. Dengan tidak ayal lagi, Kota Bandung mengembangkan layarnya dalam gelombang revolusi yang besar itu. Dan pemuda menjadi pelopor utama geraknya.
Akhirnya Nasionale Revolusi Bergolaklah!
Luka-luka parah pada pemuda perjuangan bangsa, yang terdiri dari Pemuda Republik Indonesia (PRI), BKR, Angkatan Muda Indonesia dan Hizbullah, karena insiden antara rakyat yang baru merdeka dengan “bangkai” imperialis-fasis Jepang semenjak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, pada tanggal 10 Oktober 1945 sebagai akhir insiden itu, belum sembuh.
Menegakkan Sang Merah-Putih dengan mengalirkan darah para pemuda di seluruh gedung-gedung besar dan kecil di Kota Bandung menggerakkan hati orang yang melihatnya. Ujian yang maha dahsyat kepada keteguhan hati dan tekad para pemimpin rakyat, yang selama ini terkemuka di setiap langkah masyarakat memberi corak kepada jiwa pemuda revolusioner.
Bapak-bapak pergerakan mendapat ujian yang maha besar. Darah revolusi memenuhi segenap darah pemuda bangsa. Riak gelora masa membubung mendampar di pantai revolusi, bergelora di segenap dada dan jiwa pemuda. Berontak serempak, sependirian, dishati. Suara hati yang tetap merdeka, melafazkan kalimat “Merdeka” di setiap mulut rakyat. Akhirnya, kaum revolusi menang, bapak-bapak perjuangan yang sempat ragu-ragu dan belum dapat menetapkan haluan, kalah.
Rakyat geliisah resah. “Bangkai” fasis Jepang masih berkuasa, segala usaha negara diobrak-abriknya. Memang mereka mendapat perintah dari Inggris supaya kekuasaan Jepang harus dikembalikan sebagaimana sebelum Jepang menyerah, agar Inggris dapat menguasai keadaan sepenuhnya, dan nanti diserahkan kepada Belanda.
Pertempuran besar-besaran berlangsung antara Rakyat dan “bangkai” fasis Jepang itu. Tapi akhirnya Jepang insyaf bahwa perbuatannya sia-sia belaka.
Dalam pertentangan yang demikian hebat dan dahsyat antara Rakyat dan “bangkai” fasis Jepang itu maka datanglah pasukan Inggris dan India atas nama Serikat ke Kota Bandung, yang katanya, untuk melucuti Jepang dan mengurus tawanan perang yang terlinkung dalam APWI.
Kedatangan tentara pendudukan Serikta itu diterima oleh Rakyat dengan curiga dan keragu-raguan. Tapi karena telah ditetapkan oleh pucuk Pemerintahan Republik Indonesia maka tentara Inggris itu disambutlah dengan segala senang hati.
Beberapa hari berselang...
Tentara Jepang tetap saja sombong. Mereka tetap hendak berkuasa dan mengganggu keamanan dalam kota. Residen Priangan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia tidak dianggap oleh Jepang. Dengan berbagai jalan dilakukannya perampasan-perampasan dan penggedoran. Akhirnya beberapa insiden terjadi di sana-sini.
Inggris mulai memakai orang-orang Belanda untuk pegawainya. Keadaan bertambah kusut. Bangsa Belanda yang mulai diberi kerja oleh Inggris lebih sombong daripada waktu yang lalu. Orang-orang Jepang yang selama ini menindas dan menghinakannya dirapatinya untuk menguasai bangsa Indonesia. Beberapa urusan dan perhubungan antara  tentara Serikat dan Republik Indonesia yang semula berjalan baik dirusak dan diganggu oleh Belanda. Berbagai fitnah dan pengaduan dibikin-bikin oleh Belanda kepada Inggris, hingga tentara Inggris diperkuda-kudakan Belanda untuk menguasai Kota Bandung.
Keadaan semakin genting. Pasukan-pasukan Rakyat tidak percaya atas bujukan-bujukan Inggris, dan terus memperkuat latihan dan barisannya serta siap sedia untuk menunggu segala kemungkinan.
Kejadian Kota Surabaya menjadi cermin perbandingan yang tepat bagi rakyat, dan kemungkinan-kemungkinan banyak sekali bahwa Inggris akan berbuat demikian pula di Kota Bandung atas kehendak Belanda.
Udara semakin mendung. Rakyat sehari demi sehari bertambah gelisah. Inggris tetap hendak berkuasa saja. berbagai-bagai kehendak dan permintaan di tuntutnya dengan ancaman-ancaman kekerasan. Bagaimana jua pun lemmah-lembutnya Pemerintah Republik Indonesia meminta terhadap Inggris agar jangan ada insiden-insiden, namun rupanya Inggris senantiasa mencari-cari terjadinya insiden-insiden dengan Indonesia. Segala perjanjian Inggris dengan Pemerintah Indonesia tentang pemasokan sayuran dan bahan makanan lain untuk APWI senantiasa dirusak, bahkan dicari jalan untuk merusaknya. Di samping itu pihak Belanda menghasut dan membusukkan pihak Indonesia terhadap Inggris.
Malam Minggu tanggal 24 November 1945, pergolakan lebih mendahsyat, yaitu sebagai permulaan pertempuran besar-besaran memasuki tingkatan yang sebenarnya. Suasana ibukota yang bagus dan dingin, pada malam itu sangat panas, hingg setiap dada rakyat berdebar-debar menghadapi segala kemungkinan, setelah berbagai kejahatan dilakukan oleh Gurkha/NICA terhadap rakyat yang tengah ditimpa bahaya alam itu.
Banjir besar, yang belum pernah dialami oleh Kota Bandung semenjak Cikapundung melalui lembah datarannya yang makmur dan subur itu, dengan kara Illahi, meluap, membawa arus yang maha hebat dan dahsyat.
Beribu-ribu korban, di antaranya beratus-ratus korban jiwa, adalah akibat banjir yang sangat mengagetkan itu. Rupanya udara Bandung yang sesak memanas itu tidak dapat didinginkan oleh air yang meluap dan mengalir deras di sepanjang kota, bahkan saat banjir yang dialami tersebut, dipergunakan oleh musuh kemanusiaan, ialah NICA/Gurkha, untuk menembak orang-orang yang sedang menderita itu.
Baru sehari setelah banjir menghebat dengan dahsyatnya itu berhenti, dan ketika rakyat belum sanggup menyelesaikan segala kesusahan dari timpahan bencana alam tadi, yaitu tanggal 27 November 1945, Inggris mengeluarkan ultimatumnya secara penghinaa. Kota Bandung sebelah utara jalan kereta api, dikuasai oleh Inggris, dengan tidak menyatakan batas-batas sebelah utara itu. Batas yang tentu hanya menurut kemauan Inggris semata-mata, sehingga Lembang pun diterobos oleh kaki tangan imperialis NICA.
Inggris –atas nama Serikat—harus menyingkirkan Jepang dari daerah Lembang dan lainnya, karena hal itu adalah kewajiban Inggris. Sebab itu, Inggris harus menguasai daerah utara Kota Bandung, guna penyingkiran Jepang!
Baik! Kata pihak Indonesia. Tapi pihak Indonesia sendiri yang akan mengangkutnya melalui Wanayasa, Purwakarta dan Padalarang.
Tidak! Kata Inggris. Pembawaan Jepang harus oleh mereka sendiri, dan harus melalui jalan Lembang. Dan Inggris tidak akan minta tolong dalam hal itu kepada pihak Indonesia, karena hal itu adalah hak dan kewajibannya.
Tidak bisa! Kata pihak Indonesia. Sebab kalau demikian berarti merusak batas-batas pertahanan kita di bagian utara Kota Bandung yang kita kuasai.
Harus! Kata Inggris, sambil melepaskan tembakan-tembakan dan menghujankan peluru-peluru mortir dan granatnya yang gemuruh. Dentuman yang hebat itu adalah latihan, kata Inggris kepada rakyat Indonesia di sebelah selatan, dan tidak perlu takut apa-apa. Dari saat itu mulailah insiden yang sebenar-benarnya antara tentara Inggris/NICA dan Rakyat Indonesia. Provokasi NICA semakin hebat sedang kaki tangannya yang berupa gangster dan ekstrimis serta kaum perampoknya meraja-lela kian-kemari di dalam kota.
Sementara itu pesawat udara Inggris mondar-mandir antara Jakarta dan Bandung mengirimkan balabantuan yang besar-besaran. Para evakues diangkatnya dari Bandung ke Jakarta, dan dari Jakarta diangkutnya tentara sebanyak-banyaknya. Konvoi-konvoi Inggris/Belanda datang berturut-turut ke Bandung untuk persiapan besar-besaran guna mempertegakkan kembali imperialis Belanda. Plan Belanda dengan bantuan Inggris hendak menguasai seluruh Jawa Barat paling lambat dalam bulan Januari 1946 dan kemudian akan menguasai seluruh Jawa dalam bulan-bulan berikutnya.
Udara mendung. Rakyat yang gelisah meliputi seluruh kota yang dingin dan nyaman hawanya itu. Kota Bandung, Paris van Java, laksana hendak tenggelam di angan-angan, ditambah oleh hujan yang turun terus-menerus laksana air yang dicurahkan dari langit.
Jenderal Mac Donald, Panglima Tertinggi Inggris di Bandung, “memerintahkan” Gubernur Republik Indonesia Provinsi Jawa Barat Pt. Soetardjo untuk menghadap kepadanya di salah satu tempat di Kota Bandung sebelah utara.
Pada tanggal 27 November 1945, jam 2 siang, perintah itu dikeluarkan. Gubernur Republik harus datang kepadanya dengan bendera putih di atas mobilnya dengan diantar oleh tentara Inggris. Gubernur diterima di Markas Besar Tentara Inggris. Dengan sombong Mac Donald memberika satu ultimatum kepada Gubernur, di mana dinyatakan bahwa penduduk bangsa Indonesia yang berdiam di daerah sebelah utara Kota Bandung dari jalan kereta api harus meninggalkan tempat dan rumah selambat-lambatnya pada tanggal 29 November 1945 jam 12 siang. Jaitu 48 jam diberikan tempo untuk menyingkir kepada penduduk yang berjumlah 130.000 jiwa. Penduduk yang masih kedapata setelah tempo yang ditentukan akan ditangkap dan siapa yang bersenjata akan ditembak mati.
Sungguh, satu tamparan yang sepahit-pahitnya bagi Pemerintah Republik Indonesia, dan satu penghinaan yang nyata terhadap kedaulatan negara yang masih muda itu.
 Dengan segala kesedihan, Gubernur mengumumkan ultimatum yang menghinakan itu kepada rakyat. Rakyat menyambutnya dengan hati yang mendidih karena kemarahan. Di sana-sinikebecian timbul kepada sikap Inggris yang tidak patut itu. Jika maksud Inggris hanya hendak menjalankan kewajibannya sebagaimana yang diamanatkan oleh Serikat kepadanya, maka tidaklah mungkin Inggris akan berbuat demikian. Dan pastilah sudah bahwa kemauan Inggris adalah hendak membantu pengembalian penjajahan Belanda atas Indonesia. Rakyat merasakan hal itu dan timbullah kebencian yang sangat memuncak di setiap dada rakyat umum.
Jarum jam berjalan terus. Tanggal 27 telah tenggelam dan tanggal 28 November 1945 timbul. Kira-kira jam 4 sore hari itu, kedengaran ribut yanga tidak putus-putus di sebelah utara yang diminta Inggris. Beberapa gerombolan Belanda totok dan Indo menyerbu ke rumah-rumah kepunyaan bangsa Indonesia. Perampokan bersimaharaja yang terdiri dari gangster dan ekstrimis Belanda yang telah mabuk pertuanan. Kebuasan-kebuasan mereka berjalan sampai tanggal 29 November 1945. Di beberapa tempat mulai terjadi penahanan pada rakyat atas tindakan gangster-gangster Belanda itu yang dibantu oleh tentara Gurkha di bagian utara. Beberapa kampung Indonesia diserang. Rakyat yang tidak teratur mempertahankan diri dan hartanya dari perampokan, serangan serta gedoran-gedoran yang tak mengenal perikemanusiaan itu. Sementara itu tentara Inggris menghamburkan mortirnya yang bertalu-tau dan menyebabkan korban rakyat yang tidak berdaya, isimewa anak-anak. Kaum perempuan dan orang-orang tua. Dalam hari-hari itu, beberapa desa telah menjadi korban keganasan, kebinatangan, di antaranya Haurpancuh, Cihaur geulis, Sekeloa, Sadangserang dan Sadang Saip. Beribu-ribu jiwa melayang, beratur-ratur rakyat yang luka-luka disebabkan akibat keganasan tentara Inggris itu.
Semenjak itu, setiap hari senantiasa terjadi pertempuran-pertempuran yang memakan korban jiwa dan harta yang tidak sedikit. Rakyat yang tetap hendak mempertahankan kemerdekaannya terus-menerus mengadakan perlawanan yang tiada kunjung padam, dan senantiasa setiap warga negara Republik Indonesia siap-sedia berkorban untuk kemerdekaan negaranya, yang dipaksa oleh Inggris dengan tiada malu-malunya memuntahkan segala kekuatannya, yang selama Perang Dunia II dipakai mereka dalam mengalahkan kekuasaan fasis Jepang, Jerman dan Italia.
Semain hari tentara Inggris semakin mengganas dan pada tanggal 5 Desember 1945 Inggris melepaskan pesawat udaranya dengan penuh muatan bom dan senapan mesin. Daerah selatan Kota Bandung yang telah padat oleh rakyat karena desakan yang dilakukan padanya di sebelah utara, dihujani dengan bom. Dalan Lengkong Besar menjadi korban keganasan Inggris. Berpuluh-puluh bom yang besar-besar dihujankan ke kampung-kampung pendudu dan beribu-ribu patroon senapan mesin dimuntahkan, dengan diiringi pula oleh peluru-peluru mortir yang bertalu-talu.
Keganasan yang di luar perikemanusiaan itu disambut rakyat dengan tenang, sambil membulatkan tekadnya bagi tanah air yang dicintainya. Baru dalam tiga haris, korban dapat dihitung seperti demikian: 311 rumah dan gedung rusak terbakar, 119 jiwa mati (di antaranya tidak ketahuan mayatnya), 82 orang luka berat, dan 159 orang luka enteng. Sekitar 90 persen korban terdiri dari kaum perempuan, anak-anak dan orang tua. Ini belum terhitung berpuluh-puluh rumah dan gedung yang ada di daerah utara, disebabkan gangster NICA dan kejahatan tentara Gurkha/Inggris. Lebih dari 100.000 jiwa rakyat yang meninggalkan tempat tinggalnya, disebabkan penganiayaan NICA dan tentara Gurkha/Inggris dari daerah utara, selain yang pindah dengan selamat ke sebalah selatan kota itu. Semua penduduk yang menyingkir itu telah mengorbankan segala harta dan kekayaannya.
Setiap saat ketenteraman rakyat terganggu. Segenap tingkah laku gangster Belanda totok dan Indo lebih menyakitkan hati rakyat. Tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh pihak Belanda dilindungi oleh Inggris dan Gurkhanya, sedang orang Jepang digunakan untuk melakukan perbuatan mata-mata terhadap rakyat Indonesia dengan melalui bunga raya di jalanan yang menjadi piaraan Jepang.
Kantor-kantor penting kepunyaan Republik Indonesia dirampok dengan hebatnya. Di antara kantor-kantor negeri yang hancur ialah Balai Kota, kantor Keresidenan, Kantor Pos Pusat, Kantor Telegram dan Telepon, Kantor Pusat Pekerjaan Umum, dan Kantor Tambang Negeri. Berapa kerugian yang dialami oleh negara Republik Indonesia sampai kini belum dapat dipastikan dengan angka-angka.
Penyelidikan yang terakhir telah menunjukkan korban berikut: di wilayah utara Kota Bandung, tercatat 21 orang mati, 11 orang luka parah, dan 46 orang luka enteng. Sedangkan di wilayah selatan tercatat 98 orang mati, 71 orang luka parah, dan 113 orang luka enteng. Jumlah korban terban tersebut termasuk perempuan, anak-anak dan orang tua. Rumah-rumah yang hancur dan rusah di wilayah selatan Kota Banudng mencapai 487 buah. Semua ini belum terhitung jumlah yang dirampok oleh Belanda-Gurkha yang berupa perabot-perabot rumah tangga yang ditinggalkan oleh ratusan keluarga.
Dengan demikian ternyatalah bahwa pekerjaan Inggris di Indonesia itu bukan untuk melucuti senjata Jepang dan mengurus APWI. Tapi, mereka membikin kekacauan demi keuntungan politik imperialis Belanda semata dan kewajiban yang dipasrahkan Serikat kepada Inggris menjadi alasan saja buat maksud yang tidak jujur dalam percaturan politik.
Saat-saat yang berlaku, menetapi segala takdir Illahi kepada peredaran dan perputaran semesta alam. Kota Bandung sedang mengalami bencana alam, tentara Inggris dan gangster Belanda yang tak mengenal perikemanusiaan menembak dan membunuh bangsa Indonesia.
Belum cukup satu pekan sebelum ultimatum Inggris yang kejam dan yang mengakibatkan bencana besar bagi bangsa Indonesia itu berlaku, Kota Bandung ketimpa bahaya alam.
Kota Bandung yang molek itu terbagi dua oleh Kali Cikapundung. Telah berabad-abad lamanya, bahkan sebelum Kota Bandung menjelma menjadi kota yang penting, Kali Cikapundung telah mengalir, menuju ke muaranya, berdendang, bernyanyi, membawa kotoran yang tak kunjung habis. Di pinggir-pinggir Kali Cikapundung itu beratur-ratus rumah dan gedung yang molek berdiri dengan megahnya laksana raksasa merenungi sungai.
Sepekan sebelum ultimatum Inggris itu berlaku, pada waktu tengah malam, dengan sekonyong-konyong Kali Cikapundung itu membanjir. Peristiwa yang belum pernah terjadi, sebagian Kota Banudng terbenam, berpuluh-puluh perusahaan terendam di bawah lumpur yang dihanyutkannya, beratur-ratus jiwa hanyut dan tidak diketahui bangkainya, disebabkan karena banjir yang mengalir demikian deras.
Kota Bandung yang sedang dalam ancaman yang mahaganas dari pihak kaum imperialis Belanda dengan sokongan tentara pendudukan Inggris bermandikan air yang tidak diinginkannya. Bendungan yang teguh kuat terdampar dengan tidak disangka-sangka, dan menurut penyelidikan, banjir itu akibat provokasi Belanda, yang mengirimkan mata-matanya untuk menghancurkan bendungan Cikapundung di sebelah utara Kota Bandung di waktu hujan turun terus-menerus sehari semalam tiada henti.
Alangkah rendahnya budi Belanda NICA yang tak mengenal perikemanusiaan itu mengambil saat yang tidak disangka-sangka, membikin banjir sehebat itu, sehingga korban anak-anak dan kaum perempuan tidak terkira banyaknya.
Sungguh mengerikan sekali!
Ketika air meluap dan mengalir demikian deras, ketika matahari mulai terbit, Belanda NICA menjaga di seluruh tempat yang tertinggi, dan menembak-nembak rakyat yang sedang menolong kaum keluarganya yang hanyut terbawa banjir.
Pertolongan yang dilakukan oleh para pemuda satria, oleh golongan Palang Merah Indonesia, oleh Polisi dan badan-badan perjuangan lainnya diganggu oleh Belanda dengan tembakan-tembakan yang mengerikan.
Berpuluh-puluh pemuda korban karenanya. Sedangkan di pihak Gurkha pun menembak ke pihak Indonesia yang tengah ditimpa celaka itu. Pertolongan yang telah siap-sedia dan yang dapat mengurangi korban jiwa dan harta rakyat disambut oleh NICA/Gurkha dengan peluru senapannya yang menimbulkan banyak korban. Berapa besarnya kecelakaan yang diderita oleh rakyat, disebabkan penembakan-penembakan Belanda/Gurkha dengan kejamnya, ini belum pernah terjadi dalam riwayat kemanusiaan.
Semua itu menanamkan bibit kebencian yang tiada tara di setiap dada bangsa Indonesia, dan menambah dendam yang tidak kunjung padam di segala saat dan masa.
Waktu yang telah dilalui, semenjak pendudukan Inggris, rakyat Bandung sangat menderita kesengsaraan. Setiap hari pasar sayur diserbu Belanda/Gurkha dengan segala keganasan dengan bantuan Jepang yang tidak sedikit mengalirkan darah rakyat jelata.
Di sana-sini di dalam kota timbul penganiayaan-penganiayaan yang sewenang-wenang oleh musuh kemerdekaan. Tidak seorang pun yang akan lega hatinya melihat perbuatan binatang yang dilakukan kepada rakyat Indonesia.
Dari hari ke hari, pelanggaran dan penghinaan terhadap Republik Indonesia oleh NICA/Gurkha dan kaki-tangannya, bertambah hebat, sehingga menimbulkan kekacauan yang tidak sedikit membawa korban. Kebencian yang meluap-luap dari rakyat lama-kelamaan menjadi kenyataan yang tidak dapat disabarkan lagi. Segala kekuatan dikumpulkan untuk mempertahankan negara yang sedang mendapat serangan sewenang-wenang dari kaum penjajah.
Demikianlah, setelah Bandung Utara diserahkan Pemerintah Republik Indonesia secara damai kepada Inggris, sekalipun telah memberikan korban yang tidak sedikit atas harta dan jiwa rakyat, maka insiden kecil-kecilan antara tentara pendudukan/Belanda dan rakyat Indonesia yang baru terlepas dari cengkeraman dan tindakan fasis Jepang bertambah ramai. Dentuman senapan dan mortir setiap hari kedengaran dari kedua belah pihak.
Pada tanggal 6 Desember 1945, Pemerintah Republik Indonesia dari Pusat Jakarta mengirim utusannya yang terdiri dari Menteri Penerangan Mr. Amir Sjarifoeddin yang didampingi oleh Natsir dan Sjafroeddin dari Dewan Pekerja KNIP Pusat ke Bandung.  Ketiga utusan Pemerintah Republik itu disambut dengan sukacita oleh segenap rakyat dan dilakukanlah perhubungan dengan para pemimpin dan pemerintah daerah Priangan dan Gubernur Jawa Barat.
Tuan Aroedji Kartawinata yang ketika itu memegang kendali segenap pertempuran di Bandung pun ditemui oleh utusan Pemerintah Republik tersebut. Sehingga, tercapai persetujuan yang dapat menjaga baiknya perhubungan antara Republik Indonesia dan tentara pendudukan.
Keinginan damai dari Republik Indonesia diamanatkan bernar-benar oleh Menteri Amir kepada segenap pemuka rakyat, bertempat di Kabupaten Bandung. Perjuangan revolusi bangsa Indonesia yang mulai menggelora dialirkan dengan cara yang sebaik-baiknya.
Waktu itu Menteri Amir pun berpidato di depan coorong Radio Republik Indonesia (RRI), memberikan tuntunan yang baik terhadap rakyat serta menerangkan cita-cita damai dari Republik.
Dalam beberapa hari berbagai perjanjian dituruti oleh Inggris namun tidak berapa lama. Dan atas desakan ekstrimis Belanda NICA keadaan pun menjadi kacau.
Pada tanggal 21 Desember 1945, jam 05.00, markas perjuangan rakyat di Cicadas sekonyong-konyong diserbu oleh Gurkha, atas hasutan Belanda yang tidak berani mendatanginya. Oleh sebab Pasukan Rakyat yang tidak mengganggu apa-apa diserbu secara sewenang-wenang itu, kama timbul perlawanan yang maha dahsyat dari pihak Rakyat. Lantaran kuatnya pertahanan rakyat, di luar darah Inggris yang tidak patut menjadi soalnya Inggris sendirian, maka Gurkha terpaksa mengundurkan dirinya dengan meninggalkan korban yang tidak sedikit.
Kira-kira jam 13.00 hari itu datanglah tiga bomber Inggris melayang-layang di udara Cicadas. Pesawat itu menyerang dengan hebatnya dan menjatuhkan sekitar 120 bom besar-kecil, di antaranya beberapa buah bom yang beratnya 250 pond. Dengan tidak mengindahkan bendera Tiongkok yang berkibaran di semua rumah dan gedung bangsa Tionghoa, mereka menyerang tempat-tempat di mana rakyat sedang ramai di pasar. Sekitar Pasar Cicadas berlobang-lobang yang akhirnya menimbulkan telaga-telaga air yang menegakkan bulu roma.
Menurut laporan Pemerintahan Kota bersama Badan Pekerja KNI Bandung, korban yang disebbakan pemboman Inggris tersebut sebagai demikian:
Jumlah rumah dan gedung yang hancur rata dengan tanah sebanyak 335 buah dan yang rusak besar 50buah. Sedangkan korban jiwa 60 orang bangsa Tionghoa dan 16 orang bangsa Indonesia. Jumlah yang menyingkir akibat pemboman itu sekitar 800 orang, di antaranya ada 1500 orang yang tidak mempunyai rumah.   
Di tengah-tengah Pasar Cikapundung tampak dua lubang besar dengan diameter sekitar 15 meter dan kedalaman 4 meter. Lobang-lobang yang lebih kecil kelihatan di sekitar tempat itu, sedangkan rumah-rumah di sekitar pasar habis terbakar menjadi abu. Taksiran kerugian mencapai lima juta rupiah. Kantor Kawedanan mendapat kerusakan pula. Orang-orang sakit terpaksa dipindahkan ke Cicaheum dan anak-anak yatim yang dipelihara dibawa ke rumah penjara Sukamiskin.
Dengan mempermainkan jiwa rakyat Indonesia, Inggris telah melakukan tindakan-tindakan yang memberikan keuntungan bagi imperialis Belanda. Adakah sesuatu bangsa yang telah bulat tekadnya untuk merdeka, dapat diperlakukan demikian rupa oleh si penjajah?
Tidaklah umum, bahkan dunia dapat menyetakan pendiriannya, bagaimanakah perasaan yang terkandung dari rakyat yang pemerintahnya masih muda itu atas perlakuan yang begitu ganas ditimpakan orang kepadanya? Mungkinkah sesuatu bangsa dapat menyabarkan dirinya atas kekejaman yang ditimpakan kepadanya, untuk kemenangan politik penjajahan yang laknat itu? Tidak mungkin! Pastilah bangsa yang dianiaya dengan sewenang-wenang itu akan menaruh dendam. Pastilah bangsa-bangsa yang berpihak kepada kaum penjajah dan penindas itu akan dibenci dan didendam bangsa yang teraniaya dan diserang.
Demikianlah permulaan segala kejadian di Bandung yang telah menggerakkan segala keberanian rakyat untuk mempertahankan haknya. Akhirnya Kota Bandung yang cantik itu menjadi lapangan pertempuran dan peraduan senjata, antara penjajah Belanda yang dibantu Inggris dan Rakyat Indonesia yang mengguntur, menggeledek, laksana badai dan topan.
Ripayat Kota Bandung yang telah berabad-abad lamanya itu dibangunkan oleh imperialis/kapitalis Belanda, sekarang berakhir, dan kini akan memulai riwayatnya pula dalam suasana merdeka yang sepenuh-penuhnya.
Bandung yang berbentuk penjajahan tentu akan hancur, dan biarlah kita hancurkan hingga rumah penghabisan, karena kita sekarang hendak membangunkan Kota Bandung dan merdeka dengan serba kegagahannya. Daripada Bandung di tangan penjajah lebih baik ia tenggelam kembalimenjadi sumur Bandung.
Demikianlah Bandung memulai riwayatnya yang besar, karena ia hendak dijadikan kuburan imperialis/kapitalis yang telah menodai kehormatannya beberapa abad yang silam.
Permintaan Inggris kepada Pemerintah Republik Indonesia agar daerah utara Kota Banudng diserahkan kepadanya, guna menjalani kewajiban mereka, berkenaan dengan perlucutan senjata Jepang dan mengurus APWI dikuasainya, terkabul. Republik Indonesia senantiasa menunjukkan goodwill-nya kepada tentara Inggris itu. Bagaimana pun pahit-getirnya perlakuan Inggris, tetaplah mereka diperlukan sebaik-baiknya oleh Republik Indonesia.
Tapi sayang sekali, maksud hendak damai dari Pemerintah Republik Indonesia itu disambut dengan cara yang curang. Pihak NICA yang dilindunginya mendapat kemenangan-kemenangan dalam politik penjajahannya. Daerah yang telah diambil Inggris dengan seizin Republik Indonesia untuk melakukan kewajiban yang dipikulkan Serikat kepadanya kemudian diserahkan kepada imperialis Belanda. Mereka meminta atau merebut salah satu daerah Republik dengan damai atau kekerasan adalah semata-mata untuk memperkuat kedudukan imperialis Belanda, sekalipun maksud Inggris –katanya—untuk mendamaikan pertikaian politik antara Belanda dan Indonesia.
Sungguh sayang sekali! Kekuatan yang demikian hebat dari salah satu kerajaan besar di dunia yang menang dalam menghancurkan fasis-nazi Jepang, Italia dan Jerman, digunakannya untuk menindas kemerdekaan Indonesia, dan membantu imperialis Belanda menjajah kembali Indonesia.
Sehari demi sehari antara daerah Inggris dan daerah Indonesia senantiasa timbul insiden-insiden di perbatasan jalan kereta api dari timur sampai ke barat. Provokasi NICA terus-menerus berlaku dengan tidak dapat rintangan dari Inggris.
Pemuda-pemuda Indonesia diculik dan banyak yang dianiaya. Beberapa kaum kolaburator Jepang dipakai Belanda untuk kaki tangannya. Bangsa Tionghoa dan bekas anjing-anjing Kempei Jepang dipergunakannya untuk merusak ketenteraman umum.
Setiap hari ada saya mayat terlentang sebagai akibat kekejaman gangster Belanda NICA, dan penduduk Cimahi terus-menerus diganggu oleh tentara ekstrimis dan gangster NICA yang terdiri dari kaum Indo, anak kolong di zaman serdadu penjajahan Belanda dan sejumlah NICA inlander.
Tidak seorang pun yang dapat menahan hati atas segala perbuatan yang terkutuk itu, dan lama-kelamaan api kemarahan sama meluap di kalangan rakyat. Rakyat mulai meninggalkan rumah tangga dan halamannya dan kemudian para pemuda terjun ke dalam Tentara Republik Indonesia atau memasuki pasukan-pasukan perjuangan rakyat untuk menghadapi segala kemungkinan.
Bangsa Jepang tetap digunakan Belanda untuk menindas keamanan. Van Mook ingin supaya Jepang tetap di Indonesia dengan maksud agar mereka dapat digunakan untuk menundukkan bangsa Indonesia.
Inggris bungkam atas tindakan Belanda demikian. Kepana tidak? Inggris datang ke Indonesia untuk melucuti Jepang dan mengembalikan mereka ke negerinya. Tapi Belanda menahannya sebab perlu untuk “penasihat” imperialis Belanda guna menegakkan jajahannya kembali di Indonesia. Juga orang Jepang disuruh Belanda memberi pelajaran kepada tentaranya untuk melakukan perang gerilya, dan beberapa orang Jepang dipakainya untuk memberikan petunjuk untuk pemerintah bangsa Indonesia.
Tentara Jepang digunakan Belanda memelopori pertempurannya dengan rakyat Indonesia di berbagai daerah pertempuran.
Cara Belanda melakukan penyerangan sama dengan caranya Jerman memasuki Nederland pada permulaan Perang Dunia, dan Belanda pun telah menggunakan taktik Jepang dalam bertempur dengan rakyat Indonesia. Sistem nazi Jerman dan fasis Jepang diolah sedemikian rupaoleh Belanda NICA untuk menyerang Indonesia dan memperlakukan tawanannya secara Jepang.
Pada hakekatnya tindakan Belanda di Bandung itu demikian rupa, sebab penduduk Belanda di Bandung di zaman penjajahan Belanda adalah satu-satunya pusat gerakan nazi Belanda yang bernama NSB. Gerakan itu sebenarnya telah meliputi seluruh bangsa Belanda di Indonesia dengan semboyan “Nederland Uber Alles”.
Selama penjajahan Belanda di Indoesia, pada hakekatnya pemerintahan nazi yang berlaku, dan kaum NSB lah yang berkuasa. Oleh sebab itu, manakala perlakuan Belanda di Bandung lebih kejam daripada daerah-daerah lain di mana mereka mendapat kesempatan, kita tidak perlu tercengang. Serentak mereka keluar dari penindasan (kamp) Jepang, dan sebagian ada yang membantu [emerintahan Jepang yang telah beratus-ratus anak yang bapaknya bangsa Jepang, maka mereka dengan senjata di tangan mengganggu keamanan dan merampok rumah dan harta benda rakyat di bawah perlindungan Inggris.
Satu yang terdiri dari orang Jepang disuruh Belanda melakukan penyelidikan politik, dan beberapa agen Belanda yang terdiri dari bangsa Jepang dilepaskan ke daerah-daerah Indonesia. Staf yang megurus hal-hal politik itu dikepalai oleh Prof. Murakami, yang selama aliran politik Jepang berubah terhadap Indonesia, dia diperbantukan kepada Jawa Hookoo Kai Hunbu, dengan maksud melakukan pengawasan kepada para pemimpin Indonesia yang bergerak di bawah tanah.
Dia adalah seorang Profesro dalam bahasa Indonesia, dan mengerti akan adat-istiadat bangsa Indonesia, sebagai Van der Plas bagi imperialis Belanda.
Staf itu memakai beberapa orang bangsa Tionghoa dan Inlander, di antaranya Moesa Kartalegawa bekas Kentyo Garut, yang telah bersumpah setia terhadap kerajaan Dai Nippon. Pekerjaan yang terpenting bagi staf tersebut ialah bagaimana memadamkan revolusi bangsa Indonesia agar penjajahan Belanda kembali ke Indonesia.
Menurut keterangan seorang Jepang yang mempunyai hubungan rapat dengan Profesor itu, bahwa segala orang Jepang yang dipekerjakan Belanda dalam staf politik tersebut dijanjikan akan dlindungi hidupnya, dan kelak apabila Belanda telah berkuasa pula, orang-orang Jepang itu akan diberi konsesi dalam hal perkebunan dan penanaman ulat sutera di Jawa.
Selain itu, beberapa orang Jepang disuruh memasuki daerah Indonesia yang berslimut hendak membantu pergolakan bangsa Indonesia, di antaranya mengadakan gerakan Kipas Hitam, dan nanti segala laporannya diberikan kepada Belanda, maksudnya supaya Belanda dapat membikin alasan agar dunia mengakui kebenaran tuduhan Belanda bahwa fasisme Jepang meluas di Indonesia.
Semua itu adalah tipu daya dari imperialis Belanda, tetapi segala itu diketahui oleh Bangsa Indonesia, dan orang-orang Jepang dilarang memasuki daerah Indonesia, dan jika perlu, dilawan.
Tetapi hal itu menjadikan akibat pula, bahwa dengan alasan itu orang-orang Jepang disuruh mengambil bangsanya yang telah ditawan rakyat Indonesia itu dengan kekerasan senjata. Hal itu pun menimbulkan pertempuran yang berkali-kali pula.
Pendek kata, provokasi NICA adalah satu-satunya cara Nazi dan Fasis yang amat celaka, dan dunia dibohonginya, bahwa mereka hendak menghapuskan fasisme di Indonesia.
Angkatan Muda Tionghoa yang dipimpinan oleh seorang Tionghoa, bekas pembesar Kempei Jepang di Bandung, dipersenjatai oleh Belanda untuk menggedor rumah-rumah bangsa Indonesia. KolaboratorJepang yang terdiri dari bangsa Tionghoa dan Inlander dipakai Belanda guna menyerah bangsa Indonesia di setiap lapangan masyarakat, sekurang-kurangnya mengadakan provokasi di kalangan rakyat jelata.
Beberapa perempuan lacur diberi senjata oleh Belanda sebagai mata-matanya, dan perempuan-perempuan celaka ini menembak-nembak para patriot Indonesia di belakang garis pertempuran, dan menunjukkan tempat-tempat kumpulan pada pemuda.
Bajingan-bajingan yang tentu ada di setiap bangsa dipersenjatai Belanda pula untuk mengadakan huru-hara.
Tidak salah bila kita katakan bahwa Belanda mengambil segala jalan untuk mencelakakan bangsa dan negara Republik Indonesia ditujukan kepada satu cita-citanya, bahwa Belanda “haurs” berkuasa lagi di Indonesia sebagai staus quo yang didapatnya pada ketika sebelum perang.
Singkat kata imperialisme harus menindas bangsa Indonesia kembali, bagaimana pun bentuk dan coraknya. Bahkan jika perlu maulah mereka menamai penjajahan yang akan dikembalikannya itu dengan nama yang semanis-manisnya didengar dunia. Tapi rakyat Indonesia tetap satu tekad, yaitu merdeka dan tetap mempertahankan kemerdekaan, yang telah diperolehnya dengan bermandi darah, bertimbun bangkai dan berputih tulang.
Ah, tidak mungkin! Tekad kita telah bulat. Kemerdekaan negara telah kita proklamirkan beberapa bulan yang lalu. Satu kali kita nyatakan akan kita pertahankan untuk selama-lamanya.
Demikianlah keterangan dari Pengurus Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) di Bandung ketika ditanya tentang kejadian-kejadian yang sekian bulan diderita rakyat.
 Kalimat yang begitu pendek, tegas, memberikan dorongan yang tidak sedikit bagi rakyat jelata yang dipimpinnya, dan menggembirakan hati pada pemuda harapan bangsa.
Rupanya pemuda Bandung tidak lagi mengenal semangat “Peuyeum” sebagaimana yang dideritanya pada tanggal  10 Oktober 1945 ketika “bangka” Jepang mengharu-birukan rakyat Bandung. Pimpinan baru dan muda semangatnya telah timbul di dalam pergolakan yang berbulan-bulan lamanya, semangat pemimpinnya sama membaja.
Revolusi nasional terus bergolak, beriak, bergelora, mendampar pantai kemenangan. Segala rakyat siap sedia!
Peluru maut ditebar di segala pelosok oleh Inggris, sedang sedadu NICA merampas persenjataan Jepang yang masih ketinggalan di tangan Jepang yang masih segar bugar, dan menggunakan persenjataan itu untuk menindas gerakan rakyat mencapai kemerdekaannya. Di mana-mana tempat kedengaran tembak-menembak antara rakyat dan NICA, dan di sana kelihatan lah bukti bahwa NICA dan Inggris menggunakan persenjataan Jepang dengan segala peralatannya.
Dari peluru-peluru mortir yang telah ditembakkan itu dan mengenai gedung-gedung dan kampung-kampung rakyat, kedapatan ada yang tidak pecah sampai di tujuannya. Letter Jepang memberi bukti kenyataan pada bekas-bekas tersebut. Dinia tidak akan dapat memungkiri bahwa Inggris dan Belanda bukan saja telah menggunakan segala alat persenjataannya, dan Belanda pun memakai prajurit-prajurit Jepang untuk mengajar tentara Belanda bagaimana melakukan perang gerilya melawan bangsa Indonesia.
Demikianlah keadaan hanya di Kota Bandung semakin hari semakin memuncak, dan konvoi Serikat, yang setiap hari datang dari Jakarta ke Bandung merupakan beratur-ratus truk tentara yang di belakangnya berlindung tentara Belanda dengan segala perlengkapannya. Inggris yang dengan terang-terangan melindungi singa imperialis Belanda untuk menindas segala kemajuan negara Republik dengan segala kekuatan provokasi dan kekerasan yang dapat digunakannya.
Belanda mencari jalan agar rakyat Indonesia meluap-luap kemarahannya, dan mencari jalan pula supaya Inggris dapat menindas segala kemarahan rakyat itu. Lama-kelamaaan, atas akibat fitnahan dan hasutan Belanda kepada Inggris, dan melakukan provokasi di kalangan bangsa Indonesia, maka timbullah kebencian rakyat kepada tentara Inggris, dan kemarahah Inggris kepada rakyat Indonesia. Akhirnya terbitlah insiden yang tidak berkeputusan antara tentara Inggris dan rakyat Indonesia, dan sementara itu Belanda memberikan advis kepada Inggris, bagaimana mestinya Inggris berbuat dengan segala kekuatan yang ada pada Inggris. Para pemuda Indonesia diculik dan dianiaya, perempuan-perempuan digagahi kehormatannya, gedung-gedung dan rumah-rumah bangsa Indonesia disuruh dirampok oleh tentara Belanda kepada Gurkha dengan segala kekejaman.
Sekalipun pada ketika itu oran Belanda belum seberapa jumlahnya yang dapat bergerak di Bandung, tapi mereka dapat mengadu-domba Inggris dengan bangsa Indonesia.
Bagi rakyat Indonesia yang tidak dapat menahan hati, terpaksalah membalas dendamnya atas perbuatan binatang Belanda itu kepada orang-orang Belanda yang ada di daerah Republik Indonesia dan menawan bangsa Belanda yang bertindak tidak sepantasnya atas rakyat Indonesia.
Bangsa Belanda insyaf bahwa bangsa Belanda yang ada di daerah Republik Indonesia itu, hanya terdiri dari golongan Indo, tetapi Belanda dengan sengaja mengorbankan mereka dengan segala provokasi agar mereka dapat menunjukkan alasan kepada dunia untuk menyerang rakyat Indonesia. Pada hakekatnya pula, ialah politik yang menjadikan “umpan” bagi kalangan Indo guna keuntungan kaum imperialis Belanda yang segolongan kecil di Nederland.
Dengan segala kejadian itu, Kota Bandung menjadi daerah yang tidak aman, bankan menjadi kota yang bercelaka sekali, sehingga setiap jiwa tidak dapat dikatakan tenteram setelah NICA melakukan provokasi dengan bantuan persenjataan Inggris. Sedirinya teranggarlah kedaulatan Republik Indonesia, dan segala bangsa yang ada di dalam Kota Bandung merasa bahwa mereka hidup di dalam politik Belanda yang maha busuk.
Daerah “aman” yang dikehendaki Inggris dengan segala kekerasan itu bukanlah menciptakan daerah aman, tapi “aman” bagi kaum imperialis dan kapitalis Belanda, celaka dan maut bagi bangsa Indonesia yang tidak dibolehkan membawa senjata, sebagaimana akhir ultimatum Inggris yang kelak kita terakan.
Bagi Belanda yang membonceng di atas segala kekuatan Inggris tidak dapat tidak menggembirakan mereka, dan jika perlu mau lah mereka (bangsa Belanda) membunuh segenap bangsa Indonesia, asal saja kekuasaannya sebagai penjajah kembali atas tanah Indonesia.
Bagi bangsa Indonesia tidak ada lain jalan untuk mempertahankan kedaulatan negaranya yang telah merdeka, hanyalah memberikan pengorbanan yang sebesar-besarnya untuk kebaktian kepada tanah air yang dicintainya.
Di sekeliling Kota Bandung, yang sedang mengalami bahaya kekerasan penjajahan Belanda itu, menguning padi pak tani laksana permadani harus mengalimantang di lapangan wasah yang luas melebar. Pak tani bergembira ria melihat usahanya yang berhasil demikian rupa, yang baru dialaminya semenjak sekian lama mereka bernama pak tani. Udara kemerdekaan memberi jiwa yang lain dari yang lain. Baik bagi pak tani yang mengolah sawahnya maupun bagi tanaman yang diusahakannya. Rupanya kegembiraan rakyat diberkati Tuhan Yang Maha Esa.
Minggu, tanggal 2 Desember 1945
Hari itu amat cerahnya. Udara terang benderang.
Kira-kira jam 10 pagi, beberapa bomber Inggris melayang-layang di angkasa yang putih bersih. Dengan sewenang-wenang bomber itu menjatuhkan bom-bom yang besar-besar di sekeliling Lengkong dan Ciateul. Dengan sewenang-wenang mereka menjatuhkan maut dari udara, sehingga berpuluh-puluh jiwa rakyat laki-laki, anak-anak dan perempuan menjadi korban.
Alangkah pedih dan perihnya hati rakyat melihat tindakan yang sewenang-wenang itu, sehingga meluaplah kebencian yang tiada terkira dan menimbulkan revolusi yang menggelora dan mendampar di mana-mana.
Bekas-bekas pemboman Inggris atas nama Serikat itu, yang mengakibatkan kerusakan hebat di daerah yang dikenainya, dan berpuluh-puluh gedung nan cantik molek menjadi sasaran bom dan mortir serta yang sukar tandingannya.
Belum habis kemarahan rakyat tentang pemboman Inggris yang membabi buta itu atas Kota Bandung, maka pada tanggal 6 Desember 1945, kira-kira jam 7 pagi, mulai pula pasukan Inggris dengan senjata berat, bersama mobil baja, tank dan rombongan yang kuat, menyerang rakyat dengan sewenang-wenang, istimewa di daerah Lengkong, hingga terjadi pertempuran maha dahsyat dan hebat. Senjata modern yang demikian hebat dan kuat dilawan rakyat dengan alat-alat yang sederhana sekali, bahkan bambu runcing menjadi alat yang istimewa.
Pihak Inggris dengan bantuan Gurkha, NICA dan mata-mata melakukan penyerangan yang sehebat-hebatnya, sedang di udara melayang-layang 6 buah bomber yang senantiasa melabrak pertahanan rakyat dengan melupakan perikemanusiaan. Tidak dapat kita lupakan bahwa saudara Zaini pemegang kepala asrama Hizbullah, dengan keberanian yang tiada tara, melompat ke atas tank baja musuh, untuk mengamuk musuh secara berani mati, telah gugur sebagai pahlawan Islam yang gilang-gemilang.
Semenjak perempuran yang dahsyat itu, di mana para pemuda –baik BMP, API, Hizbullah maupun PRI—banyak yang telah gugur sebagai sumbangan kemerdekaan Tanah Air dan Agamanya, tidaklah lagi terjadi pertempuran yang besar-besar dalam beberapa hari lamanya. Hal itu adalah disebabkan Inggris telah mengerti bahwa seluruh rakyat Indonesia tetap mempertahankan kemerdekaannya, walaupun segenap jiwa raganya korban karenanya.
Pertahanan pihak rakyat, semenjak insiden yang berminggu-minggu lamanya diderita rakyat di Kota Bandung, membikin Kota Bandung terbelah dua dengan batas yang tentu. Pihak Indonesia yang telah memberikan daerah utara dengan secara laki-laki menciptakan daerah sebagai schema.
Di sana-sini terjadi insiden kecil-kecil atas usaha kaki tangan NICA. Pihak Belanda mengadakan provokasi antara rakyat Indonesia dan Inggris.
Tentara Gurkha senantiasa dihasut Belanda agar menembak dan mengatakan bahwa pemuda-pemuda Indonesia semuanya adalah perampok dan suka membunuh. Di samping itu perempuan-perempuan Indo dikorbankan buat upah usaha Gurkha membunuh rakyat Indonesia. Beberapa perempuan Indonesia diculik oleh Belanda guna persembahannya kebinatangan Gurkha. Dengan demikian tidak ada berhenti-hentinyainsiden-insiden kecil antara tentara Inggris/Gurkha dan rakyat Indonesia. Kaum perempuan Tionghoa diupah menjadi mata-mata Belanda, dan menembak dengan pistol di garis belakang gerakan rakyat, sehingga antara rakyat Indonesia dan Tionghoa pun timbul permusuhan yang tidak berhenti.
Selain itu pihak Belanda menghasut orang-orang Jepang agar menyerobot pedagang-pedagang sayur di pasar-pasar, dan kerapkali tembak-menembak terjadi antara rakyat dan orang-orang Jepang di dalam pasar yang ramai.
Pendek kata pihak Belanda mengadakan provokasi untuk mengganggu keamanan, dan mendesak Inggris untuk bertindak dengan senjata yang sekuat-kuatnya. Tipu daya dilakukan Belanda sangatlah busuknya, dan untuk itu mereka tidak lagi menggunakan kemanusiaannya, bahkan mencari-cari jalan agar seluruh keamanan terganggu, dan segenap bangsa asing terancam jiwanya.
Sungguh sulit sekali pemerintah Republik bertindak akan hal itu, sebab setiap bertindak untuk menjaga keamanan, senantiasa dihalangi oleh tentara Inggris, dan Inggris sedapat mungkin memberikan jalan bagi Belanda untuk melakukan usahanya yang amat busuk itu.
Oleh sebab demikian, kekerasan rakyatlah yang dapat menciptakan keamanan kembali, bila perlu menggunakan segala kekerasan yang ada padanya, dan jalan itu pastilah mendapat halangan senjata pula dari pihak Inggris/Gurkha. Inggris hendak menguasai segala keadaan, dan kelak akan menyerahkan dengan sebulat-bulatnya segala kekuasaan itu ke tangan Belanda gunamenetapkan penjajahannya kembali.
Demikianlah, insiden-insiden kecil-kecil itu, meningkat naik, sehingga pada tanggal 10 Februari 1946 terbitlah pula pertempuran hebat di sektor timur, yaitu akibat serangan Gurkha dengan pelopor Belanda Indo pada jam 6.15 sore pada tanggal tersebut. Musuh mengadakan stelling-stelling di jalan kereta api mulai dari Rozenboomweg dekat lapangan olahraga Sidolig. Satuan barisan rakyat, yang terdiri dari BBRI, Pesindo, BMP dan Hizbullah, mengadakan perlawanan yang hebat, sehingga pihak musuh mengundurkan diri. Hingga jauh malam pertempuran baru berhenti.
Musuh yang menggunakan mortir, tommy gun dan berbagai senjata ringan, menembak-nembak rakyat ke sembarangan tempat, dan maksudnya lain tidak hendak mengacaukan segala keamanan dan ketentraman yang telah dimufakati oleh Inggris, sehingga segala apa pun yang diusahakan Republik Indonesia, dihancurkan musuh dengan segala kekerasan, untuk kepentingan pihak imperialis.
Perhubungan diplomasi antara Inggris dan Pemerintah Republik Indonesia, senantiasa krisis. Janji-janji Inggris terhadap erhubungan dengan tentara Serikat senan tidak ditepati. Inggris selalu berdiplomasi ketika kekuatannya terkandas disebabkan serangan rakyat, dan membikin berbagai perjanjian. Tetapi ketika mereka merasa kuat dan siap, maka segala perjanjian perhubungan dengan secara damai, didobraknya dengan kekuatan senjata, dan berichtiar menyerang rakyat dengan segala kekejamannya.
Semua itu memanaskan darah rakyat, dan Pemerintah Republik yang sangat berhati-hati tidak dapat lagi mengekang kemarahan rakyat dan kadang-kadang menimbulkan sak wasangka rakyat yang bukan-bukan terhadap pemerintah. Rakyat tetap berkehendak, supaya kedaulatan negaranya yang telah merdeka, harus terjaga dengan sebaik-baiknya, jika perlu maulah rakyat mengorbankan sekalian yang ada padanya, sekalipun merenangi lautan api yang bagaimana juga panas dan bahayanya. Singkat kata tekad rakyat telah sebulat-bulatnya untuk mempertahankan kemerdekaan negaranya, dan apa pun yang merintangi akan dihancur-leburkan rakyat, sekalipun darah dan jiwanya akan menjadi taruhan.
Pihak rakyat yang begitu patuh, menuduh pemerintah kurang semangat dan berani. Revolusi bangsa Indonesia sungguh-sungguh telah tercipta tinggal para pemimpinnya agar menunjukkan aliran arus revolusi itu kepada kemenangan yang sempurna hendaknya. Oleh sebab demikian, mau ataupun tidak mau, seluruh rakyat satu tekad dan kemauannya untuk menghancurkan-leburkan setiap tindakan dan maksud penjajah guna mengembalikan bangsa Indonesia kepada pengaruh perhambaan-perbudakan, bagaimana juapun bentuk dan formnya.
Pada hari Kamis tanggal 6 jalan 7 Maret 1946 adalah pula satu hari yang tidak mudah dilupakan rakyat. Jam 5 sore hari itu sepasukan serdadu Gurkha melanggar batas yang telah ditentukan. Mereka melalui jalan kereta api di dekat jalan Fokker di mana ada perempatan yang menuju ke berbagai pihak. Beberapa rumah rakyat diduduki dengan kekerasan senjata. Mereka membikin gaduh di sekeliling daerah itu, terutama mengganggu kaum perempuan dan memperlakukannya sebagai binatang.
Setelah pihak Indonesia mengetahui hal itu, maka pihak Gurkha bersama beberapa orang Belanda melakukan penembakan dengan serampangan ke udara, dengan maksud hendak memancing rakyat. Pasukan-pasukan rakyat datang mengusir mereka, sehingga timbul perkelahian yang hebat pula. Pihak musuh menjinakkan zoeklicht dengan hebat, dan menembakkan senapan mesin yang bertalu-talu. Hampir lima jam lamanya mereka membakar dan merusak rumah-rumah penduduk, dan perlawanan kita yang keras dapat mengundurkan mereka, jam 12 malam. Pihak Indonesia tidak mendapat korbanm selain rumah-rumah dan gedung-gedung kediaman rakyat dirusak mereka secara fasis, dan merusak apa saja yang dapat dirusak mereka. Pihak mereka mendapat korban yang tidak sedikit sebagai ganjaran atas kesombongan mereka.
Begitu pula pada tanggal 18 Maret 1946, daerah Andir diserang oleh NICA dengan bantuan Gurkha. Perampokan dilakukan mereka secara besar-besaran di daerah itu. Tembak-menembak terjadi mulai dari jam 7 pagi hari. Delapan truk musuh menyerbu ke daerah kita dengan menembak-nembak secara serampangan. Disebabkan truk-truk musuh itu mendapat perlawanan rakyat yang sengit, dan sebagian besar dari mereka telah menjadi bangkai, maka musuh menembakkan peluru mortir dengan hebat, hingga beratur-ratus mortir yang dihamburkannya ke dalam desa-desa yang penuh sesak penduduk biasa. Kedua belah pihak mendapat korban yang besar dan pihak musuh menderita kerugian dua kali lipat dari pihak Indonesia. Sekalipun garis pertempuran maju undur berganti-ganti, tetapi ternyata pihak rakyat Indonesia dapat mengatasi segala kesukaran yang dihadapinya itu.
Dengan tiada putus-putusnya itu, esok harinya pada tanggal 19 Maret 1946 pada pagi-pagi, musuh mengirimkan balabantuannya yang dipelopori oleh beberapa tank raksasa ke simpang Fokkerwrg. Barikade yang ada di senegap jalan yang dilalui dihancurkannya. Pihak rakyat mengundurkan diri untuk mengubah siasatnya. Tetapi akhirnya pihak musuh melakukan pengunduran ke pangkalannya. Sampai kepada hari yang berikutnya, musuh hanya menghamburkan mortirnya saja bertalu-talu, sehingga sejumlah anak-anak dan kaum perempuan menjadi korban keganasan itu. Hujan peluru mortir yang dilakukan Inggris terhadap rakyat di tengah-tengah Kota Bandung yang padat penduduk itu, sudah barang tentu sama artinya, bahwa Inggris telah menebarkan maut terhadap rakyat Indonesia dengan segala kekejamannya. Dengan tidak memberi tahu lebih dulu, agar dapat kesempatan guna rakyat menyingkir, Inggris berbuat secara kejam, dan disela oleh perbuatan Belanda yang lebih kejam lagi, memerintahkan mata-matanya menembak-nembak di dalam kampung-kampung yang penuh manusia itu.
Berhari-hari lamanya Inggris dan Belanda melepaskan tembakan-tembakan dengan senjata berat, dan menjatuhkan granat dari udara di tempat-tempat yang ramai, dan dengan segala kekejaman itu timbullah kemarahan yang tidak dapat ditahan lagi di setiap jiwa dan kalbu rakyat.
Demikian berturut-turut, pada tanggal 23 Maret 1946, di rumah seorang Tionghoa bernama Kim Eng di Waroeng Moentjang, Gurkha dan NICA membikin pertahanan yang agak kuat. Tempat itu adalah daerah Indonesia menurut batas yang telah dimufakati dengan Serikat. Jauhnya tempat itu dari tempat pertahanan Indonesia sekitar 300 meter. Kemudian rumah-rumah rakyat yang ada di Cibuntu dibakar oleh mereka hingga keadaan sangat menyedihkan sekali. Semenjak Bekasi dibakar oleh Inggris, Belanda melanjutkan pembakaran itu di desa-desa di Kota Bandung, dan menjalankan penyerangannya sekejam tentara Nazi Jerman dan melebihi Fasis Jepang.
Akibat semua itu memaksa rakyat berevakuasi secara besar-besaran ke luar kota. Dan semenjak insiden-insiden yang sangat jahanam itu berlaku disebabkan provokasi Belanda, maka di sepanjang senantiasa penuh oleh penyingkiran rakyat yang sangat menyedihkan hati.
Mereka meninggalkan rumah dan kampung halamannya di sebabkan kekejaman musuh dan kaum penindas, dan menderita atas perbuatan serta kehendak kaum imperialis dan kaum kapitalis asing.
Malam Sabtu, tanggal 22 jalan 23 Maret 1946. Malam itu kami bersama Gubernur Jawa Barat sedang duduk berhadap-hadapan diserta nafas yang sesak, membicarakan bahwa ada desas-desus Inggris akan mengeluarkan ultimatum terhadap rakyat Indonesia. Waktu itu Gubernur Jawa Barat baru sampai di Tasikmalaya untuk berangkat ke Yogyakarta guna membicarakan apakah tindakan Pemerintah Republik bila keadaan Bandung demikian gentingnya.
Tustel telepon mendering di dalam kamar tuan Bupati Tasikmalaya, di mana kami berunding dengan sepenuh minat dengan Gubernur. Seorang pelayan mengatakan bahwa ada interlokal dari Bandung kepada Gubernur. Dengan muka yang merah, bercampur ragu, Gubernur berdiri dan mendekati gagang telepon. Setelah seketika kemudian, Gubernur memberikan perintah kepada kami yang dari Bandung, supaya kembali bersama dia ke Bandung, ada hal yang penting akan terjadi, yang akan menentukan nasib Kota Bandung.
Dengan segala perasaan terharu kami berangkat. Toeter Chrysler D.I. mulai bergerak, mulanya beringsut keluar, kemudian roda mobil berputar sekencang-kencangnya menuju Bandung. Baru jam 6 pagi kami sampai di Bandung, di mana telah menunggu utusan Tentara Republik Indonesia dari Kommandemen, wakil Perdana Menteri Sutan Sjahrir, Kommandan Divisi, Kepala Kota, Residen, orang-orang yang perlu dari pihak MP3 dan lain-lain orang terkemuka.
Rumah Kepala Kota penuh oleh orang-orang itu, dan memperbincangkan tentang ultimatum Inggris agar seluruh rakyat Indonesia yang bersenjata harus keluar dari Kota Bandungstraal 11 km. Jika hal kehendak Inggris itu tidak dikabulkan maka Kota Bandung akan digempur habis-habisan. Jika ada orang yang masih bersenjata dari pihak Indonesia di dalam Kota Bandung, maka akan ditembak mati.
Semua orang termenung mendengar berita itu yang disampai Inggris kepada Pemerintah Republik Indonesia. Sungguh kejam sekali! Demikian teriakan salah seorang pemuda yang ikut serta di dalam perundingan itu. Sungguh celaka –kata pemuda yang lain—bangsa Indonesia yang bersenjata diusir keluar kota, rakyat yang lemah yang tidak mampu berbuat apa-apa akan dikuasainya dengan cara yang melanggar hak kedaulatan Republik Indonesia yang telah dimerdekakan oleh bangsanya sendiri. Tidak, tidak bisa!
Sekeliling pertemuan itu kelihatan hati yang gelisah resah, sedang utusan Pemerintah Pusat yang mendinginkan kepala yang hadir, tak dapat lagi berbuat apa-apa, sebab yang hendak mendinginkan itupun sangat panas hatinya. Bukan saja atas cara dan kehendak Inggris, tapi yang utama kesombongan Inggris dan Belanda yang bersandiwara bahwa mereka segala keangkuhan dan kesombongan menuntut apa yang tidak pantas dilakukan terhadap sesama manusia. Mereka tentara pendudukan Inggris hendak menguasai Kota Bandung dengan sebaik-baiknya, kemudian dengan segala segar bugar akan diserahkan pula kembali kepada NICA guna menetapkan penjajahan Belanda atas bangsa Indonesia.
Darah siapa yang tidak akan mendidih selama ia bernama putera sejati dari Tanah Ibu Indonesia?  Darah siapa yang tidak akan meluap selama putera Indonesia sanggup berdiri sendiri setelah diproklamasikan kemerdekaan Tanah Airnya? Kesombongan dan pancingan yang dihadapkannya kepada bangsa Indonesia yang masih muda, sudah barang tentu disambut dengan kejengkelan dan kemarahan yang tidak ada taranya dengan keberanian menghadapi segala risiko, apapun jadinya.
Di antara yang hadir ada yang mencucurkan air mata karena menahan marahnya yang tidak dapat ditahan, dan ada pula yang ketawa disebabkan kemarahan yang berkumandang di segenap jasadnya. Tetapi akhirnya diambil keputusan supaya kepada Inggris disampaikan keterangan bagaimana keberatannya rakyat terhadap ultimatum yang sangat disesalkan itu.
Pertemuan selesai, dan beberapa orang utusan terbang ke Jakarta, di mana kepada Markas Besar Tentara Inggris disampaikan penolakan rakyat Bandung atas kehendak Inggris yang tidak mungkin dikabulkan itu.
Rupanyan zonder tawar-menawar Inggris menolak semua usul yang berdasar perdamaian, sehingga penduduk Bandung sangat gelisah.
Api kemarahan yang tidak ada taranya di kalangan rakyat, istimewa di segenap satuan perjuangan dan Tentara Republik Indonesia, dapat juga dipadamkan oleh Pemerintah Pusat Republik, sehingga pada hari Minggu tanggal 24 Maret 1946, diperintahkan supaya segenap rakyat dan tentara yang bersenjata memenuhi permintaan Inggris untuk keluar Kota Bandung straal 11 km.
Rupanya goodwill Pemerintah Republik itu oleh Inggris diserobot lagi dengan tidak memberi waktu yang cukup untuk memindahkan tentara dan peralatannya serta rakyat yang bersenjata untuk keluar, sebab pada jam 1 siang hari Minggu tanggal 24 Maret 1946 itu, Inggris menjatuhkan ultimatumnya kepada seluruh penduduk Bandung, supaya segenap kehendaknya dikabulkan dengan tempo 12 jam. Jadi jam 12 malam Senin tanggal 24 Maret 1946 harus permintaanya dikabulkan, bila tidak maka akan ditembak mati.
Penduduk Kota Bandung sangat gelisah. NICA menjalankan berbagai kabar bohong, provokasinya diperhebat dalam keadaan suasana yang demikian, sehingga tentara dan pasukan-pasukan rakyat sebelum sampai waktu yang ditetapkan keluar dari kota, telah mendapat serangan dari pihak Belanda dan Gurkha. Jam 5.30 sore beberjam setelah ultimatum Inggris diketahui rakyat, segala pemimpin penduduk Tionghoa di Bandung datang di kantor MP3 menanyakan keadaan yang terjadi. Kepada golongan Tionghoa dinyatakan bahwa tentara dan badan-badan perjuangan hendak keluar Kota Bandung atas kehendak Ingggris. Oleh sebab itu terserahlah kepada bangsa Tionghoa akan menentukan sikapnya. Adapun rakyat akan turut bersama tentara yang dicintainya. Manakala bangsa Tionghoa tinggal di dalam kota, tentulah bukan lagi tanggungan kami. Tetapi jika pihak Tionghoa ingin dan percaya atas jaminan kami, maka kami siap-sedia memberikan bantuan sekuat-kuatnya, sehingga bangsa Tionghoa dapat kami singkirkan dari kota dengan segala keselamatan.
Hal itu diterima oleh mereka, dan mereka sama berkata, bahwa mereka tidak akan aman di dalam tangan Inggris dan Belanda. Dan setelah mengadakan pertemuan itu, rasa harga menghargai dari pihak Indonesia dan Tionghoa tetap adanya, tetapi setelah pada saat yang ditentukan bahwa pihak tentara dan rakyat hendak memberikan pertolongan kepada pihak Tionghoa, mereka tidak menepati janjinya, bahkan kebanyakan dari mereka pindah ke sebelah utara Kota Bandung, yaitu daerah yang telah lama dikuasai Inggris.
Dengan demikian kewajiban dan goodwil rakyat terhadap bangsa Tionghoa telah ditepati, tinggal pihak Tionghoa lah yang memungkiri janjinya dan berlindung di daerah musuh, dengan tidak mengingat bangsanya yang tak sedikit berlindung di daerah yang dikuasai rakyat Indonesia.
Sebelum waktu dan batas ketentuan waktu yang telah ditetapkan, agar tentara dan rakyat yang bersenjata dapat mundur, NICA /Gurkha telah menyerang bangsa Indonesia di beberapa tempat. Di daerah Andir, Cimahi dan beberapa tempat lain, NICA menyerang kedudukan Indonesia yang hendak meninggalkan tempatnya. Di beberapa tempat lain mata-mata NICA bergerak untuk mengacaukan penyingkiran dan pengunduran. Dentuman senapan mesih 5 jam sebelum batas waktu yang diberikan telah bergemuruh memukul dan menganiaya rakyat,  satuan tentara dan pemuda, sehingga kesempatan untuk menyingkir tidak dapat dijalankan dengan teratur.
Mengingat semua itu MP3 (Majelis Persatuan Perjuangan Priangan) mengeluarkan perintah ke segenap pasukan-pasukan rakyat demikian:
Merdeka!
Ultimatum Inggris via Pusat telah diterima.
Meminta supaya T.R.I dan pasukan-pasukan bersenjata meninggalkan kota Bandung diluar straal 11 km.
T.R.I dan MP3 memutuskan perintah tertulis di bawah dan harus segera dilakukan,
1. Masing-masing pasukan bersenjata sejak saat ini menjaga stelling masing-masing dengan senjata lengkap.
2. Alat-alat peledak disediakan.
3. Pasukan tidak bersenjata supaya menyelematkan barang-barang penting.
4. Sampai ada perintah lain tetap defensif (mempertahankan). Hanya boleh menembak untuk membela diri.
5. Segera mengirimkan ordonnans ke MP3.

(d.t.) Kepala Pembelaan MP3
S O E T O K O     

Perintah MP3 itu disambut dengan semangat yang bernyala-nyala oleh pihak barisan-barisan rakyat daeri segala golongan pasukan, dan dengan hati yang berdebar-debar ditunggunyalah saat yang maha penting itu.       
Pihak tentara Republik Indoensia melakukan persiapan hendak meninggalkan Kota Bandung yang dicintainya dengan segala kegelisahan dan duka cita, karena semata-mata patuh tunduk kepada Pemerintah Pusat Republik Indonesia.
Semenjak Tentara Republik Indonesia berkemas-kemas hendak meninggalkan kota itu, segenap lapisan rakyat menjadi gelisah, karena Tentara yang dicintainya dan dibangunkannya bersama-sama dengan memberikan putera-puteranya menjadi patriot Tanah Air, sekarang hendak meninggalkan, dan akan jauh darinya. Tentara yang selama ini dihajatkannya untuk melindungi keamanan rumah-tangganya yang terdiri dari putera-putera yang dikasihinya itu, hendak hilang dari pelupuk matanya.
Oleh sebab demikian bersiap pulalah seluruh rakyat hendak meninggalkan Kota Bandung, di mana kekayaan dan hartanya berada, hendak mengikuti tentara yang dicintainya itu. Rakyat hendak sehidup-semati dengan tentara yang dibangunkannya dengan segala kekuatan yang ada padanya, baik di golongan atas ataupun di golongan rakyat jelata, tetaplah tekadnya hendak menurutkan ke mana jua tentaranya hendak pergi.
Keadaan demikian menjadikan Kota Bandung gelisah resah, dan meulailah segala apa yang hendak dibawa dan dapat diangkut disiapkan rakyat menuju ke tempat perpindahan tentara. Sungguh sedih menyembul setiap kalbu para pemuda, dan tidak kurang di antara tentara kita menangis tersedu-sedu, mengenangkan bagaimana kesetiaan rakyat terhadap mereka, bahkan ke lautan api sekalipun pihak Tentara Republik perginya, akan diikuti juda oleh seluruh rakyat. Memang rakyat menyadari bahwa nasibnya kelak tergantung kepada kemenangan yang hendak dicapai oleh tentara.
Para pemuda perjuangan membantu menyingkirkan rakyat keluar kota, dengan segala kekuatan yang ada padanya. Dan di samping itu melakukan penjagaan dengan sekiat-kuatnya terhadap perampok-perampok NICA yang dengan bayonet di tangannya menggedor kekayaan rakyat di mana-mana. Akibat perampok-perampok NICA itu dengan bantuan beberapa pemuda Tionghoa upahan, menakut-nakuti rakyat, dan di beberapa tempat melakukan penyerangan juga secara perampok, dan kadang-kadang menggunakan kaum pengungsi untuk tameng mereka menyerang.
Akhirnya timbullah kemarahan yang tak terkirakan di setiap jiwa dan kalbu rakyat, dan dengan beramai-ramai mereka membakar setiap gedung yang dapat dihancurkannya, dan para pemuda menghancurkan gedung-gedung yang mungkin digunakan musuh untuk pertahanannya. Dengan begitu Kota Bandung menjadilah lautan api yang jarang tandingannya dalam sejarah manusia, dan hampir segenap Kota Bandung menjadi abu.
Sungguh satu tragedi yang hebat!
Setiap pelosok Kota Bandung menyala api, lautan api yang berombak-ombak, beriak membadai angin di sekitar kebakaran, menghidup meniupkan nyalanya api yang melambai-lambai. Jika dikenang saat-saat yang terjadi ketika itu, sungguh menegakkan bulu romasetiap manusia. Tapi di samping itu, dunia pun tahu bahwa kekerasan yang dilakukan imperialis Belanda yang licik itu atas kemerdekaan Indonesia, telah menghancur-leburkan segala sendi-sendi perikemanusiaan, Kota Bandung menjadi hancur dan hangus, menjadi abu, adalah atas tindakan imperialis Belanda itu.
Bagaimana pun, sudahlah terang, bahwa bangsa Indonesia tidak akan mau diperbudak oleh siapa saja dan dengan kekerasan bagaimana juga, sekalipun jiwa, raga dan segenap kekayaannya hancur lebur menjadi abu.
Sungguh menyedihkan!
Sekitar 350 ribu jiwa meninggalkan rumah-tangganya di tengah-tengah malam buta. Sejauh-jauh mereka berjalan, api masih kelihatan tinggi menjulang, merah laksana fajar yang baru terbit.
Di sepanjang jalan yang menuju keluar kota, beriak sendu berisak tangis, di setiap kaum pengungsi. Rumah-tangganya yang dikasihinya, sapi ternak yang dipiaranya, kampung halaman yang dicintainya, dikorbankannya atas paksaan bayonet imperialis.
Berbondong-bondong hamba Allah keluar Kota Bandung laksana semut dikejar maut, mengarungi segala sengsara dan derita. Jeritan anak-anak kecil yang belum berselang lama keluar dari kandungan ibunya menangis merayu sendu di telinga pengungsi. Orang tua yang sangat lanjut umurnya bertingkat bambu, perempuan yang mendukung anak, kuli-kuli yang serat bahunya oleh beban kekayaan yang ada padanya, gerobak kuda yang serat berderak rodanya melalui batu-batu jalan yang setengah rusak, merandu sandu di setiap orang yang melihat dan menderita, sekalipun di penglihat bersama-sama membawa nasibnya.
Ujian! Ujian yang berat nian!
Kemerdekaan bangsa harus dibeli dengan darah dan jiwa, dengan harta dan kekayaan, dengan perasaan yang berat. Penderitaan yang bagaimana juga, kadang-kadang akan lebih berat rasanya daripada lepasnya jiwa dari jasad, dari pengaliran darah yang melebar luas, tetapi hal itu akan dikorbankan pula, untuk membeli kemerdekaan yang penuh.
Pada malam-malam penyingkiran penduduk itu, nyata benarlah kekuaan jiwa Indonesia. Sekitar 98% dari rakyat Indonesia di Kota Bandung menyingkirkan dirinya, sambil membakar rumahnya yang hendak ditinggalkannya. Pengalaman rakyat telah terlalu banyak atas kekejaman NICA yang senantiasa dialami, dan karena itu bulat tekadnya, bahwa daripada rumah dan kekayaannya dihancurkan dan dirampok musuh lebih baik hancur di hadapan mata kepala sendiri. Karena itu belum pembakaran secara besar-besaran terjadi dengan hebatnya yang pernah terjadi di Jawa, dan karena itu dapatlah dunia mengetahui bahwa tekad rakyat telah sebulat-bulatnya untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diperolehnya.
Di desa-desa di sekeliling Kota Bandung, di mana tempat beristirahat kaum pengungsi, berdirilah badan-badan sosial yang memberikan bantuannya kepada mereka. Jalan-jalan berminggu-minggu lamanya penuh oleh penyingkiran-penyingkiran sengsara itu. Tapi atas usaha segala golongan dan lapisan rakyat, kesengsaraan yang begitu hebat, berjalan baik dalam pemeliharaannya, dan berlaku dengan segala kegembiraan hati, sementara itu tekad hendak merebut Bandung kembali secepat mungkin dengan mengusir musuh berkobar dalam dada rakyat. Di seluruh Kabupaten Bandung, Garut dan Sumedang, maka pertempuran menghadapi musuh ditaruh di atas segala peristiwa, sehingga tenaga rakyat dihadapkan untuk merebut Kota Bandung kembali.
Seluruh pemuda dengan tidak ada kecualinya, yang puluhan ribu banyaknya, menceburkan diri ke dalam tentara dan badan-badan perjuangan, sedangkan para puteri menceburkan dirinya dalam usaha dapur umum dan Palang Merah Indonesia.
Agaknya belum pernahlah dialami oleh rakyat, bagaimana persatuan yang dirasanya pada ketika ia telah diusir musuh dari rumah dan kotanya, dan semua itu memberikan kegembiraan hatinya guna mempersiapkan diri masing-masing untuk menggempur musuh. Dengan segala keinginan yang membaja di setiap hati rakyat, maka timbullah perasaan senasib dan seperjuangan di setiap golongan dan tingkatan, menjelmalah solidariteitsgevoel di setiap kalbunya. Kemerdekaan yang telah diproklamirkannya telah mendarah mendaging. Insyaf lah ia bahwa seluruh darah dan dagingnyahancur lebur di permukaan bumi, jika ia tidak bertahan hingga tetes darah dan gumpal daging yang terakhir!
Kenyataan demikian tidak dilihat, dan ditinjau oleh musuh kita. Buta matanya akan hal demikian. Agaknya mereka mengira bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia itu hanya berupa sepuhan semata-mata. Padahal penghinaan dan penindasan kaum penjajah telah mendorong rakyat untuk menderita segala kepahitan, hingga rakyat itu membulatkan tekad akan membeli kemerdekaan itu dengan segala kekuatan yang ada pada mereka.
Hukum kodrat tetap beredar. Setelah sengsara, kembali gembira. Di dalam kegembiraan yang diliputi kesengsaraan, timbullah satu cita-cita suci, ialah kemerdekaan bangsa dan nusa, kebebasan Tanah Air dari segala penindasan dan penghinaan penjajahan.
Sekarang kesengsaraan yang sedang dan akan dilalui rakyat di sepanjang hidupnya menuju kesucian dan mempertahankan perikemanusiaan, menimbulkan rasa kegembiraan yang belum pernah dialami oleh semua lapisan. Rakyat sadar bahwa sungguh mereka telah menjadi bangsa merdeka kembali, semenjak beberapa abad lamanya kemerdekaan tanah air dirampas orang.
Bekas-bekas peninggalan rakyat yang marah dan memberontak, sangat mengagetkan dunia. Dunia tahu bagaimana kebulatan tekad rakyat tentang kemerdekaanya. Omongan Belanda yang mengatakan bahwa Ratu Wilhelmina sangat dicintai bangsa Indonesia adalah isapan jempol belaka, dan berisi kepalsuan yang tiada tara dalam sejarah penjajahan. Adalah dunia mengira bahwa bangsa Indonesia yang mempunyai kulit coklat, yang berbeda hidup dan kebudayaannya serta bahasa dan adat-istiadarnya, akan mudah menghargakan satu raja lain yang tidak pernah membahagiakan di sepanjang hidupnya?
Bahkan alat raja itu yang kapitalis, yang terdiri dari murid-murid Nazi dan Fasis, adakah akan dapat menanam kesetiaan sesuatu bangsa yang ditindasnya dengan kekejaman yang belum pernah terjadi di dunia?
Kota Bandung yang telah menjadi abu, yang hancur oleh sebab api revolusi yang menyala-nyala menjadi saksi yang tidak dapat dibantah, bahwa penjajah Belanda tidak mungkin lagi diterima oleh bangsa Indonesia yang jumlahnya beberapa kali lebih besar daripada bangsa Belanda sendiri, dengan segala kekayaan yang cukup padanya.
Inilah satu realitas yang tidak dibantah!
Apa dan berapa besarnya penderitaan yang diderita dan dialami rakyat dalam mereke melakukan penyingkiran atas penindasan kaum imperialis di Kota Bandung itu, demikianlah pula besarnya kesengsaraan dan keseulitan yang diderita Belanda dengan Inggris sebagai pembantunya itu, sehingga berimbang lah kecelakaan yang sama diderita oleh musuh.
Selain itu, tahulah pula dunia, bahwa bajingan-bajingan Belanda dengan segala keserakahannya itu akan meruntuhkan pula kehormatan bangsanya, dan mungkin pula bahwa bangsa Belanda akan tercatat sebagai bangsa yang menjadi musuh bangsa Indonesia untuk selama-lamanya.
Semenjak kejadian yang sangat menyedihkan itu atas Kota Bandung, kesakitan hati rakyat tidak mudah sembuh. Belanda pasti akan dihancurkan manaka mereka tetap hendak menjadi tuan besar di masyarakat Indonesia, dan akan tetap terancam setiap jiwa terus-menerus, bagi bangsa dan kaki tangan bangsa Belanda. Akhirnya percayalah bahwa daerah Indonesia akan menjadi neraka bagi segenap bangsa Belanda di kemudian hari.
Ingatlah bahwa Belanda dengan organisasi NICA-nya bukan saja telah melakukan penculikan pada para pemimpin Indonesia yang ingin berunding dengan jalan damai, tetapi telah menganiaya pada pemuda dari kalangan nasionalis, yang semata-mata ingin memerdekakan bangsanya dari cengkeraman kaum penjajah. Ingatlah pula bahwa pihak Belanda telah menggunakan berbagai tipu muslihat guna memancing bangsa Indonesia untuk menimbulkan perang yang hebat di Indonesia.
Jika di zaman penjajahan Belanda, para Pemimpin yang jujur dari bangsa Indonesia ditindas dan dibuang ke Boven Digoel, dan oleh mereka disediakan pula berpuluh-puluh bui untuk kaum politik yang menuju kemerdekaan tanah airnya, maka sekarang Belanda mengadakan satu pulau di muka Jakarta yang bernama Onrust, untuk kamp para putera Indonesia yang mempertahankan kemerdekaan yanah airnya, di mana mereka menderita, azab yang sehebat-hebatnya, dengan perlakukan sebagai Nazi Jerman.
Di Kota Bandung, pihak Belanda telah mencukil mata para pemuda yang ada dalam tawanannya, bertempat di Batalyon XV Bandung, dan diperlukan melebihi dari perampok dan bandit-bandit yang maha kejam. Mereka menembak-nembak di sepanjang jalan, menusuk dengan bayonet kepala dan mata para pemuda yang gugur di dalam mempertahankan dirinya.
Singkat kata, semua kekejaman para bajak laut Belanda di zaman VOC pada permulaan imperialis Belanda menguasai Indonesia beberapa abad yang silam, telah dilakukan pula terhadap bangsa dan pemuda Indonesia di abad modern ini. Mereka bangsa Belanda, telah menanamkan uangnya di ujung bayonet dan pedang di daerah yang diduduki Inggris, di samping itu Inggris sendiri memaksa rakyat menerima uang NICA yang tidak disenangi oleh rakyat itu.
Tapi meskipun demikian rakyat segan menderita apa juga yang akan terjadi, asal kemerdekaan tanah airnya tercapai.
Semenjak penyingkiran rakyat dari dalam Kota Bandung, hingga saat ini, dari berbagai bangsa masih ada yang tetap mendiami Kota Bandung, di antaranya sekitar 300 penduduk bangsa Indonesia, yang tidak mau menyingkirkan diri, tapi kesengsaraan yang diderita oleh mereka sepanjang hari, sudah tak dapat hendak diceritakan. Bangsa Tionghoa dengan bangsa Indonesia yang ada, dipecah belah oleh Belanda. Pada pertama kalinya bangsa Tionghoa dipersenjatai, dan disuruh menembak bangsa Indonesia. Kemudian bangsa Indonesia yang merasa terancam jiwanya itu terpaksa meminta bantuan Serikat. Dengan alasan itu pula, bangsa Tionghoa ditindas dan dilucuti senjatanya, dan dipaksa memperdagangkan uang NICA.
Bangsa Indonesia bersama Inlander NICA diadu-domba pula. Sebagian mengadakan gerakan Commonwealth Indonesia, sebagian tetap dibiarkan mengadakan gerakan “Indonesia Merdeka” yang dikepalai oleh Dr. Noto dan Mr. Soediono, tetapi hanya boleh bekerja dalam lapangan sosial semata. mereka itu disuruh memancing bangsa Indonesia kembali ke kota, dan berkat usaha pengkhianatan ini telah dapatlah dipancing beratus-ratus rakyat Indonesia kembali ke kota.
Setelah bangsa Indonesia banyak pula di dalam kota, maka diadakannya kerja paksa, dan dijadikannya tentara yang dipersenjatai, sedang mereka senantiasa dipaksa pula untuk menjadi tamengnya di waktu bertempur dengan bangsa Indonesia sendiri.
Pada hakekatnya, Dr. Noto dan Mr. Soediono dengan semua pengikutnya bukanlah menentang Republik Indonesia, tetapi sangat menghalangi ekonomi blokade dari rakyat dan melemahkan siasat pertempuran.
Di lain pihak, NICA Inlander yang dipakai oleh Soeria Kartalegawa, ada pula ikhtiarnya, istimewa menyebarkan mata-matake daerah Indonesia. Tetapi pada waktu belakangan ini usahanya kandas, dan Kartalegawa sendiri merasa ketakutan, sehingga setiap saat berpindah-pindah rumah, serta dia tambah tidak populer di kalangan penduduk Kota Bandung. Setiap pembicaraannya dengan bangsa Indonesia selalu dia membela diri, berkata bahwa mereka tidak berpihak kepada NICA. Setiap hari pengkhianat itu berada dalam ketakutan.
Suasana itu mengganggu ketenteraman hidup penduduk dengan hebatnya, sedang Kota Bandung yang sebagian besar telah menjadi abu itu, menjadi tempat yang serba kekurangan. Lampu-lampu yang tidak menyala lagi, sumber air yang telah dihancurkan menjadikan kota itu gelap gulita dan kekeringan.
Keadaan dalam Kota Bandung menurut laporan dalam bulan April 1946 sangat menyedihkan. Semua itu adalah akibat politik bumi hangus. Gedung-gedung yang besar banyak yang terbakar dan rubuh, rumah-rumah penduduk menjadi abu. Pihak Inggris dan Belanda mendapat kesukaran yang maha dahsyat, dan keadaan dalam kota lebih menakutkan daripada keadaan di dalam hutan rimba balatentara yang maha hebat. Di beberapa tempat yang kecil-kecil berkumpul beberapa orang atas hasutan NICA, sehingga sangat mengerikan.
Di Jalan Pagarsih pada tanggal 2 April 1946 terjadi perkelahian antara bangsa Indonesia dan bangsa Tionghoayang bersenjata api yang didapatnya dari bangsa Belanda. Pergolakan terjadi setelah bangsa Indonesia ditembaki oleh mereka sebagaimana melempari anjing. Pada tanggal tersebut delapan orang bangsa Indonesia menggeletak di tepi jalan akibat penembakan bangsa Tionghoa. Dari tumpukan itu menjerit seorang perempuan tua yang bermandi darah antara setengah hidup dan mati meminta pertolongan. Tetapi sayang sekali penyelidik yang melakukan pekerjaannya dengan sendirian sambil mengendap-endap di belukar yang terdekat dari tumpukan korban itu tidak dapat memberikan pertolongan disebabkan bangsa Tionghoa yang berkeliaran di situ siap menembak bangsa Indonesia yang melalui tempat itu.
Contoh sebagaimana tertulis di atas adalah salah satu kejadian di antara beratus-ratus keganasan yang terjadi antara bangsa Indonesia dan bangsa Tionghoa, dan tidak dapat kita mengetahui sampai di mana kekejaman itu telah berlaku.
Sementara itu bangsa Tionghoa dijadikannya mata-mata yang melakukan penembakan secara kejam kepada rakyat umum. Dengan secara terang-terangan mereka menembak dari bagian belakang pertahanan rakyat hingga tidak sedikit terjadi peristiwa-peristiwa yang mengerikan.
Sehari demi sehari terjadi pertempuran-pertempuran kecil antara Gurkha dan NICA dengan pasukan-pasukan rakyat, dan kadang tentara Republik yang telah berada di luar batas Inggris pun ditembaki dengan mortir. Akhirnya segenap kekuatan tentara yang ada di sekitar Bandung ikut bertempur melawan penyerangan musuh dan pihak satuan-satuan perjuangan rakyat menyempurnakan barisannya di bawah satu komando, sehingga persatuan perjuangan yang bulat erat menghadapi musuh menjadi lebih kuat dan sempurna.
Siang dan malam di setiap tempat terjadi pertempuran-pertempuran yang tiada sedikit memakan korban, bahkan di pihak musuh senantiasa menjadi sasaran yang sebaik-baiknya bagi pasukan rakyat Indonesia. Di sekitar front tiada berhentinya perempuran-pertempuran yang mengganas, yang sehari-harinya dihadapi rakyat dengan segala ketabahan hati. Pembakaran yang senantiasa terjadi di Kota Bandung tidak kunjung berhenti, sehingga segenap tentara Belanda dan Inggris serta Gurkha menjadi sangat gelisah. Kekuatan musuh senantiasa ditambahi dengan kapal udara dan konvoi dengan melalui Bogor, sedang di pihak Tionghoa dipaksa untuk menjadi tentara Belanda. Demikian pula bekas Heiho dan Romusha yang dibawanya dari luar Jawa dijadikannya tentara pelopor terhadap serangannya kepada bangsa Indonesia dan dipaksanya menyerbu ke garis Indonesia.
Sungguh pun begitu, Belanda senantiasa mempersiapkan dirinya di atas pengorbanan umum itu, untuk memperluas kekuasaannya bagi keuntungan imperialisme yang demikian kejam, dan setiap saat mereka terus-menerus menghamburkan pelurunya terhadap rakyat puluhan ribu jumlahnya.
Siasatnya lain tidak hendak melakukan penyerangan terus-menerus, dan dengan segala daya upayanya Belanda menyerang rakyat dengan cara yang melampaui batas-batas kemanusiaan. Setiap waktu Belanda hendak melakukan penyerangan dengan bantuan Inggris terhadap rakyat Indonesia, maka mereka melepaskan pasukan garongnya lebih dahulu ke daerah yang hendak diserangnya, sebagaimana pernah dipraktikkan Jepang ketika tentara fasis itu melakukan penyerangan terhadap “Hindia Belanda” pada permulaan peperangan yang baru lalu di lingkungan Pasifik.
Selain dari pada itu, pihak Belanda telah menggunakan tentara Jepang sebagai pelopornya dalam menyerang rakyat Indonesia, dan kemudian disusul oleh tentara upahan yang terdiri dari bangsa Tionghoa, NICA Inlander, serta Indo, dan penghabisan sekali terdiri dari para pasukan Belanda totok.
Hampir di segenap medan pertempuran, Belanda menggunakan Jepang sebagai pemimpin penyerangan, dan persenjataan Jepang –yang kata Serikat harus dihancurkan—digunakan di segenap medan pertempuran untuk menyerang Republik Indonesia.
Selain dari pada itu, Belanda menggunakan kaum pengungsi bangsa Indonesia dan berbagai bangsa asing sebagai perisai, dan banyak sekali mengorbankan kaum pengungsi di sektor Cicadas, yaitu bagian Bandung Timur. Di samping itu, tentara Belanda yang menyerang Cikidang, bagian Lembang, Gedebage bagian Ujung Berung, berpakaian Tentara Republik Indonesia.
Pendek kata semua cara, taktik peperangan dan tipu daya penyerangan yang dilakukan tentara Belanda, adalah menurut ajaran dan pimpinan fasis Jepang, dan oleh Belanda totok dijalankan sebagaimana pernah dilakukan Nazi Jerman ketika memasuki daerah Nederland.
Mengingat semua itu, nyata benarlah, bahwa Belanda hendak menetapkan penjajahannya di Indonesia dengan cara fasis, dan untuk itu, Pemerintah Belanda di Nederland memberikan ampunan kepada kaum fasis Belanda yang 45.000 jiwa dari kamp konsentrasi, yang kelak akan dikirim ke Indonesia guna menyerahkan Indonesia di bawah perasan kaum fasis Belanda, guna keuntungan kaum kapitalisnya.
Gerakan “Kemeja Coklat” di bawah pimpinan Rudie Timi, telah berurat berakar di jiwa penjajahan Belanda, dan banyak sekali tanda-tanda menunjukkan, bahwa gerakan itu di daerah kedudukan Serikat dapat dikembangkan Belanda, dan dipelopori oleh kaum wartawan Belanda yang ada di Indonesia. Dengan demikian Belanda hendak mengelabui mata dunia dengan menganjurkan demokrasi di negerinya, tetapi menggerakkan fasisme di tanah jajahan yang dipaksakannya dengan kekerasan senjata.
Untuk itu bangsa Indonesia tidak akan dapat dikelabui lagi, dibantu ataupun tidak oleh dunia, rakyat Indonesia akan tetap menghancurkan fasis Belanda di Indonesia dengan segenap tenaga imperialisnya yang kejam itu.
Rakyat Indonesia akan tetap mempertaruhkan jiwa raganya guna kemerdekaan tanah airnya yang telah didapat dengan segenap kekuatan yang ada padanya.
Begitulah garus besar tulisan Samaun Bakry tentang peristiwa “Bandung Lautan Api” yang kemudian dibukukan dengan judul Setahun Peristiwa Bandung dan diterbitkan pada Agustus 1946. Sebagai pelaku sejarah, goresan Samaun Bakry demikian lengkap dan mampu menggugah darah patriotik setiap orang yang membacanya. Ketika Bandung menjadi lautan api, Samaun dan keluarganya memang tengah berada di Bandung, tepatnya di daerah Lengkong. Saat itu dia mengungsi karena rumah dinas di Jalan Maluku Nomor 5 Menteng Jakarta diduduki oleh tentara Serikat yang hendak melucuti persenjataan Jepang.
Di Bandung, Samaun Bakry kemudian aktif menjadi anggota MP3 (Majelis Persatuan Perjuangan Priangan). Selain itu juga, tahun 1946 dia sempat mengemban amanah sebagai Pejabat Wakil Gubernur Pertama RI Jawa Barat.     

Revolusi Sosial di Banten
Waktu terus melaju. Perjuangan rakyat tidak hanya berhenti di Kota Bandung. Di ujung barat wilayah Jawa Barat, tepatnya di Banten, gejolak revolusi juga tak terelakkan. Ketika revolusi sosial nyaris tidak menunjukkan tanda-tanda usai, tahun 1946, Presiden Soekarno kemudian mengangkat Samaun Bakry menjadi Wakil Residen Banten.
Kisahnya revolusi sosial Banten, sebagaimana Hasil Penelitian (Naskah Publikasi) yang ditulis oleh  Suharto, M.Hum bersama Lembaga Penelitian Universitas Indonesia pada tahun 1996, dimulai dari ranggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Berita tentang proklamasi itu sampai di Banten pada tanggal 20 Agustus 1945, dibawa oleh beberapa Pemuda Jakarta yaitu Pandu Kartawiguna, Ibnu Parna, Abdul Muluk dan Aziz yang disuruh oleh Chairul Saleh. Mereka menyampaikan pesan Chairul Saleh agar Pemuda Banten segera merebut kekuasaan dari tangan Jepang. Berita itu disampaikan kepada tokoh-tokoh masyarakat dan pemuda Banten antara lain K.H.Tubagus Akhmad Khatib, K.H. Syam’sun, Ali Amangku dan Ayip Zuhri yang selanjutnya disebar-luaskan kepada seluruh warga masyarakat Keresidenan Banten.
Kabar tentang kemerdekaan itu disambut gembira oleh rakyat, kecuali oleh beberapa orang yang merasa dirinya telah menyakiti hati rakyat pada masa sebelumnya dan merasa takut terhadap pembalasan. Rapat-rapat segera diadakan oleh tokoh-tokoh masyarakat dan pemuda karena pegawai pemerintahan, terutama pamongpraja, bingung dan khawatir sehingga tidak mempunyai inisiatif untuk menguasai keadaan. Para pamongpraja tidak bisa dan tidak berani memberi penerangan atau mengatasi hal-hal yang melewati batas akibat revolusi itu. Setelah dilucuti senjatanya, para anggota PETA pulang ke tempat tinggal masing-masing dengan membawa oleh-oleh berupa terigu, mentega dan rokok.
Sehubungan dengan berita dan pesan Chairul Saleh itu, pada 22 Agustus 1945, beberapa pemuda menurunkan Bendera Jepang di Hotel Vos, dan keesokan harinya dilakukan penurunan bendera di kantor-kantor Pemerintah Jepang. Melihat peristiwa tersebut, beberapa pejabat sipil Jepang di Banten Syucokan (Residen) Banten  Yuki Yoshii dan menyerahkan jabatannya kepada Fuku Syucokan (Wakil Residen) Raden Tirtasuyatna. Dia lalu meninggalkan daerah itu. Sementara itu orang-orang militer Jepang tetap berada di pos masing-masing melaksanakan perintah Sekutu untuk menjaga status quo.
Di Cinangka (Anyer) pertentangan antara Pamongpraja dan kelompok sosial revolusioner semakin meninggi. Kekhawatiran di kalangan pejabat Jepang dan Indonesia bertambah besar. Pada September 1945 ketegangan meningkat di seluruh Banten. Dan baru pada 29 September 1945 Wakil Residen Banten (Raden Tirtasuyatna) diangkat menjadi Residen Banten. Penundaan pengangkatan itu diduga karena dia bukan putra asli Banten dan meragukan hikmah Proklamasi Kemerdekaan. Hal ini menimbulkan kecurigaan di kalangan kaum revolusioner. Kaum revolusiner makin berani melihat keengganan Jepang untuk mendukung Pemerintah Indonesia dan bulat tekad mereka siap bertempur.
Selain orang-orang sipil Jepang, beberapa Pamongpraja yang berasal dari daerah Priangan juga banyak yang meninggalkan Banten gara-gara takut menjadi sasaran luapan kemarahan rakyat karena mereka dianggap sebagai bekas pejabat kolonial yang tidak disenangi. RadenTirtasuyatna yang baru menerima pengangkatan jabatan dari Yuki Yoshii pun melarikan diri ke Bogor, kendati dia telah ditunjuk oleh Pemerintah RI sebagai Residen Banten.
Sejak Tirtasuyatna melarikan diri dari Banten, jabatan Residen pun kosong. Belum ada penunjukan penunjukan pejabat pengganti. Sedangkan pejabat tinggi yang ada --yaitu Bupati Serang R. Hilman Jayadiningrat-- tidak berani mengambil-alih tanggung jawab sebagai residen. Dalam situasi demikian, hanya kelompok pemuda yang berani bergerak dan mengambil inisiatif melucuti orang-orang Jepang yang ada di Serang dan sekitarnya. Usaha tersebut diprakarsai oleh Pemuda yang tergabung dalam Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang dipimpin oleh Ali Amangku.
Berkat desakan Pemuda API lalu diadakan perundingan dengan para tokoh masyarakat Kabupaten Serang antara lain K.H. Akhmad Khatib, K.H. Syam’un dan Zulkarnain Surya Kartalegawa. Dalam perundingan itu para pemuda mengusulkan kepada Pemerintah RI agar segera mengangkat K.H. Akhmad Khatib sebagai Residen Banten dan K.H. Syam’un menangani urusan militer. Kemudian, melalui sebuah telegram, pada 6 Oktober 1945 Pemerintah Pusat mengangkat K.H. Akhmad Khatib menjadi Residen Banten.
K.H. Akhmad Khatib, putra K.H.Tubagus Muhamad Waseh, adalah ulama Banten yang disegani masyarakat. Dia yang dilahirkan di Kabupaten Pandeglang pada tahun 1895, pernah belajar pada beberapa pesantren di daerah Banten antara lain Pesantren Caringin yang dipimpin oleh K.H.Tubagus Asnawi (dikenal) sebagai Kiyai Caringin. Berkat kepintaran dan kecerdasannya dia dijadikan menantu Kiyai Caringin. Sejak remaja dia aktif dalam gerakan pemuda, sehingga tahun 1920 menjadi Ketua Sarekat Islam Cabang Banten. Sikapnya yang keras dan tegas terhadap Belanda membuatnya dibuang ke Digul sehubungan Pemberontakan Komunis tahun 1926. Sekitar 15 tahun kemudian, waktu menjelang berakhirnya Pemerintah Hindia Belanda, dia dibebaskan dan kembali ke tempat tinggalnya di Caringin, kemudian memimpin pesantren milik mertuanya. Pada zaman Jepang dia diangkat menjadi daidanco PETA di daerah Banten.
Setelah Akhmad Khatib diangkat menjadi residen, langkah pertama dia menyusun aparat bawahannya. Untuk membantu kelancaran pemerintahan, Khatib menunjuk Zulkarnaen Surya Kartalegawa sebagai Wakil Residen. Kemudian buat mengisi jabatan bupati di daerah itu, Khatib meminta pada para bupati lama sementara waktu tetap dalam jabatannya, dengan pertimbangan bahwa dalam masa transisi para bupati lama lah yang lebih mengetahui administrasi pemerintahan di daerahnya. Para Bupati itu adalah R. Hilman Djajadiningrat (Bupati Serang), Mr. Djumhana (Bupati Pandeglang) dan R. Hardiwinangun (Bupati Lebak).
Setelah Akhmad Khatib menjadi Residen dan mengangkat kembali pejabat lama, muncul trik-intrik ketidak-puasan di antara sebagian pemuda. Mereka menghendaki pembaruan total dan mencap “orang-orang lama” sebagai “warisan kolonial”, “penghkianat bangsa” dan dikhawatirkan akan membantu Belanda. Tuntutan itu tidak dikabulkan oleh Residen. Rasa ketidak-puasan itu kemudian dimanfaatkan oleh kelompok lain untuk maksud yang lain.
Suatu hari, sekitar pukul 10.00 pagi, pada waktu di Keresidenan berkumpul K.H. Akhmad Khatib, K.H. Syam’un dan Abdul Hadi, datang rombongan yang menamakan dirinya Dewan Rakyat. Melalui ancaman kasar mereka memaksa Residen agar membatalkan Surat Pengangkatan Aparat Pemerintahan di seluruh Keresidenan Banten dan agar menggantinya dengan orang-orang yang ditunjuk oleh Dewan Rakyat. Pembatalan dan pengangkatan pejabat-pejabat baru itu harus dibacakan didepan umum esok harinya. Bila hal itu tidak dilaksanakan, maka Dewan Rakyat akan melenyapkan orang-orang yang “tidak disenangi rakyat” .
Karena ancaman itu, Residen terpaksa menyetujui keinginan Dewan Rakyat. Residen terpaksa menyusun aparatur Pemerintah Daerah yang disesuaikan dengan runtutan Dewan Rakyat. Susunan Aparatur itu sebagai berikut: K.H. Akhmad Khatib tetap sebagai Residen, K.H. Syam’un sebagai Bupati Serang merangkap Pimpinan Tertinggi TKR, K.H.Tubagus Abdulhalim sebagai Bupati Pandeglang dan K.H. Hasan sebagai Bupati Lebak. Untuk jabatan Wedana, Camat bahkan sampai Lurah diserahkan kepada kaum ulama.
Pada tanggal yang dijanjikan, sekitar pukul 10.00 pagi, Keresidenan Banten diambil alih oleh Dewan Rakyat yang dipimpin oleh Ce Mamat. Sementara itu, K.H. Syam’un, yang ditunjuk menangani bidang militer, segera merealisir Pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Keresidenan Banten, yang terdiri dari para bekas anggota PETA, Haiho, Hizbullah, Sabilillah, API dan lain-lain kelasykaran. Badan tersebut dipimpin oleh K.H. Syam’un dan beberapa hari kemudian dibentuk pula BKR Laut Banten.
Dalam hal persenjataan, Pasukan BKR hanya memiliki beberapa senjata api. K.H. Syam’un lalu berusaha mendapatkan senjata dari pihak Jepang. Untuk itu diadakan perundingan dengan pihak kempetai di Serang agar mereka menyerahkan senjatanya kepada BKR. Usaha secara damai itu gagal. Setelah melihat pihak Jepang yang bersiap-siap menghadapi suatu serangan, dalam suatu kesempatan terbatas tanggal 8 Oktober 1945, pimpinan BKR memutuskan menyerangnya. Keputusan itu disebar-luaskan kepada pimpinan-pimpinan pemuda, masyarakat dan ulama di Kabupaten Serang.
Sore harinya para pemimpin pasukan dari beberapa kecamatan datang di Serang guna membicarakan Rencana Penyerangan secara rinci. Diputuskan untuk menyerang Markas Kempetai pada tanggal 10 Oktober 1945 setelah adzan Subuh dan Komando Penyerangan diserahkan kepada Ali Amangku. Malam harinya datang rombongan BKR dan pemuda-pemuda dari beberapa kecamatan. Tanggal 9 Oktober, beberapa pemimpin rakyat yang bersenjata dari seluruh pelosok Banten datang ke Markas BKR di Serang. Esok harinya, malam hari, diadakan perundingan lagi dengan pihak kempetai agar mereka menyerahkan senjatanya kepada Pihak Indonesia (Rakyat Banten). Namun lantaran Jepang menolak, diputuskan bahwa Banten tidak mau adanya kekuasaan bangsa asing.
Atas desakan rakyat, pada 11 Oktober pagi hari dilakukan penyerangan ke Markas Kempetai yang berisi sekitar 200 orang bersenjata lengkap. Penyerangan dipimpin oleh pemuda dan polisi, dibantu barisan rakyat yang bersenjata golok dan parang. Pemuda dan Polisi Istimewa menyerang sampai ke garis depan. Pertempuran berlangsung dua hari dua malam yang memakan banyak korban. Akhirnya pihak Jepang kalah dan dapat diusir dari Serang. Mereka meloloskan diri ke Jakarta.
Penarikan tentara Jepang dari Banten menjadi lambang kemenangan yang penting artinya. Serangan selanjutnya diarahkan ke Penjara Utama di Serang yang tidak dijaga kuat. Banyak jawara yang dipenjarakan di sana lalu dibebaskan. Tanggal 13 Oktober mereka membunuh enam orang Eropa yang ditahan di penjara itu. Di tempat lain terjadi penangkapan hampir semua orang yang meninggalkan tugasnya di kantor kabupaten. Beberapa priyayi lainnya ditangkap dan dipenjarakan.
Beberapa hari berikutnya pemerintah setempat hampir hancur sama sekali. Di seluruh Keresidenan Banten, semua Pangrehpraja digantikan oleh para ulama. Di beberapa tempat penggantian kekuasaan disertai kekejaman. Rapat-rapat umum diadakan untuk memilih para pejabat baru, yang kebanyakan ulama.
Kaum komunis setempat tidak menentang pemilihan kaum ulama untuk mengisi jabatan-jabatan resmi itu. Tapi, sebagai gantinya, mereka memusatkan  perhatian pada Dewan Rakyat yang terdiri dari orang-orang yang sangat radikal dan revolusioner di bawah pimpinan Ce Mamat. Ce Mamat pernah menjadi Sekretaris PKI Cabang Anyer, ikut dalam Pemberontakan Komunis tahun 1926. Dia kabur ke Malaya, tahun 1930 kembali ke Indonesia mendirikan Klub Studi Politik di Palembang. Dan tahun 1932 pernah ditahan namun kemudian dibebaskan. Dia lalu pulang ke Banten menjadi pengacara. Selama Perang Dunia ke-II dan zaman Jepang dia mengadakan hubungan dengan kelompok-kelompok di luar Banten. Tahun 1944 dia dan banyak temannya ditangkap kempetai, dimasukkan dalam penjara (Hudrey Kahin, hlm 63).
Dewan melaksanakan fungsinya sebagai Badan Eksekutif, sedangkan Residen dibuatnya hanya mempunyai kedudukan simbolis. Dewan Rakyat membentuk kepolisian sendiri, yang dikenal dengan Polisi Keamanan Rakyat dan kemudian menjadi Polisi Khusus. Dewan membentuk pula Dewan Ekonomi Rakyat yang mengatur distribusi pangan. Dewan mengambil-alih cadangan beras, gula, garam dan tapioka dari Jepang dan membagi-bagikannya kepada rakyat dan mengatur penggeledahan rumah-rumah priyayi.
Untuk menjaga keamanan rakyat, pada 18 Oktober 1946, K.H.Syam’un (bekas daidanco) membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang terdiri dari bekas Perwira PETA yang tidak meninggalkan daerah itu. Sebagai komandannya adalah K.H. Syam’un. Pembentukan TKR berjalan baik dan pesat, bahkan di beberapa tempat pasukan ditempatkan di asrama. TKR yang dibentuk itu sebagai Divisi I Komandemen Jawa Barat dengan nama Divisi 1000/1 (baca: seribu satu), sesuai dengan Maklumat Pemerintah tanggal 5 Oktober 1945, yang disampaikan lewat Surat Komandemen Jawa Barat tertanggal 12 Oktober 1945. Wilayah Divisi ini meliputi seluruh Keresidenan Banten dan daerah sebelah barat Sungai Cisadane, mulai dari Pantai Utara sampai Pantai Selatan. Yang menjadi Panglima Divisi adalah Kolonel K.H. Syam’un. Esok harinya dibentuk Pangkalan I Tentara Laut, yang secara taktis berada di bawah Komando Divisi 1000/1 Banten. Setelah penyerbuan ke Markas Kempetai, pemerintah sipil berjalan apa adanya.
Tanggal 27 Oktober 1945, di Pendopo Kabupaten Serang diselenggarakan Rapat Besar yang dihadiri oleh wakil-wakil pemerintah dan rakyat yang dihadiri oleh sekitar 10.000 pengunjung. Dalam rapat itu Ce Mamat alias Muhamad Mansur sebagai wakil dari Rakyat melakukan penerimaan Pemerintahan Indonesia Merdeka. Lebih lanjut dia mengemukakan bagaimana seharusnya mewujudkan cita-cita Pemerintah Republik, dan untuk itu perlu dihilangkan pertentangan-pertentangan berbagai golongan. Dikatakannya, bila masih ada yang salah hendaknya diperbaiki serta secara serentak melakukan perlawanan terhadap musuh kita, yaitu NICA dan agen-agennya. Pidato itu disambut gembira oleh pengunjung.
Pembicara selanjutnya adalah K.H. Ahmad Khatib, Residen Banten, lalu K.H. Syam’un (Komandan TKR Banten), yang menyatakan sepenuhnya memegang teguh kedaulatan rakyat. Seluruh Keresidenan Banten siap mempertahankan kedaulatan RI, seluruh Banten siap menentang musuh mereka baik berupa NICA maupun kaki tangannya. Sampai saat itu NICA belum berani datang ke Banten. Perahu-perahu Belanda yang mencoba mendarat di Pantai Utara Banten dapat dipukul mundur. Rakyat Banten menyadari bahwa mereka adalah warga RI dan hanya mengakui Presiden Soekarno sebagai pemimpin Negara Indonesia.
Perubahan personalia pemerintahan Banten sesuai dengan keinginan Dewan Rakyat itu akhirnya tetap tidak membuat situasi menjadi lebih baik. Kekacauan yang ditimbulkan oleh Dewan Rakyat tetap saja berlanjut. Hal itu gara-gara aksi teror yang dilakukan oleh Pasukan Dewan Rakyat yang menamakan dirinya Laskar Gulkut atau Gutgut. Sekadar pengetahuan, Gulkut merupakan akronim dari Gulung Bukut.  Bukut artinya Pamongpraja yang mereka nilai sebagai warisan kolonial. Sedangkan Gutgut adalah jawara-jawara, artinya bahwa mereka terdiri dari para jawara-jawara.
Setelah Dewan Rakyat berhasil merebut kekuasaan, pada malam harinya Laskar Gutgut menculik Bupati Hilman Jayadiningrat, kemudian diamankan di Penjara Serang. Sementara itu Wakil Residen Zulkarnain Surya Kartalegawa yang juga mempunyai latar belakang yang sama, melarikan diri ke Priangan. Beberapa pejabat di daerah yang kelakuannya kejam terhadap rakyat dibunuh oleh Laskar Gulkut.
Kejadian di Banten itu mendorong Pemerintah Pusat turun langsung menanganinya. Pada 9-11 Desember 1945 Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta diiringi Jaksa Agung dan Sekretaris Negara meninjau daerah Banten. Sebelum pidato Presiden dan Wakil Presiden, ribuan rakyat dan wakil-wakil rakyat Banten menegaskan kesanggupan mereka untuk mempertahankan Republik Indonesia. Mereka menyatakan berdiri di belakang Pemerintah, melawan setiap penjajahan bangsa lain. Seorang wakil rakyat menyatakan secara tegas bahwa desas-desus yang mengatakan bahwa Banten mau berdiri sendiri dan melepaskan diri dari Pemerintah Pusat adalah tidak benar. Dikatakan bahwa seluruh rakyat Banten berdiri di belakang Pemerintah RI dan siap mempertahankan kemerdekaan Indonesia sampai akhir zaman.
Dalam pidatonya, Wakil Presiden Mohammad Hatta antara lain mengharapkan agar rakyat dari berbagai lapisan dan golongan memperkuat persatuan untuk menegakkan negara Indonesia. Dengan panjang lebar diterangkan arti kedaulatan rakyat dan menyadarkan mereka akan kewajiban rakyat terhadap negara. Diingatkan agar rakyat mengikuti petunjuk Pemerintah dan tidak berbuat menurut kehendak sendiri, karena perbuatan demikian adalah anarki dan agar menentang setiap orang yang bertindak semaunya sendiri. Untuk mengatur dan menyusun penghidupan dan kesejahteraan rakyat diperlukan disiplin yang kuat. Hatta, diluar kebiasaannya berbicara, menyatakan bahwa Dewan Rakyat itu tidak berguna dan berseru agar dibubarkan.
Kemudian, dalam pidatonya, Presiden Soekarno mengatakan bahwa baik-buruknya sesuatu negara adalah menurut takdir Tuhan serta tergantung pada usaha dan ikhtiar rakyatnya sendiri. Dikatakan bahwa seluruh lapisan masyarakat harus cinta terhadap Tanah Air dan bangsa untuk bersama-sama mendirikan negara yang tidak ada kapitalisme dan imperialisme. Republik Indonesia bukan kepunyaan satu daerah, tapi kepunyaan seluruh rakyat Indonesia.
Di muka umum, Ce Mamat menjawab bahwa Dewan Rakyat adalah satu-satunya badan yang mewakili demokrasi rakyat yang sejati, sedangkan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) hanyalah pemberian Jepang. Unsur-unsur dalam Dewan Rakyat berusaha menggunakan kunjungan Presiden itu sebagai peluang untuk mendemonstrasikan militansi revolusionernya. Ketika Soekarno–Hatta berada di Rangkasbitung pada tanggal 10 Desember 1945, para pendukung Dewan Rakyat menculik dan membunuh R.T. Hardiwinangun, bekas  Bupati Lebak. Pembunuhan itu mengakibatkan adu kekuatan dengan pihak tentara tidak dapat dihindarkan.
Pembunuhan Hardiwinangun menyebabkan Dewan Rakyat banyak kehilangan pendukung. Kaum ulama cemas melihat jalannya peristiwa itu. Bagi pihak tentara, mendesaknya situasi diperjelas ketika laskar-laskar Dewan di Serang pada tanggal 31 Desember 1945 menangkap Entol Ternaya, perwira senior TKR dan Oskar Kusumaningrat, bekas Kepala Polisi Keresidenan Banten. Keduanya diangkut ke Kubu Dewan Rakyat di Ciomas untuk diadili lantaran kejahatan-kejahatan mereka di masa Belanda.
Pada hari itu pula terjadi pertempuran di Pandeglang saat pendukung Dewan Rakyat berusaha merebut senjata milik satuan TKR setempat. Selanjutnya tanggal 2 Januari 1946 Dewan Rakyat di Rangkasbitung menuntut penggantian Bupati Kiyai Abuya Hasan dan pengangkatan sebuah direktorium untuk mengawasi semua bagian pemerintahan dan semua pasukan bersenjata revolusioner.
Melihat adanya penculikan dan perampokan, Residen menginstrusikan kepada Pimpinan TKR Banten untuk secepatnya menumpas gerakan Dewan Rakyat. K.H. Syam’un segera memanggil Ali Amangku dan Tubagus Kaking untuk menyusun siasat penumpasan. Langkah pertama adalah membebaskan R. Hilman Jayadiningrat dari Penjara Serang dan tidak mengalami kesulitan. Kemudian menyerang Markas Besar Dewan Rakyat di daerah Ciomas. Hilman Jayadiningrat dan para Priyayi lainnya yang masih dipenjarakan oleh Dewan Rakyat lalu dibebaskan dan dibawa ke Sukabumi.
TKR di Rangkasbitung menuntut pembubaran Dewan Rakyat. Tuntutan itu ditolak. Lantas terjadilah pertempuran. Pasukan Dewan Rakyat secara mudah dikalahkan. Pada tanggal 8 Januari 1946 Pasukan TKR dari tiga kota penting di wilayah Banten menyerang pasukan Dewan Rakyat di Ciomas. Pertempuran yang berlangsung lebih dari 24 jam itu baru berhenti setelah ada campur tangan pribadi Residen Akhmad Khatib. Dewan Rakyat terpecah, beberapa pemimpinnya (yaitu Ce Mamat, Ali Arkam dan Akhmad Bassaif) ditangkap. Sebagian besar anggotanya ditawan dan sebagian kecil melarikan diri ke daerah Lebak. Oekar Kusumaningrat dan Entol Ternaya yang ditahan di tempat itu pun dibebaskan. Kedudukan K.H. Akhmad Khatib tetap tidak tertandingi dan kaum ulama terus menduduki semua pos pemerintahan yang strategis. Kendati semula K.H. Akhmad Khatib bersimpati pada Dewan Rakyat, tetap menjadi residen, mengingat pengaruhnya yang besar di seluruh wilayah Banten.
Setelah penumpasan Dewan Rakyat pada bulan Januari 1946, radikalisme di daerah ini mereda, namun gangguan keamanan (garong) masih saja merajalela. Lantaran kaum komunis yang lebih ortodoks berhasil menjaga jarak dengan Dewan Rakyat, mereka tetap menduduki Jabatan Penasehat. Di Pandeglang, Mohammad Ali (Mamak) membubarkan Komite Revolusioner Indonesia (KRI) tidak lama setelah Dewan Rakyat terguling. Sebagai gantinya dibentuk Komite Nasional Indonesia (KNI). Di Serang, tiga orang tokoh PKI --Agoes Solaeman, Mohammad Nur dan Tubagus Hilman-- mendirikan Biro Penerangan Rakyat. Agoes Solaeman dan Mohammad Nur juga menjadi anggota Badan Pekerja KNI Banten. Bekas pemimpin PKI banyak pula yang tetap menempati kedudukan penting dalam pemerintahan. Kaum ulama masih menduduki semua jabatan dalam pemerintahan.
Pemerintahan RI di Yogyakarta mengkhawatirkan keadaan di Banten. Ada kekhawatiran cita-cita kedaerahan akan muncul lagi. Isyaratnya adalah adanya program yang dilancarkan K.H. Akhmad Khatib yang dilancarkan bulan September 1946 untuk memugar kembali Kota Lama Banten dan pelabuhannya. Atas prakarsa Residen Akhmad Khatib, tanggal 8 September 1946, dibentuk Panitia Pembangunan Banten yang diketuainya sendiri. Panitia itu bermaksud membersihkan dan memelihara Masjid Agung Banten, membersihkan semua tempat bekas kesultanan yang sejak 1832 tidak terurus, membuka kembali bekas pelabuhan Banten dan membuat saluran air sampai ke Kalimati dekat masjid. Pembersihan tempat-tempat tersebut dilakukan secara sukarela oleh tidak kurang dari 500 orang setiap hari. (Antara 30 Sept 1946; Berita Indonesia 30 Des 1946).
Muncul desas-desus bahwa kegiatan itu sebagai awal untuk memulihkan kembali otoritas kesultanan Banten Lama dengan Akhmad Khatib sebagai orang yang berhak mewarisi gelar Sultan. Karena isyarat ini, lalu pada Oktober 1946,  Mohammad Hatta kembali mengunjungi Banten menemui Residen Akhmad Khatib.
Setelah peninjauan Hatta, daerah ini kemudian menjadi daerah yang mendapat perhatian serius dari Pemerintah Pusat. Susunan Pangrehpraja segera diperbaiki. Pemerintah Pusat merasa optimis akan hal ini karena di sana tidak terdapat aliran-aliran yang menentang. Para Kiyai yang menduduki jabatan kepamong-prajaan yang pada masa awal perang kemerdekaan diturut oleh rakyat mengingat pengaruh mereka, kemudian rakyat tidak merasa puas terhadap pemerintahan daerah yang mereka pimpin. Pemerintah Pusat berusaha memperbaikinya.
Setelah mengetahui situasi dan kondisi di Banten, Hatta mengadakan kebijakan yang menentukan baik di front politik maupun di sektor militer. Kolonel A.H. Nasution mengkonsolidasikan lebih jauh terhadap Brigade I Siliwangi (sebelumnya “Divisi 1000”). Pada bulan Desember 1946, Letnan Kolonel Sukanda Bratamenggala dengan pasukannya dikirimkan ke Banten untuk mengambil-alih komando. Pada waktu yang bersamaan, di bidang politik pemerintahan diadakan beberapa pengangkatan pejabat daerah. Sebagai Residen, K.H. Akhmad Khatib dibantu oleh bekas Kepala Djawatan Imigrasi Indonesia Pusat Mr. Yusuf Adiwinata (putra Banten) yang diangkat sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat yang berkedudukan di Serang dan Samaun Bakry sebagai Wakil Residen.
Ketika diangkat itu, Mr. Yusuf Adiwinata dan Samaun Bakry masih berada di Kota Bandung. Mengingat kondisi waktu itu kurang aman, kedua tokoh ini tidak bisa cepat-cepat sampai di Serang, Banten. Dengan kawalan konvoi truk tentara yang dipimpin Mayor Sastra, dua tokoh ini berangkat juga ke Serang dengan jalur Tasikmalaya, Garut, Sukabumi, Pelabuhanratu, Lebak, Rangkasbitung, Pandeglang dan berakhir di Kota Serang.
“Di Tasikmalaya, keluarga Samaun Bakry sempat mukim sebentar sekitar dua bulan baru kemudian melanjutkan perjalanan ke Kota Serang. Perjalanan yang tidak ringan melalui hutan-hutan belantara,” ujar Fuad Bakri, anak dari Samaun Bakry yang ikut dalam perjalanan penuh perjuangan itu. Selain membawa Fuad, Samaun juga didampingi istrinya Nursima dan satu anaknya lagi, Muis Bakri.
Kemudian untuk membantu para ulama yang masih menduduki sebagian besar jabatan, Pemerintah Pusat mengangkat Wedana Sipil dan Militer. Juga dibentuk Pengadilan Militer dan Satuan Khusus buat menangani masalah Laskar dan Kejahatan.
Mulai tahun 1947 Pemerintah RI menempatkan tenaga-tenaga atau pejabat-pejabat baru dari luar Banten yang diperlukan untuk memajukan masyarakat dan wilayah Banten. Pada kongres tanggal 4 Maret 1947 Majelis Ulama Banten meminta Pemerintah Pusat agar pegawai-pegawai yang ditempatkan di Banten adalah orang-orang yang sesuai dengan suasana Banten dan yang dicintai rakyat. ***

No comments:

Post a Comment