Sjoekoer, dapat
dikeloerkan boekoe memperingati perdjoeangan terseboet di sekitar Bandoeng.
Moengkin tiada semoea berita tepat, akan tetapi di dalam garis besarnja sesoeai
dengan apa jang telah dialami, dan dengan demikian tergambarlah djalannya
perdjoeangan kita yang soetji. Dari Bandoeng kita menderita pengeboman oedara
dan meriam, mitraljoer, pentjoelikan, penggedoran, perkosaan, penggeledahan,
dan penghinaan bangsa dan Repoeblik jang kita tjintai.
Djenderal
Major A.H. Nasoetion, Panglima Divisi I saat pecah
“Peristiwa Bandoeng”
Kemerdekaan
yang diperoleh bangsa Indonesia baru seumur jagung. Pasukan Sekutu melalui
pasukan Inggris dan juga pasukan Belanda tidak ingin bangsa Indonesia begitu
mudah merayakan kemerdekaannya. Tercatat dalam sejarah, pasukan Inggris bagian
dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada 12 Oktober 1945. Sejak semula
hubungan mereka dengan Pemerintah RI sudah tegang. Pasukan Inggris menuntut
agar semua senjata api yang ada di tangan penduduk, kecuali TRI (Tentara
Republik Indonesia) dan polisi, diserahkan kepada mereka. Orang-orang Belanda
yang baru dibebaskan dari kamp tawanan pun mulai melakukan tindakan-tindakan
yang mulai mengganggu keamanan. Akibatnya, bentrokan bersenjata antara tentara
Inggris dan TRI tak terelakkan.
Malam
tanggal 21 November 1945, TRI dan badan-badan perjuangan melancarkan serangan
terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Homann dan
Hotel Preanger yang mereka gunakan sebagai markas. Tiga hari berselang,
MacDonald menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar Bandung Utara
dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata.
Ultimatum
Tentara Sekutu agar Tentara Republik Indonesia (TRI, sebutan bagi TNI pada saat
itu) meninggalkan kota Bandung mendorong TRI melakukan operasi "bumi
hangus". Para pejuang pihak Republik Indonesia tidak rela bila Kota
Bandung dimanfaatkan oleh pihak Sekutu dan Netherlands Indies Civil
Administration (NICA). Keputusan untuk membumi-hanguskan Bandung diambil
melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan
semua kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, pada tanggal 23 Maret 1946.
Sekadar
pengetahuan MP3 merupakan gabungan dari 61 organisasi di seluruh Priangan, dari
berbagai golongan. Namun berkenaan daerah Priangan terletak di garis terdepan,
maka usaha yang diutamakan –dengan tidak mengurangi usaha yang lain—adalah
membaca medan pertempuran. Untuk itu dapatlah menyatukan komando pertempuran
dari segenap badan-badan perjuangan, dengan melupakan hal-hal kecil yang
barangkali dapat membawa perpecahan. Dengan satu ketetapan bahwa segenap
pertempurandi bawah “Satoe Kommando” dengan tidak membedakan satu dengan yang
lainnya. Baik apa juapun barisaannya,
bahkan dia tentara, tetap satu kehormatannya, sama derajat dan
harkatnya, dengan satu komando di segenap front. Siapa yang tidak mau, tidak
ada tempat di lapangan pertempuran garis depan.
Dan, Samaun
Bakry aktif menjadi anggota MP3 ketika berada di Bandung. Pasca kedatangan
tentara Inggris yang diboncengi NICA, Samaun dan keluarganya harus meninggalkan
tempatnya tinggalnya di Jalan Maluku Nomor 5 Menteng Jakarta yang telah didiami
sejak masa pendudukan Jepang atau tepatnya sesaat setelah menjadi anggota Jawa Hokokai.
Dengan
bantuan Pelaksana Tugas Residen Tasikmalaya, Tentara dan MP3 berjasa besar
dalam usahanya menggugurkan setiap usaha Sekutu dan Belanda yang ingin kembali
menjajah. Di masa itu, Tentara, MP3 dan sipil Bestuur bersatu sebulat-bulat
arti kata dan mampu menjaga persatuan hingga teguh-tegap menghadapi segenap
usaha musuh kemerdekaan.
Kolonel
Abdoel Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III TRI mengumumkan hasil
musyawarah Tentara dan MP3 tersebut dan memerintahkan evakuasi Kota Bandung.
Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan
kota Bandung dan malam itu pembakaran kota berlangsung.
Samaun
Bakry menjadi salah satu pengurus Madjelis Persatoean Perdjoeangan Priangan
(MP3) merangkap petugas Sekretariat Gubernur Jawa Barat. Bersama-sama dengan
dengan Chairul Saleh dan tokoh-tokoh nasional yang lain berjuang menghadapi
agreasi Belanda di Jawa Barat, terutama di Kota Bandung.
Bandung
sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat setempat dengan maksud agar Sekutu tidak
dapat menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Di mana-mana asap
hitam mengepul membubung tinggi di udara dan listrik padam. Tentara Inggris
mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling
besar terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat
gudang amunisi besar milik Tentara Sekutu. Dalam pertempuran ini Muhammad Toha
dan Ramdan, dua anggota milisi Barisan Rakjat Indonesia terjun dalam misi untuk
menghancurkan gudang amunisi tersebut. Muhammad Toha berhasil meledakkan gudang
tersebut dengan dinamit. Gudang besar itu meledak dan terbakar bersama kedua
milisi tersebut di dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan
tetap tinggal di dalam kota, tapi demi keselamatan mereka, pada pukul 21.00 itu
juga ikut dalam rombongan yang mengevakuasi dari Bandung. Sejak saat itu,
kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI.
Tetapi api masih membubung membakar kota. Dan Bandung pun menjadi lautan api.
Pembumi-hangusan
Bandung tersebut dianggap merupakan strategi yang tepat dalam Perang
Kemerdekaan Indonesia karena kekuatan TRI dan milisi rakyat tidak sebanding
dengan kekuatan pihak Sekutu dan NICA yang berjumlah besar. Setelah peristiwa
tersebut, TRI bersama milisi rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari
luar Bandung. Peristiwa ini mengilhami lagu Halo-Halo
Bandung yang nama penciptanya masih menjadi bahan perdebatan sampai
sekarang.
Beberapa
tahun kemudian, lagu Halo-Halo Bandung
secara resmi ditulis, menjadi kenangan akan emosi yang para pejuang kemerdekaan
Republik Indonesia alami saat itu, menunggu untuk kembali ke kota tercinta
mereka yang telah menjadi lautan api. Sementara setahun berselang, Samaun Bakry
menuliskan sebuah buku berjudul Setahoen Peristiwa
Bandoeng sebagai wujud sumbangsih untuk memperkaya khazanah sejarah
perjuangan rakyat di masa-masa 1945-1950.
Samaun
Bakry menuliskan peristiwa Bandung Lautan Api ke dalam lima bagian yang
dilengkapi dengan Pandahuluan dan cuplikan berita surat kabar Soeara Merdeka yang terbit pada bulan
Maret 1946. Ditambah pula kata pengantara sejumlah pejabat masa itu, antara
lain Panglima Divisi I Djenderal Major A.H. Nasoetion, Wakil Goebernoer Djawa
Barat Sewaka, Residen Priangan M. Ardiwinangoen, Kepala Penerangan/Pendidikan
Tentara Brig IV/Div I Moch. Hidajat, dan MP3 Bagian Pembelaan Soetoko. Sekilas
isi buku Setahun Bandoeng Peristiwa
Bandoeng:
Sekarang Tibalah
Gilirannya Para Pemuda
Di segenap
tempat bangunlah pemuda-pemuda laki-laki bangsa. Setiap tempat di dalam kota
dikerek pemuda Sang Merah-Putih dengan jayanya. Di beberapa tempatmengibar
bendera yang besar-besar, di gedung-gedung besar-kecil, tegak menjulang
angkasa. Tinggal di beberapa gedungpembesar-pembesar bangka pemerintah Jepang
masih berdri bendera Hino-Maru yang selama ini menguasai angkasa tanah air.
Pihak Jepang denganmata terbelalak menghalangi gerak revolusi bangsa Indonesia
yang telah dimulai, dan di setiap kantor terbit pertentangan dan perkelahian
antara pegawan Jepang dan bangsa Indonesia. Di setiap kantor, di setiap gedung,
di setiap rumah dan rumah-rumah makan, tembullah pertentangan antara bangsa
Indonesia dan bangsa Jepang.
Pertentang
itu mudah difahami, karena “bangkai”
Jepang yang masih hendak berkuasa atas bangsa Indonesia, bermaksud
dengan sebaik-baiknya menyerahkan bangsa Indonesia dengan tanah airnya kepada
Tentara pendudukan, ialah pihak Sarikat, secara “benda” mati terhadap pihak
yang menundukannya.
Bangsa
Indonesia adalah manusia yang hidup, yang tidak dapat begitu saja diperlakukan
sebagai “benda” yang mati yang tidak dapat bergerak, bahkan bangsa Indonesia
telah hidup dan bangun, dengan serempak digerakkan oleh proklamasi Kemerdekaan
yang dinyatakan pada seluruh rakyat Indonesia dengan perantaraan “lidah”
pemimpin besarnya Bung Karno – Hatta.
Sudah
barang tentu segala itu menimbulkan pertentangan-pertentangan yang tidak kecil
dan segenap kekuatan tentara Jepang telah dikerahkan untuk menindas segenap
gerak dan sepak terjang bangsa Indonesia dan setiap lembarasn Sang Merah-Putih
yang dikibarkan di tempat-tempat yang penting, setiap gedung besar, di mana
para pemuda menjadi umpan peluru Jepang dan menjadi peluru kaki tangan Belanda
yang mengadakan provokasi. Dibasahi oleh darah pemuda yang memperjuangkannya.
Tetapi,
setiap pemuda yang gugur dalam menegakkan Sang Merah-Putih di segenap tempat,
mempercepat bergolaknya semangat revolusi yang keras mengguntur, dan setiap
tetes darah yang mengalir dalam memperjuangkan kehormatan negaranya yang telah
Merdeka, menambah dalamnya api kemarahan terhadap kaum reaksioner. Dengan tidak
ragu dan gugup lagi, bergolaklah roda revolusi sehari demi sehari, bahkan sejam
demi sejam, dan akhirnya berputar secepat kilat, hingga setiap menit dan detik
baktu yang dilalui revolusi berputar dengan secapat-cepatnya.
Demikianlah
roda Nasionale Revolusi bangsa Indonesia mulai bergolak, beraksi, membadai,
mengguntur di segenap persada tanah ait, hingga jiwa dan raga yang
dipertaruhkan untuk kemenangan menjadi jalan yang utama dan suci di segenap
dana rakyat. Dengan tidak ayal lagi, Kota Bandung mengembangkan layarnya dalam
gelombang revolusi yang besar itu. Dan pemuda menjadi pelopor utama geraknya.
Akhirnya Nasionale
Revolusi Bergolaklah!
Luka-luka
parah pada pemuda perjuangan bangsa, yang terdiri dari Pemuda Republik
Indonesia (PRI), BKR, Angkatan Muda Indonesia dan Hizbullah, karena insiden
antara rakyat yang baru merdeka dengan “bangkai” imperialis-fasis Jepang
semenjak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal
17 Agustus 1945, pada tanggal 10 Oktober 1945 sebagai akhir insiden itu, belum
sembuh.
Menegakkan
Sang Merah-Putih dengan mengalirkan darah para pemuda di seluruh gedung-gedung
besar dan kecil di Kota Bandung menggerakkan hati orang yang melihatnya. Ujian
yang maha dahsyat kepada keteguhan hati dan tekad para pemimpin rakyat, yang
selama ini terkemuka di setiap langkah masyarakat memberi corak kepada jiwa
pemuda revolusioner.
Bapak-bapak
pergerakan mendapat ujian yang maha besar. Darah revolusi memenuhi segenap
darah pemuda bangsa. Riak gelora masa membubung mendampar di pantai revolusi,
bergelora di segenap dada dan jiwa pemuda. Berontak serempak, sependirian,
dishati. Suara hati yang tetap merdeka, melafazkan kalimat “Merdeka” di setiap
mulut rakyat. Akhirnya, kaum revolusi menang, bapak-bapak perjuangan yang
sempat ragu-ragu dan belum dapat menetapkan haluan, kalah.
Rakyat
geliisah resah. “Bangkai” fasis Jepang masih berkuasa, segala usaha negara
diobrak-abriknya. Memang mereka mendapat perintah dari Inggris supaya kekuasaan
Jepang harus dikembalikan sebagaimana sebelum Jepang menyerah, agar Inggris
dapat menguasai keadaan sepenuhnya, dan nanti diserahkan kepada Belanda.
Pertempuran
besar-besaran berlangsung antara Rakyat dan “bangkai” fasis Jepang itu. Tapi
akhirnya Jepang insyaf bahwa perbuatannya sia-sia belaka.
Dalam
pertentangan yang demikian hebat dan dahsyat antara Rakyat dan “bangkai” fasis
Jepang itu maka datanglah pasukan Inggris dan India atas nama Serikat ke Kota
Bandung, yang katanya, untuk melucuti Jepang dan mengurus tawanan perang yang
terlinkung dalam APWI.
Kedatangan
tentara pendudukan Serikta itu diterima oleh Rakyat dengan curiga dan
keragu-raguan. Tapi karena telah ditetapkan oleh pucuk Pemerintahan Republik
Indonesia maka tentara Inggris itu disambutlah dengan segala senang hati.
Beberapa hari
berselang...
Tentara
Jepang tetap saja sombong. Mereka tetap hendak berkuasa dan mengganggu keamanan
dalam kota. Residen Priangan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia tidak dianggap oleh Jepang. Dengan berbagai jalan dilakukannya
perampasan-perampasan dan penggedoran. Akhirnya beberapa insiden terjadi di
sana-sini.
Inggris
mulai memakai orang-orang Belanda untuk pegawainya. Keadaan bertambah kusut.
Bangsa Belanda yang mulai diberi kerja oleh Inggris lebih sombong daripada
waktu yang lalu. Orang-orang Jepang yang selama ini menindas dan menghinakannya
dirapatinya untuk menguasai bangsa Indonesia. Beberapa urusan dan perhubungan
antara tentara Serikat dan Republik
Indonesia yang semula berjalan baik dirusak dan diganggu oleh Belanda. Berbagai
fitnah dan pengaduan dibikin-bikin oleh Belanda kepada Inggris, hingga tentara
Inggris diperkuda-kudakan Belanda untuk menguasai Kota Bandung.
Keadaan
semakin genting. Pasukan-pasukan Rakyat tidak percaya atas bujukan-bujukan
Inggris, dan terus memperkuat latihan dan barisannya serta siap sedia untuk
menunggu segala kemungkinan.
Kejadian
Kota Surabaya menjadi cermin perbandingan yang tepat bagi rakyat, dan
kemungkinan-kemungkinan banyak sekali bahwa Inggris akan berbuat demikian pula
di Kota Bandung atas kehendak Belanda.
Udara
semakin mendung. Rakyat sehari demi sehari bertambah gelisah. Inggris tetap
hendak berkuasa saja. berbagai-bagai kehendak dan permintaan di tuntutnya
dengan ancaman-ancaman kekerasan. Bagaimana jua pun lemmah-lembutnya Pemerintah
Republik Indonesia meminta terhadap Inggris agar jangan ada insiden-insiden,
namun rupanya Inggris senantiasa mencari-cari terjadinya insiden-insiden dengan
Indonesia. Segala perjanjian Inggris dengan Pemerintah Indonesia tentang
pemasokan sayuran dan bahan makanan lain untuk APWI senantiasa dirusak, bahkan
dicari jalan untuk merusaknya. Di samping itu pihak Belanda menghasut dan
membusukkan pihak Indonesia terhadap Inggris.
Malam
Minggu tanggal 24 November 1945, pergolakan lebih mendahsyat, yaitu sebagai
permulaan pertempuran besar-besaran memasuki tingkatan yang sebenarnya. Suasana
ibukota yang bagus dan dingin, pada malam itu sangat panas, hingg setiap dada
rakyat berdebar-debar menghadapi segala kemungkinan, setelah berbagai kejahatan
dilakukan oleh Gurkha/NICA terhadap rakyat yang tengah ditimpa bahaya alam itu.
Banjir
besar, yang belum pernah dialami oleh Kota Bandung semenjak Cikapundung melalui
lembah datarannya yang makmur dan subur itu, dengan kara Illahi, meluap,
membawa arus yang maha hebat dan dahsyat.
Beribu-ribu
korban, di antaranya beratus-ratus korban jiwa, adalah akibat banjir yang
sangat mengagetkan itu. Rupanya udara Bandung yang sesak memanas itu tidak
dapat didinginkan oleh air yang meluap dan mengalir deras di sepanjang kota,
bahkan saat banjir yang dialami tersebut, dipergunakan oleh musuh kemanusiaan,
ialah NICA/Gurkha, untuk menembak orang-orang yang sedang menderita itu.
Baru sehari
setelah banjir menghebat dengan dahsyatnya itu berhenti, dan ketika rakyat belum
sanggup menyelesaikan segala kesusahan dari timpahan bencana alam tadi, yaitu
tanggal 27 November 1945, Inggris mengeluarkan ultimatumnya secara penghinaa.
Kota Bandung sebelah utara jalan kereta api, dikuasai oleh Inggris, dengan
tidak menyatakan batas-batas sebelah utara itu. Batas yang tentu hanya menurut
kemauan Inggris semata-mata, sehingga Lembang pun diterobos oleh kaki tangan imperialis
NICA.
Inggris
–atas nama Serikat—harus menyingkirkan Jepang dari daerah Lembang dan lainnya,
karena hal itu adalah kewajiban Inggris. Sebab itu, Inggris harus menguasai
daerah utara Kota Bandung, guna penyingkiran Jepang!
Baik! Kata
pihak Indonesia. Tapi pihak Indonesia sendiri yang akan mengangkutnya melalui
Wanayasa, Purwakarta dan Padalarang.
Tidak! Kata
Inggris. Pembawaan Jepang harus oleh mereka sendiri, dan harus melalui jalan
Lembang. Dan Inggris tidak akan minta tolong dalam hal itu kepada pihak
Indonesia, karena hal itu adalah hak dan kewajibannya.
Tidak bisa!
Kata pihak Indonesia. Sebab kalau demikian berarti merusak batas-batas
pertahanan kita di bagian utara Kota Bandung yang kita kuasai.
Harus! Kata
Inggris, sambil melepaskan tembakan-tembakan dan menghujankan peluru-peluru
mortir dan granatnya yang gemuruh. Dentuman yang hebat itu adalah latihan, kata
Inggris kepada rakyat Indonesia di sebelah selatan, dan tidak perlu takut
apa-apa. Dari saat itu mulailah insiden yang sebenar-benarnya antara tentara
Inggris/NICA dan Rakyat Indonesia. Provokasi NICA semakin hebat sedang kaki
tangannya yang berupa gangster dan ekstrimis serta kaum perampoknya meraja-lela
kian-kemari di dalam kota.
Sementara
itu pesawat udara Inggris mondar-mandir antara Jakarta dan Bandung mengirimkan
balabantuan yang besar-besaran. Para evakues diangkatnya dari Bandung ke
Jakarta, dan dari Jakarta diangkutnya tentara sebanyak-banyaknya. Konvoi-konvoi
Inggris/Belanda datang berturut-turut ke Bandung untuk persiapan besar-besaran
guna mempertegakkan kembali imperialis Belanda. Plan Belanda dengan bantuan
Inggris hendak menguasai seluruh Jawa Barat paling lambat dalam bulan Januari
1946 dan kemudian akan menguasai seluruh Jawa dalam bulan-bulan berikutnya.
Udara
mendung. Rakyat yang gelisah meliputi seluruh kota yang dingin dan nyaman
hawanya itu. Kota Bandung, Paris van Java, laksana hendak tenggelam di
angan-angan, ditambah oleh hujan yang turun terus-menerus laksana air yang
dicurahkan dari langit.
Jenderal
Mac Donald, Panglima Tertinggi Inggris di Bandung, “memerintahkan” Gubernur
Republik Indonesia Provinsi Jawa Barat Pt. Soetardjo untuk menghadap kepadanya
di salah satu tempat di Kota Bandung sebelah utara.
Pada
tanggal 27 November 1945, jam 2 siang, perintah itu dikeluarkan. Gubernur
Republik harus datang kepadanya dengan bendera putih di atas mobilnya dengan
diantar oleh tentara Inggris. Gubernur diterima di Markas Besar Tentara
Inggris. Dengan sombong Mac Donald memberika satu ultimatum kepada Gubernur, di
mana dinyatakan bahwa penduduk bangsa Indonesia yang berdiam di daerah sebelah
utara Kota Bandung dari jalan kereta api harus meninggalkan tempat dan rumah
selambat-lambatnya pada tanggal 29 November 1945 jam 12 siang. Jaitu 48 jam
diberikan tempo untuk menyingkir kepada penduduk yang berjumlah 130.000 jiwa.
Penduduk yang masih kedapata setelah tempo yang ditentukan akan ditangkap dan
siapa yang bersenjata akan ditembak mati.
Sungguh,
satu tamparan yang sepahit-pahitnya bagi Pemerintah Republik Indonesia, dan
satu penghinaan yang nyata terhadap kedaulatan negara yang masih muda itu.
Dengan segala kesedihan, Gubernur mengumumkan
ultimatum yang menghinakan itu kepada rakyat. Rakyat menyambutnya dengan hati
yang mendidih karena kemarahan. Di sana-sinikebecian timbul kepada sikap
Inggris yang tidak patut itu. Jika maksud Inggris hanya hendak menjalankan
kewajibannya sebagaimana yang diamanatkan oleh Serikat kepadanya, maka tidaklah
mungkin Inggris akan berbuat demikian. Dan pastilah sudah bahwa kemauan Inggris
adalah hendak membantu pengembalian penjajahan Belanda atas Indonesia. Rakyat
merasakan hal itu dan timbullah kebencian yang sangat memuncak di setiap dada
rakyat umum.
Jarum jam
berjalan terus. Tanggal 27 telah tenggelam dan tanggal 28 November 1945 timbul.
Kira-kira jam 4 sore hari itu, kedengaran ribut yanga tidak putus-putus di
sebelah utara yang diminta Inggris. Beberapa gerombolan Belanda totok dan Indo
menyerbu ke rumah-rumah kepunyaan bangsa Indonesia. Perampokan bersimaharaja
yang terdiri dari gangster dan ekstrimis Belanda yang telah mabuk pertuanan.
Kebuasan-kebuasan mereka berjalan sampai tanggal 29 November 1945. Di beberapa
tempat mulai terjadi penahanan pada rakyat atas tindakan gangster-gangster
Belanda itu yang dibantu oleh tentara Gurkha di bagian utara. Beberapa kampung
Indonesia diserang. Rakyat yang tidak teratur mempertahankan diri dan hartanya
dari perampokan, serangan serta gedoran-gedoran yang tak mengenal
perikemanusiaan itu. Sementara itu tentara Inggris menghamburkan mortirnya yang
bertalu-tau dan menyebabkan korban rakyat yang tidak berdaya, isimewa
anak-anak. Kaum perempuan dan orang-orang tua. Dalam hari-hari itu, beberapa
desa telah menjadi korban keganasan, kebinatangan, di antaranya Haurpancuh,
Cihaur geulis, Sekeloa, Sadangserang dan Sadang Saip. Beribu-ribu jiwa
melayang, beratur-ratur rakyat yang luka-luka disebabkan akibat keganasan
tentara Inggris itu.
Semenjak
itu, setiap hari senantiasa terjadi pertempuran-pertempuran yang memakan korban
jiwa dan harta yang tidak sedikit. Rakyat yang tetap hendak mempertahankan
kemerdekaannya terus-menerus mengadakan perlawanan yang tiada kunjung padam,
dan senantiasa setiap warga negara Republik Indonesia siap-sedia berkorban
untuk kemerdekaan negaranya, yang dipaksa oleh Inggris dengan tiada
malu-malunya memuntahkan segala kekuatannya, yang selama Perang Dunia II
dipakai mereka dalam mengalahkan kekuasaan fasis Jepang, Jerman dan Italia.
Semain hari
tentara Inggris semakin mengganas dan pada tanggal 5 Desember 1945 Inggris
melepaskan pesawat udaranya dengan penuh muatan bom dan senapan mesin. Daerah
selatan Kota Bandung yang telah padat oleh rakyat karena desakan yang dilakukan
padanya di sebelah utara, dihujani dengan bom. Dalan Lengkong Besar menjadi
korban keganasan Inggris. Berpuluh-puluh bom yang besar-besar dihujankan ke
kampung-kampung pendudu dan beribu-ribu patroon senapan mesin dimuntahkan,
dengan diiringi pula oleh peluru-peluru mortir yang bertalu-talu.
Keganasan
yang di luar perikemanusiaan itu disambut rakyat dengan tenang, sambil
membulatkan tekadnya bagi tanah air yang dicintainya. Baru dalam tiga haris,
korban dapat dihitung seperti demikian: 311 rumah dan gedung rusak terbakar,
119 jiwa mati (di antaranya tidak ketahuan mayatnya), 82 orang luka berat, dan
159 orang luka enteng. Sekitar 90 persen korban terdiri dari kaum perempuan,
anak-anak dan orang tua. Ini belum terhitung berpuluh-puluh rumah dan gedung
yang ada di daerah utara, disebabkan gangster NICA dan kejahatan tentara
Gurkha/Inggris. Lebih dari 100.000 jiwa rakyat yang meninggalkan tempat
tinggalnya, disebabkan penganiayaan NICA dan tentara Gurkha/Inggris dari daerah
utara, selain yang pindah dengan selamat ke sebalah selatan kota itu. Semua
penduduk yang menyingkir itu telah mengorbankan segala harta dan kekayaannya.
Setiap saat
ketenteraman rakyat terganggu. Segenap tingkah laku gangster Belanda totok dan
Indo lebih menyakitkan hati rakyat. Tindakan sewenang-wenang yang dilakukan
oleh pihak Belanda dilindungi oleh Inggris dan Gurkhanya, sedang orang Jepang
digunakan untuk melakukan perbuatan mata-mata terhadap rakyat Indonesia dengan
melalui bunga raya di jalanan yang menjadi piaraan Jepang.
Kantor-kantor
penting kepunyaan Republik Indonesia dirampok dengan hebatnya. Di antara
kantor-kantor negeri yang hancur ialah Balai Kota, kantor Keresidenan, Kantor
Pos Pusat, Kantor Telegram dan Telepon, Kantor Pusat Pekerjaan Umum, dan Kantor
Tambang Negeri. Berapa kerugian yang dialami oleh negara Republik Indonesia
sampai kini belum dapat dipastikan dengan angka-angka.
Penyelidikan
yang terakhir telah menunjukkan korban berikut: di wilayah utara Kota Bandung,
tercatat 21 orang mati, 11 orang luka parah, dan 46 orang luka enteng.
Sedangkan di wilayah selatan tercatat 98 orang mati, 71 orang luka parah, dan
113 orang luka enteng. Jumlah korban terban tersebut termasuk perempuan,
anak-anak dan orang tua. Rumah-rumah yang hancur dan rusah di wilayah selatan
Kota Banudng mencapai 487 buah. Semua ini belum terhitung jumlah yang dirampok
oleh Belanda-Gurkha yang berupa perabot-perabot rumah tangga yang ditinggalkan
oleh ratusan keluarga.
Dengan
demikian ternyatalah bahwa pekerjaan Inggris di Indonesia itu bukan untuk
melucuti senjata Jepang dan mengurus APWI. Tapi, mereka membikin kekacauan demi
keuntungan politik imperialis Belanda semata dan kewajiban yang dipasrahkan
Serikat kepada Inggris menjadi alasan saja buat maksud yang tidak jujur dalam
percaturan politik.
Saat-saat
yang berlaku, menetapi segala takdir Illahi kepada peredaran dan perputaran
semesta alam. Kota Bandung sedang mengalami bencana alam, tentara Inggris dan
gangster Belanda yang tak mengenal perikemanusiaan menembak dan membunuh bangsa
Indonesia.
Belum cukup
satu pekan sebelum ultimatum Inggris yang kejam dan yang mengakibatkan bencana
besar bagi bangsa Indonesia itu berlaku, Kota Bandung ketimpa bahaya alam.
Kota
Bandung yang molek itu terbagi dua oleh Kali Cikapundung. Telah berabad-abad
lamanya, bahkan sebelum Kota Bandung menjelma menjadi kota yang penting, Kali
Cikapundung telah mengalir, menuju ke muaranya, berdendang, bernyanyi, membawa
kotoran yang tak kunjung habis. Di pinggir-pinggir Kali Cikapundung itu
beratur-ratus rumah dan gedung yang molek berdiri dengan megahnya laksana
raksasa merenungi sungai.
Sepekan
sebelum ultimatum Inggris itu berlaku, pada waktu tengah malam, dengan
sekonyong-konyong Kali Cikapundung itu membanjir. Peristiwa yang belum pernah
terjadi, sebagian Kota Banudng terbenam, berpuluh-puluh perusahaan terendam di
bawah lumpur yang dihanyutkannya, beratur-ratus jiwa hanyut dan tidak diketahui
bangkainya, disebabkan karena banjir yang mengalir demikian deras.
Kota
Bandung yang sedang dalam ancaman yang mahaganas dari pihak kaum imperialis
Belanda dengan sokongan tentara pendudukan Inggris bermandikan air yang tidak
diinginkannya. Bendungan yang teguh kuat terdampar dengan tidak
disangka-sangka, dan menurut penyelidikan, banjir itu akibat provokasi Belanda,
yang mengirimkan mata-matanya untuk menghancurkan bendungan Cikapundung di
sebelah utara Kota Bandung di waktu hujan turun terus-menerus sehari semalam
tiada henti.
Alangkah
rendahnya budi Belanda NICA yang tak mengenal perikemanusiaan itu mengambil
saat yang tidak disangka-sangka, membikin banjir sehebat itu, sehingga korban
anak-anak dan kaum perempuan tidak terkira banyaknya.
Sungguh mengerikan
sekali!
Ketika air
meluap dan mengalir demikian deras, ketika matahari mulai terbit, Belanda NICA menjaga
di seluruh tempat yang tertinggi, dan menembak-nembak rakyat yang sedang
menolong kaum keluarganya yang hanyut terbawa banjir.
Pertolongan
yang dilakukan oleh para pemuda satria, oleh golongan Palang Merah Indonesia,
oleh Polisi dan badan-badan perjuangan lainnya diganggu oleh Belanda dengan
tembakan-tembakan yang mengerikan.
Berpuluh-puluh
pemuda korban karenanya. Sedangkan di pihak Gurkha pun menembak ke pihak
Indonesia yang tengah ditimpa celaka itu. Pertolongan yang telah siap-sedia dan
yang dapat mengurangi korban jiwa dan harta rakyat disambut oleh NICA/Gurkha
dengan peluru senapannya yang menimbulkan banyak korban. Berapa besarnya
kecelakaan yang diderita oleh rakyat, disebabkan penembakan-penembakan
Belanda/Gurkha dengan kejamnya, ini belum pernah terjadi dalam riwayat
kemanusiaan.
Semua itu
menanamkan bibit kebencian yang tiada tara di setiap dada bangsa Indonesia, dan
menambah dendam yang tidak kunjung padam di segala saat dan masa.
Waktu yang
telah dilalui, semenjak pendudukan Inggris, rakyat Bandung sangat menderita
kesengsaraan. Setiap hari pasar sayur diserbu Belanda/Gurkha dengan segala
keganasan dengan bantuan Jepang yang tidak sedikit mengalirkan darah rakyat
jelata.
Di
sana-sini di dalam kota timbul penganiayaan-penganiayaan yang sewenang-wenang
oleh musuh kemerdekaan. Tidak seorang pun yang akan lega hatinya melihat
perbuatan binatang yang dilakukan kepada rakyat Indonesia.
Dari hari
ke hari, pelanggaran dan penghinaan terhadap Republik Indonesia oleh
NICA/Gurkha dan kaki-tangannya, bertambah hebat, sehingga menimbulkan kekacauan
yang tidak sedikit membawa korban. Kebencian yang meluap-luap dari rakyat
lama-kelamaan menjadi kenyataan yang tidak dapat disabarkan lagi. Segala kekuatan
dikumpulkan untuk mempertahankan negara yang sedang mendapat serangan
sewenang-wenang dari kaum penjajah.
Demikianlah,
setelah Bandung Utara diserahkan Pemerintah Republik Indonesia secara damai
kepada Inggris, sekalipun telah memberikan korban yang tidak sedikit atas harta
dan jiwa rakyat, maka insiden kecil-kecilan antara tentara pendudukan/Belanda
dan rakyat Indonesia yang baru terlepas dari cengkeraman dan tindakan fasis
Jepang bertambah ramai. Dentuman senapan dan mortir setiap hari kedengaran dari
kedua belah pihak.
Pada
tanggal 6 Desember 1945, Pemerintah Republik Indonesia dari Pusat Jakarta
mengirim utusannya yang terdiri dari Menteri Penerangan Mr. Amir Sjarifoeddin
yang didampingi oleh Natsir dan Sjafroeddin dari Dewan Pekerja KNIP Pusat ke
Bandung. Ketiga utusan Pemerintah
Republik itu disambut dengan sukacita oleh segenap rakyat dan dilakukanlah
perhubungan dengan para pemimpin dan pemerintah daerah Priangan dan Gubernur
Jawa Barat.
Tuan
Aroedji Kartawinata yang ketika itu memegang kendali segenap pertempuran di
Bandung pun ditemui oleh utusan Pemerintah Republik tersebut. Sehingga,
tercapai persetujuan yang dapat menjaga baiknya perhubungan antara Republik
Indonesia dan tentara pendudukan.
Keinginan
damai dari Republik Indonesia diamanatkan bernar-benar oleh Menteri Amir kepada
segenap pemuka rakyat, bertempat di Kabupaten Bandung. Perjuangan revolusi
bangsa Indonesia yang mulai menggelora dialirkan dengan cara yang
sebaik-baiknya.
Waktu itu
Menteri Amir pun berpidato di depan coorong Radio Republik Indonesia (RRI),
memberikan tuntunan yang baik terhadap rakyat serta menerangkan cita-cita damai
dari Republik.
Dalam
beberapa hari berbagai perjanjian dituruti oleh Inggris namun tidak berapa
lama. Dan atas desakan ekstrimis Belanda NICA keadaan pun menjadi kacau.
Pada
tanggal 21 Desember 1945, jam 05.00, markas perjuangan rakyat di Cicadas
sekonyong-konyong diserbu oleh Gurkha, atas hasutan Belanda yang tidak berani
mendatanginya. Oleh sebab Pasukan Rakyat yang tidak mengganggu apa-apa diserbu
secara sewenang-wenang itu, kama timbul perlawanan yang maha dahsyat dari pihak
Rakyat. Lantaran kuatnya pertahanan rakyat, di luar darah Inggris yang tidak
patut menjadi soalnya Inggris sendirian, maka Gurkha terpaksa mengundurkan
dirinya dengan meninggalkan korban yang tidak sedikit.
Kira-kira
jam 13.00 hari itu datanglah tiga bomber Inggris melayang-layang di udara
Cicadas. Pesawat itu menyerang dengan hebatnya dan menjatuhkan sekitar 120 bom
besar-kecil, di antaranya beberapa buah bom yang beratnya 250 pond. Dengan
tidak mengindahkan bendera Tiongkok yang berkibaran di semua rumah dan gedung
bangsa Tionghoa, mereka menyerang tempat-tempat di mana rakyat sedang ramai di
pasar. Sekitar Pasar Cicadas berlobang-lobang yang akhirnya menimbulkan
telaga-telaga air yang menegakkan bulu roma.
Menurut
laporan Pemerintahan Kota bersama Badan Pekerja KNI Bandung, korban yang
disebbakan pemboman Inggris tersebut sebagai demikian:
Jumlah
rumah dan gedung yang hancur rata dengan tanah sebanyak 335 buah dan yang rusak
besar 50buah. Sedangkan korban jiwa 60 orang bangsa Tionghoa dan 16 orang
bangsa Indonesia. Jumlah yang menyingkir akibat pemboman itu sekitar 800 orang,
di antaranya ada 1500 orang yang tidak mempunyai rumah.
Di
tengah-tengah Pasar Cikapundung tampak dua lubang besar dengan diameter sekitar
15 meter dan kedalaman 4 meter. Lobang-lobang yang lebih kecil kelihatan di
sekitar tempat itu, sedangkan rumah-rumah di sekitar pasar habis terbakar
menjadi abu. Taksiran kerugian mencapai lima juta rupiah. Kantor Kawedanan
mendapat kerusakan pula. Orang-orang sakit terpaksa dipindahkan ke Cicaheum dan
anak-anak yatim yang dipelihara dibawa ke rumah penjara Sukamiskin.
Dengan
mempermainkan jiwa rakyat Indonesia, Inggris telah melakukan tindakan-tindakan
yang memberikan keuntungan bagi imperialis Belanda. Adakah sesuatu bangsa yang
telah bulat tekadnya untuk merdeka, dapat diperlakukan demikian rupa oleh si
penjajah?
Tidaklah
umum, bahkan dunia dapat menyetakan pendiriannya, bagaimanakah perasaan yang
terkandung dari rakyat yang pemerintahnya masih muda itu atas perlakuan yang
begitu ganas ditimpakan orang kepadanya? Mungkinkah sesuatu bangsa dapat
menyabarkan dirinya atas kekejaman yang ditimpakan kepadanya, untuk kemenangan
politik penjajahan yang laknat itu? Tidak mungkin! Pastilah bangsa yang
dianiaya dengan sewenang-wenang itu akan menaruh dendam. Pastilah bangsa-bangsa
yang berpihak kepada kaum penjajah dan penindas itu akan dibenci dan didendam
bangsa yang teraniaya dan diserang.
Demikianlah
permulaan segala kejadian di Bandung yang telah menggerakkan segala keberanian
rakyat untuk mempertahankan haknya. Akhirnya Kota Bandung yang cantik itu
menjadi lapangan pertempuran dan peraduan senjata, antara penjajah Belanda yang
dibantu Inggris dan Rakyat Indonesia yang mengguntur, menggeledek, laksana
badai dan topan.
Ripayat
Kota Bandung yang telah berabad-abad lamanya itu dibangunkan oleh imperialis/kapitalis
Belanda, sekarang berakhir, dan kini akan memulai riwayatnya pula dalam suasana
merdeka yang sepenuh-penuhnya.
Bandung
yang berbentuk penjajahan tentu akan hancur, dan biarlah kita hancurkan hingga
rumah penghabisan, karena kita sekarang hendak membangunkan Kota Bandung dan
merdeka dengan serba kegagahannya. Daripada Bandung di tangan penjajah lebih
baik ia tenggelam kembalimenjadi sumur Bandung.
Demikianlah
Bandung memulai riwayatnya yang besar, karena ia hendak dijadikan kuburan
imperialis/kapitalis yang telah menodai kehormatannya beberapa abad yang silam.
Permintaan
Inggris kepada Pemerintah Republik Indonesia agar daerah utara Kota Banudng
diserahkan kepadanya, guna menjalani kewajiban mereka, berkenaan dengan
perlucutan senjata Jepang dan mengurus APWI dikuasainya, terkabul. Republik
Indonesia senantiasa menunjukkan goodwill-nya
kepada tentara Inggris itu. Bagaimana pun pahit-getirnya perlakuan Inggris,
tetaplah mereka diperlukan sebaik-baiknya oleh Republik Indonesia.
Tapi sayang
sekali, maksud hendak damai dari Pemerintah Republik Indonesia itu disambut
dengan cara yang curang. Pihak NICA yang dilindunginya mendapat
kemenangan-kemenangan dalam politik penjajahannya. Daerah yang telah diambil
Inggris dengan seizin Republik Indonesia untuk melakukan kewajiban yang
dipikulkan Serikat kepadanya kemudian diserahkan kepada imperialis Belanda. Mereka
meminta atau merebut salah satu daerah Republik dengan damai atau kekerasan
adalah semata-mata untuk memperkuat kedudukan imperialis Belanda, sekalipun
maksud Inggris –katanya—untuk mendamaikan pertikaian politik antara Belanda dan
Indonesia.
Sungguh
sayang sekali! Kekuatan yang demikian hebat dari salah satu kerajaan besar di
dunia yang menang dalam menghancurkan fasis-nazi Jepang, Italia dan Jerman,
digunakannya untuk menindas kemerdekaan Indonesia, dan membantu imperialis
Belanda menjajah kembali Indonesia.
Sehari demi
sehari antara daerah Inggris dan daerah Indonesia senantiasa timbul
insiden-insiden di perbatasan jalan kereta api dari timur sampai ke barat.
Provokasi NICA terus-menerus berlaku dengan tidak dapat rintangan dari Inggris.
Pemuda-pemuda
Indonesia diculik dan banyak yang dianiaya. Beberapa kaum kolaburator Jepang
dipakai Belanda untuk kaki tangannya. Bangsa Tionghoa dan bekas anjing-anjing
Kempei Jepang dipergunakannya untuk merusak ketenteraman umum.
Setiap hari
ada saya mayat terlentang sebagai akibat kekejaman gangster Belanda NICA, dan
penduduk Cimahi terus-menerus diganggu oleh tentara ekstrimis dan gangster NICA
yang terdiri dari kaum Indo, anak kolong di zaman serdadu penjajahan Belanda
dan sejumlah NICA inlander.
Tidak
seorang pun yang dapat menahan hati atas segala perbuatan yang terkutuk itu,
dan lama-kelamaan api kemarahan sama meluap di kalangan rakyat. Rakyat mulai
meninggalkan rumah tangga dan halamannya dan kemudian para pemuda terjun ke
dalam Tentara Republik Indonesia atau memasuki pasukan-pasukan perjuangan
rakyat untuk menghadapi segala kemungkinan.
Bangsa
Jepang tetap digunakan Belanda untuk menindas keamanan. Van Mook ingin supaya
Jepang tetap di Indonesia dengan maksud agar mereka dapat digunakan untuk
menundukkan bangsa Indonesia.
Inggris
bungkam atas tindakan Belanda demikian. Kepana tidak? Inggris datang ke
Indonesia untuk melucuti Jepang dan mengembalikan mereka ke negerinya. Tapi
Belanda menahannya sebab perlu untuk “penasihat” imperialis Belanda guna
menegakkan jajahannya kembali di Indonesia. Juga orang Jepang disuruh Belanda
memberi pelajaran kepada tentaranya untuk melakukan perang gerilya, dan
beberapa orang Jepang dipakainya untuk memberikan petunjuk untuk pemerintah
bangsa Indonesia.
Tentara
Jepang digunakan Belanda memelopori pertempurannya dengan rakyat Indonesia di
berbagai daerah pertempuran.
Cara
Belanda melakukan penyerangan sama dengan caranya Jerman memasuki Nederland
pada permulaan Perang Dunia, dan Belanda pun telah menggunakan taktik Jepang
dalam bertempur dengan rakyat Indonesia. Sistem nazi Jerman dan fasis Jepang
diolah sedemikian rupaoleh Belanda NICA untuk menyerang Indonesia dan
memperlakukan tawanannya secara Jepang.
Pada
hakekatnya tindakan Belanda di Bandung itu demikian rupa, sebab penduduk
Belanda di Bandung di zaman penjajahan Belanda adalah satu-satunya pusat
gerakan nazi Belanda yang bernama NSB. Gerakan itu sebenarnya telah meliputi
seluruh bangsa Belanda di Indonesia dengan semboyan “Nederland Uber Alles”.
Selama
penjajahan Belanda di Indoesia, pada hakekatnya pemerintahan nazi yang berlaku,
dan kaum NSB lah yang berkuasa. Oleh sebab itu, manakala perlakuan Belanda di
Bandung lebih kejam daripada daerah-daerah lain di mana mereka mendapat
kesempatan, kita tidak perlu tercengang. Serentak mereka keluar dari penindasan
(kamp) Jepang, dan sebagian ada yang membantu [emerintahan Jepang yang telah
beratus-ratus anak yang bapaknya bangsa Jepang, maka mereka dengan senjata di
tangan mengganggu keamanan dan merampok rumah dan harta benda rakyat di bawah
perlindungan Inggris.
Satu yang
terdiri dari orang Jepang disuruh Belanda melakukan penyelidikan politik, dan
beberapa agen Belanda yang terdiri dari bangsa Jepang dilepaskan ke
daerah-daerah Indonesia. Staf yang megurus hal-hal politik itu dikepalai oleh
Prof. Murakami, yang selama aliran politik Jepang berubah terhadap Indonesia,
dia diperbantukan kepada Jawa Hookoo Kai Hunbu, dengan maksud melakukan
pengawasan kepada para pemimpin Indonesia yang bergerak di bawah tanah.
Dia adalah
seorang Profesro dalam bahasa Indonesia, dan mengerti akan adat-istiadat bangsa
Indonesia, sebagai Van der Plas bagi imperialis Belanda.
Staf itu
memakai beberapa orang bangsa Tionghoa dan Inlander, di antaranya Moesa
Kartalegawa bekas Kentyo Garut, yang telah bersumpah setia terhadap kerajaan
Dai Nippon. Pekerjaan yang terpenting bagi staf tersebut ialah bagaimana
memadamkan revolusi bangsa Indonesia agar penjajahan Belanda kembali ke
Indonesia.
Menurut
keterangan seorang Jepang yang mempunyai hubungan rapat dengan Profesor itu,
bahwa segala orang Jepang yang dipekerjakan Belanda dalam staf politik tersebut
dijanjikan akan dlindungi hidupnya, dan kelak apabila Belanda telah berkuasa
pula, orang-orang Jepang itu akan diberi konsesi dalam hal perkebunan dan
penanaman ulat sutera di Jawa.
Selain itu,
beberapa orang Jepang disuruh memasuki daerah Indonesia yang berslimut hendak
membantu pergolakan bangsa Indonesia, di antaranya mengadakan gerakan Kipas
Hitam, dan nanti segala laporannya diberikan kepada Belanda, maksudnya supaya
Belanda dapat membikin alasan agar dunia mengakui kebenaran tuduhan Belanda
bahwa fasisme Jepang meluas di Indonesia.
Semua itu
adalah tipu daya dari imperialis Belanda, tetapi segala itu diketahui oleh
Bangsa Indonesia, dan orang-orang Jepang dilarang memasuki daerah Indonesia,
dan jika perlu, dilawan.
Tetapi hal
itu menjadikan akibat pula, bahwa dengan alasan itu orang-orang Jepang disuruh
mengambil bangsanya yang telah ditawan rakyat Indonesia itu dengan kekerasan
senjata. Hal itu pun menimbulkan pertempuran yang berkali-kali pula.
Pendek
kata, provokasi NICA adalah satu-satunya cara Nazi dan Fasis yang amat celaka,
dan dunia dibohonginya, bahwa mereka hendak menghapuskan fasisme di Indonesia.
Angkatan
Muda Tionghoa yang dipimpinan oleh seorang Tionghoa, bekas pembesar Kempei
Jepang di Bandung, dipersenjatai oleh Belanda untuk menggedor rumah-rumah
bangsa Indonesia. KolaboratorJepang yang terdiri dari bangsa Tionghoa dan
Inlander dipakai Belanda guna menyerah bangsa Indonesia di setiap lapangan
masyarakat, sekurang-kurangnya mengadakan provokasi di kalangan rakyat jelata.
Beberapa
perempuan lacur diberi senjata oleh Belanda sebagai mata-matanya, dan
perempuan-perempuan celaka ini menembak-nembak para patriot Indonesia di
belakang garis pertempuran, dan menunjukkan tempat-tempat kumpulan pada pemuda.
Bajingan-bajingan
yang tentu ada di setiap bangsa dipersenjatai Belanda pula untuk mengadakan
huru-hara.
Tidak salah
bila kita katakan bahwa Belanda mengambil segala jalan untuk mencelakakan
bangsa dan negara Republik Indonesia ditujukan kepada satu cita-citanya, bahwa
Belanda “haurs” berkuasa lagi di Indonesia sebagai staus quo yang didapatnya
pada ketika sebelum perang.
Singkat
kata imperialisme harus menindas bangsa Indonesia kembali, bagaimana pun bentuk
dan coraknya. Bahkan jika perlu maulah mereka menamai penjajahan yang akan
dikembalikannya itu dengan nama yang semanis-manisnya didengar dunia. Tapi
rakyat Indonesia tetap satu tekad, yaitu merdeka dan tetap mempertahankan
kemerdekaan, yang telah diperolehnya dengan bermandi darah, bertimbun bangkai
dan berputih tulang.
Ah, tidak
mungkin! Tekad kita telah bulat. Kemerdekaan negara telah kita proklamirkan
beberapa bulan yang lalu. Satu kali kita nyatakan akan kita pertahankan untuk
selama-lamanya.
Demikianlah
keterangan dari Pengurus Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) di Bandung
ketika ditanya tentang kejadian-kejadian yang sekian bulan diderita rakyat.
Kalimat yang begitu pendek, tegas, memberikan
dorongan yang tidak sedikit bagi rakyat jelata yang dipimpinnya, dan
menggembirakan hati pada pemuda harapan bangsa.
Rupanya
pemuda Bandung tidak lagi mengenal semangat “Peuyeum” sebagaimana yang
dideritanya pada tanggal 10 Oktober 1945
ketika “bangka” Jepang mengharu-birukan rakyat Bandung. Pimpinan baru dan muda
semangatnya telah timbul di dalam pergolakan yang berbulan-bulan lamanya,
semangat pemimpinnya sama membaja.
Revolusi
nasional terus bergolak, beriak, bergelora, mendampar pantai kemenangan. Segala
rakyat siap sedia!
Peluru maut
ditebar di segala pelosok oleh Inggris, sedang sedadu NICA merampas
persenjataan Jepang yang masih ketinggalan di tangan Jepang yang masih segar
bugar, dan menggunakan persenjataan itu untuk menindas gerakan rakyat mencapai
kemerdekaannya. Di mana-mana tempat kedengaran tembak-menembak antara rakyat dan
NICA, dan di sana kelihatan lah bukti bahwa NICA dan Inggris menggunakan
persenjataan Jepang dengan segala peralatannya.
Dari
peluru-peluru mortir yang telah ditembakkan itu dan mengenai gedung-gedung dan
kampung-kampung rakyat, kedapatan ada yang tidak pecah sampai di tujuannya.
Letter Jepang memberi bukti kenyataan pada bekas-bekas tersebut. Dinia tidak
akan dapat memungkiri bahwa Inggris dan Belanda bukan saja telah menggunakan
segala alat persenjataannya, dan Belanda pun memakai prajurit-prajurit Jepang
untuk mengajar tentara Belanda bagaimana melakukan perang gerilya melawan
bangsa Indonesia.
Demikianlah
keadaan hanya di Kota Bandung semakin hari semakin memuncak, dan konvoi
Serikat, yang setiap hari datang dari Jakarta ke Bandung merupakan beratur-ratus
truk tentara yang di belakangnya berlindung tentara Belanda dengan segala
perlengkapannya. Inggris yang dengan terang-terangan melindungi singa
imperialis Belanda untuk menindas segala kemajuan negara Republik dengan segala
kekuatan provokasi dan kekerasan yang dapat digunakannya.
Belanda
mencari jalan agar rakyat Indonesia meluap-luap kemarahannya, dan mencari jalan
pula supaya Inggris dapat menindas segala kemarahan rakyat itu. Lama-kelamaaan,
atas akibat fitnahan dan hasutan Belanda kepada Inggris, dan melakukan
provokasi di kalangan bangsa Indonesia, maka timbullah kebencian rakyat kepada
tentara Inggris, dan kemarahah Inggris kepada rakyat Indonesia. Akhirnya
terbitlah insiden yang tidak berkeputusan antara tentara Inggris dan rakyat
Indonesia, dan sementara itu Belanda memberikan advis kepada Inggris, bagaimana
mestinya Inggris berbuat dengan segala kekuatan yang ada pada Inggris. Para
pemuda Indonesia diculik dan dianiaya, perempuan-perempuan digagahi
kehormatannya, gedung-gedung dan rumah-rumah bangsa Indonesia disuruh dirampok
oleh tentara Belanda kepada Gurkha dengan segala kekejaman.
Sekalipun
pada ketika itu oran Belanda belum seberapa jumlahnya yang dapat bergerak di
Bandung, tapi mereka dapat mengadu-domba Inggris dengan bangsa Indonesia.
Bagi rakyat
Indonesia yang tidak dapat menahan hati, terpaksalah membalas dendamnya atas
perbuatan binatang Belanda itu kepada orang-orang Belanda yang ada di daerah
Republik Indonesia dan menawan bangsa Belanda yang bertindak tidak sepantasnya
atas rakyat Indonesia.
Bangsa
Belanda insyaf bahwa bangsa Belanda yang ada di daerah Republik Indonesia itu,
hanya terdiri dari golongan Indo, tetapi Belanda dengan sengaja mengorbankan
mereka dengan segala provokasi agar mereka dapat menunjukkan alasan kepada
dunia untuk menyerang rakyat Indonesia. Pada hakekatnya pula, ialah politik
yang menjadikan “umpan” bagi kalangan Indo guna keuntungan kaum imperialis
Belanda yang segolongan kecil di Nederland.
Dengan
segala kejadian itu, Kota Bandung menjadi daerah yang tidak aman, bankan
menjadi kota yang bercelaka sekali, sehingga setiap jiwa tidak dapat dikatakan
tenteram setelah NICA melakukan provokasi dengan bantuan persenjataan Inggris.
Sedirinya teranggarlah kedaulatan Republik Indonesia, dan segala bangsa yang
ada di dalam Kota Bandung merasa bahwa mereka hidup di dalam politik Belanda
yang maha busuk.
Daerah
“aman” yang dikehendaki Inggris dengan segala kekerasan itu bukanlah
menciptakan daerah aman, tapi “aman” bagi kaum imperialis dan kapitalis Belanda,
celaka dan maut bagi bangsa Indonesia yang tidak dibolehkan membawa senjata,
sebagaimana akhir ultimatum Inggris yang kelak kita terakan.
Bagi
Belanda yang membonceng di atas segala kekuatan Inggris tidak dapat tidak
menggembirakan mereka, dan jika perlu mau lah mereka (bangsa Belanda) membunuh
segenap bangsa Indonesia, asal saja kekuasaannya sebagai penjajah kembali atas
tanah Indonesia.
Bagi bangsa
Indonesia tidak ada lain jalan untuk mempertahankan kedaulatan negaranya yang
telah merdeka, hanyalah memberikan pengorbanan yang sebesar-besarnya untuk
kebaktian kepada tanah air yang dicintainya.
Di
sekeliling Kota Bandung, yang sedang mengalami bahaya kekerasan penjajahan
Belanda itu, menguning padi pak tani laksana permadani harus mengalimantang di
lapangan wasah yang luas melebar. Pak tani bergembira ria melihat usahanya yang
berhasil demikian rupa, yang baru dialaminya semenjak sekian lama mereka
bernama pak tani. Udara kemerdekaan memberi jiwa yang lain dari yang lain. Baik
bagi pak tani yang mengolah sawahnya maupun bagi tanaman yang diusahakannya.
Rupanya kegembiraan rakyat diberkati Tuhan Yang Maha Esa.
Minggu, tanggal 2 Desember 1945
Hari itu
amat cerahnya. Udara terang benderang.
Kira-kira
jam 10 pagi, beberapa bomber Inggris melayang-layang di angkasa yang putih
bersih. Dengan sewenang-wenang bomber itu menjatuhkan bom-bom yang besar-besar
di sekeliling Lengkong dan Ciateul. Dengan sewenang-wenang mereka menjatuhkan
maut dari udara, sehingga berpuluh-puluh jiwa rakyat laki-laki, anak-anak dan
perempuan menjadi korban.
Alangkah
pedih dan perihnya hati rakyat melihat tindakan yang sewenang-wenang itu,
sehingga meluaplah kebencian yang tiada terkira dan menimbulkan revolusi yang
menggelora dan mendampar di mana-mana.
Bekas-bekas
pemboman Inggris atas nama Serikat itu, yang mengakibatkan kerusakan hebat di
daerah yang dikenainya, dan berpuluh-puluh gedung nan cantik molek menjadi
sasaran bom dan mortir serta yang sukar tandingannya.
Belum habis
kemarahan rakyat tentang pemboman Inggris yang membabi buta itu atas Kota
Bandung, maka pada tanggal 6 Desember 1945, kira-kira jam 7 pagi, mulai pula
pasukan Inggris dengan senjata berat, bersama mobil baja, tank dan rombongan
yang kuat, menyerang rakyat dengan sewenang-wenang, istimewa di daerah
Lengkong, hingga terjadi pertempuran maha dahsyat dan hebat. Senjata modern
yang demikian hebat dan kuat dilawan rakyat dengan alat-alat yang sederhana
sekali, bahkan bambu runcing menjadi alat yang istimewa.
Pihak
Inggris dengan bantuan Gurkha, NICA dan mata-mata melakukan penyerangan yang
sehebat-hebatnya, sedang di udara melayang-layang 6 buah bomber yang senantiasa
melabrak pertahanan rakyat dengan melupakan perikemanusiaan. Tidak dapat kita
lupakan bahwa saudara Zaini pemegang kepala asrama Hizbullah, dengan keberanian
yang tiada tara, melompat ke atas tank baja musuh, untuk mengamuk musuh secara
berani mati, telah gugur sebagai pahlawan Islam yang gilang-gemilang.
Semenjak
perempuran yang dahsyat itu, di mana para pemuda –baik BMP, API, Hizbullah
maupun PRI—banyak yang telah gugur sebagai sumbangan kemerdekaan Tanah Air dan
Agamanya, tidaklah lagi terjadi pertempuran yang besar-besar dalam beberapa
hari lamanya. Hal itu adalah disebabkan Inggris telah mengerti bahwa seluruh
rakyat Indonesia tetap mempertahankan kemerdekaannya, walaupun segenap jiwa
raganya korban karenanya.
Pertahanan
pihak rakyat, semenjak insiden yang berminggu-minggu lamanya diderita rakyat di
Kota Bandung, membikin Kota Bandung terbelah dua dengan batas yang tentu. Pihak
Indonesia yang telah memberikan daerah utara dengan secara laki-laki
menciptakan daerah sebagai schema.
Di
sana-sini terjadi insiden kecil-kecil atas usaha kaki tangan NICA. Pihak
Belanda mengadakan provokasi antara rakyat Indonesia dan Inggris.
Tentara
Gurkha senantiasa dihasut Belanda agar menembak dan mengatakan bahwa
pemuda-pemuda Indonesia semuanya adalah perampok dan suka membunuh. Di samping
itu perempuan-perempuan Indo dikorbankan buat upah usaha Gurkha membunuh rakyat
Indonesia. Beberapa perempuan Indonesia diculik oleh Belanda guna
persembahannya kebinatangan Gurkha. Dengan demikian tidak ada
berhenti-hentinyainsiden-insiden kecil antara tentara Inggris/Gurkha dan rakyat
Indonesia. Kaum perempuan Tionghoa diupah menjadi mata-mata Belanda, dan
menembak dengan pistol di garis belakang gerakan rakyat, sehingga antara rakyat
Indonesia dan Tionghoa pun timbul permusuhan yang tidak berhenti.
Selain itu
pihak Belanda menghasut orang-orang Jepang agar menyerobot pedagang-pedagang
sayur di pasar-pasar, dan kerapkali tembak-menembak terjadi antara rakyat dan
orang-orang Jepang di dalam pasar yang ramai.
Pendek kata
pihak Belanda mengadakan provokasi untuk mengganggu keamanan, dan mendesak
Inggris untuk bertindak dengan senjata yang sekuat-kuatnya. Tipu daya dilakukan
Belanda sangatlah busuknya, dan untuk itu mereka tidak lagi menggunakan
kemanusiaannya, bahkan mencari-cari jalan agar seluruh keamanan terganggu, dan
segenap bangsa asing terancam jiwanya.
Sungguh
sulit sekali pemerintah Republik bertindak akan hal itu, sebab setiap bertindak
untuk menjaga keamanan, senantiasa dihalangi oleh tentara Inggris, dan Inggris
sedapat mungkin memberikan jalan bagi Belanda untuk melakukan usahanya yang
amat busuk itu.
Oleh sebab
demikian, kekerasan rakyatlah yang dapat menciptakan keamanan kembali, bila
perlu menggunakan segala kekerasan yang ada padanya, dan jalan itu pastilah
mendapat halangan senjata pula dari pihak Inggris/Gurkha. Inggris hendak
menguasai segala keadaan, dan kelak akan menyerahkan dengan sebulat-bulatnya
segala kekuasaan itu ke tangan Belanda gunamenetapkan penjajahannya kembali.
Demikianlah,
insiden-insiden kecil-kecil itu, meningkat naik, sehingga pada tanggal 10
Februari 1946 terbitlah pula pertempuran hebat di sektor timur, yaitu akibat
serangan Gurkha dengan pelopor Belanda Indo pada jam 6.15 sore pada tanggal
tersebut. Musuh mengadakan stelling-stelling di jalan kereta api mulai dari Rozenboomweg
dekat lapangan olahraga Sidolig. Satuan barisan rakyat, yang terdiri dari BBRI,
Pesindo, BMP dan Hizbullah, mengadakan perlawanan yang hebat, sehingga pihak
musuh mengundurkan diri. Hingga jauh malam pertempuran baru berhenti.
Musuh yang
menggunakan mortir, tommy gun dan
berbagai senjata ringan, menembak-nembak rakyat ke sembarangan tempat, dan
maksudnya lain tidak hendak mengacaukan segala keamanan dan ketentraman yang
telah dimufakati oleh Inggris, sehingga segala apa pun yang diusahakan Republik
Indonesia, dihancurkan musuh dengan segala kekerasan, untuk kepentingan pihak
imperialis.
Perhubungan
diplomasi antara Inggris dan Pemerintah Republik Indonesia, senantiasa krisis.
Janji-janji Inggris terhadap erhubungan dengan tentara Serikat senan tidak
ditepati. Inggris selalu berdiplomasi ketika kekuatannya terkandas disebabkan
serangan rakyat, dan membikin berbagai perjanjian. Tetapi ketika mereka merasa
kuat dan siap, maka segala perjanjian perhubungan dengan secara damai,
didobraknya dengan kekuatan senjata, dan berichtiar menyerang rakyat dengan
segala kekejamannya.
Semua itu
memanaskan darah rakyat, dan Pemerintah Republik yang sangat berhati-hati tidak
dapat lagi mengekang kemarahan rakyat dan kadang-kadang menimbulkan sak
wasangka rakyat yang bukan-bukan terhadap pemerintah. Rakyat tetap berkehendak,
supaya kedaulatan negaranya yang telah merdeka, harus terjaga dengan
sebaik-baiknya, jika perlu maulah rakyat mengorbankan sekalian yang ada
padanya, sekalipun merenangi lautan api yang bagaimana juga panas dan
bahayanya. Singkat kata tekad rakyat telah sebulat-bulatnya untuk
mempertahankan kemerdekaan negaranya, dan apa pun yang merintangi akan
dihancur-leburkan rakyat, sekalipun darah dan jiwanya akan menjadi taruhan.
Pihak
rakyat yang begitu patuh, menuduh pemerintah kurang semangat dan berani.
Revolusi bangsa Indonesia sungguh-sungguh telah tercipta tinggal para pemimpinnya
agar menunjukkan aliran arus revolusi itu kepada kemenangan yang sempurna
hendaknya. Oleh sebab demikian, mau ataupun tidak mau, seluruh rakyat satu
tekad dan kemauannya untuk menghancurkan-leburkan setiap tindakan dan maksud
penjajah guna mengembalikan bangsa Indonesia kepada pengaruh
perhambaan-perbudakan, bagaimana juapun bentuk dan formnya.
Pada hari
Kamis tanggal 6 jalan 7 Maret 1946 adalah pula satu hari yang tidak mudah
dilupakan rakyat. Jam 5 sore hari itu sepasukan serdadu Gurkha melanggar batas
yang telah ditentukan. Mereka melalui jalan kereta api di dekat jalan Fokker di
mana ada perempatan yang menuju ke berbagai pihak. Beberapa rumah rakyat
diduduki dengan kekerasan senjata. Mereka membikin gaduh di sekeliling daerah
itu, terutama mengganggu kaum perempuan dan memperlakukannya sebagai binatang.
Setelah
pihak Indonesia mengetahui hal itu, maka pihak Gurkha bersama beberapa orang
Belanda melakukan penembakan dengan serampangan ke udara, dengan maksud hendak
memancing rakyat. Pasukan-pasukan rakyat datang mengusir mereka, sehingga
timbul perkelahian yang hebat pula. Pihak musuh menjinakkan zoeklicht dengan hebat, dan menembakkan
senapan mesin yang bertalu-talu. Hampir lima jam lamanya mereka membakar dan
merusak rumah-rumah penduduk, dan perlawanan kita yang keras dapat mengundurkan
mereka, jam 12 malam. Pihak Indonesia tidak mendapat korbanm selain rumah-rumah
dan gedung-gedung kediaman rakyat dirusak mereka secara fasis, dan merusak apa
saja yang dapat dirusak mereka. Pihak mereka mendapat korban yang tidak sedikit
sebagai ganjaran atas kesombongan mereka.
Begitu pula
pada tanggal 18 Maret 1946, daerah Andir diserang oleh NICA dengan bantuan
Gurkha. Perampokan dilakukan mereka secara besar-besaran di daerah itu.
Tembak-menembak terjadi mulai dari jam 7 pagi hari. Delapan truk musuh menyerbu
ke daerah kita dengan menembak-nembak secara serampangan. Disebabkan truk-truk
musuh itu mendapat perlawanan rakyat yang sengit, dan sebagian besar dari
mereka telah menjadi bangkai, maka musuh menembakkan peluru mortir dengan
hebat, hingga beratur-ratus mortir yang dihamburkannya ke dalam desa-desa yang
penuh sesak penduduk biasa. Kedua belah pihak mendapat korban yang besar dan
pihak musuh menderita kerugian dua kali lipat dari pihak Indonesia. Sekalipun
garis pertempuran maju undur berganti-ganti, tetapi ternyata pihak rakyat
Indonesia dapat mengatasi segala kesukaran yang dihadapinya itu.
Dengan
tiada putus-putusnya itu, esok harinya pada tanggal 19 Maret 1946 pada
pagi-pagi, musuh mengirimkan balabantuannya yang dipelopori oleh beberapa tank
raksasa ke simpang Fokkerwrg. Barikade yang ada di senegap jalan yang dilalui
dihancurkannya. Pihak rakyat mengundurkan diri untuk mengubah siasatnya. Tetapi
akhirnya pihak musuh melakukan pengunduran ke pangkalannya. Sampai kepada hari
yang berikutnya, musuh hanya menghamburkan mortirnya saja bertalu-talu,
sehingga sejumlah anak-anak dan kaum perempuan menjadi korban keganasan itu.
Hujan peluru mortir yang dilakukan Inggris terhadap rakyat di tengah-tengah
Kota Bandung yang padat penduduk itu, sudah barang tentu sama artinya, bahwa
Inggris telah menebarkan maut terhadap rakyat Indonesia dengan segala
kekejamannya. Dengan tidak memberi tahu lebih dulu, agar dapat kesempatan guna
rakyat menyingkir, Inggris berbuat secara kejam, dan disela oleh perbuatan
Belanda yang lebih kejam lagi, memerintahkan mata-matanya menembak-nembak di
dalam kampung-kampung yang penuh manusia itu.
Berhari-hari
lamanya Inggris dan Belanda melepaskan tembakan-tembakan dengan senjata berat,
dan menjatuhkan granat dari udara di tempat-tempat yang ramai, dan dengan
segala kekejaman itu timbullah kemarahan yang tidak dapat ditahan lagi di
setiap jiwa dan kalbu rakyat.
Demikian
berturut-turut, pada tanggal 23 Maret 1946, di rumah seorang Tionghoa bernama
Kim Eng di Waroeng Moentjang, Gurkha dan NICA membikin pertahanan yang agak
kuat. Tempat itu adalah daerah Indonesia menurut batas yang telah dimufakati
dengan Serikat. Jauhnya tempat itu dari tempat pertahanan Indonesia sekitar 300
meter. Kemudian rumah-rumah rakyat yang ada di Cibuntu dibakar oleh mereka
hingga keadaan sangat menyedihkan sekali. Semenjak Bekasi dibakar oleh Inggris,
Belanda melanjutkan pembakaran itu di desa-desa di Kota Bandung, dan
menjalankan penyerangannya sekejam tentara Nazi Jerman dan melebihi Fasis
Jepang.
Akibat
semua itu memaksa rakyat berevakuasi secara besar-besaran ke luar kota. Dan
semenjak insiden-insiden yang sangat jahanam itu berlaku disebabkan provokasi
Belanda, maka di sepanjang senantiasa penuh oleh penyingkiran rakyat yang
sangat menyedihkan hati.
Mereka
meninggalkan rumah dan kampung halamannya di sebabkan kekejaman musuh dan kaum
penindas, dan menderita atas perbuatan serta kehendak kaum imperialis dan kaum
kapitalis asing.
Malam Sabtu, tanggal 22 jalan 23
Maret 1946. Malam
itu kami bersama Gubernur Jawa Barat sedang duduk berhadap-hadapan diserta
nafas yang sesak, membicarakan bahwa ada desas-desus Inggris akan mengeluarkan
ultimatum terhadap rakyat Indonesia. Waktu itu Gubernur Jawa Barat baru sampai
di Tasikmalaya untuk berangkat ke Yogyakarta guna membicarakan apakah tindakan
Pemerintah Republik bila keadaan Bandung demikian gentingnya.
Tustel
telepon mendering di dalam kamar tuan Bupati Tasikmalaya, di mana kami
berunding dengan sepenuh minat dengan Gubernur. Seorang pelayan mengatakan
bahwa ada interlokal dari Bandung kepada Gubernur. Dengan muka yang merah,
bercampur ragu, Gubernur berdiri dan mendekati gagang telepon. Setelah seketika
kemudian, Gubernur memberikan perintah kepada kami yang dari Bandung, supaya
kembali bersama dia ke Bandung, ada hal yang penting akan terjadi, yang akan
menentukan nasib Kota Bandung.
Dengan
segala perasaan terharu kami berangkat. Toeter Chrysler D.I. mulai bergerak,
mulanya beringsut keluar, kemudian roda mobil berputar sekencang-kencangnya
menuju Bandung. Baru jam 6 pagi kami sampai di Bandung, di mana telah menunggu
utusan Tentara Republik Indonesia dari Kommandemen, wakil Perdana Menteri Sutan
Sjahrir, Kommandan Divisi, Kepala Kota, Residen, orang-orang yang perlu dari
pihak MP3 dan lain-lain orang terkemuka.
Rumah
Kepala Kota penuh oleh orang-orang itu, dan memperbincangkan tentang ultimatum
Inggris agar seluruh rakyat Indonesia yang bersenjata harus keluar dari Kota
Bandungstraal 11 km. Jika hal kehendak Inggris itu tidak dikabulkan maka Kota
Bandung akan digempur habis-habisan. Jika ada orang yang masih bersenjata dari
pihak Indonesia di dalam Kota Bandung, maka akan ditembak mati.
Semua orang
termenung mendengar berita itu yang disampai Inggris kepada Pemerintah Republik
Indonesia. Sungguh kejam sekali! Demikian teriakan salah seorang pemuda yang
ikut serta di dalam perundingan itu. Sungguh celaka –kata pemuda yang lain—bangsa
Indonesia yang bersenjata diusir keluar kota, rakyat yang lemah yang tidak
mampu berbuat apa-apa akan dikuasainya dengan cara yang melanggar hak
kedaulatan Republik Indonesia yang telah dimerdekakan oleh bangsanya sendiri.
Tidak, tidak bisa!
Sekeliling
pertemuan itu kelihatan hati yang gelisah resah, sedang utusan Pemerintah Pusat
yang mendinginkan kepala yang hadir, tak dapat lagi berbuat apa-apa, sebab yang
hendak mendinginkan itupun sangat panas hatinya. Bukan saja atas cara dan
kehendak Inggris, tapi yang utama kesombongan Inggris dan Belanda yang
bersandiwara bahwa mereka segala keangkuhan dan kesombongan menuntut apa yang
tidak pantas dilakukan terhadap sesama manusia. Mereka tentara pendudukan
Inggris hendak menguasai Kota Bandung dengan sebaik-baiknya, kemudian dengan
segala segar bugar akan diserahkan pula kembali kepada NICA guna menetapkan
penjajahan Belanda atas bangsa Indonesia.
Darah siapa
yang tidak akan mendidih selama ia bernama putera sejati dari Tanah Ibu
Indonesia? Darah siapa yang tidak akan
meluap selama putera Indonesia sanggup berdiri sendiri setelah diproklamasikan
kemerdekaan Tanah Airnya? Kesombongan dan pancingan yang dihadapkannya kepada
bangsa Indonesia yang masih muda, sudah barang tentu disambut dengan
kejengkelan dan kemarahan yang tidak ada taranya dengan keberanian menghadapi
segala risiko, apapun jadinya.
Di antara
yang hadir ada yang mencucurkan air mata karena menahan marahnya yang tidak
dapat ditahan, dan ada pula yang ketawa disebabkan kemarahan yang berkumandang
di segenap jasadnya. Tetapi akhirnya diambil keputusan supaya kepada Inggris
disampaikan keterangan bagaimana keberatannya rakyat terhadap ultimatum yang
sangat disesalkan itu.
Pertemuan
selesai, dan beberapa orang utusan terbang ke Jakarta, di mana kepada Markas
Besar Tentara Inggris disampaikan penolakan rakyat Bandung atas kehendak
Inggris yang tidak mungkin dikabulkan itu.
Rupanyan
zonder tawar-menawar Inggris menolak semua usul yang berdasar perdamaian,
sehingga penduduk Bandung sangat gelisah.
Api
kemarahan yang tidak ada taranya di kalangan rakyat, istimewa di segenap satuan
perjuangan dan Tentara Republik Indonesia, dapat juga dipadamkan oleh
Pemerintah Pusat Republik, sehingga pada hari Minggu tanggal 24 Maret 1946,
diperintahkan supaya segenap rakyat dan tentara yang bersenjata memenuhi
permintaan Inggris untuk keluar Kota Bandung straal 11 km.
Rupanya
goodwill Pemerintah Republik itu oleh Inggris diserobot lagi dengan tidak
memberi waktu yang cukup untuk memindahkan tentara dan peralatannya serta
rakyat yang bersenjata untuk keluar, sebab pada jam 1 siang hari Minggu tanggal
24 Maret 1946 itu, Inggris menjatuhkan ultimatumnya kepada seluruh penduduk
Bandung, supaya segenap kehendaknya dikabulkan dengan tempo 12 jam. Jadi jam 12
malam Senin tanggal 24 Maret 1946 harus permintaanya dikabulkan, bila tidak
maka akan ditembak mati.
Penduduk
Kota Bandung sangat gelisah. NICA menjalankan berbagai kabar bohong,
provokasinya diperhebat dalam keadaan suasana yang demikian, sehingga tentara
dan pasukan-pasukan rakyat sebelum sampai waktu yang ditetapkan keluar dari
kota, telah mendapat serangan dari pihak Belanda dan Gurkha. Jam 5.30 sore
beberjam setelah ultimatum Inggris diketahui rakyat, segala pemimpin penduduk
Tionghoa di Bandung datang di kantor MP3 menanyakan keadaan yang terjadi.
Kepada golongan Tionghoa dinyatakan bahwa tentara dan badan-badan perjuangan
hendak keluar Kota Bandung atas kehendak Ingggris. Oleh sebab itu terserahlah
kepada bangsa Tionghoa akan menentukan sikapnya. Adapun rakyat akan turut
bersama tentara yang dicintainya. Manakala bangsa Tionghoa tinggal di dalam
kota, tentulah bukan lagi tanggungan kami. Tetapi jika pihak Tionghoa ingin dan
percaya atas jaminan kami, maka kami siap-sedia memberikan bantuan
sekuat-kuatnya, sehingga bangsa Tionghoa dapat kami singkirkan dari kota dengan
segala keselamatan.
Hal itu
diterima oleh mereka, dan mereka sama berkata, bahwa mereka tidak akan aman di
dalam tangan Inggris dan Belanda. Dan setelah mengadakan pertemuan itu, rasa
harga menghargai dari pihak Indonesia dan Tionghoa tetap adanya, tetapi setelah
pada saat yang ditentukan bahwa pihak tentara dan rakyat hendak memberikan
pertolongan kepada pihak Tionghoa, mereka tidak menepati janjinya, bahkan
kebanyakan dari mereka pindah ke sebelah utara Kota Bandung, yaitu daerah yang
telah lama dikuasai Inggris.
Dengan
demikian kewajiban dan goodwil rakyat terhadap bangsa Tionghoa telah ditepati,
tinggal pihak Tionghoa lah yang memungkiri janjinya dan berlindung di daerah
musuh, dengan tidak mengingat bangsanya yang tak sedikit berlindung di daerah
yang dikuasai rakyat Indonesia.
Sebelum
waktu dan batas ketentuan waktu yang telah ditetapkan, agar tentara dan rakyat
yang bersenjata dapat mundur, NICA /Gurkha telah menyerang bangsa Indonesia di
beberapa tempat. Di daerah Andir, Cimahi dan beberapa tempat lain, NICA
menyerang kedudukan Indonesia yang hendak meninggalkan tempatnya. Di beberapa
tempat lain mata-mata NICA bergerak untuk mengacaukan penyingkiran dan
pengunduran. Dentuman senapan mesih 5 jam sebelum batas waktu yang diberikan
telah bergemuruh memukul dan menganiaya rakyat,
satuan tentara dan pemuda, sehingga kesempatan untuk menyingkir tidak dapat
dijalankan dengan teratur.
Mengingat
semua itu MP3 (Majelis Persatuan Perjuangan Priangan) mengeluarkan perintah ke
segenap pasukan-pasukan rakyat demikian:
Merdeka!
Ultimatum Inggris via Pusat telah
diterima.
Meminta supaya T.R.I dan
pasukan-pasukan bersenjata meninggalkan kota Bandung diluar straal 11 km.
T.R.I dan MP3 memutuskan perintah
tertulis di bawah dan harus segera dilakukan,
1. Masing-masing pasukan bersenjata
sejak saat ini menjaga stelling masing-masing dengan senjata lengkap.
2. Alat-alat peledak disediakan.
3. Pasukan tidak bersenjata supaya
menyelematkan barang-barang penting.
4. Sampai ada perintah lain tetap
defensif (mempertahankan). Hanya boleh menembak untuk membela diri.
5. Segera mengirimkan ordonnans ke
MP3.
(d.t.) Kepala Pembelaan MP3
S O E T O K O
Perintah
MP3 itu disambut dengan semangat yang bernyala-nyala oleh pihak barisan-barisan
rakyat daeri segala golongan pasukan, dan dengan hati yang berdebar-debar
ditunggunyalah saat yang maha penting itu.
Pihak
tentara Republik Indoensia melakukan persiapan hendak meninggalkan Kota Bandung
yang dicintainya dengan segala kegelisahan dan duka cita, karena semata-mata
patuh tunduk kepada Pemerintah Pusat Republik Indonesia.
Semenjak
Tentara Republik Indonesia berkemas-kemas hendak meninggalkan kota itu, segenap
lapisan rakyat menjadi gelisah, karena Tentara yang dicintainya dan
dibangunkannya bersama-sama dengan memberikan putera-puteranya menjadi patriot
Tanah Air, sekarang hendak meninggalkan, dan akan jauh darinya. Tentara yang
selama ini dihajatkannya untuk melindungi keamanan rumah-tangganya yang terdiri
dari putera-putera yang dikasihinya itu, hendak hilang dari pelupuk matanya.
Oleh sebab
demikian bersiap pulalah seluruh rakyat hendak meninggalkan Kota Bandung, di
mana kekayaan dan hartanya berada, hendak mengikuti tentara yang dicintainya
itu. Rakyat hendak sehidup-semati dengan tentara yang dibangunkannya dengan
segala kekuatan yang ada padanya, baik di golongan atas ataupun di golongan
rakyat jelata, tetaplah tekadnya hendak menurutkan ke mana jua tentaranya
hendak pergi.
Keadaan
demikian menjadikan Kota Bandung gelisah resah, dan meulailah segala apa yang
hendak dibawa dan dapat diangkut disiapkan rakyat menuju ke tempat perpindahan
tentara. Sungguh sedih menyembul setiap kalbu para pemuda, dan tidak kurang di
antara tentara kita menangis tersedu-sedu, mengenangkan bagaimana kesetiaan
rakyat terhadap mereka, bahkan ke lautan api sekalipun pihak Tentara Republik
perginya, akan diikuti juda oleh seluruh rakyat. Memang rakyat menyadari bahwa
nasibnya kelak tergantung kepada kemenangan yang hendak dicapai oleh tentara.
Para pemuda
perjuangan membantu menyingkirkan rakyat keluar kota, dengan segala kekuatan
yang ada padanya. Dan di samping itu melakukan penjagaan dengan sekiat-kuatnya
terhadap perampok-perampok NICA yang dengan bayonet di tangannya menggedor
kekayaan rakyat di mana-mana. Akibat perampok-perampok NICA itu dengan bantuan
beberapa pemuda Tionghoa upahan, menakut-nakuti rakyat, dan di beberapa tempat
melakukan penyerangan juga secara perampok, dan kadang-kadang menggunakan kaum
pengungsi untuk tameng mereka menyerang.
Akhirnya
timbullah kemarahan yang tak terkirakan di setiap jiwa dan kalbu rakyat, dan
dengan beramai-ramai mereka membakar setiap gedung yang dapat dihancurkannya,
dan para pemuda menghancurkan gedung-gedung yang mungkin digunakan musuh untuk
pertahanannya. Dengan begitu Kota Bandung menjadilah lautan api yang jarang
tandingannya dalam sejarah manusia, dan hampir segenap Kota Bandung menjadi
abu.
Sungguh satu tragedi yang hebat!
Setiap
pelosok Kota Bandung menyala api, lautan api yang berombak-ombak, beriak
membadai angin di sekitar kebakaran, menghidup meniupkan nyalanya api yang
melambai-lambai. Jika dikenang saat-saat yang terjadi ketika itu, sungguh
menegakkan bulu romasetiap manusia. Tapi di samping itu, dunia pun tahu bahwa
kekerasan yang dilakukan imperialis Belanda yang licik itu atas kemerdekaan
Indonesia, telah menghancur-leburkan segala sendi-sendi perikemanusiaan, Kota
Bandung menjadi hancur dan hangus, menjadi abu, adalah atas tindakan imperialis
Belanda itu.
Bagaimana
pun, sudahlah terang, bahwa bangsa Indonesia tidak akan mau diperbudak oleh
siapa saja dan dengan kekerasan bagaimana juga, sekalipun jiwa, raga dan
segenap kekayaannya hancur lebur menjadi abu.
Sungguh menyedihkan!
Sekitar 350
ribu jiwa meninggalkan rumah-tangganya di tengah-tengah malam buta. Sejauh-jauh
mereka berjalan, api masih kelihatan tinggi menjulang, merah laksana fajar yang
baru terbit.
Di
sepanjang jalan yang menuju keluar kota, beriak sendu berisak tangis, di setiap
kaum pengungsi. Rumah-tangganya yang dikasihinya, sapi ternak yang dipiaranya,
kampung halaman yang dicintainya, dikorbankannya atas paksaan bayonet
imperialis.
Berbondong-bondong
hamba Allah keluar Kota Bandung laksana semut dikejar maut, mengarungi segala
sengsara dan derita. Jeritan anak-anak kecil yang belum berselang lama keluar
dari kandungan ibunya menangis merayu sendu di telinga pengungsi. Orang tua
yang sangat lanjut umurnya bertingkat bambu, perempuan yang mendukung anak,
kuli-kuli yang serat bahunya oleh beban kekayaan yang ada padanya, gerobak kuda
yang serat berderak rodanya melalui batu-batu jalan yang setengah rusak,
merandu sandu di setiap orang yang melihat dan menderita, sekalipun di
penglihat bersama-sama membawa nasibnya.
Ujian! Ujian yang berat nian!
Kemerdekaan
bangsa harus dibeli dengan darah dan jiwa, dengan harta dan kekayaan, dengan
perasaan yang berat. Penderitaan yang bagaimana juga, kadang-kadang akan lebih
berat rasanya daripada lepasnya jiwa dari jasad, dari pengaliran darah yang
melebar luas, tetapi hal itu akan dikorbankan pula, untuk membeli kemerdekaan
yang penuh.
Pada
malam-malam penyingkiran penduduk itu, nyata benarlah kekuaan jiwa Indonesia. Sekitar
98% dari rakyat Indonesia di Kota Bandung menyingkirkan dirinya, sambil
membakar rumahnya yang hendak ditinggalkannya. Pengalaman rakyat telah terlalu
banyak atas kekejaman NICA yang senantiasa dialami, dan karena itu bulat
tekadnya, bahwa daripada rumah dan kekayaannya dihancurkan dan dirampok musuh
lebih baik hancur di hadapan mata kepala sendiri. Karena itu belum pembakaran
secara besar-besaran terjadi dengan hebatnya yang pernah terjadi di Jawa, dan
karena itu dapatlah dunia mengetahui bahwa tekad rakyat telah sebulat-bulatnya
untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diperolehnya.
Di
desa-desa di sekeliling Kota Bandung, di mana tempat beristirahat kaum pengungsi,
berdirilah badan-badan sosial yang memberikan bantuannya kepada mereka.
Jalan-jalan berminggu-minggu lamanya penuh oleh penyingkiran-penyingkiran
sengsara itu. Tapi atas usaha segala golongan dan lapisan rakyat, kesengsaraan
yang begitu hebat, berjalan baik dalam pemeliharaannya, dan berlaku dengan
segala kegembiraan hati, sementara itu tekad hendak merebut Bandung kembali
secepat mungkin dengan mengusir musuh berkobar dalam dada rakyat. Di seluruh
Kabupaten Bandung, Garut dan Sumedang, maka pertempuran menghadapi musuh
ditaruh di atas segala peristiwa, sehingga tenaga rakyat dihadapkan untuk
merebut Kota Bandung kembali.
Seluruh
pemuda dengan tidak ada kecualinya, yang puluhan ribu banyaknya, menceburkan
diri ke dalam tentara dan badan-badan perjuangan, sedangkan para puteri
menceburkan dirinya dalam usaha dapur umum dan Palang Merah Indonesia.
Agaknya
belum pernahlah dialami oleh rakyat, bagaimana persatuan yang dirasanya pada
ketika ia telah diusir musuh dari rumah dan kotanya, dan semua itu memberikan kegembiraan
hatinya guna mempersiapkan diri masing-masing untuk menggempur musuh. Dengan
segala keinginan yang membaja di setiap hati rakyat, maka timbullah perasaan
senasib dan seperjuangan di setiap golongan dan tingkatan, menjelmalah
solidariteitsgevoel di setiap kalbunya. Kemerdekaan yang telah
diproklamirkannya telah mendarah mendaging. Insyaf lah ia bahwa seluruh darah
dan dagingnyahancur lebur di permukaan bumi, jika ia tidak bertahan hingga
tetes darah dan gumpal daging yang terakhir!
Kenyataan
demikian tidak dilihat, dan ditinjau oleh musuh kita. Buta matanya akan hal
demikian. Agaknya mereka mengira bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia itu hanya
berupa sepuhan semata-mata. Padahal penghinaan dan penindasan kaum penjajah
telah mendorong rakyat untuk menderita segala kepahitan, hingga rakyat itu
membulatkan tekad akan membeli kemerdekaan itu dengan segala kekuatan yang ada
pada mereka.
Hukum
kodrat tetap beredar. Setelah sengsara, kembali gembira. Di dalam kegembiraan
yang diliputi kesengsaraan, timbullah satu cita-cita suci, ialah kemerdekaan
bangsa dan nusa, kebebasan Tanah Air dari segala penindasan dan penghinaan
penjajahan.
Sekarang
kesengsaraan yang sedang dan akan dilalui rakyat di sepanjang hidupnya menuju
kesucian dan mempertahankan perikemanusiaan, menimbulkan rasa kegembiraan yang
belum pernah dialami oleh semua lapisan. Rakyat sadar bahwa sungguh mereka
telah menjadi bangsa merdeka kembali, semenjak beberapa abad lamanya
kemerdekaan tanah air dirampas orang.
Bekas-bekas
peninggalan rakyat yang marah dan memberontak, sangat mengagetkan dunia. Dunia
tahu bagaimana kebulatan tekad rakyat tentang kemerdekaanya. Omongan Belanda
yang mengatakan bahwa Ratu Wilhelmina sangat dicintai bangsa Indonesia adalah
isapan jempol belaka, dan berisi kepalsuan yang tiada tara dalam sejarah
penjajahan. Adalah dunia mengira bahwa bangsa Indonesia yang mempunyai kulit
coklat, yang berbeda hidup dan kebudayaannya serta bahasa dan adat-istiadarnya,
akan mudah menghargakan satu raja lain yang tidak pernah membahagiakan di
sepanjang hidupnya?
Bahkan alat
raja itu yang kapitalis, yang terdiri dari murid-murid Nazi dan Fasis, adakah
akan dapat menanam kesetiaan sesuatu bangsa yang ditindasnya dengan kekejaman
yang belum pernah terjadi di dunia?
Kota
Bandung yang telah menjadi abu, yang hancur oleh sebab api revolusi yang
menyala-nyala menjadi saksi yang tidak dapat dibantah, bahwa penjajah Belanda
tidak mungkin lagi diterima oleh bangsa Indonesia yang jumlahnya beberapa kali
lebih besar daripada bangsa Belanda sendiri, dengan segala kekayaan yang cukup
padanya.
Inilah satu realitas yang tidak
dibantah!
Apa dan
berapa besarnya penderitaan yang diderita dan dialami rakyat dalam mereke
melakukan penyingkiran atas penindasan kaum imperialis di Kota Bandung itu,
demikianlah pula besarnya kesengsaraan dan keseulitan yang diderita Belanda
dengan Inggris sebagai pembantunya itu, sehingga berimbang lah kecelakaan yang
sama diderita oleh musuh.
Selain itu,
tahulah pula dunia, bahwa bajingan-bajingan Belanda dengan segala
keserakahannya itu akan meruntuhkan pula kehormatan bangsanya, dan mungkin pula
bahwa bangsa Belanda akan tercatat sebagai bangsa yang menjadi musuh bangsa
Indonesia untuk selama-lamanya.
Semenjak
kejadian yang sangat menyedihkan itu atas Kota Bandung, kesakitan hati rakyat
tidak mudah sembuh. Belanda pasti akan dihancurkan manaka mereka tetap hendak
menjadi tuan besar di masyarakat Indonesia, dan akan tetap terancam setiap jiwa
terus-menerus, bagi bangsa dan kaki tangan bangsa Belanda. Akhirnya percayalah
bahwa daerah Indonesia akan menjadi neraka bagi segenap bangsa Belanda di
kemudian hari.
Ingatlah
bahwa Belanda dengan organisasi NICA-nya bukan saja telah melakukan penculikan
pada para pemimpin Indonesia yang ingin berunding dengan jalan damai, tetapi
telah menganiaya pada pemuda dari kalangan nasionalis, yang semata-mata ingin
memerdekakan bangsanya dari cengkeraman kaum penjajah. Ingatlah pula bahwa
pihak Belanda telah menggunakan berbagai tipu muslihat guna memancing bangsa
Indonesia untuk menimbulkan perang yang hebat di Indonesia.
Jika di
zaman penjajahan Belanda, para Pemimpin yang jujur dari bangsa Indonesia
ditindas dan dibuang ke Boven Digoel, dan oleh mereka disediakan pula
berpuluh-puluh bui untuk kaum politik yang menuju kemerdekaan tanah airnya,
maka sekarang Belanda mengadakan satu pulau di muka Jakarta yang bernama
Onrust, untuk kamp para putera Indonesia yang mempertahankan kemerdekaan yanah
airnya, di mana mereka menderita, azab yang sehebat-hebatnya, dengan perlakukan
sebagai Nazi Jerman.
Di Kota
Bandung, pihak Belanda telah mencukil mata para pemuda yang ada dalam
tawanannya, bertempat di Batalyon XV Bandung, dan diperlukan melebihi dari
perampok dan bandit-bandit yang maha kejam. Mereka menembak-nembak di sepanjang
jalan, menusuk dengan bayonet kepala dan mata para pemuda yang gugur di dalam
mempertahankan dirinya.
Singkat
kata, semua kekejaman para bajak laut Belanda di zaman VOC pada permulaan
imperialis Belanda menguasai Indonesia beberapa abad yang silam, telah
dilakukan pula terhadap bangsa dan pemuda Indonesia di abad modern ini. Mereka
bangsa Belanda, telah menanamkan uangnya di ujung bayonet dan pedang di daerah
yang diduduki Inggris, di samping itu Inggris sendiri memaksa rakyat menerima
uang NICA yang tidak disenangi oleh rakyat itu.
Tapi
meskipun demikian rakyat segan menderita apa juga yang akan terjadi, asal
kemerdekaan tanah airnya tercapai.
Semenjak
penyingkiran rakyat dari dalam Kota Bandung, hingga saat ini, dari berbagai
bangsa masih ada yang tetap mendiami Kota Bandung, di antaranya sekitar 300
penduduk bangsa Indonesia, yang tidak mau menyingkirkan diri, tapi kesengsaraan
yang diderita oleh mereka sepanjang hari, sudah tak dapat hendak diceritakan.
Bangsa Tionghoa dengan bangsa Indonesia yang ada, dipecah belah oleh Belanda.
Pada pertama kalinya bangsa Tionghoa dipersenjatai, dan disuruh menembak bangsa
Indonesia. Kemudian bangsa Indonesia yang merasa terancam jiwanya itu terpaksa
meminta bantuan Serikat. Dengan alasan itu pula, bangsa Tionghoa ditindas dan
dilucuti senjatanya, dan dipaksa memperdagangkan uang NICA.
Bangsa
Indonesia bersama Inlander NICA diadu-domba pula. Sebagian mengadakan gerakan
Commonwealth Indonesia, sebagian tetap dibiarkan mengadakan gerakan “Indonesia
Merdeka” yang dikepalai oleh Dr. Noto dan Mr. Soediono, tetapi hanya boleh
bekerja dalam lapangan sosial semata. mereka itu disuruh memancing bangsa
Indonesia kembali ke kota, dan berkat usaha pengkhianatan ini telah dapatlah
dipancing beratus-ratus rakyat Indonesia kembali ke kota.
Setelah
bangsa Indonesia banyak pula di dalam kota, maka diadakannya kerja paksa, dan
dijadikannya tentara yang dipersenjatai, sedang mereka senantiasa dipaksa pula
untuk menjadi tamengnya di waktu bertempur dengan bangsa Indonesia sendiri.
Pada
hakekatnya, Dr. Noto dan Mr. Soediono dengan semua pengikutnya bukanlah
menentang Republik Indonesia, tetapi sangat menghalangi ekonomi blokade dari
rakyat dan melemahkan siasat pertempuran.
Di lain
pihak, NICA Inlander yang dipakai oleh Soeria Kartalegawa, ada pula ikhtiarnya,
istimewa menyebarkan mata-matake daerah Indonesia. Tetapi pada waktu belakangan
ini usahanya kandas, dan Kartalegawa sendiri merasa ketakutan, sehingga setiap
saat berpindah-pindah rumah, serta dia tambah tidak populer di kalangan
penduduk Kota Bandung. Setiap pembicaraannya dengan bangsa Indonesia selalu dia
membela diri, berkata bahwa mereka tidak berpihak kepada NICA. Setiap hari
pengkhianat itu berada dalam ketakutan.
Suasana itu
mengganggu ketenteraman hidup penduduk dengan hebatnya, sedang Kota Bandung
yang sebagian besar telah menjadi abu itu, menjadi tempat yang serba
kekurangan. Lampu-lampu yang tidak menyala lagi, sumber air yang telah
dihancurkan menjadikan kota itu gelap gulita dan kekeringan.
Keadaan
dalam Kota Bandung menurut laporan dalam bulan April 1946 sangat menyedihkan.
Semua itu adalah akibat politik bumi hangus. Gedung-gedung yang besar banyak
yang terbakar dan rubuh, rumah-rumah penduduk menjadi abu. Pihak Inggris dan
Belanda mendapat kesukaran yang maha dahsyat, dan keadaan dalam kota lebih
menakutkan daripada keadaan di dalam hutan rimba balatentara yang maha hebat.
Di beberapa tempat yang kecil-kecil berkumpul beberapa orang atas hasutan NICA,
sehingga sangat mengerikan.
Di Jalan
Pagarsih pada tanggal 2 April 1946 terjadi perkelahian antara bangsa Indonesia
dan bangsa Tionghoayang bersenjata api yang didapatnya dari bangsa Belanda.
Pergolakan terjadi setelah bangsa Indonesia ditembaki oleh mereka sebagaimana
melempari anjing. Pada tanggal tersebut delapan orang bangsa Indonesia
menggeletak di tepi jalan akibat penembakan bangsa Tionghoa. Dari tumpukan itu
menjerit seorang perempuan tua yang bermandi darah antara setengah hidup dan
mati meminta pertolongan. Tetapi sayang sekali penyelidik yang melakukan
pekerjaannya dengan sendirian sambil mengendap-endap di belukar yang terdekat
dari tumpukan korban itu tidak dapat memberikan pertolongan disebabkan bangsa
Tionghoa yang berkeliaran di situ siap menembak bangsa Indonesia yang melalui
tempat itu.
Contoh
sebagaimana tertulis di atas adalah salah satu kejadian di antara beratus-ratus
keganasan yang terjadi antara bangsa Indonesia dan bangsa Tionghoa, dan tidak
dapat kita mengetahui sampai di mana kekejaman itu telah berlaku.
Sementara
itu bangsa Tionghoa dijadikannya mata-mata yang melakukan penembakan secara
kejam kepada rakyat umum. Dengan secara terang-terangan mereka menembak dari
bagian belakang pertahanan rakyat hingga tidak sedikit terjadi
peristiwa-peristiwa yang mengerikan.
Sehari demi
sehari terjadi pertempuran-pertempuran kecil antara Gurkha dan NICA dengan
pasukan-pasukan rakyat, dan kadang tentara Republik yang telah berada di luar
batas Inggris pun ditembaki dengan mortir. Akhirnya segenap kekuatan tentara
yang ada di sekitar Bandung ikut bertempur melawan penyerangan musuh dan pihak
satuan-satuan perjuangan rakyat menyempurnakan barisannya di bawah satu
komando, sehingga persatuan perjuangan yang bulat erat menghadapi musuh menjadi
lebih kuat dan sempurna.
Siang dan
malam di setiap tempat terjadi pertempuran-pertempuran yang tiada sedikit
memakan korban, bahkan di pihak musuh senantiasa menjadi sasaran yang
sebaik-baiknya bagi pasukan rakyat Indonesia. Di sekitar front tiada berhentinya
perempuran-pertempuran yang mengganas, yang sehari-harinya dihadapi rakyat
dengan segala ketabahan hati. Pembakaran yang senantiasa terjadi di Kota
Bandung tidak kunjung berhenti, sehingga segenap tentara Belanda dan Inggris
serta Gurkha menjadi sangat gelisah. Kekuatan musuh senantiasa ditambahi dengan
kapal udara dan konvoi dengan melalui Bogor, sedang di pihak Tionghoa dipaksa
untuk menjadi tentara Belanda. Demikian pula bekas Heiho dan Romusha yang
dibawanya dari luar Jawa dijadikannya tentara pelopor terhadap serangannya
kepada bangsa Indonesia dan dipaksanya menyerbu ke garis Indonesia.
Sungguh pun
begitu, Belanda senantiasa mempersiapkan dirinya di atas pengorbanan umum itu,
untuk memperluas kekuasaannya bagi keuntungan imperialisme yang demikian kejam,
dan setiap saat mereka terus-menerus menghamburkan pelurunya terhadap rakyat
puluhan ribu jumlahnya.
Siasatnya
lain tidak hendak melakukan penyerangan terus-menerus, dan dengan segala daya upayanya
Belanda menyerang rakyat dengan cara yang melampaui batas-batas kemanusiaan.
Setiap waktu Belanda hendak melakukan penyerangan dengan bantuan Inggris
terhadap rakyat Indonesia, maka mereka melepaskan pasukan garongnya lebih
dahulu ke daerah yang hendak diserangnya, sebagaimana pernah dipraktikkan
Jepang ketika tentara fasis itu melakukan penyerangan terhadap “Hindia Belanda”
pada permulaan peperangan yang baru lalu di lingkungan Pasifik.
Selain dari
pada itu, pihak Belanda telah menggunakan tentara Jepang sebagai pelopornya
dalam menyerang rakyat Indonesia, dan kemudian disusul oleh tentara upahan yang
terdiri dari bangsa Tionghoa, NICA Inlander, serta Indo, dan penghabisan sekali
terdiri dari para pasukan Belanda totok.
Hampir di
segenap medan pertempuran, Belanda menggunakan Jepang sebagai pemimpin
penyerangan, dan persenjataan Jepang –yang kata Serikat harus
dihancurkan—digunakan di segenap medan pertempuran untuk menyerang Republik
Indonesia.
Selain dari
pada itu, Belanda menggunakan kaum pengungsi bangsa Indonesia dan berbagai
bangsa asing sebagai perisai, dan banyak sekali mengorbankan kaum pengungsi di
sektor Cicadas, yaitu bagian Bandung Timur. Di samping itu, tentara Belanda
yang menyerang Cikidang, bagian Lembang, Gedebage bagian Ujung Berung,
berpakaian Tentara Republik Indonesia.
Pendek kata
semua cara, taktik peperangan dan tipu daya penyerangan yang dilakukan tentara
Belanda, adalah menurut ajaran dan pimpinan fasis Jepang, dan oleh Belanda
totok dijalankan sebagaimana pernah dilakukan Nazi Jerman ketika memasuki
daerah Nederland.
Mengingat
semua itu, nyata benarlah, bahwa Belanda hendak menetapkan penjajahannya di
Indonesia dengan cara fasis, dan untuk itu, Pemerintah Belanda di Nederland
memberikan ampunan kepada kaum fasis Belanda yang 45.000 jiwa dari kamp
konsentrasi, yang kelak akan dikirim ke Indonesia guna menyerahkan Indonesia di
bawah perasan kaum fasis Belanda, guna keuntungan kaum kapitalisnya.
Gerakan
“Kemeja Coklat” di bawah pimpinan Rudie Timi, telah berurat berakar di jiwa
penjajahan Belanda, dan banyak sekali tanda-tanda menunjukkan, bahwa gerakan
itu di daerah kedudukan Serikat dapat dikembangkan Belanda, dan dipelopori oleh
kaum wartawan Belanda yang ada di Indonesia. Dengan demikian Belanda hendak
mengelabui mata dunia dengan menganjurkan demokrasi di negerinya, tetapi
menggerakkan fasisme di tanah jajahan yang dipaksakannya dengan kekerasan
senjata.
Untuk itu
bangsa Indonesia tidak akan dapat dikelabui lagi, dibantu ataupun tidak oleh
dunia, rakyat Indonesia akan tetap menghancurkan fasis Belanda di Indonesia
dengan segenap tenaga imperialisnya yang kejam itu.
Rakyat
Indonesia akan tetap mempertaruhkan jiwa raganya guna kemerdekaan tanah airnya
yang telah didapat dengan segenap kekuatan yang ada padanya.
Begitulah
garus besar tulisan Samaun Bakry tentang peristiwa “Bandung Lautan Api” yang
kemudian dibukukan dengan judul Setahun
Peristiwa Bandung dan diterbitkan pada Agustus 1946. Sebagai pelaku
sejarah, goresan Samaun Bakry demikian lengkap dan mampu menggugah darah
patriotik setiap orang yang membacanya. Ketika Bandung menjadi lautan api,
Samaun dan keluarganya memang tengah berada di Bandung, tepatnya di daerah
Lengkong. Saat itu dia mengungsi karena rumah dinas di Jalan Maluku Nomor 5
Menteng Jakarta diduduki oleh tentara Serikat yang hendak melucuti persenjataan
Jepang.
Di Bandung,
Samaun Bakry kemudian aktif menjadi anggota MP3 (Majelis Persatuan Perjuangan
Priangan). Selain itu juga, tahun 1946 dia sempat mengemban amanah sebagai
Pejabat Wakil Gubernur Pertama RI Jawa Barat.
Revolusi Sosial di
Banten
Waktu terus
melaju. Perjuangan rakyat tidak hanya berhenti di Kota Bandung. Di ujung barat
wilayah Jawa Barat, tepatnya di Banten, gejolak revolusi juga tak terelakkan.
Ketika revolusi sosial nyaris tidak menunjukkan tanda-tanda usai, tahun 1946,
Presiden Soekarno kemudian mengangkat Samaun Bakry menjadi Wakil Residen
Banten.
Kisahnya
revolusi sosial Banten, sebagaimana Hasil Penelitian (Naskah Publikasi) yang
ditulis oleh Suharto, M.Hum bersama
Lembaga Penelitian Universitas Indonesia pada tahun 1996, dimulai dari ranggal
17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Berita
tentang proklamasi itu sampai di Banten pada tanggal 20 Agustus 1945, dibawa
oleh beberapa Pemuda Jakarta yaitu Pandu Kartawiguna, Ibnu Parna, Abdul Muluk
dan Aziz yang disuruh oleh Chairul Saleh. Mereka menyampaikan pesan Chairul
Saleh agar Pemuda Banten segera merebut kekuasaan dari tangan Jepang. Berita
itu disampaikan kepada tokoh-tokoh masyarakat dan pemuda Banten antara lain
K.H.Tubagus Akhmad Khatib, K.H. Syam’sun, Ali Amangku dan Ayip Zuhri yang
selanjutnya disebar-luaskan kepada seluruh warga masyarakat Keresidenan Banten.
Kabar
tentang kemerdekaan itu disambut gembira oleh rakyat, kecuali oleh beberapa
orang yang merasa dirinya telah menyakiti hati rakyat pada masa sebelumnya dan
merasa takut terhadap pembalasan. Rapat-rapat segera diadakan oleh tokoh-tokoh
masyarakat dan pemuda karena pegawai pemerintahan, terutama pamongpraja, bingung
dan khawatir sehingga tidak mempunyai inisiatif untuk menguasai keadaan. Para
pamongpraja tidak bisa dan tidak berani memberi penerangan atau mengatasi
hal-hal yang melewati batas akibat revolusi itu. Setelah dilucuti senjatanya,
para anggota PETA pulang ke tempat tinggal masing-masing dengan membawa
oleh-oleh berupa terigu, mentega dan rokok.
Sehubungan
dengan berita dan pesan Chairul Saleh itu, pada 22 Agustus 1945, beberapa
pemuda menurunkan Bendera Jepang di Hotel Vos, dan keesokan harinya dilakukan
penurunan bendera di kantor-kantor Pemerintah Jepang. Melihat peristiwa
tersebut, beberapa pejabat sipil Jepang di Banten Syucokan (Residen)
Banten Yuki Yoshii dan menyerahkan
jabatannya kepada Fuku Syucokan (Wakil Residen) Raden Tirtasuyatna. Dia lalu
meninggalkan daerah itu. Sementara itu orang-orang militer Jepang tetap berada
di pos masing-masing melaksanakan perintah Sekutu untuk menjaga status quo.
Di Cinangka
(Anyer) pertentangan antara Pamongpraja dan kelompok sosial revolusioner
semakin meninggi. Kekhawatiran di kalangan pejabat Jepang dan Indonesia
bertambah besar. Pada September 1945 ketegangan meningkat di seluruh Banten.
Dan baru pada 29 September 1945 Wakil Residen Banten (Raden Tirtasuyatna)
diangkat menjadi Residen Banten. Penundaan pengangkatan itu diduga karena dia
bukan putra asli Banten dan meragukan hikmah Proklamasi Kemerdekaan. Hal ini
menimbulkan kecurigaan di kalangan kaum revolusioner. Kaum revolusiner makin
berani melihat keengganan Jepang untuk mendukung Pemerintah Indonesia dan bulat
tekad mereka siap bertempur.
Selain
orang-orang sipil Jepang, beberapa Pamongpraja yang berasal dari daerah
Priangan juga banyak yang meninggalkan Banten gara-gara takut menjadi sasaran
luapan kemarahan rakyat karena mereka dianggap sebagai bekas pejabat kolonial
yang tidak disenangi. RadenTirtasuyatna yang baru menerima pengangkatan jabatan
dari Yuki Yoshii pun melarikan diri ke Bogor, kendati dia telah ditunjuk oleh
Pemerintah RI sebagai Residen Banten.
Sejak
Tirtasuyatna melarikan diri dari Banten, jabatan Residen pun kosong. Belum ada
penunjukan penunjukan pejabat pengganti. Sedangkan pejabat tinggi yang ada
--yaitu Bupati Serang R. Hilman Jayadiningrat-- tidak berani mengambil-alih
tanggung jawab sebagai residen. Dalam situasi demikian, hanya kelompok pemuda
yang berani bergerak dan mengambil inisiatif melucuti orang-orang Jepang yang
ada di Serang dan sekitarnya. Usaha tersebut diprakarsai oleh Pemuda yang
tergabung dalam Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang dipimpin oleh Ali Amangku.
Berkat
desakan Pemuda API lalu diadakan perundingan dengan para tokoh masyarakat
Kabupaten Serang antara lain K.H. Akhmad Khatib, K.H. Syam’un dan Zulkarnain
Surya Kartalegawa. Dalam perundingan itu para pemuda mengusulkan kepada
Pemerintah RI agar segera mengangkat K.H. Akhmad Khatib sebagai Residen Banten
dan K.H. Syam’un menangani urusan militer. Kemudian, melalui sebuah telegram,
pada 6 Oktober 1945 Pemerintah Pusat mengangkat K.H. Akhmad Khatib menjadi
Residen Banten.
K.H. Akhmad
Khatib, putra K.H.Tubagus Muhamad Waseh, adalah ulama Banten yang disegani
masyarakat. Dia yang dilahirkan di Kabupaten Pandeglang pada tahun 1895, pernah
belajar pada beberapa pesantren di daerah Banten antara lain Pesantren Caringin
yang dipimpin oleh K.H.Tubagus Asnawi (dikenal) sebagai Kiyai Caringin. Berkat
kepintaran dan kecerdasannya dia dijadikan menantu Kiyai Caringin. Sejak remaja
dia aktif dalam gerakan pemuda, sehingga tahun 1920 menjadi Ketua Sarekat Islam
Cabang Banten. Sikapnya yang keras dan tegas terhadap Belanda membuatnya dibuang
ke Digul sehubungan Pemberontakan Komunis tahun 1926. Sekitar 15 tahun
kemudian, waktu menjelang berakhirnya Pemerintah Hindia Belanda, dia dibebaskan
dan kembali ke tempat tinggalnya di Caringin, kemudian memimpin pesantren milik
mertuanya. Pada zaman Jepang dia diangkat menjadi daidanco PETA di daerah
Banten.
Setelah
Akhmad Khatib diangkat menjadi residen, langkah pertama dia menyusun aparat
bawahannya. Untuk membantu kelancaran pemerintahan, Khatib menunjuk Zulkarnaen
Surya Kartalegawa sebagai Wakil Residen. Kemudian buat mengisi jabatan bupati
di daerah itu, Khatib meminta pada para bupati lama sementara waktu tetap dalam
jabatannya, dengan pertimbangan bahwa dalam masa transisi para bupati lama lah
yang lebih mengetahui administrasi pemerintahan di daerahnya. Para Bupati itu
adalah R. Hilman Djajadiningrat (Bupati Serang), Mr. Djumhana (Bupati
Pandeglang) dan R. Hardiwinangun (Bupati Lebak).
Setelah
Akhmad Khatib menjadi Residen dan mengangkat kembali pejabat lama, muncul
trik-intrik ketidak-puasan di antara sebagian pemuda. Mereka menghendaki
pembaruan total dan mencap “orang-orang lama” sebagai “warisan kolonial”,
“penghkianat bangsa” dan dikhawatirkan akan membantu Belanda. Tuntutan itu
tidak dikabulkan oleh Residen. Rasa ketidak-puasan itu kemudian dimanfaatkan
oleh kelompok lain untuk maksud yang lain.
Suatu hari,
sekitar pukul 10.00 pagi, pada waktu di Keresidenan berkumpul K.H. Akhmad
Khatib, K.H. Syam’un dan Abdul Hadi, datang rombongan yang menamakan dirinya
Dewan Rakyat. Melalui ancaman kasar mereka memaksa Residen agar membatalkan
Surat Pengangkatan Aparat Pemerintahan di seluruh Keresidenan Banten dan agar
menggantinya dengan orang-orang yang ditunjuk oleh Dewan Rakyat. Pembatalan dan
pengangkatan pejabat-pejabat baru itu harus dibacakan didepan umum esok
harinya. Bila hal itu tidak dilaksanakan, maka Dewan Rakyat akan melenyapkan
orang-orang yang “tidak disenangi rakyat” .
Karena
ancaman itu, Residen terpaksa menyetujui keinginan Dewan Rakyat. Residen
terpaksa menyusun aparatur Pemerintah Daerah yang disesuaikan dengan runtutan
Dewan Rakyat. Susunan Aparatur itu sebagai berikut: K.H. Akhmad Khatib tetap
sebagai Residen, K.H. Syam’un sebagai Bupati Serang merangkap Pimpinan
Tertinggi TKR, K.H.Tubagus Abdulhalim sebagai Bupati Pandeglang dan K.H. Hasan
sebagai Bupati Lebak. Untuk jabatan Wedana, Camat bahkan sampai Lurah
diserahkan kepada kaum ulama.
Pada
tanggal yang dijanjikan, sekitar pukul 10.00 pagi, Keresidenan Banten diambil
alih oleh Dewan Rakyat yang dipimpin oleh Ce Mamat. Sementara itu, K.H.
Syam’un, yang ditunjuk menangani bidang militer, segera merealisir Pembentukan
Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Keresidenan Banten, yang terdiri dari para bekas
anggota PETA, Haiho, Hizbullah, Sabilillah, API dan lain-lain kelasykaran.
Badan tersebut dipimpin oleh K.H. Syam’un dan beberapa hari kemudian dibentuk
pula BKR Laut Banten.
Dalam hal
persenjataan, Pasukan BKR hanya memiliki beberapa senjata api. K.H. Syam’un
lalu berusaha mendapatkan senjata dari pihak Jepang. Untuk itu diadakan
perundingan dengan pihak kempetai di Serang agar mereka menyerahkan senjatanya
kepada BKR. Usaha secara damai itu gagal. Setelah melihat pihak Jepang yang
bersiap-siap menghadapi suatu serangan, dalam suatu kesempatan terbatas tanggal
8 Oktober 1945, pimpinan BKR memutuskan menyerangnya. Keputusan itu
disebar-luaskan kepada pimpinan-pimpinan pemuda, masyarakat dan ulama di
Kabupaten Serang.
Sore
harinya para pemimpin pasukan dari beberapa kecamatan datang di Serang guna
membicarakan Rencana Penyerangan secara rinci. Diputuskan untuk menyerang
Markas Kempetai pada tanggal 10 Oktober 1945 setelah adzan Subuh dan Komando
Penyerangan diserahkan kepada Ali Amangku. Malam harinya datang rombongan BKR
dan pemuda-pemuda dari beberapa kecamatan. Tanggal 9 Oktober, beberapa pemimpin
rakyat yang bersenjata dari seluruh pelosok Banten datang ke Markas BKR di
Serang. Esok harinya, malam hari, diadakan perundingan lagi dengan pihak
kempetai agar mereka menyerahkan senjatanya kepada Pihak Indonesia (Rakyat
Banten). Namun lantaran Jepang menolak, diputuskan bahwa Banten tidak mau
adanya kekuasaan bangsa asing.
Atas
desakan rakyat, pada 11 Oktober pagi hari dilakukan penyerangan ke Markas
Kempetai yang berisi sekitar 200 orang bersenjata lengkap. Penyerangan dipimpin
oleh pemuda dan polisi, dibantu barisan rakyat yang bersenjata golok dan
parang. Pemuda dan Polisi Istimewa menyerang sampai ke garis depan. Pertempuran
berlangsung dua hari dua malam yang memakan banyak korban. Akhirnya pihak
Jepang kalah dan dapat diusir dari Serang. Mereka meloloskan diri ke Jakarta.
Penarikan
tentara Jepang dari Banten menjadi lambang kemenangan yang penting artinya.
Serangan selanjutnya diarahkan ke Penjara Utama di Serang yang tidak dijaga
kuat. Banyak jawara yang dipenjarakan di sana lalu dibebaskan. Tanggal 13
Oktober mereka membunuh enam orang Eropa yang ditahan di penjara itu. Di tempat
lain terjadi penangkapan hampir semua orang yang meninggalkan tugasnya di
kantor kabupaten. Beberapa priyayi lainnya ditangkap dan dipenjarakan.
Beberapa
hari berikutnya pemerintah setempat hampir hancur sama sekali. Di seluruh
Keresidenan Banten, semua Pangrehpraja digantikan oleh para ulama. Di beberapa
tempat penggantian kekuasaan disertai kekejaman. Rapat-rapat umum diadakan
untuk memilih para pejabat baru, yang kebanyakan ulama.
Kaum
komunis setempat tidak menentang pemilihan kaum ulama untuk mengisi
jabatan-jabatan resmi itu. Tapi, sebagai gantinya, mereka memusatkan perhatian pada Dewan Rakyat yang terdiri dari
orang-orang yang sangat radikal dan revolusioner di bawah pimpinan Ce Mamat. Ce
Mamat pernah menjadi Sekretaris PKI Cabang Anyer, ikut dalam Pemberontakan
Komunis tahun 1926. Dia kabur ke Malaya, tahun 1930 kembali ke Indonesia
mendirikan Klub Studi Politik di Palembang. Dan tahun 1932 pernah ditahan namun
kemudian dibebaskan. Dia lalu pulang ke Banten menjadi pengacara. Selama Perang
Dunia ke-II dan zaman Jepang dia mengadakan hubungan dengan kelompok-kelompok
di luar Banten. Tahun 1944 dia dan banyak temannya ditangkap kempetai,
dimasukkan dalam penjara (Hudrey Kahin, hlm 63).
Dewan
melaksanakan fungsinya sebagai Badan Eksekutif, sedangkan Residen dibuatnya
hanya mempunyai kedudukan simbolis. Dewan Rakyat membentuk kepolisian sendiri,
yang dikenal dengan Polisi Keamanan Rakyat dan kemudian menjadi Polisi Khusus.
Dewan membentuk pula Dewan Ekonomi Rakyat yang mengatur distribusi pangan.
Dewan mengambil-alih cadangan beras, gula, garam dan tapioka dari Jepang dan
membagi-bagikannya kepada rakyat dan mengatur penggeledahan rumah-rumah
priyayi.
Untuk
menjaga keamanan rakyat, pada 18 Oktober 1946, K.H.Syam’un (bekas daidanco)
membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang terdiri dari bekas Perwira PETA
yang tidak meninggalkan daerah itu. Sebagai komandannya adalah K.H. Syam’un.
Pembentukan TKR berjalan baik dan pesat, bahkan di beberapa tempat pasukan
ditempatkan di asrama. TKR yang dibentuk itu sebagai Divisi I Komandemen Jawa
Barat dengan nama Divisi 1000/1 (baca: seribu satu), sesuai dengan Maklumat
Pemerintah tanggal 5 Oktober 1945, yang disampaikan lewat Surat Komandemen Jawa
Barat tertanggal 12 Oktober 1945. Wilayah Divisi ini meliputi seluruh
Keresidenan Banten dan daerah sebelah barat Sungai Cisadane, mulai dari Pantai
Utara sampai Pantai Selatan. Yang menjadi Panglima Divisi adalah Kolonel K.H.
Syam’un. Esok harinya dibentuk Pangkalan I Tentara Laut, yang secara taktis
berada di bawah Komando Divisi 1000/1 Banten. Setelah penyerbuan ke Markas
Kempetai, pemerintah sipil berjalan apa adanya.
Tanggal 27
Oktober 1945, di Pendopo Kabupaten Serang diselenggarakan Rapat Besar yang
dihadiri oleh wakil-wakil pemerintah dan rakyat yang dihadiri oleh sekitar
10.000 pengunjung. Dalam rapat itu Ce Mamat alias Muhamad Mansur sebagai wakil
dari Rakyat melakukan penerimaan Pemerintahan Indonesia Merdeka. Lebih lanjut
dia mengemukakan bagaimana seharusnya mewujudkan cita-cita Pemerintah Republik,
dan untuk itu perlu dihilangkan pertentangan-pertentangan berbagai golongan.
Dikatakannya, bila masih ada yang salah hendaknya diperbaiki serta secara
serentak melakukan perlawanan terhadap musuh kita, yaitu NICA dan agen-agennya.
Pidato itu disambut gembira oleh pengunjung.
Pembicara
selanjutnya adalah K.H. Ahmad Khatib, Residen Banten, lalu K.H. Syam’un
(Komandan TKR Banten), yang menyatakan sepenuhnya memegang teguh kedaulatan rakyat.
Seluruh Keresidenan Banten siap mempertahankan kedaulatan RI, seluruh Banten
siap menentang musuh mereka baik berupa NICA maupun kaki tangannya. Sampai saat
itu NICA belum berani datang ke Banten. Perahu-perahu Belanda yang mencoba
mendarat di Pantai Utara Banten dapat dipukul mundur. Rakyat Banten menyadari
bahwa mereka adalah warga RI dan hanya mengakui Presiden Soekarno sebagai
pemimpin Negara Indonesia.
Perubahan
personalia pemerintahan Banten sesuai dengan keinginan Dewan Rakyat itu
akhirnya tetap tidak membuat situasi menjadi lebih baik. Kekacauan yang
ditimbulkan oleh Dewan Rakyat tetap saja berlanjut. Hal itu gara-gara aksi
teror yang dilakukan oleh Pasukan Dewan Rakyat yang menamakan dirinya Laskar
Gulkut atau Gutgut. Sekadar pengetahuan, Gulkut merupakan akronim dari Gulung
Bukut. Bukut artinya Pamongpraja yang
mereka nilai sebagai warisan kolonial. Sedangkan Gutgut adalah jawara-jawara,
artinya bahwa mereka terdiri dari para jawara-jawara.
Setelah
Dewan Rakyat berhasil merebut kekuasaan, pada malam harinya Laskar Gutgut
menculik Bupati Hilman Jayadiningrat, kemudian diamankan di Penjara Serang.
Sementara itu Wakil Residen Zulkarnain Surya Kartalegawa yang juga mempunyai
latar belakang yang sama, melarikan diri ke Priangan. Beberapa pejabat di daerah
yang kelakuannya kejam terhadap rakyat dibunuh oleh Laskar Gulkut.
Kejadian di
Banten itu mendorong Pemerintah Pusat turun langsung menanganinya. Pada 9-11
Desember 1945 Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta diiringi
Jaksa Agung dan Sekretaris Negara meninjau daerah Banten. Sebelum pidato
Presiden dan Wakil Presiden, ribuan rakyat dan wakil-wakil rakyat Banten
menegaskan kesanggupan mereka untuk mempertahankan Republik Indonesia. Mereka
menyatakan berdiri di belakang Pemerintah, melawan setiap penjajahan bangsa
lain. Seorang wakil rakyat menyatakan secara tegas bahwa desas-desus yang
mengatakan bahwa Banten mau berdiri sendiri dan melepaskan diri dari Pemerintah
Pusat adalah tidak benar. Dikatakan bahwa seluruh rakyat Banten berdiri di belakang
Pemerintah RI dan siap mempertahankan kemerdekaan Indonesia sampai akhir zaman.
Dalam
pidatonya, Wakil Presiden Mohammad Hatta antara lain mengharapkan agar rakyat
dari berbagai lapisan dan golongan memperkuat persatuan untuk menegakkan negara
Indonesia. Dengan panjang lebar diterangkan arti kedaulatan rakyat dan
menyadarkan mereka akan kewajiban rakyat terhadap negara. Diingatkan agar
rakyat mengikuti petunjuk Pemerintah dan tidak berbuat menurut kehendak
sendiri, karena perbuatan demikian adalah anarki dan agar menentang setiap
orang yang bertindak semaunya sendiri. Untuk mengatur dan menyusun penghidupan
dan kesejahteraan rakyat diperlukan disiplin yang kuat. Hatta, diluar
kebiasaannya berbicara, menyatakan bahwa Dewan Rakyat itu tidak berguna dan
berseru agar dibubarkan.
Kemudian,
dalam pidatonya, Presiden Soekarno mengatakan bahwa baik-buruknya sesuatu
negara adalah menurut takdir Tuhan serta tergantung pada usaha dan ikhtiar
rakyatnya sendiri. Dikatakan bahwa seluruh lapisan masyarakat harus cinta
terhadap Tanah Air dan bangsa untuk bersama-sama mendirikan negara yang tidak
ada kapitalisme dan imperialisme. Republik Indonesia bukan kepunyaan satu
daerah, tapi kepunyaan seluruh rakyat Indonesia.
Di muka
umum, Ce Mamat menjawab bahwa Dewan Rakyat adalah satu-satunya badan yang
mewakili demokrasi rakyat yang sejati, sedangkan Komite Nasional Indonesia
Pusat (KNIP) hanyalah pemberian Jepang. Unsur-unsur dalam Dewan Rakyat berusaha
menggunakan kunjungan Presiden itu sebagai peluang untuk mendemonstrasikan
militansi revolusionernya. Ketika Soekarno–Hatta berada di Rangkasbitung pada
tanggal 10 Desember 1945, para pendukung Dewan Rakyat menculik dan membunuh
R.T. Hardiwinangun, bekas Bupati Lebak.
Pembunuhan itu mengakibatkan adu kekuatan dengan pihak tentara tidak dapat
dihindarkan.
Pembunuhan
Hardiwinangun menyebabkan Dewan Rakyat banyak kehilangan pendukung. Kaum ulama
cemas melihat jalannya peristiwa itu. Bagi pihak tentara, mendesaknya situasi
diperjelas ketika laskar-laskar Dewan di Serang pada tanggal 31 Desember 1945
menangkap Entol Ternaya, perwira senior TKR dan Oskar Kusumaningrat, bekas
Kepala Polisi Keresidenan Banten. Keduanya diangkut ke Kubu Dewan Rakyat di
Ciomas untuk diadili lantaran kejahatan-kejahatan mereka di masa Belanda.
Pada hari
itu pula terjadi pertempuran di Pandeglang saat pendukung Dewan Rakyat berusaha
merebut senjata milik satuan TKR setempat. Selanjutnya tanggal 2 Januari 1946
Dewan Rakyat di Rangkasbitung menuntut penggantian Bupati Kiyai Abuya Hasan dan
pengangkatan sebuah direktorium untuk mengawasi semua bagian pemerintahan dan
semua pasukan bersenjata revolusioner.
Melihat
adanya penculikan dan perampokan, Residen menginstrusikan kepada Pimpinan TKR
Banten untuk secepatnya menumpas gerakan Dewan Rakyat. K.H. Syam’un segera
memanggil Ali Amangku dan Tubagus Kaking untuk menyusun siasat penumpasan.
Langkah pertama adalah membebaskan R. Hilman Jayadiningrat dari Penjara Serang
dan tidak mengalami kesulitan. Kemudian menyerang Markas Besar Dewan Rakyat di
daerah Ciomas. Hilman Jayadiningrat dan para Priyayi lainnya yang masih
dipenjarakan oleh Dewan Rakyat lalu dibebaskan dan dibawa ke Sukabumi.
TKR di
Rangkasbitung menuntut pembubaran Dewan Rakyat. Tuntutan itu ditolak. Lantas
terjadilah pertempuran. Pasukan Dewan Rakyat secara mudah dikalahkan. Pada
tanggal 8 Januari 1946 Pasukan TKR dari tiga kota penting di wilayah Banten
menyerang pasukan Dewan Rakyat di Ciomas. Pertempuran yang berlangsung lebih
dari 24 jam itu baru berhenti setelah ada campur tangan pribadi Residen Akhmad
Khatib. Dewan Rakyat terpecah, beberapa pemimpinnya (yaitu Ce Mamat, Ali Arkam
dan Akhmad Bassaif) ditangkap. Sebagian besar anggotanya ditawan dan sebagian
kecil melarikan diri ke daerah Lebak. Oekar Kusumaningrat dan Entol Ternaya
yang ditahan di tempat itu pun dibebaskan. Kedudukan K.H. Akhmad Khatib tetap
tidak tertandingi dan kaum ulama terus menduduki semua pos pemerintahan yang
strategis. Kendati semula K.H. Akhmad Khatib bersimpati pada Dewan Rakyat,
tetap menjadi residen, mengingat pengaruhnya yang besar di seluruh wilayah
Banten.
Setelah
penumpasan Dewan Rakyat pada bulan Januari 1946, radikalisme di daerah ini
mereda, namun gangguan keamanan (garong) masih saja merajalela. Lantaran kaum
komunis yang lebih ortodoks berhasil menjaga jarak dengan Dewan Rakyat, mereka
tetap menduduki Jabatan Penasehat. Di Pandeglang, Mohammad Ali (Mamak)
membubarkan Komite Revolusioner Indonesia (KRI) tidak lama setelah Dewan Rakyat
terguling. Sebagai gantinya dibentuk Komite Nasional Indonesia (KNI). Di
Serang, tiga orang tokoh PKI --Agoes Solaeman, Mohammad Nur dan Tubagus
Hilman-- mendirikan Biro Penerangan Rakyat. Agoes Solaeman dan Mohammad Nur
juga menjadi anggota Badan Pekerja KNI Banten. Bekas pemimpin PKI banyak pula
yang tetap menempati kedudukan penting dalam pemerintahan. Kaum ulama masih
menduduki semua jabatan dalam pemerintahan.
Pemerintahan
RI di Yogyakarta mengkhawatirkan keadaan di Banten. Ada kekhawatiran cita-cita
kedaerahan akan muncul lagi. Isyaratnya adalah adanya program yang dilancarkan
K.H. Akhmad Khatib yang dilancarkan bulan September 1946 untuk memugar kembali
Kota Lama Banten dan pelabuhannya. Atas prakarsa Residen Akhmad Khatib, tanggal
8 September 1946, dibentuk Panitia Pembangunan Banten yang diketuainya sendiri.
Panitia itu bermaksud membersihkan dan memelihara Masjid Agung Banten,
membersihkan semua tempat bekas kesultanan yang sejak 1832 tidak terurus,
membuka kembali bekas pelabuhan Banten dan membuat saluran air sampai ke
Kalimati dekat masjid. Pembersihan tempat-tempat tersebut dilakukan secara
sukarela oleh tidak kurang dari 500 orang setiap hari. (Antara 30 Sept 1946; Berita
Indonesia 30 Des 1946).
Muncul
desas-desus bahwa kegiatan itu sebagai awal untuk memulihkan kembali otoritas
kesultanan Banten Lama dengan Akhmad Khatib sebagai orang yang berhak mewarisi
gelar Sultan. Karena isyarat ini, lalu pada Oktober 1946, Mohammad Hatta kembali mengunjungi Banten
menemui Residen Akhmad Khatib.
Setelah
peninjauan Hatta, daerah ini kemudian menjadi daerah yang mendapat perhatian
serius dari Pemerintah Pusat. Susunan Pangrehpraja segera diperbaiki.
Pemerintah Pusat merasa optimis akan hal ini karena di sana tidak terdapat
aliran-aliran yang menentang. Para Kiyai yang menduduki jabatan
kepamong-prajaan yang pada masa awal perang kemerdekaan diturut oleh rakyat
mengingat pengaruh mereka, kemudian rakyat tidak merasa puas terhadap
pemerintahan daerah yang mereka pimpin. Pemerintah Pusat berusaha
memperbaikinya.
Setelah
mengetahui situasi dan kondisi di Banten, Hatta mengadakan kebijakan yang
menentukan baik di front politik maupun di sektor militer. Kolonel A.H.
Nasution mengkonsolidasikan lebih jauh terhadap Brigade I Siliwangi (sebelumnya
“Divisi 1000”). Pada bulan Desember 1946, Letnan Kolonel Sukanda Bratamenggala
dengan pasukannya dikirimkan ke Banten untuk mengambil-alih komando. Pada waktu
yang bersamaan, di bidang politik pemerintahan diadakan beberapa pengangkatan
pejabat daerah. Sebagai Residen, K.H. Akhmad Khatib dibantu oleh bekas Kepala
Djawatan Imigrasi Indonesia Pusat Mr. Yusuf Adiwinata (putra Banten) yang
diangkat sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat yang berkedudukan di Serang dan
Samaun Bakry sebagai Wakil Residen.
Ketika
diangkat itu, Mr. Yusuf Adiwinata dan Samaun Bakry masih berada di Kota Bandung.
Mengingat kondisi waktu itu kurang aman, kedua tokoh ini tidak bisa cepat-cepat
sampai di Serang, Banten. Dengan kawalan konvoi truk tentara yang dipimpin
Mayor Sastra, dua tokoh ini berangkat juga ke Serang dengan jalur Tasikmalaya,
Garut, Sukabumi, Pelabuhanratu, Lebak, Rangkasbitung, Pandeglang dan berakhir
di Kota Serang.
“Di
Tasikmalaya, keluarga Samaun Bakry sempat mukim sebentar sekitar dua bulan baru
kemudian melanjutkan perjalanan ke Kota Serang. Perjalanan yang tidak ringan
melalui hutan-hutan belantara,” ujar Fuad Bakri, anak dari Samaun Bakry yang
ikut dalam perjalanan penuh perjuangan itu. Selain membawa Fuad, Samaun juga
didampingi istrinya Nursima dan satu anaknya lagi, Muis Bakri.
Kemudian untuk
membantu para ulama yang masih menduduki sebagian besar jabatan, Pemerintah
Pusat mengangkat Wedana Sipil dan Militer. Juga dibentuk Pengadilan Militer dan
Satuan Khusus buat menangani masalah Laskar dan Kejahatan.
Mulai tahun
1947 Pemerintah RI menempatkan tenaga-tenaga atau pejabat-pejabat baru dari
luar Banten yang diperlukan untuk memajukan masyarakat dan wilayah Banten. Pada
kongres tanggal 4 Maret 1947 Majelis Ulama Banten meminta Pemerintah Pusat agar
pegawai-pegawai yang ditempatkan di Banten adalah orang-orang yang sesuai
dengan suasana Banten dan yang dicintai rakyat. ***
No comments:
Post a Comment