Dalam
hitungan hari, sejarah baru asuransi sosial dimulai di Indonesia. Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), lembaga perlindungan sosial yang sudah
lama ditunggu akan mulai beroperasi 1 Januari 2014. Ada dua BPJS, yakni BPJS
kesehatan yang merupakan transformasi dari PT Askes dan BPJS ketenaga-kerjaan
sebagai transformasi dari PT Jamsostek.
Pembentukan
BPJS merupakan mandat dari UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Indonesia (SJSN). BPJS juga hadir untuk mengemban mandat konstitusi, sebagaimana
termaktub dalam Pasal 28H Ayat (3) UUD 1945, bahwa setiap orang memiliki hak
atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya seutuhnya sebagai
manusia bermartabat. Juga Pasal 34 Ayat (2) UUD 1945, yang mewajibkan negara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat yang dapat melindungi
masyarakat miskin, lemah, dan tidak
mampu.
Pada tahap
awal, BPJS kesehatan akan menjangkau 176,84 juta atau 72 persen penduduk.
Mereka adalah eks peserta Jamkesmas, Jamkesda, karyawan yang mendapat jaminan
kesehatan dari perusahaan, peserta Askes PNS, TNI/Polri, peserta JPK Jamsostek,
dan peserta asuransi komersial. Lembaga ini ditargetkan bisa menjamin kesehatan
seluruh penduduk pada 2019. Sedangkan BPJS Ketenagakerjaan meliputi program jaminan
kecelakaan kerja (JKK), jaminan hari tua (JHT), jaminan pensiun, dan jaminan
kematian.
Kehadiran
lembaga jaminan sosial tersebut sebenarnya terlambat, karena di negara lain
sudah dimulai sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu. Jerman, misalnya, sudah mengintroduksi
jaminan sosial sejak 130 tahun lalu. Kita berharap keterlambatan ini memberikan
kesempatan kepada penyelenggara untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin.
Namun
kenyataannya, menjelang hari "H", tanda tanya besar masih menggayut
di benak para pemangku kepentingan. Persoalan paling mendasar adalah belum
terbitnya peraturan turunan, baik dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) maupun
peraturan presiden, sebagai pijakan implementasi lembaga baru ini. Kabarnya ada
12 PP yang sudah ditandatangani Presiden, namun belum terekspos.
Banyak
pertanyaan yang belum terjawab. Jika premi penduduk miskin ditanggung
pemerintah, bagaimana dengan sektor informal, mengingat program ini bersifat
wajib. Bagaimana pula perusahaan yang sudah mengasuransikan karyawannya, apakah
harus menambah biaya premi baru atau sudah termasuk premi yang dibayar selama
ini. Bagaimana pula dengan proses pengalihannya. Karena itu, peraturan
pelaksanaan UU BPJS harus segera keluar.
Mengingat
ketidakjelasan tersebut, kita khawatir pada tahap awal operasi BPJS, akan
terjadi kekacauan di lapangan. Dengan kecilnya premi, terutama untuk rakyat
miskin, dikhawatirkan standar pelayanan kesehatannya sangat rendah. Atau malah
ada rumah sakit yang menolak melayani peserta BPJS.
Persoalan
lainnya, infrastruktur pendukungnya, terutama tenaga medis dan fasilitas
pelayanan kesehatan di daerah-daerah terpencil yang amat kurang. Selain itu,
apakah dana BPJS cukup untuk menanggung seluruh klaim mengingat pelaksanaan
jaminan kesehatan selakukan serentak dan masif. Sedangkan untuk BPJS
ketenagakerjaan, hal itu tentu akan menambah beban baru perusahaan pemberi
kerja. Beban itu terasa kian berat manakala mereka dihadapkan pada tuntutan
kenaikan upah.
Semua
kemungkinan buruk itu perlu diantisipasi sejak awal. Kemungkinan munculnya
protes, baik dari penyedia pelayanan kesehatan maupun pasien, harus
diminimalisasi. Jangan sampai mereka justru saling menyalahkan. Jika semua
dipersiapkan dengan baik, kita berharap gejolak selama masa transisi awal ini
bisa diredam.
Seiring
dengan itu, pemerintah dan BPJS perlu terus menyosialisasikan arti penting
asuransi sosial ini. Masyarakat harus diyakinkan bahwa jaminan sosial ini
sangat vital guna memberikan perlindungan atas segala risiko sosial-ekonomi
yang dihadapi pekerja dan keluarga. Dengan jaminan ini, pekerja pun diharapkan
dapat meningkatkan produktivitas. (www.beritasatu.com)
No comments:
Post a Comment