Monday, December 23, 2013

Sejarah Baru Asuransi Sosial



Dalam hitungan hari, sejarah baru asuransi sosial dimulai di Indonesia. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), lembaga perlindungan sosial yang sudah lama ditunggu akan mulai beroperasi 1 Januari 2014. Ada dua BPJS, yakni BPJS kesehatan yang merupakan transformasi dari PT Askes dan BPJS ketenaga-kerjaan sebagai transformasi dari PT Jamsostek.

Pembentukan BPJS merupakan mandat dari UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Indonesia (SJSN). BPJS juga hadir untuk mengemban mandat konstitusi, sebagaimana termaktub dalam Pasal 28H Ayat (3) UUD 1945, bahwa setiap orang memiliki hak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya seutuhnya sebagai manusia bermartabat. Juga Pasal 34 Ayat (2) UUD 1945, yang mewajibkan negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat yang dapat melindungi masyarakat miskin, lemah,  dan tidak mampu.

Pada tahap awal, BPJS kesehatan akan menjangkau 176,84 juta atau 72 persen penduduk. Mereka adalah eks peserta Jamkesmas, Jamkesda, karyawan yang mendapat jaminan kesehatan dari perusahaan, peserta Askes PNS, TNI/Polri, peserta JPK Jamsostek, dan peserta asuransi komersial. Lembaga ini ditargetkan bisa menjamin kesehatan seluruh penduduk pada 2019. Sedangkan BPJS Ketenagakerjaan meliputi program jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan hari tua (JHT), jaminan pensiun, dan jaminan kematian.

Kehadiran lembaga jaminan sosial tersebut sebenarnya terlambat, karena di negara lain sudah dimulai sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu. Jerman, misalnya, sudah mengintroduksi jaminan sosial sejak 130 tahun lalu. Kita berharap keterlambatan ini memberikan kesempatan kepada penyelenggara untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin.

Namun kenyataannya, menjelang hari "H", tanda tanya besar masih menggayut di benak para pemangku kepentingan. Persoalan paling mendasar adalah belum terbitnya peraturan turunan, baik dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) maupun peraturan presiden, sebagai pijakan implementasi lembaga baru ini. Kabarnya ada 12 PP yang sudah ditandatangani Presiden, namun belum terekspos.

Banyak pertanyaan yang belum terjawab. Jika premi penduduk miskin ditanggung pemerintah, bagaimana dengan sektor informal, mengingat program ini bersifat wajib. Bagaimana pula perusahaan yang sudah mengasuransikan karyawannya, apakah harus menambah biaya premi baru atau sudah termasuk premi yang dibayar selama ini. Bagaimana pula dengan proses pengalihannya. Karena itu, peraturan pelaksanaan UU BPJS harus segera keluar.

Mengingat ketidakjelasan tersebut, kita khawatir pada tahap awal operasi BPJS, akan terjadi kekacauan di lapangan. Dengan kecilnya premi, terutama untuk rakyat miskin, dikhawatirkan standar pelayanan kesehatannya sangat rendah. Atau malah ada rumah sakit yang menolak melayani peserta BPJS.

Persoalan lainnya, infrastruktur pendukungnya, terutama tenaga medis dan fasilitas pelayanan kesehatan di daerah-daerah terpencil yang amat kurang. Selain itu, apakah dana BPJS cukup untuk menanggung seluruh klaim mengingat pelaksanaan jaminan kesehatan selakukan serentak dan masif. Sedangkan untuk BPJS ketenagakerjaan, hal itu tentu akan menambah beban baru perusahaan pemberi kerja. Beban itu terasa kian berat manakala mereka dihadapkan pada tuntutan kenaikan upah.

Semua kemungkinan buruk itu perlu diantisipasi sejak awal. Kemungkinan munculnya protes, baik dari penyedia pelayanan kesehatan maupun pasien, harus diminimalisasi. Jangan sampai mereka justru saling menyalahkan. Jika semua dipersiapkan dengan baik, kita berharap gejolak selama masa transisi awal ini bisa diredam.

Seiring dengan itu, pemerintah dan BPJS perlu terus menyosialisasikan arti penting asuransi sosial ini. Masyarakat harus diyakinkan bahwa jaminan sosial ini sangat vital guna memberikan perlindungan atas segala risiko sosial-ekonomi yang dihadapi pekerja dan keluarga. Dengan jaminan ini, pekerja pun diharapkan dapat meningkatkan produktivitas. (www.beritasatu.com)

No comments:

Post a Comment