Anas bin
Malik r.a., bertutur, “Suatu hari, ibuku, Ummu
Sulaim, mendatangi Rasulullah dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, ini anakku, Anas.
Aku datang kepadamu untuk menitipkan dia kepadamu. Jadikanlah dia pelayan
sehari-harimu. Aku minta do’akanlah dia.’ Lalu Nabi bersabda, ‘Ya Allah,
karuniailah dia (Anas) harta dan anak yang banyak’.”[1]
Dalam
redaksi yang lain, “Ya Allah, karuniailah dia harta dan anak yang banyak serta panjangkan
umurnya serta ampunilah dia.” Sampai suatu hari, Anas berkata, “Demi Allah,
sesungguhnya hartaku banyak. Juga,
anakku berjumlah seratus.”
Diriwayatkan
dari Tirmidzi dan selainnya, Anas bin Malik r.a. telah melayani Rasulullah
selama sepuluh tahun. Nabi juga pernah mendo’akannya. Berkat do’a Nabi, Anas
memiliki kebun buah-buahan yang setiap tahunnya panen hingga dua kali. Dan di
dalam kebun tersebut, terdapat buah yang menebarkan bau misik (minyak wangi).[2]
Jadi, anaknya
Anas bin Malik berjumlah seratus, dan umurnya hingga wafat seratus tahun –ada
yang mengatakan seratus sepuluh dan wafatnya pada tahun 93 H. Menurut pendapat
yang kuat, harta bendanya melimpah ruah.
Saib
bin Yazid Berumur Panjang Berkat Do’a Nabi Muhamad Saw
Suatu
hari, Saib bin Yazid dido’akan oleh Nabi Saw seraya beliau mengusap kepala Said
dengan tangannya. Berkat do’a Nabi itu, Saib berumur
panjang hingga sembilan puluh empat tahun, dengan ciri-ciri posturnya sedang,
tidak ada uban sama sekali di bagian kepala yang pernah diusap oleh Nabi dan panca
inderanya sangat kuat.[3]
Membeli
Satu Mendapat Keuntungan Satu
Ini
adalah kisah Urwah bin Abi al-Ju’di al-Mazani r.a. “Saat itu Nabi Saw memberi
uang satu dinar kepadanya agar dibelikan seekor kambing untuk beliau. Lalu
dengan uang tersebut dia dapat membeli
dua ekor kambing. Kemudian dia jual
satu ekor dengan harga satu dinar. Sehingga, dia pulang
membawa satu dinar dan satu ekor kambing. Nabi Saw mendo’akannya
dengan keberkahan dalam jual-belinya. Dalam riwayat lain, Nabi mendo’akan
‘Urwah agar diberi keberkahan dalam jual-beli. Seandainya
‘Urwah membeli debu pun, dia pasti
beruntung.”[4]
Bertambah Harta Berkat Do’a Nabi Muhamad Saw
Suatu hari, Abi Uqail pergi
ke pasar bersama
kakeknya, Abdullah bin Hisyam, untuk
membeli makanan. Setibanya
di pasar, dia
bertemu Ibnu 'Umar dan Ibnu Zubair. Lalu
keduanya berkata kepada Abi Uqail, “Sertakanlah kami dalam urusan
jual-belimu karena Nabi telah mendo'akan keberkahan untukmu.” Kemudian
Abi Uqail menyertakan keduanya. Apabila dia (Abi Uqail) menempuh suatu perjalanan yang jauh, dia pasti akan
mendapatkan tempat singgah yang layak.[5]
Bumi Menolak Jasad Laki-laki Ini Karena Sabda
Rasulullah Saw
Anas bin Malik r.a. mengisahkan, “Ada seorang laki laki yang biasa menulis untuk Rasulullah.
Dia juga pandai membaca surat al-Baqarah dan al-Imran. Kami menghormati laki-laki ini, terlebih ketika dia membaca surat-surat
al-Qur’an. Suatu hari, Rasulullah mendiktekan kepadanya suatu lafazh al-Qur’an
yang berbunyi,’Ghafûra al-Rhahima’ namun dia menuliskannya dengan lafazh
‘Alîman Hakîma’. Rasulullah berkata kepada laki laki ini, ‘Tulislah
seperti ini.’ Tetapi laki-laki itu menjawab, ‘Tulislah sendiri sesuai apa yang
engkau kehendaki.’ Lalu beliau mendiktekan lagi sebuah lafzh, ‘Alîman Hakîma’
namun lagi-lagi dia menuliskannya dengan lafadz ‘Samî’an Bashîra’. Lalu Rasulullah
berkata, ‘Tulislah seperti ini.’ Dan dia menjawab, ‘Tulislah sendiri sesuai dengan
apa yang engkau kehendaki.’
Di kemudian hari, laki-laki itu
murtad dari Islam dan kembali kepada agamanya semula, kafir-musyrik, dan dia
berkata, ‘Tidak
ada yang diketahui Muhamad melainkan apa yang aku tulis untuknya.’ Sampai suatu
waktu laki-laki itu meninggal dan Rasulullah bersabda, ‘Bumi tidak akan menerima
jasad laki-laki itu.’
Kemudian,
Abu Thalhah mendatangi tempat laki-laki itu dikuburkan, dia melihat bahwa jasad laki-laki itu benar-benar
tidak diterima oleh bumi. Abu Thalhah bertanya kepada para
sahabat, ‘Apa yang terjadi pada jasad laki laki ini?’ Mereka menjawab, ‘Jasad
laki-laki ini dikuburkan berkali-kali tetapi jasadnya selalu ditolak bumi’.”[6]
Muawiyah
tidak Pernah Kenyang Lantaran Sabda Rasulullah Saw
Ibnu Abbas
bercerita, "Pada suatu ketika, aku sedang bermain bersama anak-anak.
Tiba-tiba Rasulullah datang dan aku langsung bersembunyi di balik pintu.
Kemudian beliau mendekat seraya menepuk pundakku dari belakang dan berkata, ‘Wahai
Ibnu Abbas, pergi dan panggil Muawiyah ke mari!’ 'Tak lama berselang aku datang
untuk menemui beliau sambil berkata, ‘Wahai Rasulullah, Mu'awiyah sedang makan.’
Setelah itu, Rasulullah menyuruhku kembali sambil berkata, ‘Pergi dan panggil Muawiyah
untuk datang ke mari!’ Lalu aku datang lagi menemui Rasulullah dan berucap, ‘Wahai
Rasulullah, Muawiyah sedang makan.’ Lantas Rasulullah berkata, ‘Semoga Allah
tidak mengenyangkan perutnya’.”[7]
Dan setelah do’a Nabi itu, Muawiyah tidak pernah merasa kenyang selamanya.[8]
Mengenai
hal ini, Ibnu Katsir mengungkapkan, “Sungguh, setelah do’a Nabi itu, Muawiyah r.a. tidak pernah merasa kenyang
selamanya. Ini terbukti tatkala dia menjadi gubernur. Dia makan sehari tujuh
kali, dengan makanan yang berisi daging. Dia berkata, ‘Demi Allah, aku tidak merasa
kenyang namun aku berhenti (makan) karena letih’.”[9]
Apa yang
menimpa Muawiyah adalah lantaran terkabulnya do’a Rasulullah sekaligus ujian dari Allah terhadapnya. Akan tetapi yang
mesti dicatat bahwa hal ini bukan berarti Nabi membenci atau marah pada Mu’awiyah
r.a. melainkan ini menunjukkan betapa mustajabnya do’a seorang Nabi.
Lengan Sahabat Sembuh Setelah Ditekuk Nabi Muhamad Saw
Hubaib
bin Asaf r.a. berkata, “Aku bersama laki-laki dari klanku mendatangi Rasulullah
dan berkata, ‘Kami ingin menjadi saksi dan berjuang bersamamu, wahai
Rasulullah.’ Nabi kemudian bertanya balik, ‘Apakah kalian seorang Muslim?’ Kami menjawab, ‘Bukan.’ Lalu beliau berkata,
‘Kami tidak bisa mengikutsertakan kalian karena kalian masih musyrik.’ Kalau
begitu, kami akan masuk Islam. Aku kemudian memutuskan masuk Islam.
Suatu
ketika, aku terkena pukulan di tengkukku sampai menyebabkan tanganku tak bisa digerakkan.
Lalu aku mendatangi Rasulullah, beliau mengobatiku dengan cara tanganku ditekuk
dan dikencangkan hingga tiba-tiba aku merasa sembuh seperti sediakala. Aku pun
kemudian membunuh
orang yang memukulku dan menikahi putrinya. Anak perempuannya
ini berkata, ‘Tidak ada laki-laki yang kikir seperti dirimu.’ Aku menjawabnya,
‘Tidak ada laki-laki yang lebih cepat masuk neraka kecuali ayahmu’.”[10]
Berkat
Do’a Nabi, Ibnu Abbas Menjadi Lautan Ilmu bagi Umat Muslim
Ibnu Abbas
bin Abdul
Muthalib bercerita, “Suatu
ketika, saat Rasulullah
memasuki
kamar mandi, aku membuatkan semacam tempat wudhu berisi
air di samping kamar mandi. Setelah
beliau keluar, beliau langsung berwudhu, dan bertanya, ‘Siapa yang membuat
tempat wudhu ini?’ Para sahabat yang lain menjawab, ‘Ibnu Abbas.’ Lalu
Rasulullah berdo’a, ‘Ya Allah, pandaikanlah dia dalam urusan agama’.”[11]
Dalam riwayat lain dikatakan, “Rasulullah meletakkan tangannya di atas pundakku
sembari berdo’a, ‘Ya Allah, pandaikanlah dia dalam urusan agama, dan ajarkanlah
dia ilmu penafsiran al-Qur’an’.”[12]
Allah pun
mengabulkan do’a Nabi-Nya kepada anak pamannya ini. Ibnu Abbas kemudian menjadi
seorang ulama besar, pemberi petunjuk dan selalu mengikuti sunnah Rasulullah dalam
setiap kehidupannya. Mengenai hal ini, Ibnu Mas’ud menjelaskan, “Ibnu Abbas adalah
sahabat yang paling mengetahui urusan agama dan sebaik-baik penafsir al-Qur’an
di zaman kita.”[13]
Dalam
catatan sejarah, Abdullah bin Mas’ud meninggal lebih dulu daripada Ibnu Abbas. Beda
umur keduanya sekitar tiga puluh tahun. Di antara
kepandaian dan kemuliaan Ibnu Abbas adalah bahwa pada masa itu orang-orang saling
membicarakan tentangnya baik di kala malam maupun siang, dan di mana saja mereka
berada. Bahkan, kesohoran Ibnu Abbas ini terdengar sampai negeri Romawi, Turki
dan Dailam (wilayah Irak dan Iran sekarang), dan banyak penduduk negeri-negeri ini
berbondong-bondong belajar kepada Ibnu Abbas dan kemudian memeluk Islam. Semoga
beliau mendapatkan ridha Allah SWT.
Berita Kekalahan Kaum Musyrik dalam Perang Hunain
Abbas bin Abdul Muthallib bercerita,
“Dulu aku pernah
ikut perang Hunain bersama Rasulullah Saw. Pada saat itu, aku dan Abu
Sufyan bin Harits bin Abdul Muthalib terus mengiringi Rasulullah dan tidak
ingin berpisah dari beliau. Ketika itu Rasulullah Saw tengah mengendarai seekor
bighal (keledai hasil perkawinan silang dengan kuda) berwarna putih miliknya.
Tatkala pasukan kaum Muslimin dan pasukan kaum kafir sudah saling
berhadap-hadapan, pasukan kaum Muslimin sengaja mundur ke belakang untuk
mengatur serangan. Lalu Rasulullah Saw memacu laju kendaraannya serta
menghadapkannya ke arah pasukan kaum Musyrikin.
Pada saat itu, aku yang
memegang tali kendali bighal Rasulullah Saw. Aku harus dapat mengendalikannya
dengan cara menarik tali kendalinya, agar bighal tidak berlari kencang. Sementara
Abu Sufyan memegang sanggurdi (tempat kedudukan kaki pada pelana kuda) Rasulullah
Saw. Kemudian Rasulullah berkata kepada Abbas, ‘Wahai Abbas, panggillah para
sahabat yang dulu pernah berbaiat kepadaku di bawah pohon itu.’ Pilihan Rasulullah
Saw memang sangat tepat, karena aku memang dikenal di kalangan para sahabat
lainnya sebagai orang yang mempunyai suara yang cukup tinggi. Akhirnya, dengan
lantang aku panggil para sahabat Rasulullah, ‘Wahai para sahabat, di mana orang-orang
yang pernah berbai'at kepada Rasulullah di bawah pohon itu?’
Demi Allah, begitu mendengar suaraku, mereka
bergegas mencari asal-usul suara tersebut, persis seperti anak-anak sapi yang
mendengar suara induknya yang memanggil. Tak lama berselang mereka menjawab
serentak, ‘Ya, kami segera datang untuk memenuhi panggilanmu wahai Rasulullah!’
Aku berteriak kembali dengan suara yang lantang, ‘Mari kita bertempur melawan
orang-orang kafir, dan jangan lupa meminta bantuan kepada orang-orang Anshar!’
Lantas mereka menjawab seraya berseru, ‘Wahai orang-orang
Anshar! Wahai
orang-orang Anshar!’ Selanjutnya mereka hanya cukup memanggil Bani al-Harits bin
al Khajraj. ‘Wahai Bani al-Harits bin al-Khazraj! Hai Bani al-Harits bin al-Khazraj
ke marilah!’ Sementara itu Rasulullah Saw tetap berada di atas bighal sambil
memperhatikan kondisi medan perang dan berkata, ‘Beginilah kondisinya kalau
pertempuran sudah memanas.’
Selanjutnya Rasulullah mengambil
beberapa butir kerikil dan melemparkannya ke wajah orang-orang Musyrikin sembari
mengucap, “Demi Tuhannya Muhamad, mereka pasti akan kalah.” Sejenak aku memperhatikan
kondisi medan perang yang kian lama semakin menegangkan. Demi Allah, aku melihat
Rasulullah Saw terus melemparkan batu-batu kerikil yang ada di tangannya kepada
orang-orang Musyrikin. Tak lama kemudian, aku melihat kondisi orang-orang Musyrikin
kian lama semakin melemah, hingga akhirnya mereka terpukul mundur.”[14]
Nabi
Mendo’akan Pemuda itu Syahid di Jalan Allah SWT
Jabir bin Abdullah al-Anshari bercerita, “Kami berangkat
bersama Rasulullah dalam perang Bani Anmar. Ketika aku duduk di bawah pohon, Rasulullah
datang. Aku lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, ke marilah berteduh di bawah
pohon.’ Rasulullah lantas turun, sementara aku bangkit dan menuju karung milik
kami. Aku merogoh sesuatu di dalamnya, dan aku mendapatkan mentimun kecil.
Mentimun itu kemudian aku belah dan aku berikan kepada Rasulullah. Beliau bertanya,
‘Dari mana ini?’ Aku menjawab, ‘Kami membawanya dari Madinah.’ Kami memiliki
seorang teman dan kami menyiapkan bekal untuk dia bawa saat menggembalakan
hewan tunggangan kami. Jadi, aku persiapkan bekal itu untuknya, kemudian dia balik
lagi dan pergi saat zhuhur dengan mengenakan dua buah kain yang telah usang.
Rasulullah lalu melihatnya dan bertanya, ‘Apakah dia memiliki
dua pakaian lagi selain ini?’ Aku menjawab, ‘Benar, dia punya dua kain di
tasnya yang aku berikan untuknya.’ Beliau bersabda, ‘Panggillah dia dan suruh
dia mengenakannya.’ Lalu aku memanggil dan menyuruhnya memakai kain tersebut.
Sahabatku itu kemudian berpaling dan pergi. Rasulullah lantas bersabda, ‘Semoga
Allah menebas lehernya, bukankah itu lebih baik baginya?’ Sahabatku mendengar
ucapan Rasulullah tersebut, lalu dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah ini di
jalan Allah?’ Beliau menjawab, ‘Ya, di jalan Allah.’ Setelah itu, sahabatku itu
terbunuh di jalan Allah.”[15]
[1]Hadits Shahih,
HR Bukhari bab ‘al-Du’a’ (6334, 6344)
[4]HR Baihaqi
(6/220), Ibnu Katsir dalam kitabnya Al-Bidayahwa al-Nihayat (6/185).
[5]Hadits Shahih, HR Bukhari (6353),(11/151).
[6]Hadits Shahih, HR Ahmad (3/120-121) dan HR Bukhari (3617), Ibnu
Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah (6/190).
[9]Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa al-Nihâyah (6/189).
[10]Hadits Hasan, HR Baihaqi (6/178), HR Imam Ahmad (3/454).
No comments:
Post a Comment