·
Transformasi
Jamsostek ke BPJS Ketenagakerjaan
TAK lama
lagi atau tepatnya 1 Januari 2014, PT
Jamsostek (Persero) akan berubah menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) Ketenagakerjaan. Perubahan bentuk itu merujuk pada UU No 24/2011 tentang
BPJS sebagai pengejawantahan UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN).
Mengawali
tahun, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut resmi menjadi badan hukum
publik yang melayani program jaminan sosial tenaga kerja berupa Jaminan
Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT), dan
Jaminan Pensiun (JP) yang akan efektif dimulai pada 1 Juli 2015.
Program
Jaminan Kesehatan (JK) dialihkan ke BPJS Kesehatan, perubahan dari PT Askes
(Persero) juga beroperasi per 1 Januari 2014.
Perubahan
menjadi BPJS Ketenagakerjaan tentu saja diharapkan tidak mengurangi manfaat
peserta program sebelumnya yang ditangani PT Jamsostek (Persero).
Di samping
itu, mampu memberikan kesejahteraan bagi karyawannya, minimal sama dengan yang
dinikmati ketika masih berbentuk BUMN.
Bahkan, direksi yang sekarang menargetkan dalam waktu tidak lama lagi mampu
menjadi penyelenggara jaminan sosial kelas dunia. Upaya mencapai target
tersebut sudah diterjemahkan dalam tahapan transformasi menjadi BPJS,
terutama menyangkut dua hal pokok, yakni
perangkat lunak atau sumber daya manusia
(SDM) dan perangkat keras atau teknologi informasi beserta jaringan
pendukungnya.
Dalam
konteks ini, mau tak mau BPJS Ketenagakerjaan mesti becermin ke negara-negara
maju. Di sana, jaminan sosial berkontribusi terhadap laju gerak perekonomian
yang bermuara pada kesejahteraan masyarakatnya. Dalam perjalanan menuju level
dunia, secara bertahap dan pasti masa depan jaminan sosial di Indonesia juga
akan mencapai parameter kesejahteraan dan kemajuan ekonomi.
Sebelum
berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan, PT Jamsostek (Persero) telah memiliki
modal yang cukup baik. Dari segi dana kelolaan, misalnya, saat ini nilai
nominalnya sekitar Rp 145 triliun. Bukan angka yang kecil, dan apabila
diberdayakan secara benar dan tepat, pasti akan terus meningkat jumlahnya dan
berdampak besar bagi masyarakat, khususnya terhadap pertumbuhan dan
perkembangan ekonomi. Apalagi jumlah penduduk dan angkatan kerja masih
memungkinkan untuk dieksplorasi dalam upaya meningkatkan kepesertaan.
Potensi
Tantangan terbesar
BPJS Ketenagakerjaan ke depan memang terletak pada bagaimana menggarap potensi
jumlah penduduk yang kini mendekati 250 juta jiwa dan angkatan kerja sekitar
117 juta orang. Data terakhir menunjukkan ada 30 jutaan tenaga kerja yang
terdaftar sebagai peserta jaminan sosial yang diselenggarakan PT Jamsostek
(Persero), namun yang aktif dalam arti membayar iuran secara tertib dan rutin
hanya sekitar 12 juta.
Sisanya
sebanyak 17 juta kemungkinan sudah pindah tempat kerja, terkena pemutusan
hubungan kerja (PHK), atau perusahaan tempatnya bekerja tidak membayarkan iuran
jaminan sosial. Padahal, program jaminan sosial tenaga kerja sudah
diselenggarakan sejak 36 tahun lalu. Awalnya, oleh PT Astek melalui PP No
33/1977, dan selanjutnya ditangani PT Jamsostek (Persero) sesuai dengan UU No
3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. UU yang menyertai operasionalisasi
BUMN itu sebenarnya juga mengatur soal hukuman kurungan badan dan atau denda
bagi pemberi kerja yang tak mengikutkan karyawannya dan program jaminan sosial
tenaga kerja.
Petugas
Pengawas Ketenagakerjaan Kementerian Tenaga Kerja diberi mandat penuh melakukan pengawasan dan
penindakan hukum terhadap perusahaan yang melanggar. Kenyataannya, setelah
beroperasi hampir empat dasawarsa, perusahaan serta pekerja yang menjadi peserta program jaminan sosial tenaga
kerja masih kecil jika dibandingkan dengan potensi jumlah angkatan kerja serta
jumlah perusahaan yang mencapai 50,7 juta usaha sektor informal dan menampung
sekitar 90 juta orang tenaga kerja, 4.370 usaha besar, serta 550 ribu usaha
kecil dan menengah (UKM).
Setelah
ditelisik lebih jauh, di antara perusahaan peserta jaminan sosial tenaga kerja
yang tergolong aktif ternyata, banyak yang berstatus perusahaan daftar sebagian
(PDS), yakni hanya mendaftarkan sebagian karyawannya, sebagian upahnya, dan
akhirnya merugikan pekerja. Perusahaan atau pemberi kerja tampak tidak takut
menghadapi tuntutan hukum dari karyawannya. Pekerja pun cenderung bersikap
pasif, baik karena tidak mengetahui hak-haknya, maupun pasrah akibat ketakutan
terancam PHK. Apalagi secara kasatmata posisi tawar mereka memang tidak kuat
menghadapi pemberi kerja.
Kesadaran
Keikutsertaan
perusahaan dan pekerja pada program jaminan sosial tenaga kerja bukan sekadar
karena penindakan pelanggaran yang belum tegas. Melainkan lebih karena belum ada kesadaran serta
pemahaman mendalam mengenai pentingnya perlindungan atas berbagai risiko yang
kemungkinan terjadi, baik akibat sakit, kecelakaan, kecacatan, maupun masa tua.
Kesadaran
serta pemahaman itu harus dimiliki oleh perusahaan atau pemberi kerja dan
masyarakat, terutama para pekerja. Sehubungan dengan itu, BPJS Ketenagakerjaan masih
mempunyai PR atau ‘’pekerjaan rumah’’ berupa sosialisasi secara masif agar tak
lagi terlampau lama muncul pemahaman dan kesadaran bahwa jaminan sosial
merupakan kebutuhan.
Ada baiknya
upaya memantik kesadaran tersebut dimulai sejak dini; contohnya melalui
kegiatan ke sekolah-sekolah dari TK, SD, sampai perguruan tinggi. Tak ada
salahnya juga dimasukkan dalam kurikulum, karena selama ini yang ada baru soal
asuransi yang diselenggarakan oleh swasta atau sebagain kecil BUMN.
Event-event
yang melibatkan banyak kaum muda perlu dimanfaatkan secara optimal untuk
sosialisasi. Contohnya pentas musik, olahraga, lomba mata pelajaran, dan
sebagainya. Asal dikemas apik dan tidak bersifat kampanye yang kering atau
indoktrinasi, pasti tujuannya akan sampai. Minimal bisa menyentuh kesadaran
generasi muda mengenai betapa penting jaminan sosial sebagai upaya ‘’sedia
payung sebelum hujan’’ atau memikirkan kehidupan masa depan yang aman dan
nyaman, bahkan lebih baik.
Dalam
meningkatkan kualitas layanan, BPJS Ketenagakerjaan perlu pula menggandeng BUMN
atau perusahaan-perusahaan yang mempunyai keunggulan di bidang jaringan.
Misalnya PT Pos Indonesia yang mampu menjangkau daerah-daerah pelosok, serta PT
Telkom atau operator-operator seluler dalam hal jaringan komunikasi dan
teknologi informasi. Prinsipnya adalah meng optimalkan semua jaringan agar
potensi angkatan kerja yang besar tergarap secara optimal pula. Jadi, selain
perusahaan, bisa menjaring peserta-peserta perorangan dan pekerja informal.
Setelah
sosialisasi masif dan simultan membuahkan hasil, jejaring kian luas, dan
potensi tergarap baik; barulah langkah-langkah menuju penyelanggara jaminan
kelas dunia ditegaskan lebih intensif. Kita ingin sejalan dengan upaya itu,
secara bertahap akhirnya pada suatu saat seluruh warga negara memiliki semua
jaminan sosial; diperkirakan hal itu bakal tercapai pada 2030.
Di sisi
lain, program jaminan sosial yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan rakyat,
berdampak ekonomi amat besar. Sebab, setiap jaminan sosial pada dasarnya merupakan
mekanisme mobilisasi dana masyarakat, terutama program jangka panjang, yakni
jaminan hari tua dan jaminan pensiun. (Bambang Tri Subeno/m.suaramerdeka.com)
No comments:
Post a Comment