Oleh Abraham Fanggidae
Widyaiswara Utama Pusdiklat
Kesejahteraan Sosial, Kementerian
Sosial, Jakarta
Di
penghujung tahun, tepat pada 31 Desember 2013 di Istana Bogor, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) meresmikan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS kesehatan merupakan program Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN). Maka, per 1 Januari 2014 JKN mulai secara bertahap
melayani kesehatan bagi 121 jutaan penduduk.
Presiden
SBY pernah mengatakan, konsep dasar dan tujuan diberlakukannya sistem dan
kebijakan tentang BPJS Kesehatan tak lain untuk meningkatkan kesejah-teraan
rakyat Indonesia. Se-lain instrumen peraturan, pemerintah bersama DPR juga
telah menyepakati alokasi anggaran untuk BPJS Kesehatan tahap pertama yakni Rp
19,93 triliun. Dana tersebut akan disalurkan dan diprioritaskan kepada 86,4
juta masyarakat Indonesia yang sangat miskin, miskin, dan rentan.
Pada
tataran historis dan legalistik, implementasi BPJS Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan merupakan perintah UUD NRI Tahun 1945. UUD Tahun 1945 dan
perubahannya Tahun 2002 dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28H ayat (1),
ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) mengamanatkan untuk
mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU Nomor 40 Tahun 2004
tentang SJSN merupakan tonggak sejarah dimulainya reformasi menyeluruh sistem
jaminan sosial di Indonesia. Reformasi program jaminan sosial yang berlaku saat
ini penting karena peraturan pelaksanaan yang berlaku masih bersifat parsial
dan tumpang tindih, manfaat program belum optimal dan jangkauan program
terbatas, serta hanya menyentuh sebagian kecil masyarakat.
Khusus BPJS
Kesehatan, pemerintah telah menyiapkan 12 Peraturan Pemerintah (PP) dan lima
Peraturan Presiden (Perpres) untuk mendukung terlaksananya tahap awal Badan
Penye-lenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Aturan itu dikeluarkan sebagai
instrument pendukung implementasi UU 40/2004 tentang SJSN dan UU 24/2011
tentang BPJS.
Butir
penting BPJS kesehatan berkaitan dengan pelayanan kesehatan bagi 64, 4 juta
penduduk miskin. Jumlah penduduk miskin dimaksud akan memperoleh layanan kesehatan
gratis katagori kelas III pada rumah sakit dan puskesmas. Pertanyaan, bagaimana
penduduk miskin lain yang belum masuk BPJS kesehatan? Perlu diketahui data 64,
4 juta penduduk miskin berasal dari Kementerian Sosial. Data Kemensos adalah
data yang diinput/bersumber, sudah divalidasi Tim Nasional Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), lembaga yang berada dalam tanggung jawab
Wakil Presiden. Data ini nama dan alamat (by na-me, by address) jelas.
Keraguan
jelas masih ada. Jika menengok penerima Bantuan Langsung Sementara Masyarakat
(Balsem) tahun 2013 yang juga mengalami berbagai protes keras warga akibat
hasil pendataan yang dinilai warga lokal tidak adil. Pengalaman ketika proses
pembagian Balsem 2013 lalu, bahkan PNS, pensiunan PNS/TNI/Polri yang tidak
miskin, pengusaha kecil, ataupun penduduk yang memiliki mobil justru sah/didata
dan berhak menerima Kartu Perlindungan Sosial (KPS), sehingga otomatis mereka
menerima balsem. Ironisnya, tunanetra miskin, gelandangan dan pengemis yang
terlunta-lunta di perkotaan justru tidak memperoleh KPS, sehingga tidak mungkin
sama sekali sebagai penerima 'balsem'.
Penduduk
miskin bukan penerima 'Balsem' 2013 sebagai contoh, adalah penduduk miskin
dipastikan pula tidak masuk dalam BPJS Kesehatan 2013. Mengapa, karena secara
by name, by address, mereka belum terakses data base Kementerian Sosial yang
bersumber dari TNP2K dan PPLS 2011. Bukan tidak mungkin mereka katagori
penduduk inilah yang kondisi kesehatan teramat rentan. Maka, kalangan ini
membutuhkan intervensi layanan kesehatan melalui instrumen Puskesmas serta
rumah sakit. Ideal sekali penduduk miskin katagori tersebut secepatnya masuk
BPJS Kesehatan dan memperoleh layanan gratis.
Peluang
pemerintah untuk memberikan layanan terbuka lebar dengan memberikan kesempatan
untuk mendaftar pada Puskesmas, kantor Kelurahan yang dekat dengan pemukiman
mereka. Sosialisasi yang efektif kepada masyarakat luas tentang layanan BPJS
Kesehatan, terutama akses pendaftaran bagi warga miskin yang belum terdaftar
harus digalakkan.
Pekerjaan
rumah BPJS Kesehatan luar biasa besar dan berat dalam mengupayakan seluruh
penduduk miskin didaftar masuk menjadi peserta BPJS Kesehatan. Masih jutaan
jumlah penduduk miskin di berbagai daerah dan pelosok negeri tercinta ini yang
selama 69 tahun belum menikmati layanan gratis di bidang kesehatan. Harus ada
jaminan penduduk miskin yang masuk BPJS kesehatan tidak perlu khawatir untuk
memeriksa dan memperoleh layanan kesehatan gratis, mereka tidak perlu membayar
iuran dari kantong pribadi, karena iuran mereka dibayarkan pemerintah alias
mereka adalah penerima bantuan iuran (PBI).
Jumlah 64,4
juta penduduk miskin by name, by address jelas, sudah di tangan BPJS kesehatan.
Mereka dipastikan memperoleh layanan kesehatan gratis pada berbagai rumah sakit
pemerintah dan swasta pada katagori layanan kelas tiga pada rumah sakit,
Puskesmas, Puskesmas Pembantu se Indonesia sebagai penyelenggara BPJS
Kesehatan.
Dari
sekitar 2.300 rumah sakit, hanya 1.700 rumah sakit yang tersebar di Indonesia
sudah melakukan MoU, siap menjalankan program BPJS Kesehatan. Terhitung sejak 1
Januari 2014, rumah sakit yang bekerja sama mulai melakukan pendaftaran. Tugas
pemerintah, mengajak 600 rumah sakit yang belum bekerja sama berpartisipasi
sebagai rumah sakit pelaksana/siap melayani BPJS Kesehatan.
Pemerintah
harus memberikan fasilitas Penerima Bantuan Iuran (PBI) untuk penduduk miskin
di luar 64, 4 juta sebagai PBI yang duluan masuk JKN. JKN harus menjangkau
seluruh penduduk miskin. ***
No comments:
Post a Comment