Friday, January 10, 2014

Detik-detik Jelang Ajal Abu Hurairah r.a.

Ibn Mahran bercerita bahwa Abu Hurairah berwasiat saat menjelang kematiannya, “Janganlah kalian membangunkan paviliun untuk pemakamanku serta jangan mengiringi jenazahku dengan membawa obor. Bahkan percepatlah penguburanku, karena aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘Jika kalian ingin membawa jenazah ke pemakaman, hendaklah para laki-laki itu membawanya di atas pundak-pundak mereka. Jika jenazah itu termasuk orang yang saleh, maka ia akan berkata, percepatlah kalian membawaku! Akan tetapi jika sebaliknya, jenazah itu akan berkata, ke mana kalian akan membawaku?’ Rasulullah juga bersabda, Setiap makhluk hidup di dunia akan mendengar jeritan-jeritan mayat yang akan dibawa ke pemakaman kecuali kedua telinga manusia. Jika sampai manusia mendengar, ia pasti akan pingsan.”[1]
Hamam bin Munabbah juga bertutur, “Ketika Abu Hurairah dalam keadaan sakaratul maut, ia menangis.” Lalu ada yang berkata pada beliau, “Apa yang membuatmu menangis wahai Abu Hurairah?” Ia menjawab, “Aku sedang memikirkan sedikitnya perbekalanku. Dan aku juga kepikiran, di manakah tempat terakhirku nanti, di surga atau neraka.”[2]
Dalam riwayat yang lain, Abu Hurairah menangis saat ia sakit. Salah satu sahabat berkata padanya, “Apa yang membuatmu menangis wahai Abu Hurairah?” Ia menjawab, “Aku menangis karena hidupku di dunia ini. Aku telah jauh berjalan, namun aku hanya memiliki sedikit bekal. Pernah aku bermimpi naik ke tempat tinggi yang di bawahnya terdapat surga dan neraka. Aku tidak tahu, di tempat mana aku akan diletakkan nanti.”
Marwan bin Hakam lalu masuk ke kamarnya menemui beliau dan berkata, “Allah akan memberimu kesembuhan wahai Abu Hurairah.” Ia berkata pada Marwan, “Ya Allah, sungguh aku bahagia bila bertemu dengan-Mu. Semoga Engkau juga senang jika bertemu denganku.” Setelah itu Marwan meninggalkan Abu Hurairah. Belum sampai ia di pertengahan pasar, Abu Hurairah telah menghembuskan nafas terakhirnya.[3]

Kebahagiaan Hudzaifah bin Al-Yaman Saat Ajal Menjelang  
Saat Hudzaifah bin al-Yaman berada di detik-detik kematiannya, ia berdoa, “Ya Allah, sungguh aku takut kepada-Mu. Dan hari ini aku memohon kepada-Mu. Ya Allah, sungguh Engkau lebih tahu bahwa aku tidak pernah senang hidup kekal di dunia ini. Apalagi untuk menikmati indahnya aliran sungai-sungai dan matangnya buah-buahan. Aku lebih suka merasakan kehidupan seperti mereka yang merasakan kehausan yang sangat saat hijrah; dan kesulitan dan penderitaan mereka yang bangun tengah malam sekadar untuk mendekatkan diri pada-Mu; juga seperti mereka para ulama yang saling berlomba dalam halaqah dzikir secara bersama-sama.”
Saat rasa sakitnya kian bertambah, beliau pingsan dan kemudian bangun dengan membuka kedua matanya lalu berdoa, “Ya Allah, tariklah kesulitan yang datang dari-Mu serta tahanlah sumbatan itu. Di mana aku telah lama mengisyaratkan hal itu pada-Mu. Karena Engkau lebih tahu bahwa aku sungguh-sungguh mencintai-Mu.”[4]
Dalam riwayat lain disebutkan ketika Hudzaifah dalam keadaan sakaratul maut,  ia berkata, “Wahai kematian, tutuplah pintumu! Wahai kematian, tariklah kesulitanmu! Hatiku ini tidak sedikitpun menolak untuk mencintaimu. Karena akan datang kebahagiaan hidup setelah kedatanganmu. Engkau adalah kekasih yang datang dengan kekurangan. Aku tidak bahagia di atas mereka yang menyesal. Bukankah aku mempunyai catatan sejarah sendiri yang aku ketahui? Segala puji bagi Allah yang telah melewatkanku dari penyebar fitnah dan orang-orang kafir yang membawanya.”[5]

Hudzaifah bin Al-Yaman Menjelang Ajal
Ziyad, budak Ibn Iyasy, berkisah, “Telah berkata kepadaku orang yang menemui Hudzaifah ketika ia sedang sakit. Saat itu Hudzaifah berkata, Jikalau aku tidak mengetahui bahwa hari ini adalah hari terakhirku hidup di dunia dan awal perjalananku di akhirat, maka aku tidak akan mengucapkan satu patah katapun. Ya Allah, sungguh Engkau tahu bahwa aku lebih senang hidup dalam keadaan fakir daripada kaya. Aku juga lebih senang hidup dalam kehinaan daripada kemuliaan. Aku lebih senang dengan kematian daripada kehidupan. Di mana kematian adalah kekasih yang datang dengan kekurangan. Sungguh aku tidak bahagia di atas mereka yang menyesal. Setelah mengucapkan kata-kata itu, beliau pun wafat.[6]
Abu Wail bercerita bahwa ketika Hudzaifah merasakan kehidupan yang dijalaninya di dunia ini terasa begitu berat, maka datanglah beberapa orang dari Bani Abbas, termasuk salah satunya adalah Khalid bin Rabi’ al-Abasy. Setelah malam itu, Khalid berkata padaku, Kami datang padanya di sela-sela sepertiga malam. Saat kami masuk, ia berada di pojok kamar. Ia bertanya pada kami, Jam berapa sekarang ini? Kami menjawab, Sepertiga malam atau mendekati akhir malam. Ia kemudian berdoa, Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu pagi hari ini dari api neraka.’ Kemudian ia bertanya lagi pada kami, Apakah kalian datang membawa kain kafan? Kami menjawab, Ya. Ia berkata lagi, Janganlah kalian curi kain kafanku. Sungguh jikalau kain kafan itu baik menurut Allah untuk pemakainya, maka Allah akan menggantikan pakaiannya dengan pakaian yang lebih baik dari kain kafan itu. Jikalau tidak, maka pasti kain kafan itu akan dicuri.[7]
Dari Abu Ishaq bahwa Silah bin Zafar pernah berkata padanya, “Hudzaifah mengutus aku dan Abu Mas’ud. Kami disuruh membelikan kain kafan selebar potongan pakaian dengan harga 300 dirham. Ia bertanya pada kami, Perlihatkanlah padaku apa yang telah kalian beli! Kami lalu perlihatkan kain kafan itu padanya. Ia berkata lagi, Bukan seperti ini kain kafan yang aku inginkan. Tapi aku ingin sebenar-benarnya kain kafan memanjang yang berwarna putih yang tidak berbentuk seperti baju. Dan sungguh aku tidak akan pergi sampai aku mendapatkan ganti yang lebih baik daripada ini. Akhirnya kami membelikannya dua kain kafan putih seperti yang dimintanya.[8]
Al-Dzahabi mengatakan dalam kitabnya, “Hudzaifah wafat beberapa bulan setelah khalifah Utsman r.a. terbunuh, yaitu pada tahun 35 Hijriah”[9]



[1]Hadist shahih ini HR Imam Bukhari dalam‘Shahih Bukhâri’, Juz III, hlm. 145, Imam Nasa’i dalam ‘Sunan al-Nasâi’, Juz IV, hlm. 40-41  dan Imam Ahmad dalam ‘Musnad Ahmad’, Juz II, hlm. 292, 500  dan Juz II, hlm. 58.
[2]HR Al-Rab’i dalam ‘Wasâyâ al-Ulamâ Inda Hudhur al-Mauti’ hlm. 58, Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât al-Kubrâ’, Juz IV, hlm. 339, Abu Na’im dalam ‘Hilyat al-Auliyâ’, Juz I, hlm. 383 dan Imam al-Dzahabi dalam ‘Siyaru A’lâmi al-Nubalâ’, Juz II, hlm. 645.
[3]Hadits shahih, HR Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqat al-Kubra’, Juz IV, hlm. 339, Ibn ‘Asakir dalam ‘Târîkh Damsiq’ seperti juga yang tertera dalam ‘Siyaru A’lâmi al-Nubalâ’ milik Imam al-Dzahabi, Juz II, hlm. 625.
[4]HR Abd al-Haqq al-Isybily dalam ‘al-Aqibah’, hlm. 68-69.
[5]HR Al-Rab’i dalam ‘Wasâyâ al-Ulamâ Inda Hudhur al-Mauti’, hlm. 54 dan Abu Na’im dalam ‘Hilyat al-Auliyâ’, Juz I, hlm. 282.
[6]Hadits hasan, HR Ibn al-Jauzi dalam ‘Sifat al-Safwah’, Juz 1, hlm. 614 dan Abu Na’im dalam ‘Hilyat al-Auliyâ’, Juz I, hlm. 282  melalui dua jalur.  
[7]Hadits shahih, HR Ibn al-Jauzi dalam ‘Sifat al-Safwah’, Juz I, hlm. 615  dan Abu Na’im dalam ‘Hilyat al-Auliyâ’, Juz I, hlm. 282. 
[8]Hadits hasan, HR Abu Na’im dalam ‘Hilyat al-Auliyâ’, Juz I, hlm. 615 dan Ibn al-Jauzi dalam ‘Sifat al-Safwah’, hlm. 282-283.
[9]HR Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât al-Kubrâ’, Juz VII, hlm. 317.

No comments:

Post a Comment