Ibn
Mahran bercerita bahwa Abu Hurairah berwasiat saat menjelang kematiannya, “Janganlah
kalian membangunkan paviliun untuk pemakamanku serta jangan mengiringi jenazahku
dengan membawa obor. Bahkan percepatlah penguburanku, karena aku pernah
mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘Jika kalian ingin membawa jenazah ke
pemakaman, hendaklah para laki-laki itu membawanya di atas pundak-pundak mereka.
Jika jenazah itu termasuk orang yang saleh, maka ia akan berkata, percepatlah
kalian membawaku! Akan tetapi jika sebaliknya, jenazah itu akan berkata, ke mana kalian akan membawaku?’ Rasulullah juga bersabda, ‘Setiap makhluk hidup di dunia akan mendengar jeritan-jeritan mayat yang
akan dibawa ke pemakaman kecuali kedua telinga manusia. Jika sampai manusia
mendengar, ia pasti akan pingsan’.”[1]
Hamam
bin Munabbah juga bertutur, “Ketika Abu Hurairah dalam keadaan
sakaratul maut, ia menangis.” Lalu ada yang berkata pada beliau, “Apa yang
membuatmu menangis wahai Abu Hurairah?” Ia menjawab, “Aku sedang memikirkan sedikitnya
perbekalanku. Dan aku juga kepikiran, di manakah tempat terakhirku nanti, di surga atau neraka.”[2]
Dalam
riwayat yang lain, Abu Hurairah menangis saat ia sakit. Salah satu sahabat berkata
padanya, “Apa yang membuatmu menangis wahai Abu Hurairah?” Ia menjawab, “Aku
menangis karena hidupku di dunia ini. Aku telah jauh berjalan, namun aku hanya
memiliki sedikit bekal. Pernah aku bermimpi naik ke tempat tinggi yang di bawahnya
terdapat surga dan neraka. Aku tidak tahu, di tempat mana aku akan diletakkan
nanti.”
Marwan
bin Hakam lalu masuk ke kamarnya menemui beliau dan berkata, “Allah akan
memberimu kesembuhan wahai Abu Hurairah.” Ia berkata pada Marwan, “Ya Allah,
sungguh aku bahagia bila bertemu dengan-Mu. Semoga Engkau juga senang jika
bertemu denganku.” Setelah itu Marwan meninggalkan Abu Hurairah. Belum sampai
ia di pertengahan pasar, Abu Hurairah telah menghembuskan nafas terakhirnya.[3]
Kebahagiaan
Hudzaifah bin Al-Yaman Saat Ajal Menjelang
Saat
Hudzaifah bin al-Yaman berada di detik-detik kematiannya, ia berdoa, “Ya Allah,
sungguh aku takut kepada-Mu. Dan hari ini aku memohon kepada-Mu. Ya Allah,
sungguh Engkau lebih tahu bahwa aku tidak pernah senang hidup kekal di dunia ini.
Apalagi untuk menikmati indahnya aliran sungai-sungai dan matangnya
buah-buahan. Aku lebih suka merasakan kehidupan seperti mereka yang merasakan
kehausan yang sangat saat hijrah; dan kesulitan dan penderitaan mereka yang bangun
tengah malam sekadar untuk mendekatkan diri pada-Mu;
juga seperti mereka para ulama yang saling berlomba dalam halaqah dzikir secara
bersama-sama.”
Saat
rasa sakitnya kian bertambah, beliau pingsan dan kemudian bangun dengan membuka
kedua matanya lalu berdoa, “Ya Allah, tariklah kesulitan yang
datang dari-Mu serta tahanlah sumbatan itu. Di mana aku telah lama mengisyaratkan hal itu pada-Mu. Karena Engkau lebih
tahu bahwa aku sungguh-sungguh mencintai-Mu.”[4]
Dalam
riwayat lain disebutkan ketika Hudzaifah dalam keadaan sakaratul maut, ia berkata, “Wahai kematian, tutuplah pintumu!
Wahai kematian, tariklah kesulitanmu! Hatiku ini tidak sedikitpun menolak untuk
mencintaimu. Karena akan datang kebahagiaan hidup setelah kedatanganmu. Engkau
adalah kekasih yang datang dengan kekurangan. Aku tidak bahagia di atas mereka
yang menyesal. Bukankah aku mempunyai catatan sejarah sendiri yang aku ketahui?
Segala puji bagi Allah yang telah melewatkanku dari penyebar fitnah dan
orang-orang kafir yang membawanya.”[5]
Hudzaifah bin Al-Yaman Menjelang Ajal
Ziyad, budak Ibn Iyasy, berkisah, “Telah berkata kepadaku orang yang menemui
Hudzaifah ketika ia sedang sakit. Saat itu Hudzaifah berkata, ‘Jikalau aku tidak mengetahui bahwa hari ini
adalah hari terakhirku hidup di dunia dan awal perjalananku di akhirat, maka
aku tidak akan mengucapkan satu patah katapun. Ya Allah, sungguh Engkau tahu
bahwa aku lebih senang hidup dalam keadaan fakir daripada kaya. Aku juga lebih
senang hidup dalam kehinaan daripada kemuliaan. Aku lebih senang dengan kematian
daripada kehidupan. Di mana kematian adalah kekasih yang datang
dengan kekurangan. Sungguh aku tidak bahagia di atas mereka yang menyesal.’ Setelah mengucapkan kata-kata itu, beliau pun
wafat.”[6]
Abu Wail bercerita bahwa ketika Hudzaifah merasakan kehidupan yang
dijalaninya di dunia ini terasa begitu berat, maka datanglah beberapa orang
dari Bani Abbas, termasuk salah satunya adalah Khalid
bin Rabi’ al-Abasy. Setelah malam itu, Khalid berkata padaku, “Kami datang padanya di sela-sela sepertiga
malam. Saat kami masuk, ia berada di pojok kamar. Ia bertanya pada kami, ‘Jam berapa sekarang ini?’ Kami menjawab, ‘Sepertiga malam atau mendekati akhir malam.’ Ia kemudian berdoa, ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu pagi hari ini dari api neraka.’ Kemudian ia bertanya lagi pada kami, ‘Apakah
kalian datang membawa kain kafan?’ Kami menjawab, ‘Ya.’ Ia berkata lagi, ‘Janganlah kalian curi kain kafanku. Sungguh jikalau kain kafan itu baik
menurut Allah untuk pemakainya, maka Allah akan menggantikan pakaiannya dengan
pakaian yang lebih baik dari kain kafan itu. Jikalau tidak, maka pasti kain kafan
itu akan dicuri’.”[7]
Dari
Abu Ishaq bahwa Silah bin Zafar pernah berkata padanya, “Hudzaifah mengutus aku
dan Abu Mas’ud. Kami disuruh membelikan kain kafan selebar potongan pakaian
dengan harga 300 dirham. Ia bertanya pada kami, ‘Perlihatkanlah
padaku apa yang telah kalian beli!’ Kami lalu perlihatkan kain kafan
itu padanya. Ia berkata lagi, ‘Bukan seperti ini kain kafan yang
aku inginkan. Tapi aku ingin sebenar-benarnya kain kafan memanjang yang
berwarna putih yang tidak berbentuk seperti baju. Dan sungguh aku tidak akan
pergi sampai aku mendapatkan ganti yang lebih baik daripada ini.’ Akhirnya kami membelikannya dua kain kafan putih
seperti yang dimintanya.”[8]
Al-Dzahabi
mengatakan dalam kitabnya, “Hudzaifah wafat beberapa bulan setelah khalifah
Utsman r.a. terbunuh, yaitu pada tahun 35 Hijriah”[9]
[1]Hadist shahih ini HR Imam Bukhari dalam‘Shahih
Bukhâri’, Juz III, hlm. 145, Imam Nasa’i dalam ‘Sunan al-Nasâi’, Juz IV, hlm. 40-41 dan Imam Ahmad dalam ‘Musnad Ahmad’, Juz II, hlm. 292, 500 dan Juz II, hlm. 58.
[2]HR Al-Rab’i dalam ‘Wasâyâ al-Ulamâ Inda Hudhur al-Mauti’ hlm. 58,
Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât al-Kubrâ’, Juz
IV, hlm. 339, Abu Na’im dalam ‘Hilyat al-Auliyâ’, Juz I, hlm. 383 dan
Imam al-Dzahabi dalam ‘Siyaru A’lâmi
al-Nubalâ’, Juz II, hlm. 645.
[3]Hadits shahih, HR Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqat al-Kubra’, Juz IV, hlm. 339, Ibn ‘Asakir dalam ‘Târîkh Damsiq’ seperti juga yang
tertera dalam ‘Siyaru A’lâmi al-Nubalâ’
milik Imam al-Dzahabi, Juz II, hlm. 625.
[5]HR Al-Rab’i dalam ‘Wasâyâ al-Ulamâ
Inda Hudhur al-Mauti’, hlm. 54 dan Abu Na’im dalam ‘Hilyat al-Auliyâ’,
Juz I, hlm. 282.
[6]Hadits hasan, HR Ibn al-Jauzi dalam ‘Sifat
al-Safwah’, Juz 1, hlm. 614 dan Abu Na’im dalam ‘Hilyat al-Auliyâ’,
Juz I, hlm. 282 melalui dua jalur.
[7]Hadits shahih, HR Ibn al-Jauzi dalam ‘Sifat al-Safwah’, Juz I, hlm. 615
dan Abu Na’im dalam ‘Hilyat al-Auliyâ’, Juz I, hlm. 282.
[8]Hadits hasan, HR Abu Na’im dalam ‘Hilyat
al-Auliyâ’, Juz I, hlm. 615 dan Ibn al-Jauzi dalam ‘Sifat al-Safwah’,
hlm. 282-283.
[9]HR Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât al-Kubrâ’,
Juz VII, hlm. 317.
No comments:
Post a Comment