PROGRAM
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) Kesehatan mulai 1 Januari lalu adalah program mulia sekaligus
ambisius. Mulia, karena program tersebut merupakan wujud keinginan baik pemerintah
memastikan rakyat tak kesulitan memperoleh layanan kesehatan. Pemerintah tak
menghendaki terjadi lagi kasus-kasus memilukan seperti di masa lalu: rakyat
miskin, terutama, terlunta-lunta atau bahkan mati sia-sia didera sakit akibat
tak mampu mengakses jasa perawatan kesehatan.
Kini, lewat program JKN, pemerintah
menjamin layanan kesehatan bagi sekian banyak rakyat di berbagai lapisan dan
golongan. Untuk tahap awal sekarang saja, program tersebut mencakup 140 juta
jiwa penduduk. Jaminan itu terus ditingkatkan sehingga kelak makin banyak lagi
rakyat yang tercakup program JKN ini. Tahun 2018, misalnya, peserta program
tersebut ditargetkan sudah mencakup 190 juta jiwa penduduk.
Karena itu, program JKN bersifat ambisius.
Bagaimanapun, menjamin kesehatan bagi sekian banyak rakyat sekaligus jelas
pekerjaan raksasa. Kesiapan di berbagai segi, termasuk soal pendanaan, menjadi
tuntutan mutlak. Jika tidak, bisa-bisa program tersebut menimbulkan kekisruhan
di tingkat pelaksanaan - terutama di lapangan -, sehingga tujuan mulia
pemerintah menyejahterakan rakyat bisa gagal dicapai. Bahkan, karena harus
menyediakan subsidi bagi rakyat miskin, pemerintah pun bukan tidak mungkin
kewalahan dalam melaksanakan program JKN - terutama ketika semakin banyak lagi
rakyat yang tercakup program tersebut.
Oleh sebab itu pula, patut diakui,
pemerintah kelewat berani dalam mewujudkan keinginan mulia menjamin kesehatan
bagi rakyat ini. Keberanian tersebut kian gamblang kalau becermin ke negara
maju seperti AS sekalipun. Negara yang secara ekonomi memiliki kemampuan jauh
di atas kita itu tak sanggup memberikan jaminan kesehatan bagi rakyatnya. Dalam
konteks ini, program Obamacare yang digagas Presiden Barack Obama pun mendapat
tentangan hebat pihak Kongres. Mereka menentang karena program itu mereka nilai
tidak feasible secara ekonomi.
Di kita, secara politis program jaminan
kesehatan bagi rakyat ini aman-aman saja. Paling tidak, itu tecermin dari dapat
diundangkannya UU Nomor 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Undang-undang tersebut melengkapi UU Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional.
Artinya, wakil-wakil rakyat di Senayan
memberi restu terhadap keinginan baik pemerintah memberi jaminan kesehatan bagi
rakyat itu. Justru itu, parlemen bisa diharapkan tidak pelit memberi dukungan
dalam soal anggaran bagi penyelanggaraan program tersebut.
Walhasil, keberhasilan program itu pun
lebih terletak pada kesanggupan pemerintah sendiri mengorganisasikan
kesiapan-kesiapan teknis. Nah, patut diakui, soal ini menimbulkan kecemasan.
Selain miskin sosialisasi, peraturan pendukung bagi pelaksanaan program JKN
juga masih compang-camping. Tidak mengherankan, terutama di lapangan, hal-hal
yang tidak perlu - tetapi merugikan peserta program JKN - pun bermunculan.
Tentang itu, misalnya, kalangan rumah sakit
direpotkan oleh syarat penyelenggaraan program JKN yang sangat berbelit. Itu
membuat banyak rumah sakit belum bisa membuka layanan program JKN, sementara
animo dan antusiasme rakyat tentang layanan itu telanjur membuncah - lengkap
dengan berbagai bentuk kekurangpahaman dan misinformasi yang merepotkan.
Di sisi lain, layanan di rumah sakit juga
memakan waktu lama karena data pasien belum diverifikasi BPJS. Belum lagi rumah
sakit juga acap harus bersitegang dengan pasien akibat kelemahan sosialisasi.
Misalnya soal penyakit atau obat-obat tertentu yang tak tercakup program JKN.
Berbagai kelemahan seperti itu harus segera
dibenahi. Sebagai program mulia, JKN tak boleh mengecewakan rakyat sekaligus
jangan sampai merepotkan pihak penyelenggara di lapangan.
(www.suarakarya-onlie.com)
No comments:
Post a Comment