Friday, January 10, 2014

RS Swasta Ragu Ikut Program JKN



Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) membuat banyak dokter di Kota Depok, Jawa Barat, resah. Tidak hanya dokter, pengelola rumah sakit swasta pun menilai program tersebut tidak jelas.

    Bahkan, Dinas Kesehatan Kota Depok juga ikut mengkritisi program yang dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mulai tanggal 1 Januari lalu.

    Keluhan dan kritikan itu mengemuka dalam diskusi panel tentang "Kesiapan Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional Di Kota Depok", di aula Balai Kota Depok, Kamis (9/1/2014).

    Baik panelis maupun seluruh peserta yang hadir menilai banyak kelemahan dalam pelaksanaan JKN kendati sudah dua tahun penerapan Undang-Undang (UU) BPJS ditunda.

    Oleh sebab itu, IDI Kota Depok membentuk tim evaluasi JKN yang terdiri dari kalangan dokter, Pemerintah Kota Depok, Asosiasi Rumah Sakit Indonesia (ARSI) Kota Depok, dan BPJS Kesehatan.

    "Tim evaluasi bekerja selama satu bulan. Hasilnya diusulkan ke IDI Pusat agar diperjuangkan ke pemerintah," tutur Ketua IDI Depok dr Fahrur Rozi.

    Adapun panelis dalam diskusi yang diselenggarakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Depok masing-masing Kepala Cabang Umum BPJS Bogor Wahyudi, Kepala Dinas Kesehatan Kota Depok dr Lies Karmawati, serta pengurus IDI Cabang Kota Depok yang juga Ketua Persatuan Klinik dan Fasilitas Kesehatan Primer Indonesia (PKFI) Pusat dr Slamet Budiarto SH MHKes. Bertindak selaku moderator Ketua IDI Kota Depok dr Fahrur Rozi.

    Kepala Cabang Umum BPJS Bogor Wahyudi, dalam kesempatan itu, mengakui, masih terdapat masalah krusial yang harus dibenahi setelah UU BPJS diberlakukan pada 1 Januari 2014. Salah satu faktor penyebabnya, belum semua peraturan pelaksana rampung.

    Namun, dia berharap, berbagai persoalan itu bisa segera diatasi secara bertahap, karena BPJS merupakan impian lebih kurang 40 tahun lalu yang akhirnya bisa diwujudkan.

    Pengurus IDI Kota Depok, yang juga Ketua PKFI Pusat, dr Slamet pun mengungkapkan persoalan dalam program JKN bukan semata soal tarif paket atau kapitasi seperti yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Masih banyak soal yang harus diselesaikan," ucapnya.

    Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Kota Depok dr Lies Karmawati mengkritik adanya lima rumah sakit swasta dan 39 klinik dan dokter yang masuk kategori praktik mandiri yang sudah melayani BPJS. Hal ini setelah ditandatanganinya memorandum of understanding (MoU) dengan BPJS Kesehatan. Yang disayangkannya, yang sudah melayani BPJS itu belum mengantongi rekomendasi dari dinas kesehatan setempat.

    Padahal, katanya, rekomendasi ini untuk mengetahui apakah yang bersangkutan sudah berizin ataukah belum. "Setelah ditelusuri, ternyata ada yang belum mengantongi izin praktik," katanya.

    Persoalan ini, menurut dia, harus dikoreksi. Dinas Kesehatan, lanjutnya, tidak akan menghalangi para peserta yang hendak melayani BPJS. Yang sudah menandatangani MoU dengan BPJS Kesehatan diminta agar mengurus rekomendasi dari Dinas Kesehatan. "Tetapi, yang belum mengantongi izin, tentu tidak diberi rekomendasi," katanya.

    Terkait dengan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) bergabung ke BPJS, Lies menjelaskan, sesuai rencana pada tahun 2015 bergabung. "Tetapi, bila pelaksanaannya masih belum rapi, bisa saja ditunda pada tahun 2016," ujar Lies.

    Sementara itu, Wakil Ketua Asosiasi Rumah Sakit Indonesia (ARSI) Depok dr Amri mengungkapkan, lima rumah sakit yang sudah melayani BPJS itu belum maksimal. Penyebabnya, antara pengelola rumah sakit dan dokter di rumah sakit belum ada kesepakatan besaran tarif pelayanan.

    "Tidak mudah rumah sakit swasta melayani BPJS karena perhitungannya secara ekonomi tidak masuk. Bagaimanapun sebagai rumah sakit juga harus ada keuntungan. Dan, karena dikelola sebagai perusahaan yang harus profit, maka pihak manajemen pun mengalokasikan anggaran corporate social responsibility (CSR)," ujar Amri.

    Jika di Depok yang berdekatan dengan Jakarta saja masalah JKN masih membingungkan, maka di daerah yang jauh dari Jakarta masalah JKN tampaknya lebih membingungkan.

    Tidak mengherankan, misalnya, DPRD Provinsi Kalimantan Tengah mendesak BPJS Kesehatan setempat untuk menggencarkan sosialisasi JKN agar diketahui masyarakat di daerah itu. (www.suarakarya-online.com)

No comments:

Post a Comment