Monday, January 13, 2014

Jelang Ajal Abu Dzar Al-Ghifari



Ibrahim al-Asytar menceritakan bahwa istri Abu Dzar pernah berkata, “Saat Abu Dzar menghadapi sakaratul maut, aku menangis.”
Beliau lalu menanyaiku, “Mengapa engkau menangis wahai istriku?”
Akupun menjawab, “Bagaimana aku tidak menangis, engkau akan mati di padang pasir dan kedua tanganku tidak mampu menjadi kerandamu. Kita juga tidak punya apapun atau menyimpan sehelai kain yang cukup untuk kain kafanmu.”
Lalu Abu Dzar berkata lagi padaku, “Jangan menangis wahai istriku! Bergembiralah! Aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda, ‘Tidak akan mati dua orang Muslim (dalam keadaan buruk) sedangkan mereka memiliki dua anak atau lebih. Anak-anaknya nanti yang akan mengurus mereka jika mereka mati. Jika mereka tidak melaksanakan hal itu kepada orang-tuanya, maka mereka akan dimasukkan ke dalam api neraka selamanya. Aku juga mendengar beliau bersabda kepada salah seorang di mana saat itu aku pun juga berada di sana, Tidak akan mati salah seorangpun dari orang-orang mukmin di antara kalian di tengah padang pasir. Aku juga telah menyaksikan bahwa tidak ada seorangpun di antara orang-orang mukmin yang ada saat itu meninggal melainkan mereka meninggal di suatu kampung atau di tempat ramai. Dan aku percaya bahwa Allah tidak akan menelantarkanku di tengah padang pasir ini. Aku berani bersumpah bahwa aku tidak berbohong. Coba carilah jalan wahai istriku.
Aku kemudian berkata padanya, “Aku telah melihat para jamaah haji itu sudah pada pergi dan jalan juga sudah terputus.”
Beliau berkata lagi, “Coba kamu lihat lagi!”
Saat itu aku bersusah payah mendatangi Kutaib dan aku meminta bantuan kepadanya. Akupun kembali ke Abu Dzar dan melihat sakitnya bertambah parah.
Istri Abu Dzar berkata lagi, “Di saat seperti itu, ada sekelompok orang yang sedang melakukan perjalanan. Mereka berjalan terlalu cepat seperti burung rajawali. Aku akhirnya mempercepat jalanku supaya cepat sampai ke mereka. Namun aku melihat mereka malah berbalik dan mempercepat jalan menuju ke arahku. Mereka lalu meletakkan cambuk-cambuknya di atas dada mereka  dan masih mempercepat langkahnya kepadaku. Salah seorang di antara mereka menanyaiku, Ada apa wahai umat Allah? Aku menjawab, Ada seorang Muslim yang butuh kafan, di mana ia akan meninggal saat ini. Mereka bertanya, Siapa namanya? Aku menjawab, Abu Dzar. Mereka menjawab, Yang sahabat Rasulullah itu? Aku menjawab, Ya. Merekapun lalu berlarian melapor kepada orang tua mereka dan dengan cepat mereka kembali sehingga mereka datang menemui dan menyalami Abu Dzar. Melihat mereka, Abu Dzar merasa lapang. Dan beliau akhirnya mengucapkan kepada mereka kedua hadits yang tadi diucapkannya padaku. Beliau melanjukan, Sungguh jika aku punya kain kafan sendiri, maka tidak ada yang boleh memakainya kecuali aku atau istriku. Dan Allah sekali-kali tidak akan menjadikan kalian sebagai pemimpin yang arif. Tidak ada salah seorang pun yang akan mampu menjabatnya karena kepemimpinan yang bijak telah diambil oleh para pemuda Anshar.”
Mendengar ucapan Abu Dzar, salah seorang di antara mereka langsung berkata pada beliau, “Akulah yang akan mengkafanimu dengan selendang dan dua helai kain yang ada dalam kantong ibuku itu.”
Abu Dzar berkata, “Baiklah, kalau begitu kamu yang akan mengkafaniku.” Maka ketika beliau wafat, beliau akhirnya dikafani oleh orang Anshar tersebut. Beliau kemudian dikuburkan bersama para sahabat yang berada dalam halaqah Rasulullah saat itu. Di antaranya ada Hajar bin Adi bin Adbar, Malik bin Asytar dan beberapa sahabat lainnya yang berasal dari  negeri Yaman.[1]
Saat berperang, Muhamad bin Ishaq pernah mengatakan bahwa Abu Dzar meninggal di tempat bernama Ribdzah pada tahun 32 Hijriah. Ibn Mas’ud turut menshalatkannya dalam shalat ghaib dari tempat tinggalnya di kota Kufah.
Dalam riwayat lain al-Qardhi mengatakan, “Abu Dzar keluar menuju Ribdzah kemudian beliau terserang penyakit. Beliau berwasiat kalau suatu saat meninggal supaya jasad beliau dikafani lalu diletakkan di tengah jalan. Jika ada seseorang yang melewatiku, katakan padanya, ‘Ini adalah jasad Abu Dzar al-Ghifari, sahabat Rasulullah Saw. Tolonglah kami dalam memandikan serta mengkuburkannya.’ Setelah itu Ibn Mas’ud bertemu dengan pelewat yang berasal dari Iraq.[2]



[1]Hadits shahih, HR Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât al-Kubra’, Juz IV, hlm. 232, Imam Ahmad dalam ‘Musnad Ahmad’, Juz V, hlm. 166, Ibn Abd al-Bar dalam ‘al-Istî’ab’, Juz II, hlm. 172 & 175, Abu Na’im dalam ‘Hilyat al-Auliyâ’, Juz I, hlm. 169-170  dan Ibn al-Atsir dalam ‘Asad al-Ghâbah’, Juz I, hlm. 358.
[2]Ibn Jauzi dalam ‘Sifat al-Safwah’ Juz I, hlm. 599 dan Imam al-Dzahabi dalam ‘Siyaru A’lâmi al-Nubalâ’, Juz II, hlm. 57 & 78, Ibn Hajar dalam ‘al-Ishâbah’, Juz XI, hlm. 122 dengan sanad yang dhaif karena ada Baridah bin Sufyan yang termasuk dalam golongan orang-orang dhaif dalam meriwayatkan hadits.

No comments:

Post a Comment