SUATU waktu, aku harus menemui seorang elit partai politik (parpol) ternama.
Untuk sebuah keperluan meminta komentar atau penilaian terhadap seorang tokoh
lokal yang hendak maju ke pilkada gubernur. Tokoh lokal yang sebenarnya telah
menasional, karena jauh sebelumnya dia sempat mewarnai kiprahnya di Parlemen
Senayan. Sang elit parpol dan si tokoh lokal ini tidak terlampau jauh ketika
menjadi aktivis mahasiswa. Beda-beda sedikit lah. Keduanya sempat satu fraksi
di Senayan namun berbeda posisi dan komisi. Sang elit pernah menjadi elit
pimpinan di Parlemen Senayan.
Aku berharap
ada komentar obyektif sang elit terhadap si tokoh lokal. Setelah menunggu agak
lama, akhirnya aku ketemu juga. Begitu bersua, kekecewaan yang muncul dalam
benakku. “Saya tidak kenal tuh tokoh
lokal yang Anda maksud. Memang kami satu partai, tapi saya tidak mungkin kenal
satu per satu orang partai. Partai kami sangat besar, bukan partai gurem,” sang
elit berkilah.
“Bukankah Anda
dulu pernah satu fraksi di Senayan? Dan dia kan cukup dikenal di kalangan petinggi
parpol Anda?” ujarku berusaha mengingatkan.
“Tidak kenal
saya, sekali lagi tidak kenal saya,” tutur sang elit parpol.
Aku seperti
kehabisan ide untuk bertanya lebih jauh. Tokoh yang satu ini memang agak pelit
bicara. Kemudian, aku berusaha mencari tahu ihwal mengapa sang elit tak mau
buka suara. Dari sejumlah orang dalam parpol itu, sang elit tidak begitu suka
pada si tokoh lokal lantaran berbeda faksi atau kelompok dalam parpol.
Aku lalu
memberitahukan kepada si tokoh lokal tentang ketidak-bersediaan sang elit
dimintai komentar untuk penulisan sebuah biografi si tokoh lokal ini. “Benar,
kamu sudah bertemu, lalu apa komentarnya?” tanya si tokoh lokal.
“Sudah Pak,
tapi beliau katakan tidak mengenal Bapak,” jawabku singkat.
“Ok, lupakan
saya, cari narasumber yang lain,” si tokoh lokal membesarkan hati.
Perjalanan
menuju kursi gubernur terus mendekat. Sampailah pada pesta demokrasi langsung
di tangan rakyat. Dengan penuh perjuangan, si tokoh lokal itu akhirnya
memenangi pertarungan.
Tibalah waktu
si tokoh lokal dilantik oleh Menteri Dalam Negeri di ibukota provinsi. Lantaran
sang elit parpol merasa tidak mengenal dirinya, si tokoh lokal tidak mengundang
hadir di acara pelantikan.
Tapi, sungguh terlalu.
Sang elit parpol itu muncul di acara pelantikan dan ikut memberikan ucapan
selamat kepada si tokoh lokal yang baru saja menjadi gubernur definitif. “Saya sih nggak ada perasaan dendam atau apa,
beliau kasih selamat dan merangkul, ya saya balas merangkul dan
berterima-kasih,” tutur si tokoh lokal kepadaku.
Aku berusaha
mendekati sang elit parpol. Begitu melihat diriku mendekat, sang elit parpol
tersipu malu. “Tak perlu malu Bang, saya jadi tahu kualitas Abang dalam
menjalin komunikasi sesama kader,” ujarku sambil berlalu meninggalkan sang elit
parpol.
Kini, nama sang
elit parpol itu kembali mencuat, suaranya lantang meramaikan perebutan kursi
RI-1 tahun 2014. Pemimpin semacam itukah yang hendak kita pilih? Pemimpin yang
cuma mengedepankan kepentingan dirinya, faksi dalam parpolnya, dan paling luas
kepentingan parpolnya. Mari kita jeli memilih, sampai melihat pada rekam jejak
yang paling kecil sekalipun. (BN)
No comments:
Post a Comment