Gara-gara aturan transisi tak ada, ada pasien peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan ditolak rumah sakit.
Terjun ke lapangan
dan menemukan banyak kejanggalan membuat sejumlah anggota Komisi Kesehatan DPR
gerah. Di lapangan, anggota Dewan menemukan keluhan tentang penolakan rumah
sakit atas peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK). Mirisnya lagi, di
Bandar Lampung ada pasien yang dibuang pihak rumah sakit.
Anggota Komisi IX
DPR, Rieke Diah Pitaloka, menilai pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan,
lamban menindaklanjuti amanat Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(UU BJPS). Gara-gara peraturan pelaksana dan petunjuk teknis tak lengkap,
pelaksanaan BJPS di lapangan masih terkendala. Penolakan rumah sakit terhadap
pasien JPK, Askes dan Jamkesmas, hanya salah satu dampaknya.
Komisi IX, kata
Rieke, sudah meminta Kementerian Kesehatan menerbitkan ketentuan transisi dalam
pelaksanaan BPJS Kesehatan. Sehingga tidak ada masyarakat yang ditolak RS
ketika ingin mendapatkan pelayanan kesehatan. “Solusinya kami mendesak ada masa
transisi satu tahun dimana tidak boleh ada penolakan terhadap pasien,” katanya
kepada wartawan usai rapat di ruang Komisi IX DPR, Senin (10/2).
Seharusnya, kata
politisi PDI Perjuangan itu, peraturan pelaksana BPJS Kesehatan diterbitkan
paling lambat 2012. Sehingga selama tahun 2013 dapat dilakukan sosialisasi
sebelum beroperasinya BPJS Kesehatan 1 Januari 2014. Sayangnya hal itu tidak
dilakukan dan berbagai peraturan tersebut baru diterbitkan akhir 2013.
Waktu transisi
setahun perlu agar selama itu masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan
tidak boleh ditolak. Hal itu selaras dengan esensi Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) yaitu memberikan jaminan untuk seluruh rakyat Indonesia. Rieke
mengatakan tidak perlu mengikuti sistem rujukan yang berbelit-belit, tapi
masyarakat cukup menunjukan KTP kepada penyedia fasilitas kesehatan yang
dituju. “Kami mendesak agar dimunculkan regulasinya karena itu menyangkut
esensi sebenarnya SJSN,” tuturnya.
Begitu pula dengan
peserta penerima bantuan iuran (PBI) BPJS Kesehatan, Rieke mengatakan
praktiknya di lapangan masih banyak orang miskin dan tidak mampu yang luput
dari jaminan kesehatan. Padahal, ia menghitung anggaran yang ada cukup untuk
dikucurkan kepada peserta PBI. “Sebenarnya cukup untuk menanggung biaya 240
juta rakyat Indonesia. Itu iuran PBI-nya cuma Rp56,7triliun, kalau diambil
Rp1.840,5 triliun dari APBN 2014 mosok nggak bisa,” ucapnya.
Bagi Rieke, sebaik
apapun sebuah UU akan percuma jika implementasinya tidak bagus. Untuk itu peran
pengawasan pemerintah harus jelas. Sehingga ada sanksi tegas bagi pihak yang
melanggar ketentuan. Sayangnya, badan pengawas RS sebagaimana amanat UU No. 44
Tahun 2009 tentang Rumah Sakit sampai sekarang belum dibentuk.
Selain itu, Rieke
melanjutkan, peraturan pelaksana yang mengamanatkan agar dibentuk badan
pengawas itu baru diterbitkan Oktober 2013 lewat PP tentang Badan Pengawas RS.
“Badan pengawas harus ada di tingkat Provinsi. Untuk mengawasi pelayanan
kesehatan sampai ke tingkat bawah, targetnya harus dibentuk pula badan pengawas
RS sampai kabupaten/kota,” ujarnya.
Dalam rapat antara
Komisi IX dengan Kemenkes, Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Lampung, Kabupaten
Pinrang dan Kota Tangerang Selatan, serta Dirut RSUD DR A Dadi Tjokrodipo, RSU
Lansirang dan Ketua Asosiasi RS Daerah (Arsada), Ketua Komisi IX, Ribka
Tjiptaning, mengatakan pemerintah tak kunjung menerbitkan PP yang menjadi
amanat pasal 32 UU Kesehatan. Padahal, ketentuan itu menjaga kedaulatan dan
melindungi pasien. Serta ada sanksi bagi fasilitas dan tenaga kesehatan yang
melakukan tindakan merugikan pasien. “Harus ada PP biar ada peraturan
pelaksananya,” paparnya.
Komisi IX DPR
menerbitkan empat kesimpulan dalam rapat tersebut. Pertama, mendesak Kemenkes
meningkatkan pengawasan dan pembinaan terhadap RS melalui pembentukan Dewan
Pengawas dan Badan Pengawas di tingkat Provinsi sesuai dengan UU RS. Kedua,
Kemenkes dituntut melakukan investigasi lebih lanjut terhadap masalah pasien
dari RSUD Dr A Dadi Tjokrodipo, Bandar Lampung.
Ketiga, Kemenkes
didesak agar ada masa transisi BPJS selama setahun dimana sistem rujukan
disesuaikan dengan keadaan di lapangan. Keempat, Kemenkes harus melakuakan
perbaikan terhadap sistem pelayanan kesehatan primer sehingga tercipta
pemerataan pelayanan kesehatan di Indonesia.
Dirjen Bina Upaya
Kesehatan (BUK) Kemenkes, Akmal Taher, mengaku setuju atas usulan Komisi IX
DPR. Perlu kebijakan untuk menyikapi perkembangan BPJS Kesehatan pada
pelaksanaan di beberapa bulan awal. Misalnya, untuk peserta BPJS Kesehatan yang
pertama kali langsung menyambangi RS tanpa rujukan, maka harus mendapat
pelayanan.
Menurut Akmal,
kebijakan itu perlu dikeluarkan karena peserta yang bersangkutan tidak mendapat
sosialisasi yang baik. Sehingga tidak paham tata cara untuk mendapatkan
pelayanan BPJS Kesehatan. “Kami akan menerbitkan peraturan untuk hal itu,”
janjinya. (www.hukumonline.com)
No comments:
Post a Comment