Shutterstock
Ilustrasi pemeriksaan dokterDokter dan obat merupakan dua hal yang sangat erat di mata kebanyakan orang. Mungkin tidak salah, karena memang untuk beberapa obat baru bisa dikonsumsi dengan resep yang diberikan dokter. Namun tidak selamanya, dokter harus memberikan obat yang menunjang kesembuhan pasiennya.
"Kebanyakan masyarakat Indonesia
pergi ke dokter, berharap kesembuhan dengan mendapatkan obat. Padahal,
ke dokter itu untuk mencari akar permasalahan dari penyakit dan mencari
solusi terbaik," kata dokter spesialis anak Purnawati Pujiarto dalam
sebuah diskusi kesehatan beberapa waktu lalu di Jakarta.
Menurut dia, meminta obat ke dokter tidak jarang memicu tindakan medis yang berlebihan (over treatment) pada pasien. Bahkan, lanjutnya, sekitar 50 persen obat yang diresepkan sebenarnya tidak dibutuhkan.
"Tindakan medis yang berlebihan itu merugikan pasien, dari menambah biaya pengobatan bahkan kematian," tegas aktivis dari Yayasan Orangtua Peduli ini.
Purnawati menuturkan, biaya kesehatan di Indonesia meningkat 10-13 persen setiap tahun. Kondisi ini akan semakin merugikan pasien yang harus membayar biaya pengobatan yang semakin mahal, padahal tubuh mereka sebenarnya tidak membutuhkan obat-obatan yang dibeli. Belum lagi, imbuh dia, harga obat-obatan di Indonesia sudah relatif mahal dibandingkan dengan harga di negara lain.
Contoh paling mudah dari tindakan pemberian obat yang berlebihan adalah antibiotik. Purnawati menegaskan, tidak semua penyakit membutuhkan antibiotik. Apalagi jika penyakit disebabkan oleh infeksi virus.
"Virus tidak akan mati dengan antibiotik. Sebaliknya, bakteri-bakteri di dalam tubuh lah yang mati, padahal bakteri dalam tubuh memiliki peran untuk membentuk sistem tubuh yang baik," paparnya.
Oleh karena itu, Purnawati mengimbau agar masyarakat untuk lebih memahami obat. Baik itu memahami kandungan aktif obat (bukan merek obat), sekaligus fungsi obat. Tujuannya untuk menghindari tindakan medis yang berlebihan.
"Supaya lebih luas lagi masyarakat yang mengerti obat, dokter dan tenaga kesehatan perlu terjun memberikan edukasi tentang pola pengobatan rasional mempromosikan kesehatan pasien," tegasnya. (health.kompas.com)
Menurut dia, meminta obat ke dokter tidak jarang memicu tindakan medis yang berlebihan (over treatment) pada pasien. Bahkan, lanjutnya, sekitar 50 persen obat yang diresepkan sebenarnya tidak dibutuhkan.
"Tindakan medis yang berlebihan itu merugikan pasien, dari menambah biaya pengobatan bahkan kematian," tegas aktivis dari Yayasan Orangtua Peduli ini.
Purnawati menuturkan, biaya kesehatan di Indonesia meningkat 10-13 persen setiap tahun. Kondisi ini akan semakin merugikan pasien yang harus membayar biaya pengobatan yang semakin mahal, padahal tubuh mereka sebenarnya tidak membutuhkan obat-obatan yang dibeli. Belum lagi, imbuh dia, harga obat-obatan di Indonesia sudah relatif mahal dibandingkan dengan harga di negara lain.
Contoh paling mudah dari tindakan pemberian obat yang berlebihan adalah antibiotik. Purnawati menegaskan, tidak semua penyakit membutuhkan antibiotik. Apalagi jika penyakit disebabkan oleh infeksi virus.
"Virus tidak akan mati dengan antibiotik. Sebaliknya, bakteri-bakteri di dalam tubuh lah yang mati, padahal bakteri dalam tubuh memiliki peran untuk membentuk sistem tubuh yang baik," paparnya.
Oleh karena itu, Purnawati mengimbau agar masyarakat untuk lebih memahami obat. Baik itu memahami kandungan aktif obat (bukan merek obat), sekaligus fungsi obat. Tujuannya untuk menghindari tindakan medis yang berlebihan.
"Supaya lebih luas lagi masyarakat yang mengerti obat, dokter dan tenaga kesehatan perlu terjun memberikan edukasi tentang pola pengobatan rasional mempromosikan kesehatan pasien," tegasnya. (health.kompas.com)
No comments:
Post a Comment